.
sometimes she hopes she’s just a little braver…
–
Luhan sangat suka bermain-main. Saat mereka masih sangat muda dulu reputasinya cukup dikenal sebagai anak laki-laki yang tidak bisa berdiam diri, sangat suka bercanda dan super jail. Di tahun pertama SMA mereka, Luhan tidak bosan mengungkapkan rasa kesalnya karena di antara mereka bertiga, hanya dia yang ‘diasingkan’ ke kelas lain. Dan menurutnya, ‘sendirian’ itu membosankan.
Sampai sekarang, Jo masih sering tersenyum sendiri bila mengingat masa-masa SMA-nya. Bagaimana saking bosannya dulu, Luhan (bersama para anak laki-laki di kelasnya, kelas 1-1) tiba-tiba mendatangi ruang kelasnya di ruang 1-2 dan menantang teman-temannya ‘berkelahi’ saat jam self-study. Kejadian itu mungkin menjadi insiden yang akan terus diingat sepanjang masa oleh seluruh penghuni SMA Woomin dan para alumninya.
Selama hampir satu jam, anak-anak kelas 1-2 melawan bala tentara yang Luhan boyong dari kelasnya beradu panco, ttakbam, sampai beradu cepat menjawab soal matematika. Lucunya adalah, dua wali kelas masing-masing yang seharusnya datang untuk melerai dan menenangkan suasana malah ikut beradu panco di akhir ‘perkelahian’.
Kelas 1-1 menang telak hari itu. Minseok yang tadinya hampir memenangkan adu panco setelah mengalahkan satu persatu lawannya akhirnya kelelahan dan kalah juga melawan Luhan. Selama hampir sebulan penuh kelas mereka menyombongkan kemenangannya, Luhan bahkan bangga sekali karena jadi pemimpin mereka. Seingat Jo, sejak itulah nama Luhan menjadi legenda.
Banyak hal yang lelaki itu mulai dan diteruskan oleh adik-adik kelas mereka, bahkan hingga hari ini. Jo cukup terkejut ketika Minseok bercerita bahwa para siswa Woomin masih bermain lompat tali sesekali waktu saat istirahat kelas, dan Jo ingat sekali, dulu permainan itu dimulai oleh keisengan Luhan, yang berdalih teman-temannya perlu sedikit bergerak dan berolahraga.
Luhan mengajak Minseok dan beberapa anak laki-laki di klub bola menggunakan tali tambang dari kelas PE, lalu meniupkan peluit di sepanjang koridor kelas 1 untuk menggiring teman-temannya keluar. Awalnya hanya anak-anak kelas 1 saja yang bermain, kelamaan para senior pun ikut turun dan bergabung bersama mereka.
Tidak peduli kehebohan apa yang dia ciptakan di sekolah, Luhan hampir selalu lolos dari hukuman kedisiplinan, karena alasannya satu: apa yang dia lakukan menghibur banyak orang. Dia tidak pernah bisa duduk diam dan hanya mendengarkan penjelasan para guru, tangannya selalu gatal melakukan sesuatu. Jo hampir tiap hari mendengar cerita guru-guru memprotes kebiasaan Luhan yang, kalau tidak bermain rubik, pasti ketahuan menggambar sesuatu di buku sketsanya. Tapi tidak ada guru yang melakukan lebih dari hanya mengomel, karena pada akhirnya Luhan bisa mengingat jelas apa yang mereka katakan. Dia menjawab semua pertanyaan dengan benar, dan memperoleh nilai terbaik di kelas-kelas mereka.
Si anak pintar hanya bosan, dan tidak ada yang bisa menyalahkannya. Karena itulah sampai di tahun ketiga mereka, para guru sudah berhenti protes dan membiarkan Luhan melakukan apa yang dia inginkan, seolah menyadari bahwa omelan mereka tidak akan mengubah kebiasaannya.
Orang-orang menyukainya karena itu. Sikapnya yang ramah dan mudah berteman, meski jailnya luar biasa. Si jenius yang tidak pernah mau kalah, pakarnya segala permainan yang melibatkan bola, kesayangan guru-guru sekolah, dan idola para wanita. The highscool sweetheart.
Jo hampir tidak percaya bagaimana seseorang bisa berubah begitu drastisnya. Yang paling tidak bisa dipercaya lagi, dialah penyebab segalanya. Keegoisannya.
* * *
.
Dug dug.
Jantungnya seolah kembali berdegup, Jo memutuskan kontak mata mereka setelah beberapa saat. Setelah sekian lama Jo mempertanyakan keabsenan Luhan, dia tidak mengira akan melihat lelaki itu hari ini. Dan dari sekian banyak tempat di Korea, Jo tidak menyangka akan bertemu dengannya di kafe ini, tempat kecil saksi bisu sekian banyak memori mereka bersama.
Jo menatap jari-jarinya yang saling berkait di atas pangkuannya, mencengkeram rok dress-nya, bertanya-tanya sendiri apa yang harus dilakukan. Ah, tidak, dia tidak bisa berpikir. Sesungguhnya ini terjadi begitu cepat, dan Jo tidak tahu harus bagaimana menghadapinya. Tiba-tiba saja dia merasa gugup. Ingin rasanya segera beranjak dan pergi, tapi entah kenapa kakinya mendadak tak bisa digerakkan.
Ketika tatapannya kembali keluar jendela, Jo tidak lagi menemukan Luhan di tempat lelaki itu tadi berdiri. Spontan matanya mencari, dia tidak yakin yang dirasakannya saat ini adalah rasa lega atau kecewa melihat Luhan tidak lagi di sana. Tapi ketika menemukan Luhan berjalan masuk ke dalam kafe, Jo mulai panik.
Dia menggigit jari, berpikir cepat. Segera pergi dari sini adalah satu-satunya hal yang terpikir di kepalanya, dan mungkin prioritas utamanya saat ini. Rasa rindunya yang besar sekejap saja tergantikan dengan keinginannya untuk melarikan diri, dan dia tidak peduli lagi bila suara lain dalam hatinya mengatainya pengecut atau apa. Jo sendiri pun tidak mengerti, tapi dia ingin lari, kali ini saja.
Jo membereskan bawaannya, menaruh ponsel dan coret-coretan kecil di atas meja ke dalam tas. Tapi rasa panik mungkin terlalu menguasainya karena kemudian tangannya gemetar, pegangannya terlepas, membuat tasnya terjatuh dan mengeluarkan seluruh isinya.
Pandangan mata seluruh penghuni kafe kini tertuju padanya, karena di saat yang sama musisi di atas panggung baru saja menyelesaikan lagu yang baru dinyanyikan. Jo tidak berani mengangkat kepala, dia hanya mendesah pelan kemudian memunguti asesoris bawaannya yang berserakan di bawah meja dari sofanya duduk. Dia berjengit sedikit ketika rasa nyeri timbul dari belakang pinggangnya saat membungkuk.
“Biarkan aku membantumu.”
“Tidak apa-apa, terima kasih.” Jo mengangkat kepalanya untuk menolak bantuan yang baru saja ditawarkan padanya, hanya untuk menemukan Luhan berjongkok di sana.
Lelaki itu tersenyum, menolak untuk mendengar penolakan dan memungut sisa-sisa bawaan Jo sebelum memasukkannya ke dalam tas.
Lalu Jo menarik diri, kembali duduk tegak dan menerima tasnya dengan canggung seraya menggumamkan kata terimakasih tanpa menatap kedua mata lelaki di hadapannya itu.
“Hai, boleh duduk di sini?” Luhan kemudian bertanya, masih dengan senyum simpul tipikal yang dulu selalu menghiasi wajahnya. Senyum yang penuh pesona, yang dulu selalu dia suka. Dan lelaki itu tidak menunggu jawabnya, Luhan menaruh es Americano-nya di meja dan duduk di sofa kosong di hadapan Jo tanpa peduli diperbolehkan atau tidak.
“Kau mirip sekali dengan seseorang yang pernah kukenal. Namaku Luhan, kau?”
Jo tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Apakah ini lelucon barunya? Dia berpikir. Kenapa Luhan bersikap seperti ini dan bicara padanya dengan bahasa formal, Jo sungguh tidak yakin, dan dia hanya diam menatap lelaki itu penuh tanya. Tapi tentu saja dia tidak bisa selamanya diam, ketika Luhan mengulurkan tangannya, Jo sadar dia harus segera bicara.
“Jo. Namaku Han Jo.” Jawabnya seraya membalas uluran tangan Luhan dan menjabatnya dengan singkat.
“Oh kebetulan sekali, namanya juga mirip denganmu.” Katanya lagi, berkomentar. Luhan mengambil gelas dan menyeruput kopinya sedikit sebelum kembali bicara. “Kuharap dia berada di sini sekarang, pasti menarik kalau kalian berdua bertemu.”
“Apa yang terjadi?” pertanyaan itu terlontar begitu saja di luar rasa ingin tahunya. Jo menyesal begitu menanyakannya, karena Luhan langsung mendengus, seolah menertawakannya.
“Dia pergi ke Inggris sekitar delapan tahun yang lalu. Memintaku untuk tidak pernah menghubunginya lagi, jadi, yah…” Luhan mengangkat bahu, “Aku tidak pernah mendengar apapun lagi darinya sampai hari ini.”
Jo menyempatkan diri untuk mengamati penampilan Luhan hari ini. Dia tidak jauh berbeda dari yang dilihatnya dari foto-foto Minseok. Sesungguhnya, tidak banyak yang berubah dari penampilan Luhan sejak terakhir kali mereka bertemu dulu. Badannya yang dulu ramping kini lebih berisi dengan otot-otot dari latihan yang teratur di klub kebugaran. Rambutnya tertata lebih rapi oleh pomade beraroma anggur segar, dan wajahnya menunjukkan gurat penambahan usia yang tak terlalu kentara, dia terlihat lebih matang, lebih dewasa.
Pakaian yang dikenakannya bermerek dari nama-nama desainer dunia yang hanya bisa dilafalkannya saat berjalan-jalan di mal kalangan atas, dari kemeja Armani, celana D&G, sepatu derby Edward Green, hingga jam tangan Audemars Piguet yang Jo yakin tidak didapatkannya di Korea. Penampilannya sangat memperlihatkan betapa bergengsi profesinya saat ini. Luhan tampak seperti dulu tapi juga berbeda di saat yang sama.
Entahlah…
Diseruputnya lagi latte yang masih tersisa di meja, Jo kemudian bicara.
“Dia pasti punya alasan kenapa melakukannya.”
“Oh ya?” Kedua alis Luhan terangkat, dia menarik diri dan bersandar di duduk kursi, seolah siap mendengarkan. “Apa misalnya?” ujarnya bertanya.
Jo tentu saja tidak menduga pertanyaan ini. Dia tidak berencana untuk tenggelam dalam lelucon entah apa yang sedang Luhan lakukan padanya, tapi sepertinya sudah terlanjur. Tidak ada yang pernah bertanya kenapa dia meminta untuk memutuskan segala hubungannya dengan Luhan dulu, Jo bahkan tidak pernah berpikir akan pernah membahasnya lagi.
Tapi kini Luhan yang bertanya, dan Jo, bagaimana pun juga merasa ini adalah hutang yang harus dia bayar. Menjawab pertanyaannya mungkin hal terkecil yang bisa dia lakukan untuk sedikit menebus rasa bersalahnya.
“Mungkin dia hanya tidak ingin membuat situasinya menjadi lebih buruk di antara kalian. Kau tahu,” Jo merapatkan bibir dan membasahinya sembari memilih kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya, “Seoul dan London bukan kota yang bisa ditempuh dengan hanya satu atau dua jam perjalanan. Maybe she just knew it wouldn’t work anyway, the distance.”
“Kurasa dia hanya tidak ingin lebih berusaha. I could work the distance, dia yang tidak ingin menjalani hubungan jarak jauh.”
Pukulan telak terhantam ke ulu hatinya hanya dengan satu kalimat itu. Tidak ada yang salah dengan kata-kata Luhan, semua ini mungkin memang hanya karena Jo tidak ingin terlalu berusaha menahan diri dari rasa rindu. Seketika saja Jo baru menyadari bahwa delapan tahun yang lalu, ballet adalah prioritas utamanya, dan satu-satunya.
“Aku yakin dia sangat menyesal melakukan semua itu.” Jo berkata lagi setelah beberapa saat terdiam. Dia ingin membela diri, atau mencari pembenaran karena itu hanya akan membuatnya menjadi orang yang lebih buruk.
Maka dia meminta maaf. Kini menghilangkan formalitas dalam bahasanya, Jo tidak meminta maaf atas nama dia yang Luhan sebut diceritanya. Dia meminta maaf secara langsung, dengan menatap kedua mata Luhan yang sejak awal tidak pernah meninggalkan wajahnya.
Dan Luhan tidak merespon permintaan maafnya. Lelaki itu hanya diam, pandangan masih terkunci ke arahnya sembari menggigiti bibirnya yang basah. Dulu, bila Jo melakukan sesuatu yang tak terduga, Luhan lebih memilih untuk menyembunyikan rasa terkejutnya. Kali ini ekspresi wajahnya tidak bisa menipu, lelaki itu tidak menduga Jo akan meminta maaf. Terlebih lagi mengakhiri sesi halo-ini-pertemuan-pertama-kita-mari-berkenalan-nya begitu cepat.
Alih-alih meresponnya, Luhan malah mengomentari hal lain tentang penampilan Jo yag entah baru disadarinya, atau dia simpan cukup lama sampai akhirnya ditanyakan.
“Kau memotong rambutmu.” Ujarnya kemudian, bahasanya sudah kembali informal dan dengan nada yang terdengar kecewa.
“Kau tidak suka rambut pendek?”
“Umm,” Luhan menghisap kopinya, lalu mengedik dengan bibir terkerucut, pura-pura berpikir. “Terakhir kali teman kencanku memotong rambutnya, aku meninggalkannya.”
Tanpa sadar Jo menyisir rambutnya dengan tangan, lalu tertawa tanpa suara. Lucunya adalah dia pernah mendengar cerita ini dari Jongin dulu ketika anak lelaki itu menjadi informan tak berbayar yang selalu melaporkan kegiatan Luhan ketika tidak diinginkan.
“Sayang sekali, aku tidak berencana untuk memanjangkannya lagi.”
“Kurasa kita masih bisa berkompromi tentang hal itu.”
Jo memiringkan kepala, agak sedikit terkejut mendengar timpalan Luhan. Dia tidak yakin apa maksudnya, dan tidak berani berpikir macam-macam. Luhan jelas hanya iseng, karena sejak dulu dia menyukai gadis berambut panjang—siapa pun itu. Dan melihat lelaki itu melengos keluar jendela dan tidak berlama-lama dengan pernyataannya, membuat Jo yakin bahwa ini bukan apa-apa. Tidak semudah ini pastinya.
Ponselnya berdering di saat yang sama, membunyikan alarm yang sudah dia set untuk memberitahukan janji yang sudah dia buat di tempat lain.
“Maaf, aku harus pergi.” Jo berpamitan, menyampirkan tasnya ke bahu dan memposisikan tongkatnya di samping sofa untuk membantunya berdiri. Luhan menatap geraknya itu dengan seksama, seolah yang disaksikannya terputar dalam video bergerak lambat.
“Kau mau ke mana?” Dia bertanya.
“Aku ada janji untuk bertemu dengan dokter di rumah sakit. Senang—“
“Aku akan mengantarmu kalau begitu. Rumah sakit Hanguk, kan? Kita searah.”
Dan lagi-lagi Luhan tidak mau menunggu jawaban Jo. Lelaki itu mendahuluinya beranjak, dengan cepat melangkah ke samping sofanya untuk membantunya berdiri. Uluran tangannya Jo terima dengan canggung, dan langsung dilepaskan begitu dia berdiri tegak, membiarkan Luhan memimpin jalannya.
Mereka tidak bicara sama sekali sepanjang perjalanan. Luhan menerima dua telepon yang tersambung dari speaker mobilnya, berbicara dengan seorang wanita—yang sepertinya adalah asisten klien yang tengah bekerja bersamanya—untuk memastikan jadwal pertemuan mereka, dan bicara dengan teman laki-lakinya yang lain, Jo tiak mengenal nama maupun suaranya.
Sepanjang perjalanan itu mulutnya terkunci, pandangannya tertuju keluar jendela. Musik terdengar sayup di dalam kabin mobil dari siaran radio yang mungkin sengaja Luhan putar untuk mengisi keheningan mereka. Tapi lepas dari itu, Jo menikmati perjalanannya. Luhan masih tetap menjadi sopir favoritnya, lelaki itu menyetir dengan cepat dan mulus, seolah ini adalah pelayanan terbaik akan tawarannya berkendara. Untungnya lalu lintas pun cukup lancar, tidak sampai limabelas menit mobil Luhan sudah memasuki area lobi rawat jalan.
“Terima kasih sudah meluangkan waktumu. Sampai ketemu lain kali.”
Luhan mengangguk ketika Jo berpamitan, tapi tidak berkata apa-apa. Jo tidak membuang waktu untuk keluar dari mobil dan berusaha melangkah cepat dibantu tongkatnya. Luhan baru membawa mobilnya pergi ketika dia sudah masuk ke dalam rumah sakit.
Jo berulang kali menarik napas dalam setelah duduk di ruang tunggu. Setengah jam pertemuan singkatnya bersama Luhan rasanya seperti mimpi, berlalu begitu saja tanpa makna, tapi banyak membuatnya bertanya-tanya.
Luhan tidak mendiamkannya, setidaknya tidak ada perang dingin seperti terakhir kali mereka berpisah jalan. Kalau pun Luhan marah dengan sikapnya selama ini, lelaki itu melampiaskannya dengan cara yang sangat lembut. Jo mengharapkan pelampiasan yang lebih buruk daripada obrolan mereka tadi. Sungguh, Jo ingin sekali berlari dan memeluk lelaki itu erat, seolah tidak ingin melepaskannya lagi dan memberitahunya, bahwa dia rindu.
Sangat rindu sampai dadanya sesak.
“Nona Han Jo!”
Jo menangkat kepala, baru tersadar dari lamunannya ketika mendengar namanya dipanggil. Dia segera menghapus matanya yang basah dan beranjak saat seorang perawat menghampirinya.
“Nona Han Jo, dokter Jang sudah menunggu, silakan masuk.” Ajaknya seraya menggiring Jo ke ruang dokter. Jo mengikuti langkahnya setelah berterima kasih, membuka pintu ruang dokter hendak masuk ketika di saat yang sama seseorang menahan lengannya.
Jo berpikir lelaki itu sudah pergi tadi, tapi entah bagaimana sekarang Luhan kembali berdiri di hadapannya.
“Apa yang kau lakukan?” Jo bertanya, dia terkejut dengan kemunculan lelaki itu di sana.
“Boleh aku ikut masuk?”
Untuk ketiga kalinya hari ini, Luhan tidak menunggu jawabannya ketika berinisiatif membukakan pintu dan menyuruhnya masuk ke dalam ruangan.
* * *
Minseok menatap jam tangannya untuk kesekian kali dalam sepuluh menit ini. Dia seharusnya sudah meninggalkan kantor sejak satu jam yang lalu, tapi karena yang ditunggu belum muncul juga sejak berpamitan pergi tadi siang, Minseok tidak bisa meninggalkan kursinya begitu saja. Luhan harus melihat hasil desainnya malam ini agar dia bisa menyusun sketsa pertamanya untuk pertemuan klien besok lusa.
Ini sudah tahun ketiga sejak mereka membangun firma desain arsitektur bersama. Meski masih sangat muda, nama perusahaan mereka cukup populer di kalangan khalayak sejak awal debutnya. Didukung oleh prestasi Luhan yang pernah mendapatkan penghargaan oleh Menteri Kebudayaan saat inovasinya memenangkan kompetisi desain arsitektur di tahun ketiga kuliah dulu, tapak mereka menuju kesuksesan berjalan cukup mudah.
Firma mereka beberapa kali diminta untuk bergabung dalam proyek level makro negara merancang lanskap dan menghiasi langit ibukota di dalam dan luar Seoul, dan sejak akhir tahun lalu, permintaan demi permintaan konsultasi dan desain terus berdatangan. Secara teknis kantor ini menjadi rumah keduanya bila harus lembur hampir tiap hari.
Minseok melirik dari atas meja gambarnya saat melihat Luhan akhirnya datang. Sahabatnya itu masih memakai pakaian yang sama seperti tadi siang, memberikan kesimpulan bahwa seharian ini dia berada di luar. Tapi ke mana? Itu yang menjadi pertanyaan. Luhan berpamitan ini minum kopi, tapi sejam kemudian sebuah pesan datang memberitahunya bahwa anak itu akan datang terlambat karena sedang berada di rumah sakit. Tidak ada penjelasan lebih lanjut setelahnya.
“Dari mana saja kau?” Minseok bertanya tanpa mengindahkan fokusnya dari gambar di atas meja. Luhan berdiri di dekatnya, dan Minseok baru mengangkat kepala saat alih-alih menjawab pertanyaannya, Luhan malah mengetuk-ketukkan jarinya di atas permukaan meja.
“Aku bertemu Jo hari ini.”
Minseok mengangkat kedua alisnya, “Jo? Yang mana?”
“Memangnya ada berapa Jo kita kenal?”
Minseok lalu mengangkat bahu, “Aku cuma satu, entah kau.” Ujarnya meledek, tapi sepertinya cukup telak saat melihat Luhan memutar bola matanya dan berdesis sewot.
“Aku bertemu Han Jo hari ini, di Hongdae.” Luhan mengulangi ceritanya, “Lalu aku mengantarnya ke rumah sakit.”
Minseok sedikit terkejut juga mendengarnya, tapi dia sengaja tidak menunjukkan ekspresi apapun. Dia tahu cepat atau lambat dua orang itu akan bertemu juga, hanya tidak mengira ‘kebetulan’lah yang mempertemukan keduanya.
“Aku juga bertemu dengan dokter Jang.” Lanjut Luhan. Dan kali ini, berita itu menarik perhatian Minseok. Dia segera meletakkan penanya dan bersandar di kursi, ingin mendengar lebih banyak.
Selama ini dia tidak banyak bercerita tentang keadaan Jo, karena selain tampaknya Luhan tidak pernah menunjukkan ketertarikan yang besar, dia merasa tidak berhak menceritakan sesuatu yang bukan miliknya. Akan lebih baik bila Luhan atau pun Jo mendengar kisah mereka masing-masing dari mulut pemiliknya, begitu dia berpikir. Ketika dia memberitahu Luhan bahwa Jo mengalami kecelakaan, sahabatnya itu hanya tahu bahwa Jo mengalami cidera ringan di pinggangnya. Dan mungkin yang terbaru, laki-laki itu sudah melihat Jo dibantu dengan tongkat untuk berjalan selama proses penyembuhannya.
“Apa saja yang dokter Jang katakan?” dia kemudian bertanya.
Kini Luhan melangkah ke mejanya, lalu duduk di kursinya. Sahabatnya itu menanyakan tentang beberapa dokumen dari klien mereka yang harus dibaca, dan Minseok memberitahunya di mana dia meletakkan dokumen yang dicari sebelum Luhan menjawab pertanyaannya.
“Umm,” Luhan menggaruk alisnya. Sikapnya yang tak acuh seperti itu kadang membuat Minseok gemas. Kalau saja bukan karena Luhan adalah teman baiknya sejak lama, dia pasti sudah menendangi laki-laki itu dari dulu.
“Sesuatu tentang chronic waist injury. Dia harus menjalani banyak sesi fisioterapi untuk pinggangnya.” Ujar Luhan kemudian. “Jo meminta operasi, tapi dokter Jang tidak merekomendasikannya karena ini akan menjadi rangkaian operasi yang sangat menyakitkan.”
“Lalu apa yang kau katakan padanya?”
“Kubilang dia akan baik-baik saja. Tidak ada salahnya beristirahat sebentar, kita tahu dia orang yang kuat.”
Minseok mendengus. Entah kenapa dia sudah menduga Luhan akan bersikap sangat tidak sensitif. Dalam hatinya Minseok mengutuk sahabatnya itu, kalau ada level di bawah idiot, sepertinya itu adalah sebutan yang lebih tepat untuk Luhan.
Dia memikirkan kembali kata-kata dokter Jang dari cerita Luhan. Sampai detik ini dia belum mendengar kabar dari Jo, dan Minseok mengira perempuan itu pasti sedang mengurung diri dan mengasihani nasibnya sendiri saat ini. Sejak kembali dari London, Minseok merasakan perubahan yang sangat drastis dari Jo. Gadis itu tidak banyak bicara, tidak seceria dulu, dan yang paling membuatnya sedih adalah bagaimana Jo tidak lagi seterbuka dulu mengungkapkan perasaannya.
Setelah tahun-tahun berlalu, Minseok masih saja tidak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi pada mereka.
“Serius kau mengatakannya seperti itu? Kau tidak berpikir dia mungkin sangat membutuhkan kita sekarang ini?”
Kadang Minseok bertanya-tanya sendiri apakah Luhan sungguh-sungguh dengan ketidak acuhannya itu, apakah dia sungguh tidak peduli, atau egonya saja yang begitu?
“Dia akan baik-baik saja, kau tahu bagaimana Jo.” Ujar Luhan santai. “Dia baik-baik saja tanpa kita delapan tahun ini. Aku tidak penting untuknya.”
Minseok menggeleng tidak abis pikir. Sahabatnya itu benar-benar tidak bisa diandalkan, kesabarannya sudah habis menghadapi sikap Luhan yang masa bodoh. Dia kemudian beranjak, bersiap-siap pergi. Semakin lama di sini, Luhan pasti akan semakin menyulut amarahnya.
“Kau sungguh tidak tahu seberapa serius situasinya saat ini, ya?” dia berujar. “Jo tidak hanya sekedar cidera pinggang, kau tahu? Kecelakan yang pernah kuceritakan kepadamu dulu menghancurkan segalanya. Chronic waist injury yang kau sebutkan tadi sama saja seperti vonis mati untuknya.”
Bila tadinya Luhan bersikap biasa-biasa saja mendengar dan menjawab pertanyaannya, apa yang baru saja Minseok katakan menarik perhatian laki-laki itu. Luhan mengangkat pandangannya dari dokumen-dokumen di hadapannya dan menatapnya penuh tanya, seolah meminta penjelasan.
“Apa maksudmu vonis mati?” Luhan bertanya tidak mengerti.
“Jo kembali ke Korea untuk mencari second opinion, hanya untuk mendapatkan penilaian yang sama dari dokter Jang. Bahwa dia tidak akan pernah bisa menari lagi seperti dulu,” Minseok menghela napas berat seraya menyapu rambutnya frustasi. “Dan kau, Lu, dari semua orang di antara kita, kurasa kau yang paling mengerti bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang sangat penting dalam hidupmu. Kuharap kau tahu itu.”
Minseok mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya, kemudian bergegas pergi meninggalkan Luhan yang terpaku diam. Rasanya ini syok terapi yang cukup telak menghantam sahabatnya, dan untuk pertama kali, Minseok tidak menyesal mengatakan segalanya pada Luhan.
Sahabatnya itu perlu pelatuk untuk untuk menembakkan pelurunya. Kalau bukan sekarang, momennya tidak akan pernah datang lebih tepat lagi. Dia hanya berharap Luhan cukup pintar untuk menangkap sinyalnya.
* * *
.
.
.
in case you’re asking, beberapa cerita di atas terinspirasi sama video variety show-nya Luhan yang Back to School. Kamu bisa cek di google, it’s quite fun nonton Luhan jadi anak sekolahan lagi, hehe… semacam keliatan buluknya dia jaman masih sekolah![😄]()
bagian lompat tali dimulai menit 9:00, terus bagian dia ngajak ‘berantem’ kelas lain di video bawah menit ke 21:30
Filed under: fan fiction, series Tagged: Han Jo, Kim Minseok, Lu Han
