credit: here
-aminocte-
“Ke mana perginya Tahu?”
Seluruh kota gempar karena Tahu mendadak menghilang. Sebagai sahabat Tahu yang paling karib, tak pelak Tempe selalu mendengar pertanyaan yang kelewat sering diulang-ulang.
“Ke mana perginya Tahu?”
Tempe hanya bisa mengedikkan bahu. Dalam hati, ia sebal juga karena jika ia menghilang, orang-orang tidak pernah seheboh itu mencarinya. Seakan-akan dirinya warga kelas dua atau barang substitusi yang kurang berharga dibandingkan Tahu.
Pernah suatu kali Tempe iseng bertanya kepada penjual gorengan yang biasa mangkal di pasar. Katanya, jika Tempe tidak ada, tidak masalah karena ia tidak menjual tempe goreng. Namun, kalau Tahu menghilang, ia akan kalang kabut karena kehilangan pendapatan dari berjualan tahu isi. Tahu isinya adalah salah satu dari yang terbaik di kota ini. Banyak pembeli yang rela mengantre di depan gerobak tuanya hanya untuk mendapatkan beberapa biji tahu isi. Bayangkan bila Tahu tiba-tiba menghilang! Oh, akibatnya sungguh tidak terbayangkan.
Di lain waktu, Tempe bertanya kepada penjual bakso yang berjualan di warung dekat sebuah SMA negeri. Si penjual mengaku bahwa ada atau tidaknya Tempe tidak mempengaruhi omset penjualannya. Namun, lain halnya jika Tahu menghilang. Bila hal itu terjadi, ia tidak bisa membuat tahu bakso untuk pelengkap bakso kuah dagangannya, juga tahu goreng yang dijual terpisah. Padahal hampir setiap pembeli yang datang selalu memuji tahu bakso yang gurih, juga tahu goreng yang berukuran besar dan dijual murah.
Tempe juga pernah bertanya kepada penjual mi tahu, tahu tusuk, tahu telur, batagor, siomay, tahu bacem, tahu sumedang, tahu gejrot, perkedel tahu, gulai tahu, pepes tahu, dan tahu-tahu lainnya. Jawaban yang mereka berikan hampir sama: mereka tidak bisa membayangkan jika Tahu benar-benar menghilang. Usaha mereka akan terancam karena mengandalkan Tahu sebagai bahan baku utama. Mau diganti dengan Tempe pun mustahil karena bentuk dan rasanya pasti berubah menjadi aneh.
–
Sebagai sahabat karib Tempe, Tahu sebenarnya seringkali membuat Tempe jengah karena kepongahannya. Mentang-mentang lebih putih, lebih mulus, lebih lembut, lebih fleksibel untuk diolah, seenaknya saja ia mengejek Tempe karena penampilannya. Butiran-butiran kedelai yang menyembul di sekujur tubuhnya dibilang menjijikkan karena tak ada bedanya dengan jerawat. Lapisan serupa beledu putih yang melapisi bagian luar Tempe pun dituduh sebagai akibat Tempe malas membersihkan diri.
“Lihat aku, selalu mandi dengan air bersih. Makanya aku jadi putih seperti ini.”
Kalau sudah demikian, Tempe biasanya memaksakan diri untuk tertawa garing, meski di dalam hatinya ia gondok setengah mati.
“Coba aja kalau kamu lebih sering mandi. Pasti jadinya lebih bersih dan menarik.”
“Iya, iya. Makasih atas sarannya.”
Kenyataannya, Tempe tidak pernah benar-benar berterima kasih untuk saran yang Tahu berikan. Memang sudah suratan takdirnya untuk tidak berkawan akrab dengan air.
“Kenapa, sih, kamu selalu berselimut daun pisang begitu? Jangan malas, dong!”
Tempe biasanya diam saja jika Tahu sudah berujar seperti itu. Siapa bilang ia bermalas-malasan? Daun pisang justru membantunya untuk tetap bersih dan wangi walaupun tidak mandi. Huh, dasar Tahu sok tahu!
Karena omongan Tahu yang seenaknya itulah, Tempe sering merasa tidak nyaman. Tidak sekali dua kali ia berharap agar Tahu menghilang. Namun, harapannya tidak kunjung terkabul. Tahu tidak kunjung pergi dari kehidupannya, malah semakin getol mengganggu dan mengejeknya.
–
Begitulah yang terjadi hari ini. Tahu benar-benar menghilang. Tempe hanya bisa tersenyum setengah melihat si penjual gorengan sibuk berkeliling pasar demi mencari Tahu. Setiap penjual tahu menjadi sasaran omelannya. Air liurnya muncrat ke mana-mana, agaknya membuat penjual tahu menjadi sebal. Padahal mereka, demi bisa berjualan, rela mengganti dagangannya dengan Tempe, substitusi terdekat Tahu.
“Kalau begitu, Ibu beli tempe saya saja. Dari tadi nggak ada yang beli!” Seorang penjual tahu, yang beralih profesi menjadi penjual tempe, pun menjadi kesal. “Saya kasih murah, deh!”
“Ya nggak bisalah, Pak. Saya jualan tahu isi, bukan tempe isi. Memangnya kalau saya jualan tempe isi, trus nggak laku, Bapak mau borong dagangan saya?” omel si penjual gorengan, tak kalah sewot.
Tempe mendesah. Apapun yang terjadi, tetap saja ia tidak pernah bisa menggantikan Tahu sepenuhnya.
fin
- Ditulis dengan ide setengah matang dan asumsi bahwa Tahu yang ada di dalam cerita ini tidak berwarna kuning.
Filed under: one shot, original fiction Tagged: Ketika Tempe Tidak Tahu Ke Mana Perginya Tahu
