Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

SALADBOWL CONTRIBUTOR PROJECT – #8

$
0
0

Rain, His Girlfriend and I

By Zora

.

Epistemologi: Teori baru tentang Rian.

.

Pagi yang suram. Dari jam empat subuh hujan mengguyur Bandung. Padahal sekarang sudah bulan Mei. Yah, bukan isu luar biasa. Mau musim kemarau ataupun hujan, Indonesia tak memiliki kepastian soal cuaca. Yang lebih melelahkan lagi kalau sudah banjir, kedinginan, terus jalanan macet, baju setengah basah, akhirnya telat ngampus. Emang sih bukan aku doang yang dapet sial, tapi dapat nilai minus di mata dosen killer itu rasanya dunia menjauhkan aku dari yang namanya IPK 4.

“Oy, Lofi. Masih pagi muka udah ditekuk aja.”

Aku melirik ke samping, seorang mahkluk hidup bertubuh tinggi dengan kulit putih yang bikin ngiri datang. Layaknya sang surya di pagi buta, senyumnya terlalu cerah untuk cuaca sesuram ini. Oke, aku terlalu berlebihan. Kami berjalan beriringan, tertinggal teman kelas yang lain yang sudah sampai Lab. Komputer lebih dulu.

“Masalahnya tadi pagi, ada mobil kurang ajar lewat depan aku. Nyiprat air kubangan sampe jas hujan aku basah enggak karuan. Untungnya enggak kena baju, coba kalau kena baju, mungkin aku harus balik ke kossan, terus nggak ikut kuliah jam pertama.” Aku mungkin berbicara dalam satu tarikan napas.

“Hahahaha … sabar Neng. Hidup itu memang pedih.” Dia tertawa seolah nasib sial yang kualami pagi ini memang seharusnya terjadi.

Rian teman semasa SMP yang ternyata satu kampus dan satu program studi Teknik Informatika denganku. Dia yang dulu pendek, berkulit kuning langsat, dan berwajah super polos. Kini berevolusi jadi sosok idola Korea. Ganteng sih dari dulu, tapi tingginya itu buat aku jadi mahkluk super pendek kalau berdiri di samping dia.

Lelaki itu lalu bercerita soal pacarnya, Donna. Seperti biasa ceweknya itu manjanya enggak ketolong. Minta Rian antar-jemput pake mobillah, minta ditraktir ke restoran mahallah, minta diantar belanjalah, minta diantar ke studio foto bareng temen-temen ceweknyalah, dan masih banyak lagi. Kadang lihat Donna, mengingatkan aku dengan film Legally Blonde. Donna itu termasuk cewek pinter di bidang akademik (kata orang-orang, aku enggak tahu bener apa enggak. Karena aku enggak satu kelas sama Donna), tapi sikapnya yang sok artis itulah yang enggak aku suka. Meski membandingkan Donna dengan Elle adalah kesalahan – jelas Elle jauh lebih baik. Yang bikin aku heran adalah Rian nurut-nurut aja sama cewek itu. Sekalipun pacarnya, bukan berarti harus nurut kayak gitu, kan? Rian bukan suami Donna.

“Yah, enggak gitu juga sih, Fi. Gue emang bukan suami Donna, tapi gue kan pacarnya. Jadi supir itu kayak udah jadi hakekat. Perhatian gitu sama pacar sendiri.” Rian berkata dengan ragu. Aku tahu dia pasti sebal juga dengan kelakuan pacarnya.

“Hakekat? Well, itu sih terserah kamu. Mau memosisikan diri sebagai pacar yang seperti apa.” Aku mengangkat bahu pasrah, hal seperti ini sudah kukatan padanya berulang kali. Tapi seperti biasa pula, masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

“Yah, kadang bikin ngeselin juga. Tapi, gue tahan.”

“Jangan ditahan terus, entar kamu kena gangguan psikosomatik. Bisa mati muda loh.”

“Wah, udah ngedoain yang enggak-enggak, nih.”

“Hahaha … Sabar Kang, hidup itu pedih.” Aku terkikik geli, ingat semasa Rian PDKT-an sama Donna. Bilang Donna cantik, asyik diajak ngobrol, nyambung dan seterusnya.

“Ah, apa gue putus aja?” Gumannya untuk kesekian kalinya.

“Terserah, toh kalian berdua yang rasain kecocokannya. Kalau kamu rasa Donna adalah tambatan hati yang selama ini kamu cari. Kenapa enggak dilanjut?” Ada nada sindiran yang aku tambah, berharap dia paham. Setidaknya mengerti maksudku, dia harus mulai cari wanita. Bukan hanya cewek cantik yang memperlakukan Rian layaknya asisten pribadi.

“Iya juga sih. Lihat nanti aja deh. Eh iya, tugas penelitan lo mau apa?”

Tugas, oh tugas. Siapa yang menyangka pagi ini akan lebih buruk dari yang kuduga? Kenapa harus ada yang mengingatkan tugas? Di kala tak seharusnya aku mengingat-ingat hal seperti itu. Topiknya saja masih dalam perjalanan, belum tiba di otakku.

“Enggak tahu belum kepikiran. Aku rasa aku bukan orang yang ahli dalam bidang meneliti dan menyusun karya ilmiah,” ujarku ala melodramatis.

“Alay bingits lu. Nilai tes kemarin lu paling gede sekelas.” Tes kemarin yang dimaksud itu tes praktik. Membangun jaringan wireless dan mem-proxy web menggunakan Debian 5,0. Aku masih ingat judul tes praktiknya, karena untuk pertama kalinya di semester ini aku mendapat nilai 85. Murni tanpa ada bantuan kanan-kiri.

“Apa hubungannya? Nilai besar itu enggak berarti menunjukan orang itu pintar, Bro. Lagian, ini penelitian. Yang parahnya sih, harus berhubungan dengan IT. Aku enggak punya ide sama sekali.” Aku mengeluh ketika kami tiba di Lab. Komputer.

“Enggak harus berhubungan dengan IT, menurut gue. Kayak pencipta animasi Spongebob Squerpants, Stephen Hillenburg. Dia ahli biologi kelautan, bukan animator. Atau penemu mesin karoke, Daisuke Inoe. Dia sama sekali enggak bisa nyanyi atau tahu partitur lagu. Jadi, menurut gue, lebih baik cari topik penelitian yang lo suka. Lagian mahasiswa diploma kayak kita, minimal meneliti sampai ketemu teori baru. Apa itu istilahnya? Epistemologi?” Rian duduk di depanku. Kami mengambil tempat di sebelah kiri kelas, jauh dari pintu masuk, dan dekat dengan jendela.

“Iyah juga sih, kayak pencpta Mickey Mouse, siapa namanya? Aduh aku lupa. Katanya dia takut sama tikus, tapi dia bikin Mickey Mouse sebagai tokoh utama kartun di serial Disney, kan?”

“Nah itu tahu, dari hal dibenci aja ide bisa muncul.”

“Tapi aku belum tahu, apa yang kusuka dan apa yang enggak aku suka.”

Kepalaku melayang ke pelajaran minggu lalu. Dosenku mengatakan, setiap perguruan tinggi di Indonesia harus melaksanakan Tri Darma Perguran Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tugas penelitian kali ini semacam latihan. Apabila hasilnya bagus, penelitan itu bisa diajukan ke manejemen bagian kemahasiswaan. Dan apabila diterima, akan mendapatkan dana untuk penelitan lebih lanjut.

Kalau sudah ngomongin uang, pasti aja semangat. Hahaha…

“Kenapa ketawa sendiri? Ada yang lucu?” Rian membalik kursinya menghadap ke arahku.

“Enggak. Kayaknya seneng aja gitu, kalau dapet uang buat penelitian.”

“Mata duitan lu.”

“Emang kamu enggak?” Rian tersenyum geli, tak memberi jawaban atas sindiranku. Karena siapa sih yang di dunia ini tidak senang dapat rezeki?

Dan entah kenapa, pagi suram itu berakhir lebih cepat dari yang kuduga. Di balik kaca jendela, langit mencerah. Hujan sudah berhenti. Seberkas cahaya menumpuk melewati kaca jendela. Membias jadi suatu yang lebih indah daripada pelangi. Ada kehangatan yang lembut ketika cahaya itu kusentuh. Mungkin ini yang namanya bahagia, merasa senang dengan hal sederhana sehabis menderita karena hal-hal konyol beberapa jam yang lalu. Ya, iya, aku tahu, aku harusnya tahu ada pelangi sehabis hujan.

“Lu cantik juga, ya?” Rian berbicara halus, sangat halus malah.

“Hah?” Aku mengalihkan pandanganku padanya.

“Kamu cantik, kalau lagi senyum kayak gitu.” Aku terdiam sesaat, Rian yang duduk di depan mejaku malah tersenyum seperti anak SD. Kepalaku masih memproses, menimbang-nimbang apa perkataannya itu hanya candaan atau memang dia berkata jujur. Dan aku tak berharap kedua hal itu benar.

Aku mendengus, berharap menyembunyikan keterkejutanku. “Apaan sih? Ini masih pagi, enggak usah bercanda.” Meski sekarang sudah hampir jam sebelas.

“Siapa yang bercanda? Gue serius.”

“Ya, iya. Kamu serius bohongnya, lagian lebih cantik Donna daripada aku, kan?” Aku sungguh tak berharap mendengar jawabannya. Oh mulutku yang tolol, kenapa kau harus mengatakan kalimat seperti itu?

“Ehmmm, lu cemburu?”

Astagfirullah. Ini anak ….” Aku enggak punya kosakata yang cocok untuk mendeskripsikan, bagaimana Rian begitu menyebalkan di saat seperti ini. Apalagi matanya tak menolak untuk menatap mataku langsung – malah sebenarnya aku yang mengalihkan wajahku.

Lucunya, kami hanya saling menatap. Seolah menyelami satu sama lain. Seperti aku yang berusaha memahami isi kepala Rian. Susunan seperti apa yang membuat dia mengatakan hal itu. Cantik bukanlah identitasku. Dalam arti sebagai perempuan, aku bukanlah gadis yang pandai memoles wajah. Tidak seperti Donna si Legally Blonde. Dan sekarang, secara tiba-tiba, seseorang menyebutku cantik dengan cara yang benar-benar berbeda. Membuatku bingung, apa ia bersungguh-sungguh atau hanya berpura-pura?

“Cantikan lu, serius.”

“Ha. Ha. Makasih aja deh.”

“Sama-sama.”

Ia tersenyum sebelum bebalik ke arah papan tulis, ketika Pak Agus masuk kelas dan memulai kuliah. Hal baiknya, aku rasa aku sudah punya satu ide untuk penelitian.

.

.

.

.Tamat.


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Rain His Girlfriend and I, Saladbowl Contributor Project

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles