Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[ONESHOT] Jangan!!

$
0
0

cover cerpen

(written by) Hi.

Terinspirasi dari kutipan:
when you love someone, you’ll want to protect them. no matter what.

Mereka sudah sekelas bertahun-tahun, tapi baru dekat empat bulan yang lalu; di bulan Februari yang dingin, di skating rink di depan balai kota. Entah kenapa, pandangan Citrine langsung tertarik pada penampilan Kuruma yang mengenakan sweater oranye dengan jeans panjang, plus tangan yang memegang es krim vanilla meski saat itu sedang hujan salju.

Kalau dipikir-pikir, mereka masih teman sekelas. Sebait sapa sepertinya masih diperlukan. Citrine menatap bayangannya di kaca toko sebelah. Sweatshirt Totoronya oke, rambut sebahu berhias beanie putih masih oke, senyum juga oke. Siap, waktunya menyapa Kuruma. Selangkah, dua langkah, tiga langkah, dan Kuruma menoleh.

Citrine freeze. Senyumnya ikut membeku, dan otaknya juga, sehingga ia tanpa sadar membiarkan teman sekelasnya menelisik dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Tatapan Kuruma berhenti pada senyum canggung Citrine, lalu—sambil berpaling muka—berkata separuh berdecih,

“Sori, udah punya kecengan.”

Senyum canggung tadi langsung menghilangkan diri. Astaga. Geer maksimal. Terlalu terkesima dengan kalimat Kuma, mulut Citrine berbicara sebelum otaknya merespon,

“Gue udah punya cowo. Mau apa lo?”

Kuruma sepertinya terusik dengan deklarasi perang dari Citrine, jadi ia berbalik dan melotot. Tapi, menemukan Citrine dengan wajah siap membunuh, pikirannya berubah.

“Astaga, hei,” Kuruma tertawa, setengah jiper, “bercanda. Citrine, kan? Yang bajunya pernah nyangkut di gagang pintu? Hai.”

Lagi-lagi Citrine dibuatnya terpana. Hatinya sudah berkobar ingin menonjok, tapi ia tidak mau kalah dari Kuruma. Jadi, cuma tersenyum kecil, “Iya. Hai Kuruma, yang waktu itu jatuh dari kursi waktu ngapus papan tulis.”

Setelah itu Kuruma tertawa dan menawarkannya es krim. Di tengah salju.

Citrine agaknya terlalu terpesona dengan seorang Kuruma dan berusaha mengenal Kuruma lebih dekat—dan mereka benar-benar jadi dekat. Jauh lebih dekat dari yang mereka bayangkan.

= A = ) ! ! !

Hari ini, di siang hari bulan Juli, mereka bertemu lagi di meja nomor 15, di depan toko es krim. Kartu-kartu remi berserakan di atas meja, bersama dengan dua gelas beverage dingin. Dua-duanya tampak berkeringat—hasil bermain tepok nyamuk—dan sekarang mereka merasa lelah.

“Istirahat dulu, yuk. Capek.”

Tiba-tiba terdengar helaan napas lega dari lingkungan sekitar. Sekilas terdengar kata-kata dibisikkan di bawah embusan napas; Akhirnya! … Mereka bisa capek? … Padahal cuma berdua, tapi kerasa kaya konser rockband.

Citrine mengabaikan bisikan-bisikan itu, menyesap strawberry floatnya dan menatap Kuruma. Matanya membulat sesaat, “Oh, iya. Ada kemajuan? Tentang Ann?”

Kuruma menyuap sesendok choco-mint sambil menggeleng. “Mungkin kemunduran.”

“Apa?”

“Gosipnya, Ann jadian. Baru gosip sih,” satu bahu dan satu alis Kuruma terangkat. “Kenapa nanya?”

Citrine mendengus, “Nanya aja. Terus, kalo baru gosip sih, bukan kemunduran. Percaya diri sedikit, dong!”

“Hm,” sahut Kuruma, acuh tak acuh menatap kartu king of hearts di meja; lalu sejenak terlihat bimbang sebelum melirik Citrine. “Kak Juli?”

Si gadis mengalihkan pandangan, memainkan sedotan jus jeruknya. “Kami putus.”

Hening.

Citrine tidak tertarik menjelaskan lebih lanjut, Kuruma tidak mau memaksa Citrine bercerita, dan Kuruma tidak tahu apa yang harus ia katakan. Dan Citrine mungkin butuh waktu sebentar, jadi pemuda itu memutuskan untuk diam juga.

Situasi ini bertahan sekian belas menit, sampai pelayan berseragam merah yang mengantarkan waffle mereka ikut mengerutkan dahi: dua pelanggannya yang paling berisik—sampai-sampai si bos hampir memintanya mengusir mereka—mendadak mengheningkan cipta. Aneh sekali.

Tapi, ada sesuatu yang tidak diam, sesuatu yang lebih aneh lagi—jantung Kuruma. Entah kenapa, rasanya jantung Kuruma jadi hiperaktif dalam keheningan ini.

= A = ) ! ! !

Setelah beberapa menit menyantap waffle dalam keheningan, yang entah bagaimana bisa terasa nyaman, Citrine mengerjap.

Di belakang Kuruma, di toko burger yang enak itu, ada Ann sedang duduk sambil menikmati double cheeseburger. Bukan, bukan itu masalahnya. Masalahnya, Ann tampak mesra dengan seorang pemuda di sebelahnya yang menikmati sepiring french fries.

Pacar barunya? Bisa jadi.

Gambaran Kuruma beberapa bulan yang lalu terputar kembali dalam benak Citrine. Gue? Gue suka Ann, akunya waktu itu.

Citrine melongo, lalu melemparkan pandangan bolak-balik antara Kuruma dan Ann.

Kuruma tidak boleh menengok ke belakang. Tidak boleh.

Entahlah kenapa, dia tidak mau melihat Kuruma sedih. Simpati, mungkin?

Tapi di hadapannya, Kuruma sudah menunjukkan ekspresi jenuh dan mulai merapikan kartu. “Gue bosen. Gimana kalo kita—

Oh, tidak. “Gimana kalo kita main lagi?!”

Orang-orang di sekitar mereka bertatapan panik. Mereka mau mulai lagi?!

Tapi Kuruma diam, lalu ia mengerutkan dahi, “Main tepok nyamuk lagi?”

Kali ini Citrine yang diam. Hmm… tepok nyamuk terlalu beresiko. Kuruma bisa aja nengok ke belakang. Main seven spades… nggak, lebih beresiko lagi. Uh… game yang ngga pake kartu…

“Rine?” cowok di hadapannya sudah memegang tumpukan kartu. “Tapi kayanya, main kartu lagi bosen deh. Kita pergi aja yuk?”

Lagi-lagi terdengar helaan napas lega.

“Nggak!! Jangan!!”

Kuruma melonjak kaget, orang-orang di sekitar juga, dan Citrine cuma nyengir.

“Nggak. Gue punya ide.”

= A = ) ! ! !

Staring game adalah permainan di mana dua orang akan saling menatap dan orang pertama yang berkedip kalah. Citrine dan Kuruma sudah main lima belas ronde—Kuruma unggul 15:0. Dalam ronde-ronde pertama masih banyak tindakan mereka yang lagi-lagi mengundang tatapan orang-orang sekitar; tapi lama-kelamaan, Kuruma hanya perlu menatap datar tanpa melakukan apa-apa—Citrine sudah kalah sebelum Kuruma sempat merasa lelah dan cowok itu mulai bosan.

“Berenti, yuk.”

Citrine melirik ke toko es krim. “Nggak.”

“Ugh. Kenapa?”

Karena Ann masih di sana. “Karena gue belum puas.”

“Maksudnya,” sembari menghela napas, Kuruma memijat dahi, tapi matanya masih terbuka lebar. “karena lo belum menang?”

Citrine berkedip. “Uh—”

“Tuh, kalah lagi,” Kuruma mengedikkan bahu. “Nyerah ajalah. Cari makanan lagi yuk.”

Gadis itu merengut sebal. Bukannya tidak mau—Citrine justru sudah berniat berhenti dari ronde pertama. Matanya bukan tipe mata yang kuat menahan hasrat berkedip dan dia juga mulai lelah.

“Ayolah,” ujar Kuruma sambil menunjuk ke belakangnya, yang spontan membuat Citrine melotot ganas. “Di—“

“JANGAN!”

Hening sejenak. Kuruma memandangi Citrine heran, dan gadis itu buru-buru membekap mulut.

Tolong. Krisis.

Ann masih duduk manis di toko burger. Pacarnya juga. Citrine dan Kuruma akan pergi mencari makan, stand makanan yang lain ada di dekat toko burger. Jadi, mencari makan sama dengan bertemu Ann. Berikut pacarnya.

Tidak.

“G—gue ngga lapar,” cicit Citrine. “pesen waffle aja lagi. Lanjut?”

Kuruma menghela napas berat, tapi tanpa berpikir panjang ia kembali menatap mata Citrine.

“Lanjut.”

= A = ) ! ! !

Sudah sepuluh ronde tambahan. Kuruma dan Citrine, dua-duanya sudah tampak lelah tapi tidak ada tanda-tanda menyerah dari Citrine. Orang-orang juga mulai mengerutkan dahi—mereka ternyata bisa bermain dengan tenang.

Dalam menit-menit yang memedihkan mata itu, Kuruma (akhirnya) menyadari kebiasaan baru Citrine—mencuri-curi pandang ke belakang Kuruma—dan mau tidak mau membuat Kuruma penasaran juga.

“Ada apa sih di belakang?” tanya Kuruma, masih tidak berkedip. “Lo ngelirik mulu; tapi tiap gue mau nengok, lo udah ngajak main lagi. Cogan, ya?”

Citrine melotot. “Enak aja!”

“Apa, dong?”

Kecengan lo, tau. “Umm, itu…” uh—ngeles apa, ya? “… eh… b—burge—uhm, popcorn…”

Burger popcorn?

Citrine nyaris tersedak, tapi tetap berjuang setengah mati untuk tidak berkedip. “P—popcorn. Popcorn yang pernah disulap jadi burger sama… sama…”

Whatever. Intinya, lo laper, kan?” cowok itu menghembuskan napas lega—hebatnya, masih tidak berkedip—dan bersiap berdiri. “Nah, udahan yuk. Ayo kita beli burger pop—”

“Yang gerak kalah!” teriak Citrine, desperate. “kalo lo kalah, lo harus traktir.”

Kuruma mengernyit, lengkap dengan sudut dahinya yang berkedut jengkel. “Tapi lo udah—gue udah—”

“Ngga ngaku. Kita ngga—maksudnya, gue belum, bukan, gue harus menang.”

Kuruma tertawa—seperempat absurd, tigaperempat evil—dan memelototi Citrine lekat-lekat. “Oke. Seandainya lo nyerah sebelum menang, lo harus traktir.”

“Uh—” Citrine berjengit, sejenak merasa ragu. Demi Kuruma. “O—oke. Tolong jaga isi dompet saya baik-baik…”

Dan Kuruma tertawa lagi.

Gue harus cepet-cepet kalah dan kita harus cepet-cepet pergi dari sini atau dia bakal liat Kak Juli sama pacar baru di belakangnya. Gue ngga mau liat muka sedih Citrine,

tau deh kenapa. Simpati, mungkin?

 

fin–bye!


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Jangan!

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles