LIQUOR THAT NEVER BREWED
-azureveur
©2012-2013
PREVIOUS CHAPTER:
| first shot | second shot |
.
.
THIRD SHOT.
Setelah menandatangani perjanjian kontrak dengan Dorothy Perkins, bukan berarti Lina harus berlagak bak tuan putri; bebas beterbangan mengeriapi Eropa, kembali menginjakkan kaki di hadapan Kim Jaejoong sambil memboyong seorang advokat sebagai kekasih barunya.
Dana heran bukan kepalang, mengapa agensinya bersikeras merekrut model itu. Tangannya masih mendekap papan dada, membiarkan telinganya digelendoti sepasang headset. Sambil sesekali mengecek jarum di arloji. Pukul tujuh pagi, Kim Jaejoong masih menutup diri di dalam kompartemen balok, di seberang kolam air mancur.
“Ohayou[1]!” Sapaan selamat pagi itu tak ayal membuat Dana terhenyak. Jangan katakan Jung Yunho sudah tiba. Pemuda jangkung di hadapannya nampak siap dengan tas hitam menggayut di bahu kanan, cengiran lebar, dan rambut auburn semrawut.
“O, Yun?” Perempuan itu tercekat.
“Ada yang salah denganmu, Dana.” Giliran Yunho yang membeliak. Sikap Dana lain dari biasanya, ia tak pernah nampak secanggung itu. Alih-alih, selalu sigap dengan sederet schedule dan perencanaan ganda.
Sepasang kantung gelap yang nampak menggelambir di bawah mata, wajah pucat, dan bibir Dana yang mengering tanpa sebab. “Kau begadang semalaman, ya?” tanya Yunho.
Dana tercenung. “Er, tidak. Entahlah. Masih banyak pekerjaan yang harus diurus, Yun.” Tidak perlu repot-repot untuk mengungkap insomnia akutnya, perempuan itu ingin lekas-lekas menghindari pertanyaan Yunho. Namun, pemuda di hadapannya malah bertindak jauh dari apa yang ia pikirkan.
“Tunggu dulu, Dana. Jangan bilang kau mengkhawatirkan pemotretan ini?” Jung Yunho berdiri di sisinya sambil menggamit sebelah lengan.
Dana bungkam, kepalanya tertunduk mematut jungur heels yang sejajar dengan sneakers Yunho. Ia tak mungkin menceritakan semuanya pada pemuda itu. Skema “Membuat Kim Jaejoong Terkesan” terlanjur hancur. Dana tak memiliki preferensi antara mendahulukan hakikat pekerjaan atau perasaan pribadi. Toh jelas ia dituntut untuk bekerja profesional. Lagi pula, mengikat diri dengan Jaejoong tak semudah membalikkan telapak tangan. Ikon modelling dunia yang baru saja memulai debut internasionalnya tentu menjadi incaran media massa.
“Kau harus mendahulukan kesehatanmu, Dana. Setidaknya meluangkan waktu untuk istirahat. Rapelmu takkan dipotong hanya karena kaulalai tak memperhatikan si Megalomania itu,” jelas Yunho.
“Megalomania?” Dana mendengus geli. “Maksudmu Jae?” Ia terkikik, menanggapi istilah itu. Keduanya tertawa lepas. Menghirup dalam-dalam udara pagi yang berseliweran di sekitar pelataran tengah Fuchu no Mori. Beruntung hari libur Shunbun no hi[2] telah lama berlalu, jika tidak alergi Yunho terhadap serbuk bunga dipastikan kambuh.
“Aku tak menyuruhmu pacaran di pagi buta, Dana.”
Lagi-lagi suara tengil itu, serapah Yunho dalam hati. Tak perlu menolehkan kepala untuk menerka. Kim Jaejoong sudah berderap dengan balutan tuksedo semi formalnya. Ia menawan tiada tara, Yunho jelas tak dapat memungkiri opini itu. Berjalan santai dengan kedua tangan dibenamkan dalam ceruk saku.
“O, Jung Yunho. Tidakkah kau bersiap-siap?” Kim Jaejoong berdecak dengan dagu terangkat separuh. Tatapannya masih tertuju pada lengan jenjang milik Jung Yunho. Kesepuluh jemari pemuda itu masih menggamit keliman blazer Dana. Kim Jaejoong serta-merta berdeham nyaring.
“Er, aku dan Dana—” Yunho terdengar agak menggumam; berusaha menjelaskan perihal itu pada lawan bicaranya.
“—o, sudahlah, Jae. Aku dan Yunho tak sedang melakukan apa-apa. Benar katamu, lebih baik kita bersiap-siap,” sambar Dana, melenggang menuju van utama. Jaejoong tersenyum, memosisikan Yunho kian tersudut, kendati ia ingin sekali mengecap momen kebersamaan itu lebih lama. Nyatanya, Dana terlalu pusing mempermasalahkan konflik renik yang selalu diungkit Jae. Ia enggan bertingkah, menjalankan perencanaan hari itu sebaik mungkin alih-alih menerjemahkan rasanya kesalnya ke dalam konteks literasi yang lebih padan. Jaejoong berbalik dan mengekor di belakang Dana; Yunho melepas topi bisbolnya, serta-merta mencari Minami dan kru lainnya.
.
Onggokan koper berkebat celar itu sudah mendiami spot-nya lebih dari satu jam lalu. Jung Yunho masih saja menggelar pelancongan hilir mudik; menelusuri susuran tangga turun; mematut-matut atribut yang hendak ia gunakan dalam sesi pertama.
Di sinikah? Lantas, si pengantin wanita akan berdiri di bawah ceruk anak tangga? pikir Yunho. Dahinya kerut-merut. Matanya menyipit, sambil sesekali menyingsingkan lengan kemeja dan membuat jendela kecil dengan keempat jemarinya.
“Er, Yunho-san?” panggil seseorang. Yunho kontan berbalik. Ketukan telunjuk pada bibirnya terhenti.
“Iya. Dan kau?” tanyanya. Yunho tak nampak terkejut, alih-alih penasaran tentang profil wanita yang baru saja dijumpainya. Ia bukan Erika. Tingginya bahkan lebih menjulang beberapa senti ketimbang gadis Jepang itu. Aksennya mengingatkan Yunho akan kampung halamannya.
“Lina desu,” ujarnya. Sudah diduga. Yunho kian sangsi dengan pengakuan itu. Mana mungkin Lina. Apakah Dana sedang tidak waras? Merekrut Lina kembali sebagai partner Jae, kendati ia meminta bantuan Yunho untuk sebuah misi pendekatan.
“O, Lina? Tunangan Kim Jaejoong, maksudmu?” tanya Yunho memastikan, sambil sesekali mengecek kolom pengaturan pada Canon EOS-nya.
Seketika saja tawa perempuan itu memburai. Kepala Yunho berjengit. Tak ada yang janggal dari perkataannya. “Kau baru saja mendengar kisah delusi Jae, agaknya,” ia masih tergelak kecil, sembari mengatur napas. “Dasar Jae. Ia selalu aja mengatakan itu pada orang yang dijumpainya.”
“Tapi, kurasa ia benar-benar mencintaimu,” simpul Yunho. Tidak seharusnya ia bercakap seperti itu. Bahkan ia belum sempat memperkenalkan diri lebih jauh kepada Lina, lantas serta-merta mencampuri perkara relasi lamanya.
“Itu mungkin dulu, Yunho-san. Beberapa bulan lalu, lebih tepatnya, sebelum aku berjumpa dengan Yoochun. Toh sekarang ia nampak acuh tak acuh,” singkapnya.
Yunho mencibir kontemplasi itu dalam hati. Betapa pilonnya Lina, menilai perangai Jaejoong dari perspektifnya sendiri. Tidak ada tawar-menawar atau kesempatan kedua bagi pemuda itu, sebelum ia merangkum semuanya secara sepihak.
“O, lihat. Ia sudah datang!” Tiba-tiba saja Lina berseru, melambaikan tangan pada seorang pria di balik van putih.
Yunho itu tak ayal menelengkan kepala, mengikuti arah gerak Lina yang lekas menghambur dalam dekapan seorang pria. Benar. Lihat pemuda itu. Jas necis dengan parfum perlente. Jung Yunho bahkan dapat mengedus percik-percik Giorgio Armani dari jarak beberapa meter, tempatnya mencacak langkah. Tidak jauh beda dari tipikal kekasih Lina sebelumnya. Park Yoochun mengulas senyum ramah.
“Yoochun,” ujar pria itu seraya menjabat tangan Yunho.
“Jung Yunho.”
“O ya, apa kau teman lama Dana-san?” celetuk Lina, bergayut manja di tubuh kekasihnya.
“Bisa dibilang begitu.” Jung Yunho tertunduk. Entahlah selalu merasa risih melihat keduanya. Suara kekehan tak selaras yang terdengar semi dramatis. Nada pertanyaan Lina yang terdengar dibuat-buat. Ugh. Mengapa ia kerap bertemu orang-orang pelik di tempat ini?
“Kalian terlihat cocok kala berdua.”
“Maksudmu?” Yunho, yang tak jadi membidik kameranya ke arah perdu di samping tungkai kakinya, malah berjengit dengan alis melejit.
“Kau dan Dana-san, maksudku.”
“O, tidak seperti itu,” tandas Yunho. O, Tuhan. Mengapa semua orang beranggapan seperti Emoto? Hendak mempersatukan perasaan lamanya dengan Dana. Bahkan jika kodrat berkehendak, pengakuan tolol itu sudah meluncur sedari kemarin. Namun, coba lihat sekarang … alih-alih mengacuhkannya, Dana tak ayal bersikap skeptis nan ketus.
“Sungguh?” Kali ini giliran Yoochun yang menimpali. “Kau dan Dana-san pasti memiliki kisah yang indah di masa lalu.” Sebelah lengannya masih melingkari pinggang lencir itu, sementara ia berperangai sok tahu. Agaknya pemuda itu baru menjejaki Bandara Narita beberapa jam lalu, lantas kini ikut merangseki topik pembicaraan yang bukan miliknya.
“Kami hanya bersahabat. Bukan hanya aku dan Dana, sesungguhnya. Satu lagi, Emoto. Pria girang itu tak di sini,” sambar Yunho. Terserah mereka mengerti soal Emoto atau tidak. Setidaknya topik mendua itu tak lagi berlaku. Persahabatan mereka tidak hanya dimiliki dua orang, melainkan tiga.
“O, Yunho-san! Sedang apa kau di sana? Fukoka memerlukanmu sekarang,” Minami sekonyong-konyong menyembul dari balik pohon cheri. Ia berjalan menandak-nandak. Menghampiri ketiganya yang tengah bertukar obrolan kopi.
“Ah, iya, Minami. Ia sudah mengganti filter yang kemarin?” sahut Yunho.
“Entahlah,” balas Minami. “Kita sebaiknya …” tepat kala itu obrolannya berhenti, bola matanya sukses bergulir ke sisi lain. “Lina-san,” panggilnya, sekadar menyapa.
“Ah, Minami. Kenalkan, ini Park Yoochun,” sahut Lina. Tidak perlu eksposisi atau pun kalimat berafiks tambahan. Penjelasan itu bukanlah taksa yang sulit dimengerti. Park Yoochun hanya ada satu. Minami mungkin boleh mengira jika isu soal advokat itu tak lebih dari isapan jempol karangan Lina, nyatanya pemuda berkulit putih pucat itu tengah berdiri di hadapannya.
