Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[SPECIAL PROJECT] Pulang

$
0
0

“Rumahku surgaku, kata mereka…”

-

-

-

Gadis itu menyeka salah satu sudut matanya sekali lagi. Sepasang mata sayunya menatap hampa ke luar jendela. Binarnya tidak berpendar, mata itu nanar. Gerimis masih menyirami jalanan, membuat kaca jendela bus yang gadis itu tumpangi berembun, sama seperti matanya yang sejak tadi masih belum juga kering. Hatinya yang muram tidak serta merta terhibur dengan kehadiran lentera aneka warna yang menggantung di sepanjang jalanan pedesaan yang sempat dilewatinya di antara pekatnya belantara.

Entah sudah berapa lama gadis itu menangis di separuh perjalanannya melewati deret pepohonan lebat yang berbaris selang-seling di sepanjang jalanan berkontur perbukitan di pinggiran kota kecil di sebelah barat Kalimantan ini. Tujuannya hanya satu; pulang. Sepanjang perantauannya di ibukota Kalimantan Barat selama tak kurang dari 5 tahun ini, baru kali ini dia merasa begitu perlu untuk pulang. Pulang ke rumahnya, ke pangkuan orangtuanya.

Rumah, adalah satu-satunya kata yang paling membuatnya tidak nyaman setiap kali mendengar kata itu tercetus. Telinganya semacam alergi dengan kata itu, seolah ada hawa panas menjalari setiap inci pembuluh darahnya tiap kali kata “rumah” tertangkap indera pendengarannya. Rumah, seyogianya menjadi tempat yang selalu dirindu setiap orang. Tak peduli seberapa jauhpun seseorang mengembara, rumah akan senantiasa menjadi tempat kembali dan selalu ingin dikunjungi lagi dan lagi. Tapi Shinta––gadis itu––semacam anti. Berbanding terbalik dengan sebagian besar orang yang menganggap rumah mereka sebagai surga, dia berpikir berbeda. Di kepalanya, rumah tak ubahnya bagai neraka dunia. Atau mungkin tidak seekstrem itu juga, setidaknya rumahnya akan berada di urutan terakhir yang ada dalam daftar tempat-tempat yang ingin didatanginya di dunia ini.

~

“Kamu mau nurut sama siapa kalo ‘ndak mau ngikutin omongan orangtua, hah?!!”

Gadis berseragam putih abu-abu itu duduk terisak di kursi meja makan di rumahnya yang tidak terlalu besar. Kepalanya jatuh tertunduk menatap rok seragam sekolahnya, matanya basah berlinang airmata demi mendengar hardikan ayahnya yang murka. Dia baru saja menerima surat kelulusan dari sekolahnya. Gadis itu berhasil menjadi juara umum dengan nilai ujian tertinggi se-kabupaten Sintang. Dia bangga bukan kepalang. Jerih payahnya selama tiga tahun belajar di SMA terfavorit di kota kecil di pelosok daratan Borneo terbayar lunas, dan kini gadis itu tengah memohon haknya untuk bisa melanjutkan pendidikan sesuai dengan yang dicita-citakannya sejak lama. Namun ayahnya berpikir lain. Pria berperawakan sedang yang memang hanya tamatan Sekolah Rakyat itu menganggap cita-cita puterinya yang ingin melanjutkan kuliah itu terlalu tinggi. Menurutnya, kodrat seorang wanita hanya akan membuatnya menjadi ibu rumah tangga dan tidak diperlukan berlembar ijazah ataupun berderet gelar sarjana untuk menjadi ibu rumah tangga.

“Anak Pak Haji Soleh nanti malam rencananya akan datang melamarmu, Nak…”

Suara lembut ibunya bahkan terasa menyengat seperti petir yang menyambar tubuhnya di tengah hari. Cita-citanya yang sedang berkobar menyala, dipadamkan begitu saja. Kedua orangtuanya telah sepakat menjodohkannya dengan putera sang juragan kebun kelapa sawit tempat ayahnya bekerja selama ini, tanpa meminta persetujuannya sama sekali. Tangis Shinta semakin menjadi, isakannya menyayat dan memilukan hati, namun ayahnya pura-pura tuli. Keputusan pria itu sudah bulat dan Shinta harus mematuhinya.

~

Bila orangtuanya bisa membuat keputusan sepihak, maka Shinta pun merasa memiliki hak yang sama. Maka begitulah, gadis itu memilih untuk meninggalkan rumahnya di malam pasca kelulusannya, tanpa rencana untuk pernah kembali lagi ke sana. Shinta sama sekali tidak pernah menyesali keputusan yang telah dibuatnya, meski dia tahu benar bahwa menjadi anak pembangkang termasuk salah satu dosa terbesar dalam agamanya. Dia juga paham bahwa tempat bagi anak-anak durhaka adalah neraka, tapi demi Tuhan, dia tidak bisa terima bila harus menikah begitu saja tanpa bisa memperjuangkan cita-citanya, lebih dari itu, dia tidak pernah membayangkan bila harus menikah lalu menghabiskan seluruh hidupnya mengabdi kepada seorang lelaki tanpa landasan cinta sama sekali.

Hari demi hari di kota besar nan asing itu dijalaninya dengan kerja keras. Pontianak––meski tidak seganas Jakarta––bukanlah kota yang bisa dengan mudah ditaklukkan, terlebih bagi gadis enam belas tahun lugu seperti dirinya. Tiga bulan pertama perantauannya, dia melakukan pekerjaan apa saja yang dia bisa, mendatangi setiap alamat yang membutuhkan tenaga kerja. Tanpa sanak saudara, tanpa kolega, hanya dengan bantuan selebaran lowongan pekerjaan yang ditempel di tiang listrik dan dinding-dinging bisu di beberapa gang yang disambanginya. Shinta terbilang beruntung karena tepat seminggu setelah dirinya tiba di Pontianak, sebuah kafe yang baru beroperasi beberapa bulan membutuhkan tambahan pelayan. Sekitar lima bulan Shinta bertahan bekerja di sana sebelum akhirnya memilih berhenti setelah mendapat tawaran kerja di sebuah tempat karaoke, dengan pendapatan yang lebih menjanjikan tentu saja.

Niat awal Shinta menerima tawaran bekerja di tempat karaoke itu adalah agar dirinya bisa lebih cepat mengumpulkan uang untuk melanjutkan kuliah dan membuktikan pada kedua orangtuanya bahwa dirinya bisa mewujudkan apa yang diinginkannya. Hanya saja, agaknya gadis itu tidak terlalu menyadari resiko apa yang mengintainya kelak. Sebab tidak seperti yang ada di bayangan polos Shinta, rupanya tempat karaoke itu adalah tempat prostitusi terselubung, yang bahkan ‘dilindungi’ oleh pihak kepolisian setempat. Bahkan, sejumlah oknum berseragam cokelat itupun merupakan pelanggan tetap di sana.

Apa lacur, Shinta sudah terlanjur menandatangani surat perjanjian kerja dengan sang pemilik tempat hiburan itu, maka dia harus mematuhi seluruh butir kontraknya atau dirinya harus membayar denda sekitar lima juta. Hatinya menjerit, Shinta menyesal juga ketakutan setengah mati, tapi dia sadar dirinya sudah melangkah terlalu jauh dan sudah tak ada lagi jalan untuknya kembali.

~

Wanita paruh baya itu dengan telaten menyapukan handuk basah––menyeka seluruh tubuh suaminya yang terbaring di atas matras seadanya, tanpa daya. Berbalut sarung usang bermotif garis-garis dan kaos oblong yang lebih cocok dijadikan sebagai kain lap, pria itu menatap kosong ke langit-langit gubuk tuanya. Tubuh ringkihnya sudah tak lagi sanggup menggerakkan otot-ototnya, semuanya mati rasa, semenjak serangan stroke yang didapatnya akibat terlalu syok mendapati anak gadisnya menghilang di malam lamarannya. Pria itu sudah tak lagi bisa bicara, hanya matanya yang mengisyaratkan kepedihan dan penyesalan mendalam serta rasa rindu yang tertahan. Bila saja dia tidak bersikap begitu keras dengan memaksa puterinya menikahi lelaki yang sama sekali belum dikenalnya, mungkin hidupnya bisa jauh lebih baik dari saat ini.

“Pak, Shinta di mana ya sekarang, Pak? Ibu kangen dia. Sudah sebesar apa dia sekarang?”

Wanita paruh baya tadi kembali tersedu di sela ‘obrolan’ rutinnya dengan sang suami yang hanya diam tanpa respon apa-apa, tak ubahnya seperti patung saja. Semenjak suaminya menderita stroke, praktis dirinyalah yang harus memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua. Berbekal keterampilan menjahit yang dimilikinya, ibu Laksmi mengais rezekinya, meski tak seberapa sebab sebagian besar upah jahit yang dia terima ludes untuk biaya pengobatan suaminya. Rumah permanen mereka pun terpaksa harus dijual sehingga mereka berdua pindah ke sebuah gubuk tak terpakai milik salah satu tetangga mereka. Kehidupan keduanya semakin memprihatinkan setiap harinya, tapi Shinta tidak pernah tahu itu.

Bertahun-tahun lamanya orangtua Shinta menantikan kepulangan anak mereka satu-satunya. Menunggu dan berharap bila suatu hari gadis itu akan kembali ke tanah kelahirannya. Tahun demi tahun berlalu, tapi Shinta tak kunjung kembali. Shinta terjerembab di belantara kelam ibukota.

~

“Dek, Abang rasa pernah jumpa kau di mana ya?” ucap salah seorang ‘klien’ Shinta malam itu setelah gadis itu selesai dengan tugasnya.

“Hmmm? Shinta ‘ndak ingat pernah ketemu Abang di mana pun..” jawab Shinta seraya menarik cepat retsleting rok mininya. Bohong. Shinta baru saja berbohong. Dia kenal lelaki itu, bahkan masih terhitung kerabat jauhnya. Lelaki itu juga adalah tetangganya dan gadis itu berbohong telak karena mengaku tidak mengenalnya. Setelah menerima upahnya, Shinta langsung bergegas meninggalkan kamar sebab khawatir lelaki itu akan terus menanyainya tentang asal-usulnya. Seseorang dari tempat asalnya mengetahui apa pekerjaan yang digelutinya saat ini adalah hal terakhir yang Shinta harapkan akan pernah terjadi di dalam hidupnya.

Selama ini dia sudah merasa cukup tersiksa dan berdosa dengan menggadaikan dirinya pada kehidupan malam di kota besar ini, dia tidak ingin lagi menambah timbunan dosanya dengan membuat kedua orangtuanya merasa malu. Ada sebongkah penyesalan di lubuk hati terdalamnya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, dirinya sudah merasa terlalu nista untuk kembali kepada kedua orangtuanya. Bukan tanpa alasan dirinya tidak pernah ingin tahu kabar orangtuanya, dia malu luar biasa, bahkan sesungguhnya akan jauh lebih baik bila ayah dan ibunya berpikir bahwa dirinya telah lama tiada.

Suatu malam, tepat satu minggu semenjak pertemuannya dengan kerabat jauhnya itu, gadis itu kembali disambangi oleh lelaki yang sama. Namun kali ini, tujuannya berbeda.

“Dek, kau pulanglah. Bapak ibumu di kampung rindu. Kemarin aku ke rumahmu. Kau Shinta anak Pak Kosim, kan?”

Lelaki itu bicara tanpa jeda, seolah tak ingin lawan bicaranya kabur lagi seperti tempo hari. Sementara di ambang pintu kamar yang sudah dikunci, Shinta hanya terpaku, manjatuhkan tatapannya ke lantai, serupa orang yang kalah sebelum berperang. Habis sudah riwayatnya. Akhirnya jati dirinya dikenali. Pikirannya langsung kalut, khawatir lelaki yang tengah menghisap rokok di seberangnya ini berkoar-koar tentang profesinya kini kepada orangtuanya.

“Kau berkemaslah, Abang sudah siapkan tiket bus yang akan berangkat besok subuh. Pulanglah, Dek. Ayahmu sakit keras.”

Shinta masih bergeming tak bersuara. Tiga kata terakhir yang diucapkan lelaki tadi terngiang tanpa henti di kepalanya, berputar-putar dan menggema di sana, membuat kepalanya pening seketika. Ayahnya sedang sakit keras dan Shinta merasa gunungan dosanya mendadak bertambah seribu kali lipat. Dia harus pulang.

.FIN.


Filed under: one shot, original fiction

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles