Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[SPECIAL PROJECT] Cerita dari Benedict

$
0
0

mario

~ In memoriam, Yamada Mario ~

Semarang, Juli 2011

Aku berjalan dengan langkah gontai. Bosan. Baru saja kuhabiskan waktu 4 jam menunggu dosen pembimbing di kampus untuk bertemu dengan beliau selama 10 menit saja. 10 menit! Katanya “Besok saja ya”. Lalu untuk apa dia mengirimkanku pesan singkat bertuliskan : Mbak, besok ketemu saya, ya. Lengkap tanpa keterangan waktu.

Aku menjerit ketika seekor kucing berteriak, oh apa ya istilahnya? Menjerit? Yah pokoknya yang seperti itu. Sepertinya aku menginjak buntutnya. Kulihat kucing yang sudah nyingkrih, aduh apa ya bahasa Indonesianya? Minggir? Yah yang seperti itulah. Sedikit kasihan. Aku meringis kecil dan berkata pelan, “Sorry”.

Aku sempat melihat ke arah kucing berwarna hitam – putih – abu-abu itu. Wajahnya bulat. Lucu. Aku lalu segera masuk ke dalam kos. 10 menit kemudian aku kembali keluar dan melihat kucing itu masih ada di sana. Entah kenapa, tanpa ragu kuangkat kucing itu.

“Nyaw! Halo! Kamu sendirian ya. Sini sama aku aja ya!”

Begitu kubawa masuk, teman-teman kosku menyambut dan mengerubuti kucing dan aku.

“Kucing siapa, Far?” tanya Bella, kamarnya di sebelah kananku.

“Nggak tahu. Pelihara aja kali ya,” jawabku santai. Kupikir tidak ada masalah. Kamarku cukup kalau untuk menampung satu kucing saja. Lagipula di bagian tengah kosku, ada ruang bersama dan lahan cukup yang dihiasi jejeran tanaman hias jadi kucing baruku bisa bermain di sana.

Lalu kemudian ternyata tidak ada yang protes atau marah. Maka resmilah Benny menjadi penghuni kos Margo 33. Oh, nama lengkapnya adalah Benedict. Benedict Cumberbatch. Aha!

Semarang, Desember 2011

Hujan besar setiap hari. Tapi yang seperti itu tidak pantas dikeluhkan sih. Biasanya kota ini selalu panas.

“Mau ke mana, mbak?” Tia, adik kosku mengomentari diriku yang baru saja keluar dari kamar mandi. Selesai mandi, tentu saja. Yang lain-lain tidak pelu kuceritakan, kan.

“Kampus” Tidak ada kata libur semester bagi mahasiswa tingkat atas.

“Cieee, tumben amat. Bimbingan?”

“Mejeng. Nyari anak baru. Siapa tahu ada yang ganteng”

“Helee.. sensi amat,” Tia lalu cekikikan masuk ke kamarnya.

Aku juga segera ke kamarku dan bersiap. Setelah berpakaian dan merapikan rambut, memakai sedikit pelembab muka agar tidak kelihatan baru bangun tidur, lalu menyiapkan tumpukan kertas yang siap kubawa ke hadapan Bu Ratna, dosen pembimbingku yang terkenal killer itu. Aku sudah mengumpulkan serpihan-serpihan hati, halah, maksudku kertas dan buku-buku. Ini detik-detik mendebarkan. Skripsiku sebentar lagi akan ditandatangani, beliau sudah berjanji. Aku hanya perlu merevisi beberapa bagian. Entah seberapa besar bagian itu.

Kucari-cari backpack yang bisa menampung segala barang bawaanku. Tas kesayanganku itu ada di tempat tidur. Dan Benny tidur di atasnya. Kucingku satu ini suka sekali tidur di atas barang-barang. Setiap hari dia tidur di atas tas, bantal, selimut, kertas, sajadah, apapun itu. Paling aku baru akan menjerit kalau dia tidur di atas baju-baju yang baru saja kucuci dan belum sempat kuseterika atau kumasukkan lemari. Aku kapok dengan laundry, bajuku sering hilang.

“Benny… banguun!!” erangku mencoba menggulingkan Benny ke samping.

Benny dengan wajah sebal (Oke, aku tidak tahu sih bagaimana wajah sebal kucing) beringsut dan lompat menuju keluar kamar. Aku dengan segera memasukkan barang-barangku, mengecek apakah ada yang tertinggal, mengunci pintu kamar, dan segera menuju ke luar. Benny mengikutiku keluar juga.

“Mau ke mana, Ben?”

Seperti mengerti perkataanku, Benny berhenti sebentar. Lalu melengos pergi ke arah kiri kos menuju gang depan. Sementara menuju kampus adalah ke lurus ke depan. Aku membiarkan Benny pergi. Tidak perlu takut, setiap malam (atau kalau lapar) dia selalu kembali.

Semarang, Februari 2012

Jam tujuh pagi dan aku menjilat-jilat keripik singkong pedas sambil duduk di sofa di depan TV (Yeah! Let’s replace breakfast with MSG!).

“Mbak, Benny udah keluar ya?” tanya Siska, kamarnya ada di lantai 2.

“Yoi”

“Main mulu dia!” katanya lagi sambil menjejerkan diri.

“Biarin.”

“Asik ya mbak, udah lulus,”

“Yoi. Makanya kuliah yang bener. Nggak bosen apa ditanya kapan lulus?”

“Aseem.. Sombong banget kamu!” kata Siska sambil tertawa.

Sudah seminggu sejak aku melakukan  defense. Ciyee, keren kan. Padahal itu hanyalah aku masuk ke ruang sidang, ditanya macam-macam. Mulai dari yang berhubungan dengan skripsi yang kuambil, entah itu metode yang kuambil, dasar teori, dan berbagai macam bla bla bla lainnya. Sampai kepada pertanyaan yang agak-agak semacam mau kerja di mana, kapan kembali ke Jakarta, atau pertanyaan super penting semacam  apakah sudah ada pendamping wisuda. Bazinga! Yah apapun itu, aku selamat dari ruangan itu. Mendapat cipika-cipiki dari temanku sekeluarnya dari sana. Pulang ke rumah dengan hati tenang dan bisa bermain bersama Benny seharian.

Aku terus di ruang tengah sampai jam makan siang. Terima kasih kepada adik-adik kosku yang manis yang silih berganti datang membawa camilan sehingga aku tidak begitu kelaparan. Tapi setelah jam 12, perut ini meronta juga. Aku mengambil cardigan di kamar dan bersiap ke warteg depan gang. Lalu Benny datang.

“Nyaw! Kamu main mulu ya!” aku berjongkok. Mengelus-elus kepala, punggung, dan lehernya. Kemudian kugendong dia dan sedikit memeriksa telinganya.

“Eh apaan nih?” gumamku.

Benny  memakai kalung kucing dengan tali merah dan lonceng kecil sebagai penghias. Dan ada sesuatu menempel di sana. Ada kertas berlipat-lipat dan melekat di tali merah Benny dengan bantuan selotip. Kubuka kertas itu.

Kucingnya lucu :) Oka, Margo 25. 089056487777.

Aku terjatuh duduk dan tergelak.

“APAAN NIH???”

Semarang, Maret 2012

Aku disibukkan dengan persiapan wisuda. Menyelesaikan urusan-urusan yang harus diselesaikan. Urusan  revisi dan tanda tangan, daftar wisuda, perpustakaan, fotokopi skripsi rangkap sekian, kebaya dan pesan salon, dan segala tetek bengek lainnya.

“Itu Mas Oka sudah dihubungin, belum?” tanya Riska, anak kos lainnya yang kamarnya ada di sebelah kiriku, di satu malam ketika kami makan pecel ayam di warung depan gang. Aku suka sekali gang Margo ini, tidak perlu repot-repot jauh pergi, segala macam warung sudah berjejer siap melayani mahasiswa.

“Hah? Mas Oka siapa?”

“Itu. Temennya Benny.”

Aku sempat berpikir lagi sejenak lalu tertawa. “Ooh, belum”

“Ish. Siapa tahu lho Far bisa dibawa ke wisuda.”

Aku lagi-lagi hanya bisa tertawa. Sebenarnya aku juga agak penasaran dengan orang yang mengaku bernama Oka. Kertas yang diselipkan di kalung Benny kusimpan rapi. Nomornya pun sudah kusimpan pula di handphone. Beberapa kali aku berencana mengirim pesan atau menelepon tapi selalu kuurungkan. Margo 25 tidak jauh dari kosku. Selang 4 rumah dan aku tahu itu adalah kos laki-laki. Maka kalau data yang diberikannya benar, maka dia adalah seorang mas, dan bukan mbak. Tapi katanya ada 30 kamar di margo 25. Dan sialnya tidak ada satupun kawanku yang tinggal di sana. Yang tahu soal “surat cinta” itu hanya 3 orang. Aku, Tia dan Riska.  Kedua anak itu juga tidak punya teman di Margo 25. Maka lengkaplah, tidak ada yang tahu bagaimana sosok Oka ini.

Semarang, 20 April 2012

Kupersilakan kepada orang-orang yang ingin memberi ucapan selamat kepada Fara Hanifa Bramantyo, ST.

Semarang, 21 April 2012

Kemarin Benny tidak pulang. Aku panik. Nyaris kudatangi Margo 25 karena menduga Benny ada bersama Oka. Tapi pagi ini Benny pulang. Kuperiksa kalungnya. Tidak ada apa-apa.

“Mbak Fara!” Ira, yang paling muda di kosku, berteriak memanggilku. Dia bergegas menuju kamarku.

“Nih!” katanya sambil memberikan satu tangkai bunga mawar.

Aku mengernyit. “Dari siapa?”

“Nggak tahu. Katanya dari temennya Benny” katanya lalu pergi.

Aku berpikir keras. Teman Benny? Benny siapa? Eh? Benny Benedict? Tunggu..

“Ra!” panggilku. “Orangnya cakep nggak?”

Ira terdiam sejenak. “Aku nggak pakai kacamata”

Aku menghela nafas panjang.

Semarang, 19 Mei 2012

Sudah satu bulan menghabiskan diri bersantai dan sedikit berplesir ke kawasan Jawa Tengah dan Yogyakarta, besok aku harus menghadapi kenyataan kalau aku harus kembali ke ibukota nan kejam untuk mengadu nasib. Merendahkan diri meminta-minta agar diberi nafkah oleh keparat ah maksudku korporat.  Setelah makan malam terakhir dengan anak-anak kos, aku memandangi kamarku yang sudah bersih rapi. Kardus-kardus dan tas-tas besar sudah dipersiapkan. Barang-barang Benny juga sudah dipersiapkan. Ya, Benny akan ikut denganku pulang. Aku tidak sanggup membayangkan harus melepas Benny yang sudah kusayang selama setahun ini.

Sedih mengingat akan berpisah dengan kehidupanku selama hampir 4 tahun, aku naik ke atas tempat tidur dan meringkuk memeluk guling. Benny yang sudah pulang dari tadi sore ikut naik dan tidur di dekatku. Aku mengelus-elus Benny lalu teringat sesuatu. Kuraih handphone-ku. Kususuri daftar kontak dan menuju huruf O. Kutekan icon pesan dan kutuliskan :

Benny nggak bakal main lagi karena mau pindah. Fara.

Dadaku berdebar. Kupejamkan mata. Pesan terkirimkan.

Semarang, 20 Mei 2012

Ayah dan Ibu sebenarnya sudah datang sejak kemarin lalu beristirahat di hotel di pusat kota semalam. “Jalan-jalan sambil pacaran”, kata Ayah. Ketika aku meledek, Ibu membalas santai, “Ya iyalah pacaran. Emang kamu”.

Jam 4 sore barang-barangku mulai dimasukkan ke dalam mobil. Teman-teman kos sudah mulai berkumpul di ruang tengah. Beberapa sudah mulai berkaca-kaca atau mengerucutkan bibirnya. Setelah semua beres, aku berpamitan kepada mereka semua. AKu yang sudah berencana tidak menangis akhirnya menyerah juga. Kupeluk mereka satu-satu. Mereka satu-satu pun juga memeluk Benny. Kecuali beberapa yang tidak terlalu dekat dengannya. Aku sempat melambaikan tangan lagi dan melihat ke arah mereka, yang selama ini sudah tertawa, marah, menangis, dan bahagia denganku.

Mesin mobil dinyalakan. Kupilih kursi di dekat jendela agar bisa menyampaikan salam perpisahan kepada mereka. Kupangku Benny dan kugerak-gerakkan tangan (kaki?) sebagai lambaian perpisahan pula.  Pelan-pelan sangat mobil bergerak dan menuju gang depan. Selamat tinggal margo 33, pikirku. Sambil berjalan kutatap rumah-rumah di samping. 31, 29, 27, lalu aku terus berdebar. Ketika halaman Margo 25 sudah terus terlihat, aku memandang lekat-lekat. Lalu ada sosok seorang laki-laki berdiri di dekat pagar, tersenyum, lalu dia melambaikan satu tangannya.

“Kenal, Far?” tanya Ibu.

Aku hanya bisa melotot tercengang.

“Cakep ya” kata Ibu.

-SELESAI (?)-

 Model cover : Yamada Mario


Filed under: one shot, original fiction

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles