-
Mbok Birik opname, aku harap kamu bisa pulang dan menjenguk beliau. Tolong kabari aku secepatnya.
.
Kutatap kembali pesan yang masuk ke dalam emailku itu seminggu yang lalu, lalu dua pesan lanjutan yang dikirimkan oleh orang yang sama beberapa hari kemudian.
.
Kamu bisa pulang kan? Aku belum dengar apapun, ini sudah hampir seminggu. Keadaan beliau kritis. Tolong pulang, ya.
.
Pesan-pesan itu hanya kubaca sambil lalu, tapi terlalu lelah untuk mengingatnya sebelum hari berakhir. Aku selalu lupa membalas emailnya.
Pesannya singkat. Dia tidak pernah lupa menambahkan ‘Dear Rama’ dan ‘Regards, Regina’ di awal dan akhir emailnya, kecuali satu pesan terakhir yang dia kirim kurang dari dua puluh empat jam yang lalu. Hanya satu kalimat pendek, dengan kesan amarah yang tersurat.
.
Are you still alive?
.
Pesan itu datang sesaat sebelum pesawatku tinggal landas. Aku benar-benar merasa bersalah karena membuatnya berpikir aku tidak menghiraukannya. Jadi sambil curi-curi waktu dari pengawasan awak kabin, aku membalasnya dengan jawaban pendek.
.
Dear Regina,
Maaf. Pesawatku akan berangkat dalam beberapa menit, sampai ketemu dua puluh jam lagi.
Yang masih hidup,
Rama.
.
Kabar baiknya dari kelanjutan email ini adalah, aku beruntung tidak ada penundaan jadwal terbang meski Jakarta sempat hujan lebat satu jam sebelum pesawatku terbang ke Jogja. Kabar buruknya, aku terlambat.
Mbok Birik, alasanku pulang setelah sekian lama menjadi alien di negeri orang, telah lebih dulu meninggalkan dunia sebelum aku sempat menemuinya.
Mbok Birik bukan nama aslinya. Beliau terlahir dengan nama Surtinah, seorang wanita yang merawatku sejak—konon—aku masih belajar berjalan. Beliau adalah seorang janda tua yang ditinggal anak-anaknya merantau menjadi TKI di Arab Saudi, dan bekerja di rumahku sejak ibu masih hamil besar mengandungku.
Kami masih memanggilnya dengan nama Mbok Inah sampai umurku lima tahun. Mbok Birik adalah sebutan yang belakangan kami berikan untuknya. Ini terjadi saat suatu hari kami sedang bermain di sawah tak jauh dari sekolah, dan menemukan seekor kodok bersuara mem-birik mirip dengan cara bicara Mbok Inah saat mengomel. Aku dan Regina membuat nama itu untuknya.
Regina adalah anak tetangga. Rumah kami berdiri saling berseberangan, dipisahkan oleh sebuah jalan berpaving selebar tiga meter, halaman yang tidak luas, dan pagar yang rendah. Kami bersekolah di SD setempat, tidak jauh dari rumah, dan setiap hari pulang bersama Mbok Birik yang menjemput dengan becak langganannya.
Kedua orangtua Regina bekerja, kesibukan mereka membuat dua orang sibuk itu tidak bisa berada di rumah sebelum malam menjelang, hingga mereka menitipkan Regina di rumahku hingga salah satu di antaranya pulang. Hal yang sama juga berlaku untuk ayahku bekerja di luar kota, kesibukannya hanya memberi kami kesempatan untuk bertemu di akhir minggu. Sementara ibu sakit-sakitan, dan tidak bisa menemaniku setiap saat.
Sepanjang hari-hari itu, selama empat tahun, kami menghabiskan banyak waktu bermain dan belajar bersama ditemani Mbok Birik. Mendengarnya mengomel bila kami terlalu banyak bermain dan membuat rumah seperti sisa-sisa banjir bandang, dan mendengarkannya berkisah tentang berbagai cerita legenda rakyat, atau kisah sahabat Nabi.
.
“Berikhtiar, dan bertawakal—kunci orang-orang kalau mau sukses. Kalau mau pintar, ya harus belajar. Kalau mau kaya, ya harus kerja. Itu namanya ikhtiar. Kalau jalan kita rasanya suliiiiiiit sekali kalau lagi berusaha, terus kita berserah diri sama Pencipta. Itu namanya tawakal.”
.
Aku masih ingat sekali kalimat itu. Hal yang selalu beliau katakan pada kami di tiap akhir kisah-kisahnya yang menggugah. Saat itu kalimat ini masih terasa berat untuk kucerna, jadi aku hanya mengangguk-angguk pura-pura mengerti. Aku mulai memahami tiap kalimatnya begitu menginjak bangku kuliah.
Beliau tidak hanya menemani kami bermain dan belajar. Beliau adalah guru, yang mengajari kami membaca Iqra, menghafal doa dan suratan pendek dalam Quran, seseorang yang menemaniku tiap saat di kala ibuku sakit keras.
“Kamu mau jadi apa kalau sudah besar?” pertanyaan itu terlontar pada suatu siang setelah wejangan rutinnya berakhir.
“Dokter!!” Regina berteriak keras di telingaku, membuatku oleng saking terkejut.
Dan aku masih ingat jelas jawabanku saat itu. Aku membutuhkan waktu yang sedikit lama untuk menjawabnya, hingga kusebutkan cita-citaku dengan asal.
“Aku mau jadi tukang buat pesawat.”
Sebenarnya aku tidak tahu dari mana jawaban itu muncul, yang kuingat saat itu hanyalah aku sedang sangat hobi merakit dan mengoleksi replika pesawat pemberian ayahku tiap kali dia pulang bepergian.
“Bismillah, InsyaAllah, Regina jadi dokter.” Beliau mengecup puncak kepala Regina.
“Bismillah, InsyaAllah, Rama jadi tukang buat pesawat.” Aku mencondongkan tubuh, Mbok Birik mengecup puncak kepalaku. Kami mengamininya.
Doa itu terkabulkan dua puluh tahun kemudian.
* * *
“Regina,”
Aku duduk di samping gadis itu dan menyapanya dengan ramah. Sudah belasan tahun lebih kami tidak bertemu. Sejak ibuku meninggal dunia beberapa saat setelah kami lulus sekolah dasar, ayah membawaku ke Jakarta dan menetap di sana.
Mbok Birik memelukku sangat erat saat mengantarku ke bandara hari itu. Aku menangis di pelukannya, tidak ingin pergi, tapi kami tetap pergi juga. Aku masih menghubunginya di awal domisiliku di Jakarta. Kami bisa mengobrol hampir satu jam di telepon, wejangannya menjadi satu hal yang harus kudengar tiap hari dalam laraku merindukan sosok kehadirannya. Ya, aku lebih merindukannya dibanding ibuku sendiri—sorry, Mom, I still love you. – anakmu yang tercinta, Rama.
Kadang aku juga bicara dengan Regina, mengobrol dengannya barang beberapa menit, lalu kembali bicara dengan Mbok Birik. Ternyata beliau bekerja di rumah Regina begitu aku pindah, dan tetap tinggal di sana hingga bertahun-tahun kemudian, menjadi bagian baru dalam keluarganya.
“Kamu nggak balas satupun emailku, jahat.” Regina berujar tanpa membalas tatapanku. Kedua matanya tertuju pada Blackberry yang berada di kedua tangannya, mengetikkan kata-kata yang ditujukannya pada entah siapa.
Gadis itu masih tetap sama, meski banyak yang berubah dari penampilannya. Rambut jamurnya kini dibiarkan memanjang ikal ke belakang bahu, kulitnya yang dulu terbakar matahari kini lebih bersih, kecoklatan hasil perawatan rutin, dua mata besarnya kini terbingkai oleh kaca mata persegi panjang berwarna merah hati. Tubuhnya tumbuh tinggi, gadis hiperaktif yang tidak pernah berhenti bergerak dulu itu kini menjelma menjadi seorang wanita muda yang ayu dan anggun.
“Maaf.” Aku tidak tahu harus menjawab apa, karena ini memang salahku. Aku yang lalai.
“Apa perlu kubalas sekarang?” ujarku kemudian bertanya. Aku sudah mengeluarkan ponselku, berpura-pura akan menulis sesuatu.
Dia mendengus, lalu tertawa pelan. “Nggak lucu, tauk.” Katanya agak sewot.
Aku tersenyum kecil.
“Mbok Birik nanyain kamu terus. Beliau nggak pernah sakit sebelumnya, jadi saat kondisinya nge-drop kemarin, aku menduga ini mungkin akan jadi yang pertama dan terakhir kali.”
Regina menyapu rambutnya ke belakang telinga. Suara gadis itu lirih, sarat dengan kesedihan yang mendalam.
Aku mengerti perasaannya. Mbok Birik sudah seperti neneknya sendiri selama dua puluhan tahun ini. Gadis itu berada di sampingnya hingga akhir, jadi saat dia menangis, aku sangat mengerti.
Sudah lama sekali komunikasi kami terputus. Aku tidak lagi rutin menelepon Mbok Birik di akhir tahun SMAku. Rangkaian bimbingan belajar dan kelas tambahan menyita begitu banyak waktuku untuk mempersiapkan diri melanjutkan studi selepas bangku sekolah. Aku lupa memberitahukan kepergianku ketika pesawatku meninggalkan Indonesia dan membawaku ke Amerika, kuliah di sana.
“Kamu masih ingat kami nggak sih dalam pengasinganmu ke Amerika? Atau sudah lupa sama sekali, mentang-mentang udah di negeri orang.” Regina berkata lagi, mengomentari keabsenanku selama ini.
Aku tidak menjawabnya. Kadang-kadang aku memang mengingatnya. Ingat pesan-pesan yang dulu tidak pernah lupa dia sampaikan di saat kejatuhanku dalam tiap fase kehidupan.
.
Jangan pernah lupa berdoa. Kehidupan ini sudah ada yang ngatur, jadi jangan sombong, jangan takabur. Selalu kembali sama Yang Ngatur kalau sudah mulai bimbang, minta pertolongan-Nya, InsyaAllah ada jalan.
.
Dia tidak ada di sampingku selama tahun-tahun itu, tapi wejangannya terpatri solid di sudut kepalaku. Jadi ya, tentu saja aku masih mengingatnya. Aku mengingat mereka berdua.
Tiba-tiba saja sesuatu terpikir begitu saja di dalam kepalaku.
“Regina,” kataku kemudian, memanggilnya. Dia menoleh. Ini pertama kalinya dia membalas tatapanku setelah tidak mengacuhkanku beberapa saat—matanya indah.
“Ya?”
“Kamu mau nggak nikah sama aku?”
Regina menarik kepalanya, menatapku lekat dengan kedua alis yang terangkat tinggi. Ini jelas pertanyaan yang sangat mengejutkan. Kami hanya bisa diam dalam posisi seperti itu selama hampir semenit. Regina menurunkan kepalanya, dan mengalihkan pandangannya kembali ke layar Blackberry, kembali menuliskan sesuatu di sana dan mengirimkan pesannya pada seseorang.
“Kenapa?” dia lalu bertanya.
Kenapa? Entahlah. Aku sama sekali tidak berpikir saat mengajaknya menikah, bahkan hal ini sama sekali tidak terbersit sebelumnya di kepalaku. Kurasa aku terlalu kecewa karena kehilangan masa-masa terakhirku bersama satu sahabatku di masa kanak-kanak, dan aku tidak ingin kehilangan sahabatku yang lain lagi. Kemantapan itu muncul begitu saja ketika kutatap matanya.
“Kamu punya pacar?” Aku bertanya semenit kemudian, setelah kebisuannya konstan terjaga cukup lama. Dia menggeleng.
“Kita nikah aja, yuk?”
“Kamu ngajakin nikah kok kayak mau ngajakin ke pasar. Ini bukan sesuatu yang bisa aku putuskan gampang, tauk.” Ujarnya tak acuh, dua ibu jarinya makin lincah menari di atas keypad Blackberry. Perhatiannya yang tidak fokus membuatku gemas karena diabaikan, jadi kuambil ponsel itu dari tangannya. Regina hendak protes, tapi saat kedua mata kami kembali bertemu, mulutnya tertutup rapat.
“Ikhtiar, dan tawakal. Kamu ingat kan, apa kata Mbok Birik? Di matamu mungkin aku terlihat impulsif, tapi menjawab pertanyaan kamu sebelumnya. Aku masih mengingat kalian berdua dalam pengasinganku. Aku berserah diri pada sang Pencipta untuk masa depanku, Gina, tapi aku tetap berjuang untuk yang terbaik. Dalam keyakinanku, kamu yang terbaik.”
“Rama, kita bahkan nggak pernah ketemu sama sekali selama bertahun-tahun ini…”
“Itu masalah? Aku bukan pembawa virus HIV, sumpah. Hidupku sangat sehat selama di Amerika. Biarkan aku jadi imam kamu, beri aku kesempatan untuk mencoba, kita jalani berdua.”
Regina mengalihkan pandangan ke arah keramaian pelayat yang makin memenuhi rumah Mbok Birik begitu beliau dimakamkan. Dia seperti mencari seseorang di antara mereka, mungkin orangtuanya. Aku tidak ingin memaksanya, meski rasanya tidak sabaran juga. Regina perlu waktu untuk memikirkannya, jadi aku baru saja ingin mengusulkan untuk menunda pembicaraan ini, hingga dia bicara lagi.
“Kamu mau langsung balik atau liburan dulu?”
“Aku cuti dua minggu. Awal bulan depan aku harus mengikuti konferensi Aeroteknik di Amsterdam, baru setelah itu kembali ke Amerika.”
“Oke, tapi dengan dua syarat. Kamu setuju, atau nggak sama sekali.” Regina mengangkat kedua alisnya, menantang. “Yang pertama kamu ketemu orangtuaku aku nanti malam, atau besok paling lambat, kita nikah minggu depan. Yang kedua, aku nggak mau pindah ke Amerika, dan aku juga nggak mau tinggal pisah-pisahan sama suamiku setelah menikah. Itu berarti kamu harus pulang ke Indonesia.”
Ini bukan permintaan yang mudah. Karierku sedang bagus-bagusnya di perusahaan tempatku bekerja, dan dalam beberapa tahun aku mungkin akan mendapatkan promosi jabatan yang kuinginkan bila bekerja keras.
Tapi ini bukan kesempatan yang akan datang dua kali, Regina mungkin tidak akan mengatakan ‘iya’ untuk menikah denganku di kesempatan kedua aku berusaha. Menikah minggu depan bukan masalah, kehidupan setelahnya yang akan jadi pembicaraan panjang. Aku merasa tertantang.
Selalu ikhtiar dan tawakal, kunci orang-orang kalau mau sukses.
Selalu ada rejeki bila seseorang masih bernapas di dunia ini, Tuhan tidak akan menguji seseorang di luar batas kemampuan orang itu. Berserah diri, dan selalu berusaha yang terbaik untuk segala keinginan yang kita kehendaki, Tuhan akan memberikan yang terbaik.
Bismillahirrahmanirrahim. Bila ini kehendak Tuhan, insyaAllah ada jalan.
Kuulurkan tanganku, menjabatnya. “Deal. Sampai ketemu nanti malam.” Ujarku mantab. Aku beranjak hendak pergi.
“Kamu mau ke mana?!” Regina berteriak agak keras bertanya begitu aku sudah berjalan agak jauh meninggalkannya.
“Cari cincin!!”
“Ikuuutt!!” Dia beranjak dan berlari mengejarku, lalu berjalan di sisiku meninggalkan area rumah mbok Birik begitu berpamitan.
Di balik musibah, pasti ada hidayah. Aku mungkin seorang anak yang tidak berbakti karena melupakan guru dan juga teman terbaik yang mendidikku sejak kecil, tapi aku harus tetap memastikan, bahwa ajaran-ajaran dan pesan yang Mbok Birik sampaikan tidak hanya berakhir di ujung telingaku saja. Pesan dan nilai yang ditanamkannya pada diriku akan selalu berada di sana; kujalankan, dan kurealisasikan. Dan ini akan menjadi satu perjuangan yang kupersembahkan untuk mengingat namanya. Semoga beliau mendapatkan tempat yang terbaik di sisi-Nya, sang kekasih Tuhan.
Terima kasih, Mbok Inah. Mbok Birikku yang kusayang.
* * *
Filed under: one shot, original fiction
