Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Enchanted – The Epilogue 3

$
0
0

picsart_09-07-09-06-33 medals

.

.

.

Saat itu adalah masa sibuk firmanya di kala seluruh proyek kerjasama harus diselesaikan sebelum tahun berakhir. Saking sibuknya, hampir seluruh penghuni kantor menempati bangunan dua lantai itu sebagai tempat singgah sementara. Luhan menatap satu persatu teman-temannya yang tenggelam dengan pekerjaan mereka di meja masing-masing. Minseok tidak ada di kantor, sepertinya sedang berada di lokasi kerja mengawasi pembangunan sebuah art center di Incheon bersama para kliennya.

Dia merasa sangat penat dengan pekerjaan, selama hampir setahun ini dia tidak pernah merasakan santainya berlibur barang sehari saja. Bosan, Luhan berpindah dari meja gambarnya, menggeser kursi ke depan komputer dan membuka sebuah situs penjualan tiket.

Malam itu dia bermimpi tentang Jo. Kali itu agak sedikit mengganggu karena Jo terus muncul dalam mimpinya selama tiga hari berturut-turut. Luhan tidak begitu ingat, bahkan sama sekali tidak ingat apa yang gadis itu lakukan di dalam mimpinya, tapi fakta itu membuat fokusnya buyar sepanjang pagi.

Yang dibukanya adalah situs sebuah teater di London, Luhan iseng mencari pertunjukan yang lebih spesifik. Dia memilih satu jendela yang menampilkan jadwal pertunjukkan ballet di bulan itu, dan menemukan dua pertunjukkan sebelum akhir tahun. Satu pertunjukkan berakhir minggu itu, lainnya dimulai pertengahan Desember.

Klik.

Luhan membuka halaman pertunjukkan ballet akhir minggu itu. Judulnya Giselle, yang konon merupakan salah satu kisah paling romantis dalam pertunjukkan ballet dunia. Tapi tentu saja dia tidak paham, dan sesungguhnya dia tidak terlalu peduli bagaimana ceritanya.  Karena yang terpenting berada di ujung bawah deskripsi pertunjukkan itu, Luhan mendengus pelan ketika menemukan nama Jo sebagai penari solo di sana.

Shin Eunhye, tolong ubah semua jadwalku akhir minggu ini, undur saja sampai minggu depan. Paling cepat hari Selasa. Ketiknya di ruang bicara sebuah aplikasi obrolan online. Dia mengirim pesan itu  pada sekretarisnya—yang duduk tak jauh dari ruangannya di pojok pintu keluar.

Luhan bisa melihat dari ujung matanya, gadis muda itu melenggangkan leher seolah memastikan kalau dia masih berada di mejanya saat ini.

Kenapa? Memangnya kau mau ke mana? Gadis itu menjawabnya tak sampai lima detik kemudian.

Keluar negeri.

Luhan membuka situs maskapai penerbangan di jendela yang lain begitu mengirimkan pesan balasan. Eunhye menjawab pesannya saat dia memilih jam penerbangan dan tidak mengacuhkannya hingga proses pembayaran tiket selesai, menaruh kartu kredit ke dalam dompetnya dan baru membuka pesan-pesan yang belum terbalas.

Ke mana?

Kupikir kau harus bertemu dengan perwakilan grup Samsung minggu depan?

Memangnya tidak apa-apa kalau dibatalkan?

Halo?

Jadi kau mau ke mana?

Luhan membaca pesan-pesan itu satu-persatu, yang dikirim dalam jarak satu menit sekali dan terus berdatangan karena dia tidak segera menjawabnya. Gadis bernama Shin Eunhye itu memang tidak sabaran, kalau bukan karena relasi dari seorang seniornya di kampus dulu, Luhan mungkin sudah membebastugaskannya sejak minggu pertama gadis itu bekerja di sini.

Pintu kaca ruangannya diketuk, Luhan menemukan Eunhye sudah berdiri di depannya. Dia baru saja hendak membalas pesannya, itu yang dia katakan pada gadis itu.

“Apakah kau akan memberitahuku ke mana kau akan pergi, Oppa?” Eunhye mengulangi pertanyaannya di dunia maya.

Luhan menggeleng dengan bibir terkatup, sebuah gestur yang jelas memperlihatkan bahwa dia tidak ingin berbagi informasi. Jangankan Eunhye, Minseok pun tidak akan dia beritahu—setidaknya tidak yang sebenarnya.

