credit: here
-aminocte-
Mengapa hujan masih turun di bulan Juli?
Hujan menampar mobil yang ditumpangi gadis itu. Ia duduk di belakang pengemudi, kepalanya tersandar pada jendela. Sesekali ia memperhatikan tetesan-tetesan air yang menabrak permukaan kaca, meninggalkan jejak sementara sebelum ditimpa oleh tetesan lainnya.
Tak disangkanya bulan ini justru basah oleh curah air dari langit. Benaknya telanjur didoktrin dengan teori yang diterimanya semasa sekolah dasar. Ia kadung percaya bahwa bulan Juli tidak akan pernah membawa mendung yang jenuh oleh uap air karena musim hujan baru akan dimulai pada Oktober dan berakhir pada Maret. Buktinya, hujan tak pernah turun pada Juli tahun lalu, membiarkan tanah beserta tumbuhan yang hidup di atasnya kering dan meranggas.
“Kita lewat mana?” Si Pengemudi bertanya. Bukan kepada gadis itu, melainkan kepada penumpang lain di sebelahnya, seorang wanita paruh baya yang sedari tadi sibuk dengan kantung plastik di atas pangkuannya.
“Ke tukang jahit dulu, terus –“
“Ndak. Kalau ke sana, nanti kena banjir.”
“Terus bagaimana?”
“Kita pulang. Ke tukang jahitnya besok saja,” saran Si Pengemudi, yang lebih mirip permintaan tegas. Si Wanita setuju walaupun agak terpaksa. Benar juga kata lelaki paruh baya di sebelahnya, lebih baik terlambat mengantar kain dibandingkan terjebak banjir.
Hampir seluruh jalan yang dilewati mobil itu tergenang air setinggi beberapa sentimeter. Si gadis terus memerhatikan air yang berarus itu, meski apalah arti arus air itu bila dilalui oleh mobil. Lain halnya bila genangan air yang mereka lewati semakin tinggi dan alih-alih menggunakan mobil, mereka harus melewatinya dengan berjalan kaki. Itu baru bencana yang sesungguhnya, dalam skala kecil, tentu saja.
Gadis itu masih saja heran. Mengapa hujan masih setia membasahi bumi tempatnya tinggal pada pertengahan tahun? Jangan-jangan efek pemanasan global. Atau inikah yang dinamakan dengan La Nina[1]? Memangnya La Nina itu apa? Gadis itu menggerung kecil, menyesal karena melupakan istilah dalam cuaca yang belakangan ini sering disebut penyiar televisi.
“Di sini juga banjir. Bukannya Bupati sudah bikin saluran air baru?” Si Wanita mendecak begitu mendapati jalanan yang mereka lalui masih saja tergenang air. “Mana proyeknya lama. Hampir setengah tahun, baru selesai. Bikin macet jalan, bikin susah pejalan kaki.”
“Percuma bikin saluran air. Ndak berfungsi. Entah apa yang dikerjakan Bupati itu.” Si Pengemudi mendengus. “Proyeknya ndak beres tuh, kayaknya.”
“Padahal ngakunya Insinyur Sipil. Dia bolak-balik lewat jalanan ini juga tiap hari, dari rumahnya ke kantor. Tapi masalah begini saja nggak selesai.” Si Wanita turut menimpali. “Syukurlah ini tahun terakhir dia jadi bupati.”
Gadis itu tidak mendengar keluhan berbungkus cercaan dari mereka yang duduk di depannya. Matanya masih terfokus pada hujan yang masih menggila. Pikirannya terlalu sibuk mengira-ngira. Mengapa hujan turun sedemikian lebat pada bulan Juli? Apakah kini hujan turun tak dibatasi waktu? Kalau benar begitu, tentu tidak ada lagi yang namanya musim hujan atau musim kemarau. Sebab batas antara keduanya telah sedemikian kabur, tak lagi sejelas dikotomi musim versi buku sekolahnya dulu.
fin
Catatan kaki:
[1] La Nina : fenomena yang terjadi ketika angin timur menguat dan terjadi pendinginan air di tengah dan timur Samudera Pasifik. Biasanya kondisi ini membawa cuaca kering di beberapa negara bagian Amerika Serikat (AS) dan Amerika selatan. Sebaliknya, hal itu dapat membawa kondisi basah dari normal untuk sebagian besar wilayah Australia, Papua Nugini, Indonesia, dan Amerika Tengah. (Sumber)
Catatan penulis:
- Halo, aku akhirnya kembali setelah sekian lama. Mohon maaf lahir dan bathin, semuanya
.
- Yah, gadis itu mungkin tidak tahu kalau tidak semua wilayah di Indonesia termasuk zona musim atau wilayah yang perbedaan antarmusimnya jelas. (Sumber).
Filed under: one shot, original fiction Tagged: Hujan Bulan Juli
