– kekurawal –
∞
Seseorang sepertinya mengajak Magi berbicara. Paman nanya ke aku? Ia memastikan takut-takut. Bukan apa-apa, hanya ada dia, laki-laki itu dan seorang nenek dengan bakul di pangkuannya yang kelihatan mengantuk berat di bangku halte saat itu. Di Jumat siang yang terik pada pukul dua. Tidak ada suara ramai selain deru angin di musim kemarau. Beberapa waktu terakhir, sejak merebaknya kasus penculikan dan pembunuhan anak di kotanya, Magi menjadi selalu waspada dan berhati-hati jika berinteraksi dengan orang asing. Ibunya pun selalu mengingatkannya demikian.
Iya, Laki-laki itu mengangguk kemudian mengulang tanya, Adik lagi nunggu bus pulang atau jemputan? Tiga lipat keriput di samping matanya terlihat saat ia menyunggingkan senyum. Sepertinya ia baru berusia akhir 20-an, namun sudah terlihat beberapa helai uban mencuat tak beraturan menyebar di rambutnya. Otak Magi terus berpikir, tentang apa yang seharusnya ia lakukan setelah ini. Menjawab, atau buru-buru mengangkat pantat dan berlari tanpa menoleh lagi.
Jemputan. Jawab saja, tampaknya laki-laki ini orang baik. Kalaupun ia mulai menampakkan lagak menakutkan, Magi tinggal menggingit salah satu tangannya dan kabur minta tolong secepat kilat. Ia punya barisan gigi kuat dan sebuah gingsul runcing untuk melakukannya. Laki-laki itu mengangguk lagi, kini diulang empat kali. Kepalanya yang sejak tadi memutar ke arah Magi, kini bergerak lurus ke depan.
Setelah sampai rumah, pasti langsung main atau tidur siang ya. Kalimat laki-laki itu terdengar seperti hanya ditujukan pada udara, bukan padanya. Magi memilih untuk tak memberi respon dengan anggukan atau suara tenggorokan untuk ‘iya’ atau ‘nggak tahu deh’.
Mau permen? Wajah Magi tegang seketika. Kata Ibu, ia tak boleh menerima barang pemberian orang asing dengan sekenanya. Saya beli dua puluh bungkus, buat ganjal perut lebih lama. Tangkup tangan berisi permen milik-milik laki-laki itu tersodor ke arahnya. Apa mungkin permen-permen itu sudah diberi racun, atau obat bius? Ia harus menolak, dengan halus.
Nggak saya kasih racun, kok. Nih saya udah makan empat. Lagi-lagi ia tersenyum, kini dengan ekspresi geli. Ia bisa membaca pikiran Magi, sepertinya. Magi belum juga bergerak untuk mengambilnya atau menyuarakan tolakan halus seperti yang ia rencanakan. Laki-laki itu akhirnya menyerah dan menarik tangannya lagi. Mengambil sebungkus permen yang lain dan merobek bungkusnya. Magi semakin gelisah, kapan kakaknya akan datang menjemput? Biasanya ia menunggu tak selama ini.
Lebih dari seperempat milyar penduduk Indonesia saat ini. 20 persen dari mereka sudah mulai mengenyam pendidikan sampai tinggi. Calon guru, calon polisi, calon dokter, calon pegawai pemerintahan, calon pekerja kantoran, calon kuli … calon pengangguran,. Laki-laki itu tertawa pelan di ujung kalimatnya. Lagi-lagi pandangannya lurus ke depan. Magi mengintip dengan ujung matanya. Apa paman itu mengajaknya mengobrol lagi dengan kalimat tersebut? Sementara, nenek bakul di sampingnya sudah terlelap dengan kepala meneleng pada besi penyangga atap halte.
Dulu, saya murid yang gila belajar. Nggak ada waktu yang saya sia-siakan buat main, atau menuruti ajakan teman-teman buat hang out. Saya kira, itu nggak penting sekali. Lebih penting menata masa depan dengan berinvestasi lewat belajar tekun. Mereka nganggep saya bukan teman yang asik, dan sok. Saya nggak pernah peduli. Kalau mereka nggak mau memahami saya, untuk apa saya memahami mereka. Saya tetap menjadi begitu, sampai pelan-pelan saya ditinggalkan dan nggak punya teman. Saya tetap nggak peduli. Saya pikir, teman yang sebenarnya akan saya temukan nanti pada waktunya. Kalaupun tidak, saya rasa saya mampu hidup sendiri tanpa teman. Saya nggak nyesel, dan nggak akan pernah nyesel.
Telinga Magi mendengar desahan pelan dari napas yang dibuang oleh laki-laki itu. Sampai detik ini ia tak mengerti apa yang sedang laki-laki itu bicarakan. Apa ia sedang mengenang masa mudanya, dan memilih untuk membaginya pada seorang anak perempuan usia delapan tahun, yang kata investasi apalagi hang out pun tak paham.
Saya nggak pernah nyesel, sampai hari ini. Sampai siang ini saya ngeliat segerombolan anak sekolah yang saling ketawa di pinggir jalan, saling rangkul, dan saling berbagi makanan di tangan mereka. Saya nggak pernah mengalami masa seperti itu.
Magi ingat, sebelum kakinya menjejak lantai halte, ia menghabiskan dua ratus meter perjalanan dengan Lira, Winda, dan Yuni—teman-teman sekelasnya—juga beberapa teman laki-lakinya dari pintu kelas sampai ke mari. Sebelum akhirnya mereka terpisah karena Lira telah dijemput ayahnya, dan Winda yang membonceng sepeda Yuni pulang, pun teman-teman laki-lakinya dengan sepeda masing-masing. Mereka asik membicarakan tentang mata pelajaran terakhir hari ini. Pak Kanto, guru Kesenian mereka yang nyentrik, kembali membuat kelas ramai dengan menampilkan drama monolog tentang kisah Ramayana.
Pak Kanto memang nggak ada duanya, masa dia bisa memerankan lima pandawa sekaligus, dengan lagak yang nyaris sempurna karena masing-masing karakter dibawakan dengan berbeda satu sama lain. Magi bertanya, gimana ya kalau Pak Kanto nampilin monolog cerita Frozen, gelak tawa teman-temannya kemudian menyambut. Wah, pasti seru tuh. Jadi Putri Elsa, jadi Putri Ana, jadi Sven, jadi Olav! Gelak mereka semakin menjadi.
Magi mengangkat kepala, apa yang paman itu maksud dengan segerombol anak-anak tadi adalah ia dan teman-teman sekelasnya?
Tiba-tiba saya ingat sekolah. Ingat teman-teman, yang nggak pernah sekalipun kami ngabisin waktu barengan.
Desahan lagi, kini lebih panjang dan terdengar dilepaskan dengan sekuat hati dan menunjukkan kelegaan. Magi mendapati laki-laki itu kembali menoleh padanya, kini dengan senyum yang lebih lebar hingga hampir seluruh baris giginya terlihat. Tangan kanannya mendarat di bahu Magi, tepukan pelan kemudian ia dapatkan.
Belajarnya jangan terlalu diforsir ya, main sama teman-teman juga perlu.
Apa lagi tuh diforsir? Tetapi Magi tak peduli, alih-alih merasa takut mendapat tepukan yang tiba-tiba itu, ia justru mengangguk dan ikut nyengir. Entah kenapa, tiba-tiba ia merasa baru saja mendapat teman baru, paman itu. Curiga dan was-wasnya hilang perlahan.
Interaksi mereka terhenti bertepatan dengan suara mesin motor yang sangat dikenal Magi mendekat ke arahnya. Motor kak Nia! Magi melonjak senang dan memanggil kakaknya dengan spontan. Tak ada yang lebih melegakan dibanding melihat kak Nia di atas motor dengan helm hijau dengan tempelan stiker kepala kodok itu saat ini. Ia kemudian buru-buru berdiri dan berlari ke arah kakaknya, sebelum akhirnya ia sadar belum berpamitan pada paman yang baru dikenalnya itu.
Paman, aku pulang duluan ya. Semoga cepet dapet teman main. Kalau belum, nanti aku bantu cariin deh. Magi naik ke atas motor setelah selesai memakaikan helm di kepalanya dan melambai pada laki-laki itu. Tawa yang tertahan muncul di wajah laki-laki itu. Ia mengangguk semangat dan ikut melambai. Terimakasih. Hati-hati.
–-
“Ngobrol apa aja sama mas-mas di halte tadi, Gi? Hati-hati sama orang baru lho, inget kan Ibu bilang apa.” Nia sepertinya tak tahan untuk menanyakan hal itu kepada adiknya saat motor mereka tiba di halaman rumah.
“Nggak ada. Paman itu yang ngomong terus, Magi cuma dengerin.” Magi yang tengah melepaskan helm, teringat akan sesuatu. “O iya, Paman tadi lagi nyari temen, Kak. Kasian dia, kayaknya kesepiaaaann banget.”
Raut terkejut terlihat di wajah Nia. Sedalam apa mereka mengobrol sampai adiknya tahu sesuatu yang spesifik tentang laki-laki itu. Sepertinya, ia harus lebih sering mengingatkan Magi untuk tak terlalu percaya pada orang yang baru ia kenal dan membiarkannya memberikan informasi-informasi tentang dirinya. Isu penculikan dengan meminta tebusan saat ini sedang santer-santernya. Ia selalu khawatir dengan adiknya.
“Kak Nia mau nggak jadi temen paman itu? Kalau mau, nanti Magi kasihkan nomor hape kak Nia kalau Magi ketemu paman itu lagi.”
Nia kaget untuk kedua kali, kini lebih berlipat. Matanya sampai melotot. “Kalau sampe ada nomor nggak dikenal dan ngajak Kakak kenalan, bilangnya dapet dari kamu, awas ya.”
-fin-
Gambar dipinjam dari sini
Filed under: one shot, original fiction Tagged: Teman? Teman
