Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Fragment: A – C

$
0
0

photo-1453641719371-8d31b45499a6

Inspired by David Levithan’s The Lover’s Dictionary.

A.

Aloof.

Ini kali kesekian Drew menghilang, dan semestinya aku tak perlu khawatir. Seusai meletakan ponsel di atas nakas tanpa rasa kesal, aku pun merangkak ke atas ranjang. Entah bagaimana, tiba-tiba aku bisa merasakan presensinya di sampingku; ia memelukku, mengusap-usap lembut perutku yang baru diisi empat potong pizza. Ya, seperti biasa, Drew hanya sedang ingin menyendiri; berlari meninggalkan bisingnya kehidupan, lantas bersembunyi untuk menikmati waktunya seorang diri. Tenang saja, ia pasti akan kembali; entah padaku, pada ayahnya, atau pada Danny.

Sebaiknya aku mulai terbiasa dengan hal itu mulai detik ini, lalu tidur … karena sekarang sudah pukul delapan pagi.

*

Abstraction.

Cinta adalah sesuatu yang abstrak. Saking abstraknya, terkadang aku bisa merasakan wanita itu di setiap suap sarapanku, makan siangku, dan makan malamku saat aku benar-benar rindu. Itu terdengar gila karena aku terkesan seperti kanibal, tapi Drew justru senang ketika aku jujur mengenai hal itu.

“Kalau boleh tahu, aku rasanya seperti apa?”

“Yang jelas tidak seperti saus guacamole buatanmu,” jawabku asal; dia memukulku, aku menciumnya.

*

Antsy.

“Kenapa diam saja? Rambutku jelek?”

“Tidak, bukan. Aku hanya tidak suka aroma samponya. Aroma lavender, kan? Tidak enak.”

Wanita itu mengerutkan kening sejurus. “Well, kita pergi setengah jam lagi. Aku mau keramas ulang, kali ini pakai sampo lidah buaya,” katanya sambil melengang pergi. Alih-alih menjawab, aku malah mengambil majalah Kinfolk terbarunya yang tergeletak di atas meja, lalu membolak-balik halamannya tanpa minat.

Seandainya ia tahu, aku diam bukan karena aroma lavender yang tidak buruk-buruk amat itu, melainkan karena rambutnya yang sekarang menjadi lebih pendek sehingga lehernya yang manis terekspos; membuatku gugup bukan main.

*

B.

Blemish.

Aku tak pernah melihat wajahnya sedekat ini, tak pernah menikmati wajahnya sebanyak ini. Drew tersenyum malu, lantas berusaha melindungi wajahnya dari tatapanku.

“Kenapa?”

“Aku belum mandi.”

“Aku juga.”

“Aku belum pakai foundation.”

“Kenapa harus pakai foundation?”

Ia menggiring telunjukku ke bawah dagunya, ada tiga atau empat noda hitam di sana. “Bekas jerawat,” katanya.

“Tidak apa-apa, ini cute.”

Dia tertawa cukup keras, mungkin kata ‘cute’ terlalu menjijikkan untuknya.

*

Breathing.

Drew sangat suka meletakan kepalanya di atas dadaku ketika menjelang tidur. Saat aku menanyakan alasannya, dia hanya menjawab, “Mendapatimu masih bernapas membuatku merasa nyaman dan aman.”

*

Better.

Dia adalah yang pertama.

Memang, ada sekantung rasa malu ketika mengakuinya. Namun, rasa itu seketika lenyap saat ia berucap, “Tapi pertamamu lebih baik dari pertamaku.”

“Maksudmu?”

“Karena agak rumit untuk dijelaskan, mending kita ulang saja ciumannya.”

*

C.

Confluence.

Saat pertama kali membuat janji temu, aku bertanya padanya pakaian seperti apa yang akan ia kenakan.

Sweater sewarna laut,” katanya.

Aku pun bertanya lagi, “Kedalamannya?”

Hening, dan aku merasa bodoh gara-gara pertanyaanku sendiri.

Belum sempat aku meralat, wanita itu sudah kembali bersuara, “Kurang dari dua ratus meter, … warnanya biru muda.”

Entah mengapa, aku merasa lega karena ternyata wanita itu mengerti apa yang kumaksudkan.

*

Catharsis.

“Pada saat kita bertengkar dan tak saling berbicara selama dua minggu, aku pernah sangat frustrasi karena merindukanmu, namun terlalu gengsi untuk menghubungimu lebih dulu.”

“Lalu, apa yang kaulakukan pada saat itu?”

Drew menghela napas panjang. “Mengeluarkan seluruh pakaian dari lemari, lalu merapikannya kembali. Begitu seterusnya sampai akhirnya aku mengantuk dan tertidur.”

“Lalu, apa yang terjadi saat kau bangun?”

“Aku semakin merindukanmu.”

*

Champagne.

Saat itu hari anniversary kami yang pertama. Bodohnya aku baru ingat saat berada di ambang pintu, sesaat sebelum pulang dari apartemennya.

“Jadi, apa kau akan di sini lebih lama?” tanya wanita itu dari balik bahu—aku berjalan di belakangnya, membatalkan kepulanganku.

“Tentu saja.”

“Enaknya kita melakukan apa?”

Aku termenung sejenak sebelum akhirnya menyuarakan ide murahan. “Minum sampanye, lalu bercinta.”

Drew menghentikan langkah, lantas berbalik. “Tapi aku tidak punya sampanye.”

“Lalu, apa yang kaupunya?”

Coke.”

“Baiklah, tidak masalah.”

  1. Jadiiii, aku kembali menulis karena novelnya David Levithan gemes banget. Aku ndak kuad! Dan ya, aku menulis berdasarkan prompt yang ada di dalam novel itu.
  2. Aku menulis ini sambil bersedih ((info gak penting)).
  3. SCENE YANG ITU-ITU LAGI HAHA MAAF AKU GAK KREATIF.
  4. Minta doanya supaya bisa selesai sampai huruf Z, ya!!!
  5. Kritik dan saran sangat ditunggu. Terima kasih sudah membaca🙂

Filed under: original fiction, series Tagged: Fragment

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles