Me Gusta
by : tewtri
.
“Aku nggak mau nonton film Star Wars.” Meletakan burger ayam crispy, aku langsung menata raut merajuk.
Laki-laki di seberang dudukku tak ayal terkejut. Dia menyeruput instan cola biru dari dalam gelasnya sebelum memutuskan untuk secara penuh memerhatikanku. “Loh, tapi kita kan baru saja selesai lihat itu?”
“Y-ya, tapi aku nggak mau,” kekeuhku disela salah tingkah yang mulai menjamah. Oh, kenapa sih aku selalu nampak bego bila berhadapan sama Gusta?
Berbanding terbalik dengan ekspresi super menyebalkanku, Gusta malah tersenyum lirih. Ih, kok wajahnya sulit buat berhenti cakep yah?
“Oke. Kita beli dua tiket lagi.”
“Yah?”
Kulihat dia melirik arloji hitam yang mentereng menghiasi pergelangan sebelah kanannya. “Jam tujuh lebih lima. Tahun depan, bulannya summer movies di Indonesia mungkin akan kerasa beda. Aku antri dulu, ya?”
Kawasan tempatku berdiam adalah tempat favorit kami. Hilir-mudik pengunjung restoran fast food yang membawa nampan adalah pemandangan yang sering mematenkan diri sebagai objek menarik bagi retinaku pribadi. Bahkan bau pengharum rasa lavender ini secara samar juga menerbangkan aroma sedap gorengan ayam kecintaanku. Namun, entah mengapa ini serasa salah pun tak biasa.
Dari balik dinding kaca, sosok Gusta yang berkemeja garis-garis bak blester terus melaju. Dia, Gusta yang sama. Dia masihlah laki-laki pemilik kalimat, ‘Will you marry me, Meta?’ tiga tahun lalu. Tetapi, bagaimana mungkin ia lupa, jika tak sekali pun dia pernah meninggalkanku. Dan hari ini, di atas kursi bulat nan putih ini, baru saja Gusta membuat ‘pertama kali’ yang lainnya dalam kehidupan rumah tangga kami.
***
“Me, bangun dong! Katanya mau masak?” Aku mengerjap-ngerjap silau. Matahari pagi memanglah musuh abadi. Sambil menguap kecil, aku lantas menggumakan selamat pagi kepada laki-laki berapron merah menyala yang sedang menungguiku lengkap bersama cengiran sok gelinya di sisi ranjang. Huh, apa aku seburuk itu jika baru beres tidur?
“So, kita bikin menu apa pagi ini?” tanyaku seraya mulai pelan-pelan bangkit dari kasur super nyaman yang mendekapku semalaman suntuk.
Gusta memasang tampang mode berpikir. Yang demi Tuhan, usia dua puluh sembilan membuatnya tambah matang nan memesona.
“Em, appetizer-nya bisa kita beri nama mandi.”
“Maksud?”
“Ayo ke kamar mandi, chef nggak boleh butuk,” Gusta begitu saja menggandeng tanganku serta menuntun masuk ke bilik bersih-bersih dalam kamar. Dia menempatkanku di depan wastafel, sambil terus sibuk melapisi sikat dengan sebulatan pasta gigi.
“Gosok gigi itu penting. Kamu dilarang malas, nggak ingin kan mampir ke dental clinic lagi?” katanya saat menyodorkan alat perang divisi mulut tersebut.
Sesaat aku memandang pantulan muka Gusta di cermin. Benar, saat tahun pertama pernikahan kami, aku membuatnya pulang mendadak dari kegiatan workshop yang diselenggarakan hotel tempatnya bekerja. Sore itu, dia menjeblakan pintu utama dalam keadaan basah kuyup. Bogor-Jakarta di eliminasinya dengan satu setengah jam saja. Sakit gigi. Dia bahkan tak memperbolehkanku makan yang manis-manis satu bulan penuh sehabis peristiwa itu.
“Gusta,” sapaku pelan sejenak setelah berkumur.
“Hm?”
“Boleh nggak, kamu saja yang masak?”
Dia seperti hendak bertanya tapi selepas menghela napas samar, senyuman andalannya kembali memenuhi pengelihatanku. “Apa pun.”
***
“Kurang apa?” Gusta menantiku berkomentar. Alisnya bertaut lucu sekali. Padahal harusnya dia tak punya alasan untuk merasa minder. Sembilan belas tahun masak, tiga tahun belajar di Swiss dan jadi koki utama salah satu hotel bintang lima di kawasan Menteng. Perlu yah dia ragu?
Menyendokan chocolate fondant dengan lumuran es vanila sang dessert, aku lantas mengacungkan dua jempol ke udara. “Absolutelly delicious! Barvo Chef Gusta!”
Ia lagi-lagi tertawa. Namun tiba-tiba ekspresi bahagianya justru terkesan berlebihan bagiku. Ayolah, belakangan dia sudah terlalu banyak menebar bunyi gembira. Seorang Gusta, si pelit raut muka bertingkah begini?
“Aku senang kamu suka. Eh, yah … besok aku balik kerja.”
Menghentikan kunyahan akan kue di dinding mulut, gigi gerahamku tanpa sengaja menjempit segumpal daging pipi bagian dalam dengan kencang. Serta merta aku dihantam sebingkai ingatan yang bahkan tiada henti mengusik tidurku di malam-malam sunyi. “Emang besok sudah tanggal satu?”
“Hm. Kamu mau lihat kembang api di mana? Kabarnya ancol bakal bikin fireworks party gede-gedean. Mau ke sana?”
“Cuma di akhir tahun ini saja, aku nggak ingin kemana-mana. Kamu bakal temani aku di rumah kan?”
Gusta diam, pasalnya kami memang tak pernah berdiam diri dalam rumah saat tahun baru datang.
“Aku mohon. Hanya berdua sampai jam dua belas. Seperti janji kita.” Pertama kali yang berikutnya.
***
Aku punya tiga tahun baru yang kulewati bareng Gusta. Tapi tahun ini aku tidak bisa setenang bertahun-tahun lalu. Dulu, tanggal satu adalah awal, kami akan mengarungi 364 hari setelahnya, membagi banyak hal berdua dalam ikrar keluarga tapi kini, jumlah harinya tetaplah sama. Namun tanpa Gusta apa hidup akan semenarik sebelumnya?
Kami adalah bukti bahwa cinta pada pandangan pertama itu ada. Kira-kira dua puluh detik, aku tercengang menatapnya dengan bola mata membulat. Kalimat pertama Gusta di pagi mendung itu adalah ‘Apa kamu baik-baik saja?’. Nyatanya saat lalu dia lah yang lecet dan berbaret-baret akibat jatuh menimpa aspal. Namun dengan tertatih-tatih, dia justru menggendongku yang terbisu shock karena baru selamat dari maut di punggungnya. Dia melakukan semuanya untukku bahkan ketika aku ketakutan ditanyai polisi sebab kecelakaan beruntun tersebut, Gusta selalu menyugestikan bahwa aku pasti akan baik-baik saja. Dia menjanjikan perlindungan yang amat kubutuhkan.
“Untuk tiga tahun ini, terima kasih.” Gusta mengangsurkan selembar kertas putih dengan kop tercetak bold nan tegas.
Tanggal 1 Januari. Seperti janjiku di 1 Desember kemarin, aku akan menandatangani surat cerai yang ia ajukan asal dia mau menghabiskan 30 hari utuh denganku. Hanya bersamaku.
Tanganku tanpa mampu kucegah bergetar hebat, memegangi bolpoin, air mata kian berdesakan di pelupuk sana. Kenapa aku begitu ceroboh sekaligus bodoh? Apabila love at first sight eksis adanya, bukankah cinta ala terbiasa pun mungkin terjadi?
Naila. Gusta bilang, perempuan seprofesinya itu telah mempunyai satu putri berumur empat tahun. Suaminya meninggal saat ia tengah mengandung. Mereka bekerjasama sedari setahun lalu. Beberapa kali Gusta membantu Naila entah itu soal pekerjaan maupun dalam urusan pribadi. Ia sering mengunjungi rumahnya yang memang lebih dekat dari tempat kerja. Putri Naila sangat manis, seiring bergulirnya waktu mereka pun kian dekat. Aku tahu Gusta berharap sekali mempunyai anak namun di saat mengambilku dari ayah dan ibu, bukankah dia terang-terangan berujar, jika memilikiku pun telah lebih dari cukup?
Meta Yunara, berhasil kutulis tepat dibawah bubuhan tanda tangan super abstrak. Memandangi bukti tenggelamnya kapal yang kutumpangi, pilu itu lolos dari bendungan. Terisak-isak bak kehabisan napas, dadaku memang hampa. Oksigen sang pendukung respirasiku sepanjang tiga tahun, menguap tanpa bekas.
Kenapa? Kenapa mencintai seperti menabung dalam toples? Saat kamu menutup rapat tutupnya, kamu merasa yakin bahwa dia akan aman dan tak kan ada yang mencurinya. Tapi toples tetaplah toples, ketransparanannya mustahil untuk disembunyikan. Kamu tidak tahu di luar sana, mungkin banyak orang terpedaya. Dan saat kamu temukan pengincarnya pecah bukanlah lagi sesuatu kemustahilan.
“K-kamu jahat.” Yah, kenapa dia harus membuangku setelah janji-janji itu? Tidak bisakah ia tetap menempatkanku di sisinya? Sebulan ini, sungguhkah tak kuasa menjahit hati yang pernah bertaut?
“Terima kasih.” Bukan itu. Aku butuh maaf, kenapa dia tak mau mengucapkannya?
.
.
.
***
Filed under: one shot, original fiction Tagged: Me Gusta, Saladbowl Contributor Project