“Bila ada yang mencariku, katakan saja bahwa aku harus keluar negeri, business trip penting, kau tidak perlu menjelaskan lainnya.” Jawabnya santai, lalu menggeser kursinya kembali ke meja gambar dan mengedikkan dagunya ke arah pintu. “Kau boleh pergi.”

Dia mendengar Shin Eunhye mendesah keras sebelum gadis itu pergi keluar ruangannya. Orang-orang mengatakan bahwa dia terlalu dingin pada Shin Eunhye, tapi Luhan tidak pernah melihat ada yang salah dengan sikapnya. Dia bahkan tidak tahu lagi bagaimana merespon perkataan orang. Bila dia terlalu ramah, maka orang-orang menyebutnya sebagai si pemberi harapan palsu. Bila dia terlalu dingin, orang-orang menyebutnya sadis.

Tapi Shin Eunhye adalah satu-satunya karyawan wanita di firma ini, ditambah lagi sangat terilhat jelas gadis itu menunjukkan rasa tertarik yang dalam pada dirinya, dan itu adalah alasannya untuk tidak banyak merespon. Sudah hampir setahun ini dia tidak banyak “berinterasi” dengan wanita, dan sederhana saja, dia tidak tertarik dengan Shin Eunhye. Luhan menyadari bahwa keramahannya tidak akan membawa dampak yang baik bila dia menjadi Luhan yang dulu.

Luhan melirik lagi ke arah layar komputernya, menatap salah satu versi poster ballet Giselle di mana Jo menjadi cover-nya. Dia tidak sabar untuk segera terbang akhir minggu ini.

Luhan tidak memberitahu dengan detail tentang kepergiaannya pada Minseok. Sahabatnya itu hanya tahu bahwa dia akan pergi ke Los Angeles—bukannya London—hari Sabtu ini dan akan kembali besok harinya.

Selama perjalanannya di udara, Luhan hampir tidak bisa menutup mata. Padahal setelah berbulan-bulan marathon mengerjakan berbagai proyek, Luhan berencana untuk tidur sejak pesawatnya tinggal landas hingga mendarat. Tapi bukannya menikmati kursi empuk di kelas pertama itu, rasa ngantuknya hilang sempurna.

Sambil menghabiskan waktu, Luhan menikmati sampanye yang ditawarkan oleh pramugari yang mungkin menyadari lampu kursinya masih menyala di kala semua orang terlelap. Dengan memanfaatkan wifi di dalam kabin, Luhan menyelesaikan pekerjaan yang belum sempat dia sentuh.

Duabelas jam penerbangan terasa cepat di kala Luhan tenggelam dengan pekerjaannya. Langit London hampir gelap ketika pesawatnya akan mendarat, sekitar pukul dua lebih tiga puluh menit waktu setempat.

Luhan melirik jam tangannya hampir tiap lima menit. Dia hanya punya tiga jam hingga pintu teater ditutup, dan masih ada beberapa hal yang harus dilakukannya sebelum sampai di sana. Untung saja dia sudah memperhitungkan segalanya, barang bawaannya tidak banyak, hanya satu tas ransel bepergiaan besar yang bisa dipanggulnya dengan mudah. Apa yang harus dia naiki, kemana dia harus pergi pun telah direncanakannya dengan matang. Langkahnya cepat begitu melewati pintu keluar, Heathrow bukan lagi pemandangan baru baginya. Luhan tahu benar harus ke mana dia pergi, mengejar tube tercepat untuk membawanya ke London.

Pemberhentian pertama Luhan adalah sebuah toko bunga bernama Bloom of Fleur. Tempatnya tak jauh dari stasiun Piccadily, konon hanya dua blok saja. Luhan merapatkan mantelnya begitu sampai di puncak tangga stasiun bawah tanah, salju sepertinya sudah turun sejak sekitar setengah jam sebelumnya, melihat tumpukkan es yang mulai menebal di pinggir jalan.

Luhan berhasil menemukan galeri kecil itu berkat bantuan GPS di ponselnya. Dia sudah memesan buket bunga khusus sejak memesan tiket pesawat, karena model buket dan bunga yang dia inginkan hanya tersedia dalam bentuk pemesanan. Dia terus memandangi buket bunga itu selama memeluk kotak bundarnya dalam perjalanan selanjutnya. Jo pernah memberitahunya bahwa dia sangat menyukai buka peoni. Bunga itu hanya tumbuh besar dan membulat sempurna di beberapa tempat di belahan dunia. Luhan pernah mencoba mencarinya di seluruh pelosok Seoul dulu, dan tak pernah menemukan peoni secantik buket bunganya hari itu. Jo pasti akan senang menerimanya.

Luhan memutuskan untuk mampir ke hotel sebelum ke teater. Dia masih punya satu setengah jam sebelum pertunjukkan dimulai, atau sekitar satu jam hingga pintu teater ditutup. Dengan waktu yang tersisa, Luhan membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan stelan suit berwarna hitam, sesuai dengan peraturan untuk audiens. Dia mengatur rambutnya sedemikian rupa, menyisirnya rapi dan menariknya ke belakang kepala. Dia bisa melihat teater tempat pertunjukkan ballet dari jendela kamarnya, dan ketika memutuskan untuk berangkat, Luhan memeluk kotak buket bunga peoninya lebih erat.

Saatnya bertemu Jo.

.

Kadang dalam hidup seseorang perlu melakukan sesuatu secara impromptu, hanya untuk mengindari situasi di mana kadang seseorang cenderung berubah pikiran bila terlalu lama mengambil keputusan. Luhan tahu dia pasti akan mengurungkan niatnya untuk terbang ke London bila terus menunda waktu dan banyak berpikir, dia tahu pada akhirnya akan banyak ragu yang muncul ketika berhadapan dengan kenyataan yang berdiri di depan matanya.

Seperti saat antrian panjang memasuki teater mulai berkurang, Luhan sempat berhenti melangkah dan bertanya pada dirinya sendiri apakah masuk ke dalam auditorium itu adalah keputusan yang tepat. Atau ketika ragu membuatnya mundur untuk memberikan buket bunga yang dibelinya langsung pada Jo di acara after party, dia memutuskan untuk menitipkan buket itu pada manajer akademi di lobi, bersama sekian banyak buket-buket bunga yang dititipkan di sana.

Luhan tidak bisa tidur malam itu. Dia rindu, dan dua jam pertunjukkan melihat Jo dari jauh sama sekali tidak mengobatinya, malahan membuat rasa rindunya makin memburuk. Selama pertunjukkan berlangsung Luhan sangat berharap sekali saja Jo melihatnya, atau setidaknya menyadari keberadaannya di sana. Tapi tentu saja itu tidak terjadi, seluruh lampu dan cahaya hanya tersorot ke atas panggung. Meski Jo adalah matahari terterang baginya saat itu, bagi Jo dia hanyalah kerlip satu bintang di tengah malam yang gelap. Bahkan saat encore di akhir pertunjukkan lampu auditorium menyala, Jo tidak sekali pun melayangkan mata ke arahnya.

Dari dalam dompet, Luhan mengeluarkan secarik kertas kecil pemberian Jongin. Lelaki itu pernah memberinya alamat Jo sekitar tiga tahun yang lalu, dalam keadaan mabuk dan disertai keluhan yang panjang tentang hal yang sama sejak Jo pergi ke London. Dia memikirkan sesuatu. Sebenarnya ini lah yang ditakutkannya ketika pertama kali dia memutuskan untuk hadir di pertunjukkan Jo, niat awal yang hanya ingin duduk dan melihat gadis itu dari jauh berubah menjadi obsesi untuk melakukan hal-hal yang lebih dari itu.

Maka sekali lagi, seseorang kadang perlu membuat keputusan yang ekstrim dalam hidupnya. Dia sudah di sana sekarang. Anak panah telah tertancap di papan sasaran, tidak ada salahnya untuk mencoba peruntungannya kali itu. Tidak ingin ragu digantikan dengan penyesalan yang mungkin akan terus menghantuinya bertahun-tahun ke depan, Luhan tidak membuang waktu ketika meminta resepsionis untuk memesankan taksi dari saluran telepon. Dia bergegas turun ke lobi saat itu juga.

Dia berusaha untuk menepis segala ragunya selama perjalanan. Kunjungan itu entah akan berarti apa, Luhan tidak tahu. Apakah Jo akan menerima kunjungannya, apakah gadis itu akan senang melihatnya, dia pun tidak peduli. Dia rindu, dan saat itu yang diinginkannya hanya memuaskan rasa hausnya selama tujuh tahun untuk bertemu Jo lagi.

Alamat itu berumur tiga tahun, dan mungkin lebih, Luhan tidak tahu apakah Jo masih tinggal di sana. Saat itu sudah jam dua malam, jalanan sudah sepi. Supir taksi menurunkannya di area deretan apartemen berbentuk Townhouse, semuanya tampak sama kecuali nomor-nomor yang tertempel berurutan di tiap bangunannya.

Tidak ada yang menjawab ketika dia membunyikan bel pintu. Tiga, hingga lima kali, mesin penjawab tetap bergeming. Dia yakin berada di rumah yang benar, atau setidaknya alamat itu masih ditempati Jo. Karena dengan frekuensinya menekan bel, seharusnya ada orang yang menjawab. Kecuali  bila sang pemilik rumah belum kembali saat itu.

Luhan menatap jam tangannya lagi. Apakah after party selalu berakhir semalam itu, dia bertanya-tanya. Dia memutuskan untuk menunggu, duduk di bangku besi di pinggir trotoar, tidak peduli meski hawa dingin begitu merasuk hingga ke tulang rusuknya. Dia berharap gadis itu akan pulang malam itu, atau setidaknya sebelum pesawatnya terbang kembali ke Seoul.

Dia menunggu selama setengah jam, dan berniat untuk terus menunggu ketika di persimpangan sebuah mobil berhenti. Seorang gadis turun dari kendaraan, sepertinya bersama teman-temannya, mendengar gadis itu samar-samar mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal. Dia bisa melihat sosok itu lebih jelas, dan yakin itu Jo ketika melihatnya memeluk kotak buket bunga yang sangat familier. Buket pemberiannya.

Entah bagaimana perasaannya saat itu, tapi ada debar yang menyenangkan di dadanya melihat gadis itu memeluk bunganya. Apakah Jo tahu buket itu darinya? Luhan berpikir, yang jelas dia yakin gadis itu pasti menyukainya, karena Jo memilih buketnya dari sekian banyak bunga yang ditinggalkan di ruangannya malam itu.

Posisinya tertutup oleh gelap, Jo tidak melihatnya saat itu, belum melihatnya. Luhan beranjak, dia siap menyambut kepulangan gadis itu, dan setelahnya waktu tampak berjalan sangat lambat baginya. Ketika di saat yang sama tiba-tiba saja sebuah mobil sedan muncul dari persimpangan, tidak melambatkan laju kendaraan saat berbelok ke arah Jo.

Luhan tidak menyadari bahwa ini akan menjadi kejadian yang yang terus muncul di mimpinya selama bulan-bulan berikutnya. Saat dia berharap bisa melakukan sesuatu selain menyaksikan kejadian itu seperti orang bodoh, saat dia berteriak memanggil Jo, atau ketika suaranya menjadi distraksi dan membuat gadis itu lupa bergerak. Saat Luhan berlari, segalanya terlambat.

Mobil sedan itu menabrak Jo dari belakang, lalu oleng dan baru berhenti ketika menabrak tiang tak jauh dari sana. Tubuh Jo terpental, suara debuman terdengar keras bersama kaca jendela yang pecah saat gadis itu mendarat sisi mobil yang teparkir di pinggir jalan dan jatuh ke atas aspal. Gaduh suara alarm mobil dan efek tabrakan sedan dengan tiang lampu membangunkan banyak orang yang tinggal di sekitar sana.

Jendela-jendela yang gelap satu persatu menyala saat Luhan menghampiri tubuh Jo yang tak bergerak, dia berjongkok di samping gadis itu, tidak berani membalik tubuhnya. Hanya namanya saja yang terus keluar dari mulut Luhan, memastikan gadis itu tetap sadar. Dan ketika dia mendengar Jo merintih pelan, Luhan berteriak pada semua orang yang melongok dari jendela rumah mereka.

Call ambulance!

* * *

Jo muncul lagi di televisi.

Perhatian Luhan tersita selama beberapa detik ketika sebuah iklan perawatan wajah terputar di sela acara variety show. Sejak Jo menjadi brand ambassador produk itu, Luhan melihat wajah gadis itu minimal sekali dalam sehari di televisi. Dan wajahnya terpasang di mana-mana; billboard raksasa di dinding plaza, halte dan bus kota, stasiun kereta bawah tanah, hingga di taman dekat apartemennya. Luhan sering, terlalu sering bahkan, melihat gadis itu ke manapun dia pergi hingga tak terasa dua bulan berlalu sejak terakhir kali mereka bertemu.

Minseok duduk sofa bersama para kliennya di dekat televisi. Mereka tampaknya menikmati sekali pemandangan di layar segiempat itu, Luhan mendengus sendiri mendengar Minseok memamerkan diri bagaimana gadis yang tengah naik daun itu adalah sahabat dekatnya. Dan ketika mata mereka beradu, Luhan kembali pada laptopnya, pura-pura tak peduli.

Dia seringkali berpura-pura belakangan ini. Pura-pura tidak mendengarkan, pura-pura tidak melihat, pura-pura tidak ingin tahu, segalanya berpura-pura bila berhubungan dengan Jo. Sebenarnya dia ingin sekali sungguh tidak mendengar, tapi sayangnya dia punya telinga yang berfungsi dengan sempurna. Sebenarnya dia ingin sekali sungguh tidak melihat, sayangnya dia punya mata elang yang tajam. Bila tentang Jo, semaksimal apapun rasanya dia tidak ingin terlibat, inderanya tidak pernah bekerjasama dengan baik.

Luhan tahu benar apa yang harus ditukar seseorang atas nama ketenaran. Saat pertama kali melihat Jo terpampang di cover sebuah majalah kecantikan yang cukup tenar (anak buahnya menunjukkan majalah itu padanya dua bulan lalu), Luhan tahu kemunculan gadis itu di media massa tidak hanya akan berhenti di sana. Dan ketika namanya kini mulai dikenal di mana-mana, Luhan tidak bisa menutup telinga ketika nama Jongin mulai terdengar bersamanya di antara isu-isu selebrita.

Permasalahannya adalah semua orang di kantornya tahu sejarah macam apa yang dia miliki bersama Jo, dan dia tidak bisa menghindari berbagai macam ledekan yang tertuju padanya. Dia tidak bisa marah atau menunjukkan rasa kesal, karena dengan begitu terlihat jelas bahwa sejarahnya masih berarti sesuatu. Dia tidak ingin orang-orang melihatnya seperti itu.

“Kau pernah hampir kehilangan dia sekali, lalu melepaskannya sekali. Kalau kali ini kau tidak melakukan sesuatu, mungkin kesempatan lainnya tidak akan pernah datang lagi.”

Kalimat itu terus terngiang di telinganya. Minseok mengatakannya sebulan yang lalu, ketika dunia maya diramaikan oleh situs paparazzi yang merilis beberapa foto candid Jongin bersama Jo keluar dari sebuah restoran saat tengah malam.

Ketika pertama kali melihat berita itu di internet, rasanya seperti ada awan panas yang bergumul di atas kepalanya. Dia merasa dikhianati untuk kedua kali. Dia ingin marah, bahkan sudah siap untuk menemui Jongin saat itu. Tapi ketika sudah duduk di mobil dan menyalakan mesin, Luhan lalu berpikir.

Dia tidak punya hak apapun untuk marah atau merasa dikhianati.

Karena pertama, Jo bukan lagi miliknya.

Dan kedua, dia bukan siapa-siapa lagi bagi gadis itu.

“Kudengar kalian bertemu di Hongdae sebulan yang lalu, Jo memberitahuku.” Luhan kemudian teringat kata-kata Jongin saat bertemu dengannya seminggu yang lalu. Jongin sengaja mendekatinya dan mengatakan itu saat mereka berdua saja.

“Aku masih menyukainya. Selama ini aku tidak melakukan apapun karena kupikir setelah dia kembali kalian mungkin akan bersama lagi,”

Luhan masih ingat jelas bagaimana tanpa dosanya Jongin ketika mengatakan hal itu di depan mukanya, rasanya seperti ditampar. Saat itu dia ingin sekali mengatakan sesuatu, seperti ‘kau ini tidak tahu malu, ya?’ atau ‘boleh kupukul kau sekarang?’, tapi entah kenapa tidak ada satu pun kalimat yang keluar dari mulutnya. Dia hanya diam dan membiarkan Jongin meneruskan kalimatnya.

“Aku mengatakan ini karena tidak ingin kau mendengarnya dari orang lain. Kali ini aku tidak merebut siapapun dari siapapun. Fair play.” Jongin menutup kalimat itu dengan menjabat tangannya seolah mengesahkan sesuatu, padahal dia tidak pernah setuju dengan perjanjian apapun hari itu.

Luhan menaruh tangan di atas meja, lalu memijit keningnya yang mendadak pegal. Apa ini yang memang dia inginkan? Sampai saat ini Luhan sendiri tidak bisa menjawabnya. Dia hanya tahu bahwa meski delapan tahun sudah berlalu, sekeras apapun usahanya untuk lupa, Luhan tidak pernah bisa melakukannya.

Perasaannya pada Jo tidak pernah hilang. Sekeras apapun dia berusaha untuk menyangkal kata-kata Minseok, segalanya masih tetap sama hingga detik ini.

Jadi, apakah ini yang dia inginkan? Luhan mencoba untuk memikirkannya lagi. Apakah ini yang Jo inginkan? Pertanyaan itu tiba-tiba saja muncul di kepalanya. Dia terlalu sibuk memikirkan dirinya sendiri hingga lupa bahwa cerita ini tidak hanya bergulat tentang hidupnya saja. Seseorang yang lain juga memiliki porsi yang sama besar untuk memutuskan sesuatu. Dan Luhan tidak bisa menahan diri untuk ingin tahu…

Apakah Jo masih ingin bersama Jongin?

Setelah perdebatan yang panjang di dalam kepalanya, detik itu juga Luhan memutuskan untuk mencari tahu. Tidak ingin membuang waktu, terlebih karena tidak ingin berubah pikiran lagi, dia beranjak dari menghampiri Minseok di mejanya. Sahabatnya itu hanya berdengung pelan ketika dia berdiri di hadapannya, meminta perhatian.

Minseok baru mengalihkan perhatiannya dari layar laptop ketika Luhan mengetuk permukaan mejanya.

“Iya, Luhan ssi? Ada yang bisa dibantu?” ujar Minseok senewen. Mereka sudah cukup dekat untuk saling mengabaikan yang lain saat bicara, jadi ketika dia meminta perhatian penuh, agaknya itu sedikit mengganggu Minseok.

“Beri aku alamat Jo.” Katanya. Luhan lalu segera menambahkan sebelum Minseok sempat bertanya hal yang tidak begitu penting seperti yang sudah-sudah. “Han Jo, alamatnya, tolong.”

Minseok tidak langsung memberikan apa yang dia minta. Laki-laki itu hanya menatapnya dengan mulut terbuka, seolah sedang berusaha untuk mencerna sebuah informasi yang sulit diterima. Dan setelah kira-kira tiga detik Luhan kemudian mengetuk jam tangannya, Minseok menggumamkan ‘ah’ pelan dan menulis sesuatu di sebuah post-it.

“Lantai 14 nomor 1402, password elevatornya 2387. Lebih baik kau parkir di basement, banyak pemburu berita di lobi.” Untuk seseorang yang sedang kesal padanya, Minseok jelas banyak bicara. Dan ternyata masih berlanjut. ”Dan dia ada jadwal fisioterapi hari ini, jadi aku tidak yakin kalau dia sudah di rumah sekarang. Perlu kuberitahu dia kalau kau akan mampir?”

 Luhan menggeleng. “Tidak usah. Ini tidak urgent, tidak masalah.” Katanya menolak tawaran Minseok. Lelaki itu hanya tersenyum, atau mungkin menertawainya dalam hati. Yang jelas wajahnya berubah ceria begitu tahu dia berniat untuk menemui Jo lagi.

Dia tidak suka melihat ekspresi wajah itu.

Luhan mengangkat post-it itu, tanda terima kasih, kemudian berbalik dan segera pergi setelah memberitahu Minseok bahwa dia tidak akan kembali lagi ke kantor malam ini. Dia bahkan tidak memedulikan panggilan Shin Eunhye yang sepertinya membutuhkan konfirmasi sesuatu, hanya mengibaskan tangannya menyuruh gadis muda itu pergi ke Minseok.

Keputusan bulat. Untuk Jo, hari ini atau tidak sama sekali.

.

.

* * *


Filed under: fan fiction, series Tagged: Enchanted, Han Jo, Kim Jongin, Kim Minseok, Lu Han


Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles