Bertemu Kembali
by :Cedarpie24
.
Pada akhirnya mereka kembali duduk bersisian setelah sekian lama tak bertemu. Aleta tidak tahu haruskah ia merasa senang atau justru kesal—karena lelaki yang kini duduk bersila di sampingnya, lelaki yang menyandang status teman terbaiknya, begitu saja datang tanpa permisi seolah waktu yang mereka lewatkan secara terpisah selama ini tak pernah ada. Anggar kelihatan tak berdosa setelah meninggalkan Aleta sendirian beberapa bulan belakangan. Seolah ia tak pernah melanggar janjinya untuk selalu menemani Aleta sampai kapan pun.
Mereka berteman sejak Aleta pindah ke kota ini enam tahun silam. Aleta bukan tipikal perempuan yang mudah bergaul dengan orang-orang baru—pada kenyataannya ia sulit menerima perubahan. Maka ketika keluarganya memutuskan tinggal di tempat ini, Aleta tak bisa beradaptasi secara cepat dengan lingkungannya. Tapi Anggar berdiri di sana. Lelaki itu menghampiri Aleta, kemudian menawarkan pertemanan yang sebelumnya tak pernah Aleta dapatkan dari siapa pun. Ketika itu pula Aleta tahu, ia takan pernah sendirian lagi. Sebab Anggar ada di sisinya, menemaninya sampai kapan pun.
Waktu berlalu secepat tiupan angin, dan keduanya beranjak remaja. Mereka tak masuk sekolah menengah atas yang sama. Anggar terdaftar di sekolah negeri bergengsi sementara Aleta, berkat otaknya yang tak seencer milik Anggar harus puas dengan sekolah swasta kelewat biasa. Lalu hal yang paling Aleta takutkan terjadi. Mereka terpisah, dan Anggar meninggalkannya sendirian. Benar-benar sendirian. Tak ada lagi waktu yang dihabiskan bersama, tak ada lagi permainan-permainan kecil yang biasanya mereka lakukan. Anggar tenggelam bersama ratusan kegiatan yang menunjang nilai akademisnya, tak pernah punya waktu barang sebentar saja untuk Aleta.
Aleta pikir inilah akhir cerita mereka. Aleta pikir dirinya harus belajar menerima kenyataan bahwa Anggar tak di sisinya lagi.
Namun kemudian sore itu ketika ia berjalan memasuki kamarnya, Anggar duduk di sana. Di atas kursi belajarnya, dengan seulas senyum simpul yang harus Aleta akui begitu ia rindukan. Anggar kembali muncul di hadapannya setelah berbulan-bulan menghilang. Setelah tanpa kabar jelas meninggalkannya sendirian.
Tak ada yang bicara ketika Aleta menarik Anggar untuk duduk di atas karpet toskanya. Dulu, inilah spot kesukaan mereka berdua. Dimana biasanya keduanya duduk bersila—kadang bersisian seperti sekarang kadang juga berhadapan—lalu Anggar akan mengeluarkan sekotak kartu UNO-nya, dan membiarkan Aleta memulai permainan. Seringnya alih-alih memainkan UNO sebagaimana mestinya, Aleta lebih memilih menyusun rumah-rumah dari tumpukan kartu itu, berteriak marah ketika Anggar tanpa dosa meniup hasil karyanya lalu tergelak bersama ketika rumah-rumahannya hancur begitu saja.
Tapi kini tak ada sekotak UNO pun yang Anggar keluarkan dari saku celananya.
Lelaki itu masih mengenakan seragam sekolahnya, dan Aleta tahu Anggar tak mungkin mengantungi UNO di saku seragamnya.
Mereka diam untuk waktu yang cukup lama. Sesungguhnya ada begitu banyak hal yang memenuhi benak Aleta. Tentang kemana saja Anggar selama ini, tentang alasan apa yang membuat Anggar menjauh darinya dalam waktu yang begitu lama, segalanya tentang mereka. Tapi kemudian penampilan Anggar saat ini menarik atensi Aleta. Baru Aleta sadari Anggar kelihatan seribu kali lipat lebih ceking dari yang terakhir diingatnya. Wajahnya jauh lebih tirus dan mungkin hanya perasaannya saja, tapi kulit Anggar juga kelihatan agak pucat. Aleta bahkan menemukan kantung mengerikan menggantung di bawah matanya. Seingat Aleta, tidur adalah favorit Anggar. Lelaki itu tak mungkin melewatkan waktu tidurnya.
“Kamu kelihatan kurang oke.”itulah tuturan pertama yang melompat dari mulut Aleta.
Anggar menoleh pada Aleta, lantas mengukir senyum kecil di bibirnya.”Aku cuma kurang istirahat. Pagi, siang, malem sibuk sama tumpukan buku—kamu tahu ‘kan ayah selalu nuntut aku buat ngikutin keinginannya? Barang sebentar aja ayah nggak ngebiarin aku lengah dari belajar. Jadi yah—ginilah hasilnya.”
Ia merujuk pada kondisinya yang kurang baik.
Aleta terdiam sejenak. Sedikit banyak perkataan Anggar tadi telah menjelaskan kemana perginya ia selama ini. Aleta memang tak begitu mengenal ayah Anggar—tapi ia tahu beliau selalu menekankan pada anaknya bahwa kecerdasan dalam bidang akademis adalah segalanya, hingga tak aneh rasanya jika kini ayah Anggar tak membiarkan anaknya lepas dari belajar. Mungkin selama ini Anggar disibukkan oleh target yang ayahnya sendiri berikan.
“Udah lama ya, nggak main ke sini.”Anggar tahu-tahu menukas, matanya menyapu sekeliling kamar Aleta, mengobservasi sekitar lantas tersenyum kecil ketika menemukan beberapa perubahan di sana sini.”Aku nggak inget kamu tertarik sama Star Wars.”
Aleta menoleh pada Anggar kemudian mengikuti arah pandangannya pada tumpukan koleksi CD Star Wars di atas meja belajar. Aleta ikut tersenyum kecil. Dulu ia bahkan tak kenal dengan Jedi dan lightsabernya, namun berkat ulah kakaknya, kini Aleta tak habis pikir bagaimana mungkin hidupnya belakangan ia habiskan tanpa serial ini.
“Banyak banget hal yang berubah sejak kamu nggak sama aku, Ang.”Aleta bergumam, agak menyindir keabsenan Anggar dari hidupnya.
Mendengar ini Anggar terdiam, lelaki itu menunduk sambil memainkan jari-jemarinya. Ia kemudian menghela napas lantas kembali menatap Aleta dengan senyuman lebar.”Tapi kamu masih suka Percy Jackson ‘kan? Harry Potter? Chronicles of Narnia?”
Aleta menatap Anggar sebentar. Inginnya ia bersikap dingin atau setidaknya sedikit mengabaikan temannya ini. Namun bahkan setelah berbulan-bulan ditinggalkan, Aleta tetap tak bisa berlaku kejam pada Anggar. Pada akhirnya ia tetap membalas senyuman Anggar kemudian menyahut.”Jelas, dong.”
“Kalau gitu kamu masih suka nulis?”Anggar lagi-lagi bertanya.
“Mm-hmm.”Aleta bergumam sebagai jawaban.”Kamu bisa liat berbundel-bundel cerita yang udah aku tulis belakangan—tapi yah, masih sama kayak dulu, belum ada satu pun yang diterbitin.”
Anggar terkekeh mendengar ini, sebelah tangannya terangkat untuk mengacak puncak kepala Aleta. Gerakan di luar refleks yang tak pernah bisa ia hentikan.”Jangan nyerah. Apa pun itu asal kamu suka, kerjain aja terus. Pada akhirnya Tuhan bakalan liat kesungguhan kamu, dan ngebayar semua usaha yang udah kamu kerjain.”
Sebelah alis Aleta berjingkat, membentuk raut wajah jenaka.”Woah, sejak kapan seorang Anggar jadi bijak gini?”
Anggar tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.”Bukan bijak. Cuma ingin nyampein apa yang mungkin nggak akan bisa aku lakuin.”
Sebelum Aleta sempat mencerna maksud perkataan Anggar tadi, lelaki itu telah terlebih dulu menepuk kedua tangannya kemudian menatap Aleta lurus-lurus. Sorot matanya serius namun lembut di saat bersamaan.
“Nah, masih pengen jadi penulis?”ia bertanya lagi. Aleta tidak mengerti, tapi ia rasa Anggar yang kini dihadapinya sedikit lain dari Anggar yang dulu ia kenal. Atau mungkin waktu beberapa bulan telah membawa banyak perubahan bagi Anggar—seperti yang ia katakan sebelumnya.
Aleta menggaruk tengkuknya lantas memasang senyuman kikuk.”Yah—sebenernya obsesi jadi penulis masih ada, sih. Tapi belakangan aku liat kompetisi masak di tivi, dan… aku pikir chef keren juga.”
Cengiran lebar mengembang di wajah Aleta setelahnya. Dia tahu di usianya yang masih labil ini keinginannya pun masih belum pasti. Tapi Anggar mampu memakluminya karena kemudian ia mengangguk kecil.
“Nggak masalah, mau jadi apa pun boleh.”ujarnya. Sekilas Aleta rasa ada yang berubah dari sorot matanya ketika kemudian ia meneruskan.”Asalkan ikuti kata hati kamu, Let. Hati kamu nggak pernah berbohong tentang apa yang kamu inginin. Hati kamu tahu apa yang terbaik yang bisa buat kamu bahagia. Jangan biarin siapa pun menentang kata hati kamu—lakuin sesuai kata hati kamu dan kamu nggak akan pernah nyesel.”
Aleta mengerjap beberapa kali seusai Anggar bicara, mulutnya setengah mengatup dan ia menatap temannya terkejut.
“Ang, kamu kenapa, sih? Tumben-tumbenan jadi ngomong serius gini.”Aleta menukas pelan. Ketika Anggar tak kunjung menjawab dan raut wajahnya berubah menggelap, Aleta tahu ada sesuatu yang tengah terjadi pada Anggar.”Ada yang salah, ya? Coba cerita sama aku.”
Anggar memalingkan wajahnya lantas membuang napas perlahan. Sejenak ia bungkam sampai kemudian suaranya kedengaran begitu berat.”Nggak ada apa-apa, kok, Let.”
“Kamu tahu kamu selalu bisa cerita sama aku.”Aleta menyahut lantas meraih tangan Anggar dan menggenggamnya. Jawaban Anggar tadi justru semakin menguatkan dugaannya.
Anggar mengangkat sebelah tangannya yang bebas untuk mengusap wajahnya dalam gerakan lelah.”Aku cuma cape, Let.”
Aleta tahu masalah yang dihadapi Anggar lebih dari sekedar cuma cape. Aleta tahu sekedar lelah takan membuat Anggar seperti ini. Sesuatu yang besar pastilah telah mengacaukan seorang Anggar.
“Aku minta maaf buat beberapa bulan kemarin. Sama sekali bukan maksud aku ninggalin kamu gitu aja, Let.”Anggar berujar pelan. Ia menatap Aleta lurus-lurus, berusaha menyampaikan kesungguhan rasa penyesalannya.”Kalau bisa aku pun nggak mau ninggalin kamu dan sibuk sama urusan sendiri. Kamu harus tahu, bahwa waktu yang selama ini kita habisin bersama jauh lebih berharga ketimbang semua urusan aku sekarang.”
Lamat-lamat Aleta memandang Anggar. Mungkin sebuah masalah tengah menghalang Anggar saat ini, mungkin kini Anggar tak mau berbagi kesulitannya pada Aleta. Tapi Aleta yakin, akan ada saatnya dimana Anggar siap bercerita dan membiarkan Aleta tahu apa yang tengah dialaminya. Ia tak bisa memaksa Anggar bercerita sekarang jika temannya itu tak mau.
“Meski aku nggak tahu apa yang terjadi sama kamu, aku pikir aku bisa ngertiin. Tapi janji satu hal, jangan pernah ninggalin aku lagi, oke?”seulas senyum mengembang di wajah Aleta lantas membiarkan senyumannya menular pada Anggar. Ia kemudian menarik napas dan meneruskan.”Ngomong-ngomong soal kata hati, kata hati kamu sendiri apa?”
Anggar tertegun mendapat pertanyaan seperti ini. Ia menatap Aleta sebentar, lalu menjawab.”Ngelukis. Hati aku bilang ngelukis adalah satu-satunya hal yang bisa buat aku bahagia.”
Mendapat jawaban tak terkira begini, Aleta berdecak kagum.”Keren! Sejak kapan kamu suka ngelukis? Seinget aku dulu kamu cuma bisa gambar sawah sama gunung.”
Anggar tergelak lantas mendorong pelan kepala Aleta. Keduanya kemudian tenggelam dalam pembicaraan yang membuat Aleta lupa sama sekali dengan sakit hatinya selama ini atas kepergian Anggar dari hidupnya. Karena kehadiran Anggar saat ini sudah cukup untuk menutup lubang menganga di hatinya, ia sudah lebih dari bahagia ketika Anggar kembali datang dan menemaninya lagi.
Namun satu hal yang tak pernah Aleta sadari. Anggar bahkan tak menyanggupi janji untuk tidak meninggalkannya lagi.
***
Satu kartu terakhir, dan house of card-nya telah selesai.
Aleta mengembuskan napas lantas menjauh dengan hati-hati dari susunan rumah kartunya. Tanpa bisa dicegah pandangannya jatuh pada tempat kosong di hadapannya, dimana biasanya Anggar duduk sambil memasang cengiran jahil dan dalam hitungan detik meniup rumah-rumahan yang telah susah payah Aleta susun. Kini Aleta tak perlu khawatir, setinggi apa pun rumah-rumahan yang ia buat, takan pernah ada tiupan nakal yang menghancurkan hasil karyanya. Karena Anggar, takan pernah duduk di hadapannya lagi. Spot kesukaan mereka berdua kini hanya akan diisi oleh Aleta seorang.
Aleta beringsut menjauh dari karpet toskanya. Duduk di sana sambil menyusun rumah-rumahan dari kartu hanya akan mengingatkannya pada Anggar. Anggar yang takan pernah kembali ke sisinya, Anggar yang untuk kedua kalinya meninggalkannya sendirian.
Temannya itu telah pergi jauh. Meninggalkan Aleta, meninggalkan ayahnya, dan meninggalkan mimpinya yang belum sempat ia raih.
”Asalkan ikuti kata hati kamu, Let. Hati kamu nggak pernah berbohong tentang apa yang kamu inginin. Hati kamu tahu apa yang terbaik yang bisa buat kamu bahagia. Jangan biarin siapa pun menentang kata hati kamu—lakuin sesuai kata hati kamu dan kamu nggak akan pernah nyesel.”
Bagaimana mungkin Aleta tak sadar pertemuan kemarin merupakan pertemuan terakhir mereka? Bahwa Anggar datang padanya hanya untuk menyampaikan salam perpisahan secara tersirat. Anggar telah tersiksa begitu banyak selama ini dengan mengikuti keinginan ayahnya dan mengabaikan kata hatinya sendiri. Satu hari sebelum ia memutuskan pergi, ia mengunjungi teman terbaiknya dan menyampaikan pesannya agar Aleta tak mengalami hal yang sama seperti yang dialaminya.
”Aku cuma cape, Let.”
Aleta mengesah kecil ketika matanya mulai memanas. Ia menundukan kepala lantas mengubur wajahnya dengan kedua tangan. Bagaimana bisa Aleta tak sadar maksud tersembunyi dari setiap perkataan Anggar hari itu? Temannya jelas bukan sekedar lelah biasa—ia telah lelah dengan keputusan yang terpaksa ia ambil, lelah dengan tekanan dari ayahnya, lelah membiarkan mimpinya melayang pergi. Ia lelah dengan hidupnya. Kalau saja Aleta sedikit lebih peka, mungkin ia bisa mencegah Anggar mengakhiri hidup berharganya setelah pertemuan mereka…
Namun sebanyak apa pun penyesalan yang ia rasakan sekarang, Anggar tetap takan pernah kembali. Anggar memilih menyerah, dan mengakhiri segalanya. Tak ada yang bisa Aleta lakukan saat ini. Ia hanya mampu berharap semoga Anggar menemukan kebahagiaannya di sana setelah ia melepas semua beban kehidupannya.
Pluk!
Terisak kecil, Aleta mengangkat wajahnya ketika mendengar suara kecil dari tengah kamarnya. Perhatiannya jatuh pada tumpukan kartu di atas karpet toskanya, menemukan rumah-rumahan dari kartunya telah hancur begitu saja. Mungkin karena hembusan angin dari jendelanya yang setengah terbuka. Atau mungkin juga dari tiupan nakal milik Anggar.
Aleta memejamkan mata lantas tersenyum kecil. Meski ia sakit atas kepergian Anggar, meski ia harus kembali sendirian setelah Anggar meninggalkannya, hatinya kini terasa lebih ringan. Karena ia tahu, saat ini Anggar telah membuang semua bebannya, dan temannya itu tak perlu tersiksa lagi melakukan hal yang berlawanan dengan kata hatinya. Anggar, kini ia jauh lebih tenang dari sebelumnya.[]
Filed under: one shot, original fiction Tagged: Bertemu Kembali, Saladbowl Contributor Project