Minami membungkuk—seperti pada umumnya ia memperkenalkan diri dengan adat setempat. “Minami desu,” ujarnya.
Yoochun balas tersenyum, mengeja namanya dengan imbuhan frasa Jepang formal.
Bukan lantaran Minami enggan berbasa-basi, waktu mereka tak dapat menunggu lebih lama. Kerlingan mata perempuan itu menatap tak sabar mandibula Jung Yunho yang berada jauh dari sudut alisnya. “Er, Yunho-san sebaiknya kita bergegas sekarang,” usung Minami. Kali ini ia tak lagi memikirkan kata segan. Jarum panjang arlojinya tengah menghunjuk angka enam; sepuluh menit sebelum jadwal pemotretan dimulai.
“Ah, kalau begitu aku akan berganti pakaian sekarang,” ujar Lina, tak sengaja mencuri dengar perkataan Minami. Perempuan itu melepaskan gamitan jemarinya di pelesir jas Yoochun; Minami kembali membungkuk. Berpamitan dan lekas menuju van di samping spot pemotretan; Yunho gegas menghampiri kanopi mungil tempat Fukoka dan krunya meletakkan perkakas.
.
Tak ada yang lebih memesona ketimbang segalur senyum manis yang menguar dari bibir Lina. Lengkap dengan bonet berjaring transparan yang menabiri pelipis dan alis matanya, kerut-kerut samar itu tak membuat parasnya nampak lebih tua, malah bersanding laras dengan balutan gaun berlengan organdi. Sophia Tolli seolah bersatu pikiran dengan Lina. Bagaimana lagaknya mengawangkan separuh tungkai kaki; berlari kecil mengitari kolam air mancur sembari menggenggam roncean lili.
Yunho masih berkonsentrasi membidik objek panning melalui jendela Canon EOS-nya. Rana yang tengah terbuka separuh, lantas ditimpali pekikan lesu Dana, “Bagaimana jika kita break sebentar, Yun?”
Yunho mengangguk. “Kerja bagus, Lina-san,” pujinya. “Kita istirahat sepuluh menit sekarang.” Tangan Yunho buru-buru menggapai cakram penutup lensa.
Minami berlarian mengganjur beauty case-nya mendekati Lina. Sesi pemotretan itu nyaris berakhir, namun aksi terakhir bukanlah pose penutup, meski Park Yoochun nampak kepalang senang; berdiri dari kursi malasnya, sembari memberi standing applause untuk sang tunangan.
“Yun, apa kau bisa membantuku?” Yunho tak jadi menyambar gelas kartonnya yang berisi espresso lantaran Dana sudah terlebih dahulu menyelat. Perempuan itu benar-benar tak nampak sehat. Sesekali tangannya merenggut mikrofon mungil yang terselip di lubang telinga.
“Er, iya, Kimamura-san,” sahutnya tiba-tiba. Yunho masih menatapnya sembari mengernyit—tak mengerti arah pembicaraan Dana.
“Ah, maafkan aku, Yun. Bisa tolong kaupanggil Jae di van-nya. Sesinya dengan Lina sebentar lagi akan segera dimulai.” Ia berjalan agak limbung, menuju lajur-lajur kloset pakaian.
O, yang benar saja. Yunho nyaris menyemburkan espresso dari mulutnya. Ia bahkan tak sempat menyembulkan kalimat penolakan, Dana terlanjur melengos. Menyambung konversasi krusial dengan seseorang bernama Kimamura.
“Yunho-san, apa kau baik-baik saja?” tanya Minami, tiba-tiba muncul sambil mengangsurkan handuk hangat padanya.
“Er, iya. Arigatou, Minami,” ujar Yunho, menyeka pelipisnya dengan handuk.
Udara kering Tokyo tak ayal mengganti balutan halimun pagi. Musim gugur nyaris tertirah menuju penanggalan akhir. Yunho hanya menggeleng semu kala memandang van putih di samping kolam air mancur itu. Itu hanya Jaejoong. Ya, Kim Jaejoong yang ditolongnya minggu lalu, lantas apa yang harus ia takutkan? Perasaan pelik itu ‘kah?
.
Yunho menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Cuaca pagi itu tak seburuk yang ia interpretasikan. Dingin menggigil? Tidak juga. Itu hanya perasaannya. Jemarinya yang kebas hingga sendi-sendinya beringsut tak beres. Bukan akibat hipotermia akut yang menderanya sewaktu-waktu, itu mungkin karena si pemilik rambut walnut yang tak sengaja menyembulkan kepala di celah jendela.
“Hei, sampai kapan kau hendak berdiri di depan pintu?” tanya Jaejoong separuh memekik. Yunho tak menyangka suara itu akan menyambarnya laksana petir di siang bolong. Telinganya tak sempat menguping, namun ia tahu ada derap tak beritme yang menghampiri daun pintu.
“O, pasti Dana yang menyuruhmu.” Jaejoong berceloteh singkat sembari membiarkan pria jangkung itu masuk. Pelik. Sangat pelik, pikir Yunho. Apa Kim Jaejoong tahu apa yang baru saja dilakukannya? Pria itu sengaja membiarkan Yunho menaiki satu per satu anak tangga menuju lorong tengah.
“Entah apa yang merasukinya hari ini. Ia tak pernah terlihat semurung itu,” lanjut Jaejoong. Itu bukan Jaejoong yang biasa—si pengidap sindrom megalomania. Yunho masih tercekat. Manik matanya sibuk menyusuri kompartemen yang didominasi parket-parket kayu itu. Sehelai linoleum yang menyelimuti lantai ruang duduk kecil di sudut depan. Dan ruang rias yang merendengi sisi belakang.
“Mungkin karena kedatang Lina?” usung Yunho. Ia baru saja mencetuskan sebuah gagasan bodoh. Untuk apa berkomentar?
Kim Jaejoong membalikkan badannya—tubuh tegap yang hanya menyamai batas telinga Yunho. “Lina? Maksudmu?”
“O, sudah lupakan. Kau tahu maksudku kemari, bukan? Pemotretan kita akan dilakukan lima menit lagi.” Yunho membenamkan keduanya ke dalam saku pullover, hendak beranjak keluar. Ia tak ingin mencampuri masalah yang bukan urusannya untuk kedua kali; tidak untuk perihal menilai pemikiran pilon Lina.
“Tidak sekarang, Yunho. Kau masih belum menjawab pertanyaanku,” tahan Jaejoong.
Yunho terdiam. Lebih tepatnya kala Jaejoong melesat gesit, menutup pintu van yang baru saja dibukanya. “Kau barusan berkata, Dana bersikap seperti itu lantaran kehadiran Lina?” Alis Jaejoong berjingkat.
Pemuda jangkung itu terdiam.
Jaejoong balas mendengus geli. “Jangan katakan kalau kau tak bisa mengurus kekasihmu,” ejeknya.
O, lagi-lagi. Yunho berusaha tak membalas. Bibirnya sengaja dikatupkan rapat-rapat.
“Kalian tengah menjalin hubungan, bukan?” Jaejoong berjalan mengitari lorong tengah. Menyandarkan tubuhnya di pinggiran kursi. Sementara Yunho berdiri, mengepalkan tinjunya.
“Itu bukan urusanmu, Jaejoong-san.” Yunho merasa hatinya remuk rendam. Jika boleh menghujat, ia ingin mencekik Kim Jaejoong sekarang juga. Menelikung kedua tangan sok anggun itu dan menghantamnya hingga terjajar di dinding kompartemen.
“Dana adalah manager-ku, jelas saja perihal kalian pun urusanku. Aku tak pernah mengerti, mengapa kau bersikap sangat monokrom?”
Begitulah Jaejoong menerjemahkan perangai Yunho. Monokrom. Tak terusik. Yunho sudah tidak tahan. Ia memang nampak seperti itu. Berpenampilan acuh tak acuh, tak pernah terpengaruh pada lingkungan, melainkan hatinya menyimpan semua kekalutan itu seorang diri.
“O, terserah katamu. Aku akan menu—”
BRAK. Kim Jaejoong sekonyong-konyong mendorong tubuh jangkung itu mencium pinggiran meja. Yunho meringis. Ia tak menyangka taktiknya terlanjur dicuri dalam sepersekian detik.
“Satu pertanyaan lagi, mengapa kau menolongku malam itu?” Kim Jaejoong enggan mengendurkan cengkeramannya. “Mengapa, Yunho?” Ia memekik, jemarinya merenggut lapel pullover Yunho. “Kau selalu saja bersikap baik tanpa alasan, bahkan saat Dana hanya mengacuhkanmu sebagai teman.”
Napas Yunho memburu; tubuhnya terbujur kaku. Bukan berarti ia tak bisa memberontak, hanya saja ia merasa bodoh melakukan itu. Melawan si sinting Jaejoong, bahkan di kala keadaan mendukungnya dengan status tak bersalah. Mata Yunho terpancang lurus-lurus, menghunjam iris Kim Jaejoong. Celah bibirnya bungkam. Statis. Seperti ada sekelumit kata yang ditahannya di pangkal lidah.
“Aku tahu, kau menyukai Dana. Lantas, kau menolongku malam itu agar mendapat komplimen darinya?” berondong Jaejoong.
Yunho enggan menjawab. Relung hatinya bagai tercabik. Jaejoong bukan seorang takabur yang kopong kepala, melainkan permerhati yang baik. Yunho tak sanggup lagi untuk tak mengakui perasaannya pada Dana, namun apa gunanya mengaku. Dana bahkan hanya menganggapnya sebagai seloroh. Dan umpatan pemuda itu malah menyadarkan Jung Yunho bahwa Dana menyukai Kim Jaejoong.
“Katakan, Yunho!” Jaejoong menggebrak dinding. Yunho terhenyak. Bunyi debuman keras kontan meruak. Yunho merasakan parket yang menjadi tumpuannya berguncang. Sapuan napas Jaejoong membangunkannya. Bibir merah ranum itu hanya berjarak beberapa inci mendekati pipinya.
“Well, pantas saja Dana tak pernah membalas perasaanmu … Kau terlalu membosankan, Yunho,” bisik Jaejoong, melengos menuruni anak tangga.
.
Ia … terlalu membosankan, lantas apa perkataan Jaejoong benar? Yunho masih tepekur di samping tripod, memikirkan segebung kotemplasi pelik di benaknya. Kim Jaejoong di seberang sana, mengenakan koleksi musim gugur dari Ralph Lauren. Tuksedo berbahan kain sintetis tertimpa efek tindal mentari.
Lina duduk bersilang kaki, berbagi bench dengan Park Yoochun. Tak lupa laptop kesayangan pemuda itu. Benda persegi yang telah terparkir sejak sejam lalu di pangkuan Yoochun, sesekali ia meletakkannya di permukaan bench, merenggangkan otot sembari memberi komplimen kecil pada Lina.
“Yunho-san, sebaiknya piringan reflektor ini kuletakkan di mana?” Rupanya Fukoka. Pria pendek itu berjalan terhuyung-huyung, membawa piringan perak berdiameter gigantis.
Yunho terhenyak. “Ah, Fukoka-san. Di sana saja, tepat di samping podium,” sergahnya. Area mini tepat di alun-alun Fuchu no Mori telah disulap menjadi petak persegi bergaya neoklasik; diperlengkapi podium heksagonal dan mimbar eboni.
Takeshi Fukoka berkacak pinggang sejurus; para kru lainnya berduyun-duyun ke posisi masing-masing. Yunho sengaja mengomposisikan sesi pemotretan Jaejoong – Lina sebagai sebuah ilustrasi bersalutkan plot garden party seperti yang disetujui Dana dalam perbincangan mereka dua minggu lalu.
Pergola bugenvil, para model figuran yang berperan sebagai tamu undangan, dan juga lakon seorang pastur yang mencacak langkah di belakang mimbar. “O, baiklah. Ini terlihat sempurna,” Yunho mengacungkan kedua jempolnya. “Jaejoong-san mungkin bisa berdiri di atas samping podium.” Ia berusaha mengusung nada profesional, kendati kerap mencuri lihat ke arah pemuda itu dengan rambang.
Jaejoong berjalan santai. Seolah tak ada yang terjadi di antara mereka, menyulam sesungging senyum kala bidikan Canon EOS Yunho tepat menghunjam wajahnya. Itu bukan yang pertama. Kedua pasang mata itu bersirobok, seiring perasaan pelik yang sama menjalari ulu hati Jung Yunho.
Alih-alih mengintip hasil jepretan melalui jendela display, Jaejoong agaknya telah hafal keseluruhan rundown acara. Ia bergerak menggamit lengan Lina menaiki podium muka. Entah apa yang membuat Yoochun disulut murka. “Yunho-san?” Ia menutup layar laptop dan beranjak dari tempat duduknya.
“Er?” Yunho menjengitkan kepala.
“Jaejoong tidak memiliki adegan itu, bukan?” tanyanya.
Dasar pasangan dimabuk asmara, desah Yunho dalam hati. Mengapa Park Yoochun yang berstatus advokat itu tak mafhum batasan antara hal personal dan dunia akting? Jaejoong boleh saja mempergunakan kesempatan berduaan dengan Lina. Memperdebatkan hal yang seyogianya didebatkan tapi tidak kala itu, namun Jung Yunho jelas mengenal Kim Jaejoong dan sikap profesionalnya.
“Memang tidak. Tapi, ia berhak melakukan improvisasi,” jabar Yunho sembari terkekeh. “Lagi pula itu hanya akting, Yoochun-san. Tidak akan lebih.” Ia menjawil bahu Yoochun; beranjak memindahkan tripod.
.
Persetan, Kim Jaejoong. Bahkan Jung Yunho pun sudah tertipu oleh akal bulusnya. Yoochun dirundung geram. Ia sengaja berdiri lekat Fukoka. Merendengi para kru dengan raut cemas. Sementara Lina meniliknya sesekali sambil tersenyum, geligi Yoochun bergemertak. Matanya berkilat-kilat. O, tunggu saja sampai tinjunya melayap ke sudut bibir Jaejoong.
Beruntung sesi kedua, sesi solo Jaejoong. Lina kembali menunggu di bangku tamu, membiarkan Minami mengulas ulang blush on di pipinya. Perempuan itu melambai ke arahnya. Yoochun tertunduk rikuh. Ia merasa bodoh memperlakukan Lina dengan buruk. Kendati berusaha tersenyum, senyum yang nampak kandas terukir di keempat sudut mandibulanya. Hanya sesungging galur suram alih-alih tak memberikan sedikit semangat untuk perempuan itu.
“Lina, on location!” seru Yunho. Pemuda itu sekilas menilik ke arah Yoochun. Ia terlalu praktis menilai pasangan baru Lina. Park Yoochun dan Kim Jaejoong tentu sangat berbeda. Penampilan mereka boleh terlihat sama. Tuksedo subtil, lapel tersetrika rapi, tapi tidak untuk perangai pencemburu Yoochun. Kim Jaejoong tidak seperti itu, bahkan si Megalomania takabur itu lebih cenderung bersikap acuh tak acuh.
Lina berdiri lekas, memapah gaun sutranya yang berjumbai menyapu tanah. “Hati-hati, Lina-san,” sahut Minami, turut membantu.
“Okay, kalian akan berdiri bersehadap di depan mimbar. Dan … o ya, Takumi-san, kau bisa berdiri di belakang sana.” Yunho menunjuk mimbar di hadapannya.
“Fukoka, Eruka-san, boleh tolong taburkan daun-daun kering itu,” Yunho mengakhiri persiapannya dengan tempik riuh. “Baiklah.” Tubuhnya membungkuk, mencari fokus yang tepat. Pemuda itu sepenuhnya menyerahkan urusan tata gerak pada Kim Jaejoong.
Lina nampak sumringah, tersipu-sipu menyembunyikan wajah di balik roncean lili yang digenggamnya. Bunyi hing merendengi akhir sesi kedua. Melihat Jung Yunho yang sejurus bertolak pinggang, Yoochun melonggarkan tali dasi di lehernya.
“O, baiklah. Kerja bagus, Jaejoong-san. Ini yang terakhir. Lina-san, kalian akan harus nampak seperti sepasang suami istri yang saling mencintai,” papar Yunho, berjalan mundur sembari membopong tripod-nya. Jaejoong mengganjur pucuk jemari Lina. Rumpun-rumpun lentik itu berlindap dalam genggamannya. Mereka berdiri bersehadap. Jaejoong dengan sesungging senyum tipis menghiasi bibir, sedangkan Lina tergelak lepas melingkarkan sebelah lengannya di leher pemuda itu. Jaejoong mulai menyentuh dagu Lina dan membenamkan wajahnya dekat dengan telinga.
Tak dinyana, kesadaran Jung Yunho meruap seketika; sibuk menekan shutter pada kamera. Lima menit tanpa suara, Fukoka dan kru properti lainnya tergelak bersama tempik riuh. Dedaunan cheri berjebai, membubung di antara mereka. Lain persoalan mengenai Park Yoochun.
“Ya! Kim Jaejoong!” Tanpa permisi, advokat muda itu berjalan dengan langkah jenjang mendekati podium muka. Tangannya lekas menarik paksa tubuh Jaejoong.
“Hei!” pekik pemuda itu, mendorong tubuh gempal Yoochun yang menarik-narik keliman tuksedonya.
“Yoochun-ah, apa yang kaulakukan?!” Lina berteriak gemas. Kakinya beringsut mundur dengan langkah tertatih.
“O, demi Tuhan, Lina! Kau tak melihat wajah itu. Dia memanfaatkanmu!” tuntut Park Yoochun, menuding-nuding wajah Kim Jaejoong.
Jung Yunho dan kru lainnya lekas mendekati podium. Dana berdecak geram. Apa lagi yang hendak menghancurkan sesi pemotretannya? Park Yoochun tak mengacuhkan tatapan sinis itu. Dagunya terangkat agul. Kelopak sipitnya terpicing. Tak ada lagi obrolan kopi sebagai opus pembuka, ia menarik Lina ke belakang punggungnya.
Lina enggan membantah. Rautnya nampak nanar. Bukan salahnya mengajak advokat tempramental itu ke lokasi pemotretan, bahkan ia tak pernah mengira, Yoochun akan bertindak seheroik itu.
“O, Park Yoochun rupanya disulut cemburu.” Kali ini tawa Jaejoong menggelegak. Entah apa yang ditertawakannya. Yoochun mengganjur lapel tuksedo pemuda itu.
“Hei, hei! Lihat tanganmu! Ini tuksedo mahal,” Kim Jaejoong berbicara dengan gaya mengejek, tangannya sibuk mengebut cengkeraman Yoochun. Cibirannya terdengar murahan lantaran advokat itu mungkin memiliki koleksi musim gugur Jean Yves di kapstok klosetnya. Tapi tidak untuk memedulikan merk Ralph Lauren sekalipun, polah Jaejoong barusan tak ayal membuat Park Yoochun disarati amarah.
“O, berapa pun harganya, kau tak patut untuk menyentuh Lina!” sembur Yoochun.
“Menyentuh Lina?” dengus Jaejoong. “Itu hanya sebuah pose Park Yoochun. Seharusnya kau mengerti profesi teman wanitamu. Bahkan ia tidak protes jika kau berpergian bersama sekretaris seksi itu.”
“Tutup mulut, Jae!” Telunjuknya teracung. Kali ini tinjunya nyaris mengenai pipi Jaejoong. Jung Yunho terlebih dahulu maju. Mengekang kedua tangan pemuda itu, sedangkan Dana menarik modelnya mendekati tangga turun.
Park Yoochun meronta. “Lepaskan, Yunho-san! Dasar kau brengsek, Jae!” Pinggangnya menggelinjang, disusul tendangan kosong mengempas udara.
“Apa yang terbersit di benak kopongmu, Jae?” Dana bertanya separuh berbisik, lekas menarik Jaejoong ke sisinya. Pemuda itu enggan menjawab. Bibirnya terkatup rapat, namun detik berikutnya ia sadar, mereka tak memerlukan jasa arbitrase dari seorang Dana.
“Hei, Kim Jaejoong! Akui saja lakon bodohmu!” sergah Yoochun, terjajar mundur. “Jauhi Lina!”
“Aku sudah tidak ada sangkutpautnya dengan Lina, dasar bodoh! Kau ingin bukti huh?”
“Omong kosong!”
Dana mengganjur manset lengan Kim Jaejoong. “Tidak perlu berdebat dengannya lagi,” imbuhnya. Pemuda itu menatapnya sepintas. Rona mata yang nampak ganjil, namun Dana tak mengerti apa maksud semua itu. “Jae?” Bibir Dana merekah tipis. Seketika itu juga cengkeramannya balas meraup jemari Dana. Ada yang salah pada perangai Jaejoong. Ia tidak pernah menatap Dana bersalutkan kilatan seperti itu. Raut lirihnya tergantikan senyum culas, tanpa dikira bibir itu memangut bibir perempuan di hadapannya.
Dana tak sempat memekik. Jantungnya terlanjur mencelus, lejit ibarat meninggalkan rusuk. Buku-buku jarinya memutih lantaran sekuat tenaga meremas pelisir blazer. Ciuman itu terasa liris dan menyesakkan. Air matanya terlanjur bermuara, kendati Dana berusaha menyusut rinai-rinai itu di pelipir mata. Lantas, ciuman itukah yang ia harapkan selama ini? Pagutan berhasrat dari seorang pemuda tampan bak Kim Jaejoong.
Lina benar-benar tercengang; Yunho tepekur, melonggarkan cengkeramannya di lengan Yoochun. Ulu hatinya lagi-lagi terasa perih, ditikam sembilu; kedua kalinya sejak ia bertemu sosok perempuan itu. Jung Yunho bisa saja berlagak seperti Yoochun, menarik Dana ke sisinya dan memaki Kim Jaejoong dengan semena-mena. Ya, Jaejoong pasti berharap ia melakukan aksi gila itu padanya. Tapi, bagaimana dengan Dana? Ia tak ingin membuat kernyih rancak itu terhapus dari wajahnya.
“Sekarang kaupercaya ‘kan?” Jaejoong enggan menatapnya, malah sinis memperhatikan Yoochun yang kehabisan kata. Pria itu membisu. Lina berjalan menghampirinya.
“Er, maafkan tingkah Yoochun, Jae.” Tubuh lencirnya membungkuk, mengajak pemuda itu menuruni podium muka. Raut Yoochun masih merah padam. Sesekali kepalanya berputar. Menyematkan sebersit kebencian. Ya, lihat saja nanti, Kim Jaejoong, jargon itu berbisik nyaring di benaknya.
Jung Yunho nampak tak nyaman dengan situasi itu. Bukan keinginnya terperangkap pada intrik Kim Jaejoong. Dana tak kunjung mendangakkan kepala, lantas apakah perempuan itu menangis?
“Da …” Jung Yunho terpaku, nama itu seolah tersangkut di pangkal lidahnya. Entah perasaan apa yang tengah ia rasakan. Murka, menilik Dana diperlakukan rendah? Atau malah turut bahagia lantaran perempuan itu merasakan ciuman manis di bibirnya? Tak ada elegi yang mampu menginterpretasikan hal itu ke dalam aksara.
Jaejoong bergegas turun. Tingkahnya semrawut, ia menarik paksa Dana yang tertunduk kaku. Yunho berdiri di tempatnya, bertanya-tanya: apa yang sesungguhnya terjadi di antara mereka berdua?
****
Emoto memandang jejap ke dalam gelas karton itu. Silindris reyot yang bernaung dalam genggaman Jung Yunho, tatkala keduanya mengambil tempat di trotoar Omote Sando. “Lagi-lagi espresso, ini sudah pukul sebelas malam, Yun,” tegur pemuda itu.
Jung Yunho menghela napas sejurus. Membiarkan bibirnya menyesap puntung yang terselip di antara jemari. Rautnya pucat. Tatapannya sayu, entah apa yang dipandangnya di atas sana. Meneliti satu per satu gemintang yang bergayut atau malah memperhatikan lagam lenggok kerlipan lampu yang berjajar di kanopi gerai. Rokok mungkin bisa menjadi dalih. Membuat Yunho lupa sedetik akan kata “tersakiti”.
“O, Yun. Kau sudah menghabiskan bungkus keempat, tidakkah itu cukup?” Emoto merebut puntung rokok itu dan melemparkannya ke tanah.
“Hei! Apa yang kaulakukan?!” Yunho menggerundel.
“Aku tak tahu harus berkomentar apa, Yun. Ada masalah dengan Dana?” Ia mengenyakkan tubuh lebih dalam. Membiarkan punggungnya menyentuh sandaran bench.
Yunho meniliknya sinis. “Setidaknya kau harus membiarkanku merasakan sedikit lagi—”
“—nikotin?” Bahu Emoto mengedik. “Entah apa yang ada di otakmu, Yun. Nikotin hanya akan membuatmu semakin gelisah.” Sol sepatunya berkumpar di atas aspal, menghancurkan puntung itu menjadi serpih.
Jung Yunho sengaja menutup timpaninya untuk simposium amatir itu. Percuma Emoto berceloteh. Ungkapannya mungkin hanya ditujukan untuk khalayak sehat, bukan untuk Yunho yang kepalang sinting.
“Aku tahu, kau begini karena Dana ‘kan?”
“Kau mengetahui kejadian itu?” Yunho terkesiap.
“Er, bisa dibilang begitu. Dana meneleponku tadi siang.”
“Untuk?” Untuk apa Yunho bertanya, toh itu bukan urusannya Dana hendak bercerita pada siapa.
“Aku tak mengerti hubungan kalian. Kau telah mengatakannya ‘kan senja itu?” Emoto mengalihkan topik.
“Mengatakan—?”
“Geez, sudah kutebak!” sela Emoto. “Senja itu, di Starbucks. Kau seharusnya menyatakan perasaanmu, Yun,” tandasnya, menggertakkan gigi. Pemuda itu menarik gemas pelipir beanie-nya.
Yunho tersenyum getir. Sudut bibirnya melengkung formalitas alih-alih menyematkan semangat. Apa artinya ungkapan itu. Dua kata yang disembunyikannya semasa tingkat akhir; “aku menyukaimu”. Ia bahkan tidak pernah membayangkan, Dana sempat meresponsnya.
“Lantas, apa yang membuatnya senang kala itu?” tanya Emoto.
“Aku menerima tawaran memotretnya.” Yunho mengguncang-guncang kecil gelas kartonnya, mencuri lihat sesekali ke arah uap-uap yang berjulai naik. “Untuk menyenangkan hati Jaejoong, katanya.”
Mata Emoto membeliak. “Kau gila, Yun! Kau mau dimanfaatkan olehnya?” Sesungguhnya Shuji Emoto tak habis pikir dengan pemikiran sahabatnya. Tak ada salah dalam strategi dua minggu lalu; tempat yang atraktif, bahkan tergolong elitis; jamuan eksklusif nan elegan yang digemari keduanya (walaupun ia membenci setengah mati caramel brulée-nya); terlebih raut Dana kala itu. Ia masih ingat akan suaranya yang terdengar antusias ibarat genta pemukul. Berdenting merepetisi kegugupan Yunho. Tapi, coba lihat. Apa yang dilakukan oleh pemuda pilon yang satunya. Ia malah menyalahartikan reuni itu sebagai plasebo.
Omong kosong soal rasa sakit hati Jung Yunho terlanjur dalam alih-alih dapat disembuhkan. Emoto benci perangai pesimis itu.
“Emoto …” panggil Yunho lirih. Sebelah tangan jenjangnya masih terjulur, mendiami bagian atas bench, sementara bibirnya meniup-niup pinggiran gelas. “… apa aku, er … membosankan?”
Tidak perlu dipertanyakan dua kali. Kata “membosankan” seolah tak mau pergi di benaknya. Bisikan Kim Jaejoong; sikap Dana yang apatis setelah kejadian itu. Yunho bergidik, merapatkan celah jaket parasutnya. Ia tak bermaksud apriori, menduga-duga apa tujuan Jaejoong menghinanya dengan kata semacam itu.
Dahi Emoto berkerut. “Yun, apa yang kaubicarakan?”
“Er, entahlah.” Ia terdiam. “Lupakan saja.”
“Eits. Tidak dapat semudah itu. Sungguh. Aku tak pernah dapat memahamimu dengan tepat. Kau tahu itu ‘kan, Yun?” Kelopaknya mendelik.
Jung Yunho mengangguk. Sifatnya jelas bertolakbelakang dengan Emoto—si sanguinis. Ia lebih memilih menjadi pemurung dan menyimpan kata di dalam hati, ketimbang berceloteh layaknya mikrofon panggung.
“Ya, sifatku yang membosankan, hingga Dana dan …”
“—kau tidak seperti itu, Yun,” sanggah Emoto. Bukan salah Yunho menilai dirinya terlampau rendah. Perasaan tak menentu itu telah menghuni ruang di hatinya sejak lama. Bak datang dan pergi, Dana hanya menghinggapi sangkar emasnya dalam hitungan detik, lantas raib mencari pria lain.
Emoto menepuk bahu Yunho simpatik. “Aku mengenal Yunho sebagai si monokrom, tapi bukan berarti kau membosankan.”
“Itu ‘kan sama sa—”
“—sudahlah, Yun. Bagaimana jika aku mengganti rokokmu barusan.”
Belum sempat pemuda itu menyahut, Emoto sekonyong-konyong berdiri menghampiri vending machine. Yunho tersenyum, sejurus tubuh gempal handainya berbalik. Mengentakkan langkah-langkah becek di limpasan hujan, sembari menggenggam dua kaleng minuman.
O, sake! Benda itu bak mengilap di genggaman Emoto. Yunho masih penasaran, apa yang membuat sahabatnya tak menghuni konter kelab malam itu.
“Er, arigatou.” Yunho menerima kaleng yang diangsurkan padanya. “O ya, ada masalah di kelab?” Hanya sekejap mata topik pembicaraan mereka praktis bergulir.
“Tidak juga,” jawab Emoto, mengedikkan bahu. Bunyi desisan ringkas itu mengakhiri celetukannya. Ia menyesap pinggiran kaleng, lantas berdecak kagum dan membeliakkan mata. “Sudah lama rasanya aku tak minum sake kalengan,” erangnya.
Yunho memperhatikan Emoto sekilas; menatap kaleng di genggamannya. “Cola?!” Kerut-merut mengisi mimik wajahnya. “Aku ingin sake, Emoto.”
“Eh?”
“Ini cola, bukan sake,” papar Yunho, menyodorkan kaleng dingin itu lekat-lekat di wajah sahabatnya. “Kau sengaja ‘kan?”
“Tidak juga.” Pemuda sintal itu nampak acuh tak acuh, menyeruput sake kalengannya.
Yunho berdecak tak sabar. “Agaknya kau tak pantas menyandang gelar bartender.”
Emoto tergelak, mengacuhkan cibiran itu sebagai seloroh. “Aku akan melayanimu besok, Yun. Ya … jika stok absinthe di kelab kembali terisi,” ungkapnya panjang lebar. Bukan masalah absinthe atau liquor, Yunho tahu, Emoto enggan mengangsurkan seloki itu padanya.
“Lagi pula soda terasa lebih enak ketimbang minuman-minuman itu, apalagi kopi. Minuman apa itu?”
Yunho terkesiap alih-alih membuka kaleng cola-nya. “Kopi minuman keren, asal kau tahu. Hanya saja kau tak pernah menikmatinya.”
“Ya, ya, ya. Kau menang Jung Yunho. Tapi terima saja kaleng soda itu.”
Yunho membuka kaleng cola-nya dengan enggan. Menenggak cairan kelam itu sedikit demi sedikit. Mencicipi gelembung soda yang terlanjur meruap ke permukaan. Rasa manis itu ibarat bercampur dengan empedu. Menanggapi harinya yang bermuram durja, mata sayu Yunho melempar tatapan ke arah jalur arteri distrik Shibuya. Ribuan kendaraan disiuri ratusan pejalan kaki. Riuh rendah menyarati kepalanya. Ia ingin hari itu lekas berakhir. Tanpa diselingi tawa atau pun sekelebat rasa. Kelima inderanya terasa kebas. Malas bekerja. Pemuda itu lebih memilih untuk termangu, menekuri lubang kaleng alih-alih memutar kembali memori pagi tadi.
Tak habis pikir, Kim Jaejoong serta-merta menantangnya untuk sebuah alasan yang berambigu, mengatainya sebagai seorang yang membosankan, lalu memagut bibir Dana dengan kasar. Tak ada perhitungan numerik sebelumnya, hanya sebuah gerakan terburu-buru yang menjadikan sosok pemuda itu terlihat kontras alih-alih monokrom seperti Jung Yunho.
“Apakah cola-mu terasa enak?” tanya Emoto.
Jung Yunho menanggapinya kerlingan sebelah mata. “Biasa saja,” ungkapnya. Rasa anggur artifisial itu sudah lama tak menjejaki kerongkongannya. Memang benar, Yunho lebih menikmati pahitnya kopi double shot ketimbang kopi decaf seperti Emoto. Decaf hanya untuk pecundang yang mencari kebahagiaan di sela kesenjangan dunia.
“Ah, setidaknya itu terasa manis ‘kan, Yun? Aku heran, mengapa kau gemar sekali mengisi lambungmu dengan benda-benda pahit.”
Yunho tak menjawab. Hatinya berusaha tak mengada-ada, tetapi tak seorang pun akan percaya—sama seperti Kim Jaejoong yang mengecap dirinya sebagai seseorang yang membosankan.
****
Filed under: fan fiction, series Tagged: Dana, Jung Yunho, Kim Jaejoong, Lina, Liquor That Never Brewed, Park Yoochun, Shim Changmin, Stephanie
