Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Enchanted – the Epilogue 1

$
0
0

picsart_09-07-09-06-33

.

after those years, a two needs an ending.

.

“Kau sungguh akan baik-baik saja? Telpon aku kalau perlu sesuatu, aku akan segera ke sana.”

Jo tidak bisa menahan senyumnya. Kecemasan Minseok terdengar sangat nyata saat ini, tapi di luar simpati, dia sungguh geli mendengarnya.

“Aku akan baik-baik saja, sungguh. Aku jalan-jalan sebentar, duduk sebentar, minum teh sebentar. Dan ini Hongdae, bukan Afghanistan. Tenang saja.” Katanya, menjawab keprihatinan sahabatnya itu. Kadang Minseok memang bisa sedikit berlebihan, memperlakukannya seperti balita yang harus selalu diawasi dan diperhatikan. Tapi Jo berusaha untuk bisa mengerti, terutama melihat situasi saat ini.  “Dan kau bilang tidak ada orang di kantor, kan? Siapa yang akan menemui klien kalau kau ke sini.” Tambahnya.

Minseok mendesah pelan, lelaki itu menyuruhnya menunggu sebentar saat seseorang di seberang sana menanyakan sesuatu, dan Minseok menjawabnya dengan menyebut Luhan sedang melakukan entah apa. Tampaknya, Minseok sengaja menutup speaker ponselnya hingga Jo tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dia katakan. Lelaki itu sungguh berusaha untuk menghindari topik dan sebisa mungkin menyebut nama si idiot (panggilan yang belakangan menjadi pengganti nama Luhan bila terpaksa harus disebutkan) di tengah pembicaraan mereka.

“Ah, Jo, aku akan menghubungimu lagi nanti, ada sesuatu yang harus kulakukan.” Ujar Minseok begitu kembali lagi kepadanya, “Kabari aku kalau kau bertemu dokter Jang, apappun katanya. Beritahu aku.”

Jo mengangguk patuh meski dia tahu Minseok tak akan melihatnya. “Oke, kau orang pertama yang akan mendengar keputusannya.” Jawabnya. Mereka mengakhiri obrolan jarak jauh itu setelah dua tiga kalimat berikutnya, lalu Jo menaruh ponselnya ke atas meja, mengedarkan pandangannya ke luar jendela.

 Segalanya hampir tampak sama meski delapan tahun berlalu. Ketika Jo turun dari taksi tadi, dia masih menemukan toko-toko yang dulu selalu dilaluinya berada di tempat yang sama. Taman Cheongguk pun masih dipakai untuk spot busking show, galeri dan lapak-lapak asesoris masih berjualan di sana, hanya beberapa penjualnya saja yang berbeda. Mungkin diturunkan ke generasi setelah mereka, dia berpikir. Bahkan Cafe Benne kesayangan ini pun sama sekali tidak berubah; tanaman hias di luar kafe masih tetap rapi, seperti dirawat dengan baik tiap harinya; sofa dan mejanya telah diganti dengan yang baru, pun dengan model dan warna yang sama.

Apa yang dia lihat saat ini membawanya kembali ke tahun-tahun yang dulu, di saat dia masih sangat muda, dan mengklaim cafe ini sebagai tempat favoritnya untuk menghabiskan waktu di akhir minggu. Memori-memori itu masih sangat jelas, seolah Jo bisa melihatnya terulang kembali di depan mata.

Tak jauh dari konter, di sudut kafe beberapa lelaki tengah bersiap-siap untuk memulai pertunjukkan mereka. Dulu, pertunjukkan musik akustik biasanya hanya ada di hari Sabtu dan Minggu. Kasir membertahunya bahwa pertunjukkan musik sekarang ada tiap hari saat siang, dan  dilanjutkan lagi malam hari di akhir Minggu. Yang akan tampil saat ini adalah trio vokal yang konon cukup terkenal di UCC meng-cover lagu-lagu populer, namanya M.I.O.

Beberapa grup pengunjung tampaknya menyadari kehadirannya di sana. Mereka menghampirinya untuk meminta tanda tangan, satu dua foto dan selfie, lainnya mengajaknya mengobrol sebentar; menanyakan kenapa dia hanya duduk sendiri saat ini. Jo menjawab dia sedang merasa penat, dan sedang melakukan semacam ‘self-healing’ dengan menghabiskan waktu sendiri.

“Apa kau kembali untuk selamanya ke Korea?”

Jo tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia tersenyum sembari menatap wajah si penanya tanpa arti. Gadis itu tampak tak jauh lebih muda darinya. Namanya Seohee, dan gadis itu salah satu penari di akademi ballet Avante milik ibu Luhan.

“Ya, sepertinya begitu.” Dia baru menjawab setelah beberapa saat. Tampaknya perubahan wajahnya sangat jelas terlihat, karena Seohee terlihat salah tingkah ketika melihat tongkatnya bersandar di kaki sofa. Gadis itu buru-buru mengakhiri obrolan singkat mereka, dan membiarkan Jo kembali pada waktu tenangnya.

Alunan musik mulai terdengar, Jo menyeruput sedikit greentea latte favoritnya sambil menonton pertunjukkan di panggung. Kafe sudah ramai oleh pengunjung, kebanyakan para karyawan yang sedang beristirahat makan siang menghabiskan waktu dengan minum kopi bersama kolega mereka masing-masing. Jo tidak begitu familiar dengan cover lagu yang para musisi itu nyanyikan, meski sudah sebulan lebih kembali ke negara ini, dia tidak begitu mengikuti perkembangan dunia musik, apalagi mendengarkan radio. Tapi harus diakui, dia suka apa yang didengarnya. Lirik-lirik lagu yang dinyanyikan kembali membuat pikirannya menerawang.

Jo menarik napas dalam dan menghelanya dengan cepat, lalu bersandar pada punggung kursi. Saat mengawasi sekelilingnya dia baru melihat bahwa semua orang di dalam kafe itu berpasangan, atau setidaknya bersama dalam satu grup. Hanya dia saja yang duduk seorang diri di mejanya. Ini membuat Jo tersadar bahwa sudah lama sekali dia keluar dari zona nyamannya dalam bersosialisasi.

Dulu sejak Luhan dan Minseok masuk ke dalam lingkaran teman terdekatnya, Jo hampir tidak pernah sendiri. Setidaknya pasti ada salah satu di antara dua lelaki itu menemaninya di mana pun dia berada, bila pun tak ada keduanya, akan ada Chaerin, atau teman-temannya yang lain. Dia tidak memiliki siapapun yang bisa dipanggilnya teman dekat di London. Aktifitas kelas dan menari cukup besar menyita seluruh kesibukannya, dia hanya pergi ke klub malam sekali dua kali setelah menyelesaikan panggung besar di masa rehat, menonton pertunjukkan teater atau nonton di sinema ketika merasa bosan—itu pun bila akhir minggunya tidak diisi dengan kelas individu tambahan.

Beberapa lelaki yang tertarik padanya pernah mengajaknya berkencan, tapi mereka tidak pernah lebih dari hanya sekedar nonton film atau makan malam saja. Awalnya, pada dua tahun pertama, dia merasa karena terlalu sibuk dan fokus pada aktivitasnya, hingga berkencan tidak pernah dimasukkan ke dalam daftar kegiatan mingguannya. Selanjutnya, Jo tenggelam dengan kenyamanannya menjadi sendiri, dia merasa tidak memerlukan bumbu romansa dalam hidupnya. Dia tetap berkencan sekali dua kali, tapi tidak pernah lebih dari dua kali makan malam.

Lalu Jo berpikir tentang Luhan.

Mereka tidak bertemu lagi sejak dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka dulu. Lelaki itu sungguh melakukan apa yang dia minta; jangan menghubunginya, jangan datang mnemuinya, jangan pernah menanyakannya pada Minseok. Jo bisa mengerti kalau Luhan marah karena keputusannya itu. Setelah apa yang telah dilakukannya, Luhan mungkin membencinya.

Karena itu dia tidak heran saat tidak melihat Luhan di antara orang-orang yang menjemputnya ke bandara saat dia pulang. Dia juga tidak heran saat lelaki itu bahkan tidak pernah terlihat atau terdengar kabarnya meski tahu dia telah kembali ke Seoul. Dia tidak pernah bertanya pada Minseok, dan sahabatnya itu pun tidak pernah berkata apapun, seolah ada peraturan tidak tertulis di antara mereka bahwa membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Luhan adalah haram hukumnya. Jo mungkin bisa memahami perasaannya, dia hanya tidak mengerti bagaimana seseorang bisa sepatuh itu pada perkataannya.

Ada sedikit celah di dalam ruang kosong hatinya, yang ingin sekali mengakui bahwa dia rindu pada Luhan. Jo hampir tidak pernah memikirkan Luhan selama di London, bahkan sama sekali tidak pernah lagi begitu lepas dua tahun dia tinggal di sana. Tapi sejak kembali ke kota ini, dia teringat lelaki itu tiap hari. Seoul seolah telah menarik tuas memorinya dan membangunkan kembali segala ingatan-ingatan yang hampir hilang, lalu memutarkannya kembali dalam bentuk deretan kenangan yang sepertinya baru terjadi kemarin. Dalam sekejap saja, 7 tahun kebersamaan mereka terulang begitu saja di dalam kepalanya.

Jo menyalakan ponselnya, memasukkan kode angka dan memilih aplikasi Galeri dari sistem menu. Dia mencari, berharap menemukan sesuatu yang bisa mengobati rasa rindunya.

Tapi nihil. Dia menghapus seluruh folder fotonya bersama Luhan sejak pesawatnya terbang meninggalkan Korea bertahun-tahun yang lalu. Dan kini dia menyesal, berpikir seharusnya dulu menyimpan file-nya di suatu tempat supaya bisa dia lihat lagi bila ingin.

Lalu sesuatu terpikir di dalam kepalanya. Jo memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tidak pernah terpikir akan pernah dilakukannya; stalking. Sedikit ragu, Jo membuka aplikasi Instagram di ponselnya, lalu mencoba untuk mencari profil Luhan di sana. Jantungnya berdegup kencang saat menemukan nama yang dia cari di daftar following akun milik Minseok.

Jo menunggu. Sedetik, dua detik, meyakinkan diri untuk menekan tautan nama itu dan membuka profilnya.

Tik.

Ibu jarinya bergerak, lalu halaman lain terbuka, memunculkan sebuah kalimat.

This account is private.

Follow to see their photos and videos.

Dadanya mencelos. Hari ini dia mungkin hanya bisa puas dengan menatap penampakkan sosok Luhan dari foto-foto yang Minseok unggah ke akunnya.

After-office night off. Tulis caption di foto terbaru yang Minseok unggah, beberapa laki-laki duduk bersamanya di meja lingkar, mengangkat tinggi gelas bir mereka. Luhan tersenyum lebar di foto itu, Jo menyukainya.

Minseok dan beberapa lelaki ber-selfie di pinggir lapangan bola. Luhan berdiri di sampingnya, rambutnya basah karena keringat. Masih dengan senyum yang sama, lelaki itu tampak senang. Mungkin timnya menang bertanding hari itu, Jo menyukainya.

Scroll down. Jo menggesek jarinya ke atas, Minseok lebih banyak mengunggah foto makanan atau kopi ketimbang selfie atau foto manusia yang sesungguhnya. Scroll down lagi. Lalu Jo menemukan sebuah foto candid, Minseok mengambil foto Luhan duduk di depan meja gambar. Sebuah blueprint tergelar di hadapannya, dan Luhan terlihat sangat fokus menggaris sesuatu, atau mungkin lebih tepatnya menggambar sesuatu.

Dulu Jo selalu menyukai figur Luhan dari samping. Dia seringkali membiarkan Luhan tahu bahwa lelaki itu memiliki garis rahang yang sempurna, dan terlihat sangat apik bila diabadikan. Dia ingat bagaimana lelaki itu suka sekali ketika dia mengatakannya.

As a friend, he’s the best. As a guy, he’s the worst.

Ladies, be careful. Don’t say I didn’t warn you.

Begitulah caption foto itu terucap. Dia teringat akan sekian banyak hal yang Jongin ceritakan padanya tentang Luhan selama dia di London. Selama beberapa tahun awal Jongin sering sekali menelpon, atau setidaknya menghubunginya melalui skype, tapi sebagian besar tujuannya hanyalah untuk mengeluhkan perubahan sikap Luhan yang begitu drastis semenjak dia pergi.

Luhan berkencan terus tiap hari…

Luhan ganti perempuan lagi… padahal dia baru saja putus dengan si rambut emas itu dua hari yang lalu…

Kau tak akan bisa membayangkannya, dia menyedihkan. Aku seperti tidak mengenalnya lagi…

Ini salahmu, seharusnya kau tidak meninggalkannya begitu…

Ini salahku. Dan itu yang terus terekam di dalam kepalanya, hingga akhirnya Jo pun berhenti menerima panggilan dari Jongin. Bukan hanya karena dia ingin lelaki itu berhenti membicarakan Luhan, tapi karena Jongin membuatnya terus teringat akan kebodohan-kebodohan yang dulu pernah dia lakukan. Jo hanya sesekali membalas email-email yang Jongin kirimkan, pesan-pesan yang hanya berisi ‘apa kabar’, atau sekedar ‘apa yang kau lakukan hari ini’.

Setelah tahun ketiganya di sana, Jongin berhenti menghubunginya. Minseok menjadi satu-satunya teman yang masih terus berhubungan dengannya secara teratur, dan lelaki itu sama sekali tidak pernah menyebut nama Luhan dalam obrolan mereka. Jo tidak pernah bertanya, dan Minseok berinisiatif untuk tidak memulai.

Jo membaca komentar-komentar yang bermunculan di foto Luhan. Ada ribuan orang menyuarakan isi kepala mereka, dengan jumlah ‘likes’ yang sama banyaknya. Tampaknya meski dengan reputasi baru yang melekat pada dirinya, Luhan masih belum kehilangan popularitasnya yang tinggi. Para wanita masih tetap menggilainya.

 Minseok ah, kenalkan aku padanya *heart* *heart*

Good boy gone bad boy, peminat sangat banyak kekeke

Yedeul ah.. Akhir Minggu ke Jaeil ya, kukenalkan junior-juniorku. They’re hot!

Jo membuka profil beberapa orang yang berkomentar. Dia tidak mengenal sebagian besar di antara mereka, maka dia menutup jendela komentar dan memandang foto Luhan sekali lagi.

Apa yang terjadi padamu? Ujarnya dalam hati. Jo tidak tahu apa sesungguhnya tujuan Minseok mengunggah foto itu dengan caption yang tertulis di sana, tapi tiba-tiba saja dia merasa sedih. Ekspresi-ekspresi kekaguman yang dia baca di komentar bukan lah sesuatu yang asing, dia sering melihatnya dulu ketika Luhan mengunggah foto-fotonya di Cyworld kala mereka remaja. Para gadis menyukai keindahan fisik lelaki itu, dan Jo tidak lagi heran melihatnya.

Tetapi komentar-komentar di foto ini membuatnya jengah. Entah apa yang terjadi, ketika seseorang yang dulu dikagumi kini seolah menjadi objek pemuas nafsu wanita yang haus akan belaian. Apa yang telah dia lakukan?

Jo menutup aplikasi itu, mematikan nyala ponselnya lalu menaruhnya ke atas meja. Dia kembali bersandar, menarik napas dalam sembari memejam mata, menenangkan diri. Sekelebat dalam kepalanya bertanya-tanya, apakah segalanya akan seperti ini bila dia memutuskan tinggal di Seoul delapan tahun lalu. Jo sungguh tidak ingin berandai-andai, tapi melihat kenyataannya sekarang, dia tidak bisa berpikir betapa egoisnya dia dulu. Saat dia bersenang-senang di seberang benua, seseorang yang lain mungkin menderita karenanya.

Napasnya terhela cepat, matanya terbuka. Spontan saja pandangannya tertuju keluar jendela, ingin kembali menikmati pemandangan di luar yang mungkin akan melegakannya.

Dug.

Jantungnya seolah berhenti berdegup. Jo berkedip. Sekali. Dua kali. Dia hampir tidak memercayai matanya, tapi di luar sana dia melihat Luhan berdiri.

Kedua mata mereka beradu.

Luhan menatapnya dalam diam, dan entah sudah berapa lama dia berdiri di sana.

.

* * *

.

.

.

sebuah series yang aku tulis untuk pembaca Enchanted. I know after these years, yet it seems so difficult to let them go.
Aku nggak akan mengunggah lagi main story-nya, tapi mungkin ini bisa jadi penghela kangen buat aku terutama, dan mungkin kamu.
Sudah lama sekali nggak nulis sepanjang ini, jadi maapkeun kalau jadi kaku begini, cheesy and picisan stuffs everywhere.
I totally need your feedbacks, jadi segala macam komentar ditunggu kehadirannya. Terima kasih banyak buat yang sudah ngikutin Saladbowl selama ini, mudah-mudahan mampir terus yaaa… Bye, Loves!

Filed under: fan fiction, series Tagged: Enchanted, Han Jo, Kim Jongin, Kim Minseok, Lu Han

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles