.
Chapter 3
.
Di tahun pertama SMP-nya dulu, guru sejarah pernah berkata bahwa selalu ada efek dan konsekuensi dalam sebuah perubahan. Ketika Amerika mendeklarasikan kemerdekaannya di tahun 1776, tiga belas koloni di benua baru itu menyatakan pembebasan diri mereka dari kerajaan Inggris, memungkinkan mereka untuk menghapus kebijakan-kebijakan kerajaan yang sangat memberatkan.
Deklarasi itu mengklaim kekebasan tiap warga negaranya untuk bicara dan memiliki kedudukan yang sama untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tapi nyatanya, yang terjadi setelah kemerdekaan itu, keadaan sosial dan kestabilan politiknya sangat terganggu. Para budak di daerah selatan mulai memberontak, muncul banyak gerakan bawah tanah yang memunculkan para abolisionis baru, hingga ramainya perpecahan kekuasaan pemerintahan menyebabkan perang saudara yang bersejarah.
Saat mengingat pelajaran itu, Kinanti mulai mengibaratkan dirinya seperti suku Indian yang terbuang dan teraniaya ketika para pendatang dari Eropa menginvasi dan menjajah tanah mereka. Kadang pendatang baru memang suka tidak tahu diri. Perubahan itu menyebalkan.
Dewantara memang mengatakan banyak hal tentang bagaimana dia harus bersabar dan menikmati seluruh proses ini. Bahwa segalanya tidak berjalan secara instan. Dan hanya karena Dewantara yang mengatakannya, Kinanti berusaha untuk menahan diri. Masalahnya, dia bukan tipe penyabar. Satu-persatu hal yang dia takutkan mulai terjadi, dan itu membuatnya cemas.
Ayahnya seperti bayi yang disuguhi mainan-mainan baru, begitu antusias dan akhirnya mulai lupa hal-hal yang ada di sekitarnya. Kinanti sudah merasa dilupakan sejak orang-orang baru itu masuk ke rumah mereka. Ayahnya tidak lagi mengutamakan kepentingannya. Saat ibu baru dan anak laki-lakinya datang, ayah lebih fokus menyambut mereka dan lupa bahwa Kinanti juga berada di sana. Semua perombakan yang terjadi di rumah mereka, tidak ada satupun yang ayahnya bicarakan dengannya.
Dan sejak Darma datang, Kinanti tahu bahwa hari-hari beratnya sedang dimulai. Ayahnya menempatkan kamar anak laki-laki itu di seberang kamar tidurnya, ruangan yang dulunya adalah perpustakaan tempat dia bersantai; membaca buku dan menonton film, juga bermain piano. Kinanti cuma bisa diam melihat para tukang pengangkat barang berusaha menjejalkan dua rak buku dan piano ke dalam sudut-sudut kamarnya. Sekarang kamar tidurnya terlihat seperti gudang. Penuh dengan barang, tidak seluas dulu.
Kinanti sebenarnya kesal, karena secara teknis Darma mendapatkan kamar yang lebih besar. Dia sempat berkompromi dengan ayahnya agar bisa menempati ruangan itu, tapi menurut ayahnya, memindahkan barang-barangnya akan memakan lebih banyak waktu ketimbang mengeluarkan beberapa dari ruang itu. Kini beberapa barangnya menjadi milik Darma, termasuk set home-theatre dengan televisi plasmanya, dan juga asbes peredam suara yang sengaja Darma biarkan untuk tetap terpasang. Kinanti harus memasang peredam baru untuk kamarnya sendiri. Sialan.
Hal lain yang membuat dia jengkel adalah Darma yang sama sekali tidak peka. Ayah memberitahu anak itu untuk tidak merasa sungkan dan menganggap rumah ini seperti rumahnya sendiri, karena sekarang mereka keluarga. Kinanti tidak menyangka anak laki-laki itu akan benar-benar bertingkah sangat nyaman di rumah ini.
Contohnya?
Anak itu jorok sekali.
Darma suka sekali minum air langsung dari botol di lemari es. Dan anak itu bisa menghabiskan hampir dua liter air sekali minum. Seperti onta.
Dia hampir tidak bisa percaya saat melihat anak laki-laki itu berdiri di sisi lemari es yang terbuka, mengangkat tinggi botol minuman dan meneguknya seperti orang barbar. Darma bahkan tidak peduli ibu ngomel saat menyuruh dia minum dengan gelas. Pemandangan semacam ini bikin selera makannya hilang.
Dan, tidak berhenti sampai di sini, anak itu suka sekali bertelanjang dada dan berkeliaran di dalam rumah tanpa pakaian lengkap. Kinanti berjengit melihat kaos-kaos bertebaran di lantai saat melewati kamarnya. Darma tidak pernah menutup pintu kamar, dan tentu saja pemandangan semacam itu akan terlihat jelas karena ruangan mereka berseberangan. Kalau sudah begitu, Kinanti akan selalu sengaja membanting pintu dengan keras supaya yang di seberang ruangan sadar kalau dia jengkel. Sayangnya, yang disindir nggak nyadar juga.
Ah, satu lagi, dan ini yang paling parah, adalah kebiasaan Darma yang tidak pernah mengunci pintu kamar mandi. Ayah meminta Kinanti supaya rela berbagi area paling pribadi itu, karena kamar mandi yang dulu hanya jadi miliknya ini terletak di sudut koridor antara dua kamar mereka yang berseberangan. Tidak jarang Kinanti membuka pintu dan menemukan Darma sedang berada di dalam, dengan segala bisnisnya. Rasanya tidak ada yang lebih buruk dari menemukan orang di dalam kamar mandi dalam keadaan setengah telanjang. Sumpah, bikin trauma!
Seperti sebuah pagi yang tidak normal seperti pagi-pagi lainnya, suatu pagi itu adalah pagi yang sangat melelahkan buat Kinanti. Beberapa hari ini dia sibuk dengan kegiatan minggu ujian di sekolah, dan di saat yang sama dia harus menghabiskan lebih banyak waktu untuk berlatih piano karena resital pertengahan tahun di akademi musiknya akan segera diselenggarakan. Kinanti akan memainkan piece Mendelsson yang Dewantara gubah dari partitur aslinya, dan terus terang saja, tantangan Dewantara kali ini tidak mudah. Jadi dengan badan yang masih lesu dan mata setengah terbuka, dia sama sekali tidak berharap ada kejutan yang menyambutnya sepagi itu.
Kinanti baru saja membuka pintu saat dia menemukan Darma sudah berada di dalam kamar mandi, sedang buang air kecil.
“Oh, my God, Darma! Kunci donk kamar mandi kalau mau pake! Brengsek!!” Kinanti menutup mata dengan sebelah tangan dan segera berbalik pergi. Pintu dibanting keras, tidak peduli seruan maaf yang Darma hujankan padanya.
Pagi yang tenang di dalam apartemen mereka hampir selalu dibuat gaduh dengan teriakan yang sama. Kinanti tidak menghiraukan suara di balik pintu saat ibu mengetuk, berusaha menenangkannya. Di sudut tempat tidur Kinanti menangisi rasa jengkel sudah naik ke ubun-ubun. Kepala rasanya mendidih saking marahnya.
.
Hal lain yang baru setelah penyatuan dua keluarga ini adalah bahwa begitu ada anak laki-laki di antara mereka, ayah Kinanti berpikir cukup aman menitipkan putrinya pada Darma. Ayah tidak lagi mengantar atau menjemputnya ke sekolah, seperti dulu. Kini, ayahnya hanya memberi uang saku lebih supaya mereka berangkat dan pulang sekolah bersama. Itu berarti Kinanti harus berboncengan dengan Darma naik motornya.
Dih, Kinanti mending nebeng abang gojek.
Untungnya sekarang jaman lebih mudah dengan adanya aplikasi ojek online. Kalau saja ini terjadi tiga tahun lebih awal, Kinanti mungkin akan kebingungan mencari alternatif kendaraan pulang pergi, terutama karena dia tidak terlalu percaya diri kalau harus naik angkot atau bus umum. Untungnya juga beberapa hari sekali Dewantara tidak keberatan direpotkan untuk menjemputnya ke sekolah dan mengantarnya ke akademi musik, ini jauh lebih baik daripada menghabiskan dua puluh menit bersama Darma. Oh, dan tentu saja, keterlibatan Dewantara di jadwal perjalanan ini harus dilakukan sembunyi-sembunyi, karena kalau sampai ayah tahu, pasti Kinanti tidak diperbolehkan lagi menghubungi Dewantara dan meminta tolong.
Setidaknya, dan yang sedikit menghiburnya, Darma tidak pernah berusaha untuk mengajaknya berangkat atau pulang bersama sejak tawarannya ditolak di hari pertama. Dia juga tidak pernah menyapa atau mengajaknya bicara saat di sekolah. Seolah Darma tahu itu yang Kinanti inginkan, semua komunikasi mereka terjadi lewat pesan singkat di handphone.
Hal lain yang juga sedikit menghiburnya, adalah hari-hari di sekolah yang tidak berbeda dari sebelumnya. Dia masih tidak punya teman—hu-um, ini sangat menghibur bagaimanapun juga buat Kinanti, dan orang-orang masih memandanginya dengan tatapan aneh. Kinanti sudah terbiasa dengan tatapan itu sejak hari pertama menjadi anak pindahan, jadi dia tidak lagi memedulikan mereka.
Mungkin pengecualian buat satu anak perempuan ini, namanya Anindita. Mereka teman sekelas, dan dia salah satu teman baik Darma—atau mungkin malah pacarnya, Kinanti menduga. Anindita pernah beberapa kali mengajaknya bicara saat mereka kebagian bekerja kelompok di grup yang sama, atau ketika membagikan tugas untuk teman-teman kelas (Anindita ini ketua kelas, anyway). Orangnya ramah, si Anindita ini, dulu bahkan Kinanti sempat berpikir untuk berteman dengannya. Tapi sejak dia tahu Anindita adalah salah satu jajaran siswa populer—salah satunya karena dia tergabung di band Darma, niatnya urung. Kinanti tidak suka siswa-siswa populer, dia alergi.
Dan bisa dibilang minggu itu sepertinya memang bukan minggu yang bersahabat buat Kinanti. Setelah mengalami pagi yang buruk karena insiden kamar mandi, harinya ternyata diakhiri dengan malam yang buruk pula. Selama beberapa hari itu Kinanti lupa bahwa pernikahan orangtuanya akan membawa seorang anak populer ke rumahnya. Anak populer yang memiliki banyak penggemar, dan penggemarnya pun sama nggak warasnya dengan idola mereka.
Tidak pernah terpikir di kepala Kinanti bahwa dia akan menemukan sekelompok anak perempuan berdiri tak jauh di area taman di depan gedung apartemen saat malam telah larut. Dewantara yang awalnya menyadari keberadaan mereka di sana, ketika dia menurunkan Kinanti di halte—sengaja turun di sana supaya tidak terlihat satpam yang kemungkinan bakal lapor ke ayahnya.
“Itu bukannya seragam sekolah kamu, ya?” Dewantara memajukan badan ke jendela samping supaya bisa melihat lebih jelas, lalu menatap jam tangannya. “Kayaknya ada yang penting, jam sebelas malem gini masih nungguin di sini.”
“You gotta be kidding me.” Kinanti bergumam pada dirinya sendiri saat mengenali mereka.
“Teman-teman kamu?”
“Do you think I’ll befriend people like them? Liat aja tampang mereka.”
“Like them?”
Kinanti memutar bola mata ketika Dewantara mendengus tawa mengulangi ekspresinya. Ada dua tipe anak sekolah yang bikin Kinanti alergi; pertama adalah anak-anak popular, dan yang kedua adalah penguntit mereka. Satu hal yang pasti, Kinanti tahu benar bahwa anak-anak perempuan itu berada di sini bukan untuk menunggunya.
“Good night, Dewantara. Thanks for the ride.” Kinanti membereskan tas sekolah dan kotak biolanya, menyampirkannya ke bahu, lalu turun dari mobil. Apalagi deh sekarang, pikir Kinanti, urusan apa yang membuat anak-anak perempuan ini berkumpul di depan apartemen malam-malam begini.
Baru beberapa langkah maju, Kinanti berhenti sebentar. Saat berbalik dia melihat Dewantara masih di tempat yang sama, belum terlihat akan membawa mobilnya pergi. Sepertinya lelaki itu melihat perubahan ekspresi yang drastis di wajahnya, dan Kinanti tahu, bahwa Dewantara menyadari ada yang salah. Salah satu hal yang lelaki itu cukup pahami tentangnya adalah bagaimana dia begitu jelas memperlihatkan emosinya, terutama kalau Kinanti tidak menyukai sesuatu.
“Bye, Dewantara. Thanks for the ride.” Dia berpamitan untuk yang kedua kali.
Dewantara tertawa. Kinanti sedikit tidak mengerti kenapa laki-laki itu tidak segera pergi, dia menduga kalau ada cemas di sana, atau semacamnya. Tidak seperti Kinanti yang tidak handal dalam membaca pikiran orang, Dewantara sebaliknya. Sejak awal mengenal Dewantara, tidak pernah sekalipun lelaki itu salah membaca sikap dan raut wajahnya, seperti memahami buku cerita anak-anak.
Dan Dewantara selalu peduli.
Di saat seperti ini sebenarnya Kinanti merasa dilemma. Karena sebesar apapun senangnya dengan hal-hal kecil yang Dewantara lakukan semacam ini, ada kalanya dia tidak suka dengan sikap Dewantara yang terlalu perhatian, yang membuatnya merasa seperti anak kecil yang harus selalu dijaga. Kadang Kinanti kesal harus selalu mengingatkannya kalau dia sudah besar, sudah bisa jalan pulang sendiri tanpa harus ditungguin.
“Off you go.” Kinanti mengibas-kibaskan tangannya, mengusir. Yang diusir mengangguk-angguk, menyerah. Dewantara mengangkat sebelah tangan mengucapkan selamat tinggal, baru setelah itu tancap gas.
Yang terjadi selanjutnya bukanlah hal yang Kinanti ingin hadapi. Dia tadinya berniat untuk mengambil jalan lain ke lobi apartemen, memutar sedikit agak jauh supaya tidak bertemu dengan anak-anak perempuan itu. Tapi terlambat. Mereka terlanjur melihatnya lebih dulu.
Dari ekspresi mereka yang terlihat terkejut, tampaknya informasi tentang keluarganya dan Darma belum banyak tersebar di penjuru sekolah. Mungkin hanya sekedar dugaan-dugaan yang masih belum pasti, Kinanti menyadarinya ketika salah satu dari mereka menyenggol-nyenggol temannya yang lain seraya berkata, ‘tuh kan, tuh kan, bener’.
“Ngapain lo di sini?” Tanya salah satu di antara mereka berlima begitu mereka berhadapan.
Kinanti tidak menjawab.
“Kita denger ada yang nikah diem-diem di sekolah. Katanya kepsek diem aja gara-gara keluarga orang ini berpengaruh banget.” Anak perempuan yang seingat Kinanti bernama Marin bicara, lalu dilanjutkan oleh lainnya—Kinanti tidak tahu siapa namanya.
“Gue denger Darma yang nikah, soalnya tiba-tiba aja dia pindah dari rumahnya yang dulu. Kita ke sini mau liat bener atau enggak kecurigaan anak-anak, tapi kok lo ada di sini ya?”
Kinanti masih tidak menjawab. Dia tidak sedang ingin mengobrol atau meladeni orang-orang yang buatnya tidak penting, berpikir untuk segera pergi dengan bergeser ke kanan. Tapi langkahnya dihalangi.
“Lo budek atau bisu, sih? Sok banget lo jadi orang!” seorang anak lainnya mendorong bahunya dengan jari telunjuk.
“Biasa aja deh, nggak usah pakai tangan.”
Sebenarnya kalau dipikir lagi, situasi ini sangat lucu. Siapa yang mengira bahwa rumor yang beredar ternyata sekonyol ini. Semua orang tahu jelas bagaimana hukumnya anak sekolah yang menikah, itu kan cuma ada di sinetron nggak jelas bikinan orang-orang kurang imajinasi di balik layar televisi. Kalau bukan karena sedang dalam situasi tegang dan dikepung perempuan-perempuan nganggur ini, Kinanti pasti sudah terpingkal-pingkal sekarang.
Keributan sebenarnya bukan aktifitas favorit Kinanti. Selama delapan belas tahun hidup di dunia, hanya sekali dia berkonfrontasi dengan orang lain, dan sejak itu dia bersumpah tidak akan berkelahi lagi. Lebih baik diam, karena itu membuat orang bosan dan akhirnya melupakannya. Kalau bisa menghindar, karena terus terang saja hal-hal semacam ini membuatnya trauma.
Tapi Kinanti lupa, bahwa dia tidak ahli dalam menyembunyikan emosi. Dewantara bilang dia sinis, dan sempat bilang kalau Kinanti tidak belajar untuk mengendalikan raut mukanya, ekspresi kecil saja bisa membangkitkan amarah seseorang. Dan saat ini, itu lah yang terjadi.
Awalnya Kinanti hanya berniat untuk menyuruh mereka pergi karena ini sudah malam, dan karena dia sendiri pun lelah setelah latihan bermain piano dan biola sepanjang sore. Kinanti ingin segera pulang, tapi yang keluar dari mulutnya adalah kalimat yang berbeda,
“Peduli amat sih kalian sama hidup orang. Mau Darma nikah kek, atau enggak kek, urusan kalian apa?” ujarnya sambil mengibaskan tangan di bahu seperti sedang membersihkan debu, tepat di mana dia didorong tadi.
Jadi sepertinya, itu lah yang menyulut api amarah anak-anak perempuan itu. Karena sedetik kemudian, Kinanti tidak ingat lagi apa yang terjadi selain sumpah serapah yang dimuntahkan ke depan mukanya. Seseorang di antara mereka menarik kotak biola dari bahunya, lalu membantingnya ke lantai. Anak yang lain, yang paling besar menoyor kepalanya dengan jari tangan, lalu mendorongnya di dada hingga terhuyung, hanya untuk ditangkap oleh anak yang lain.
Satu lawan lima. Dia dihajar habis.
Parahnya, tempat itu tidak memiliki penerangan yang memadai, bisa dibilang agak gelap dan tersembunyi dari pos satpam di balik taman. Meski Kinanti ingin berteriak, tidak ada yang keluar dari mulutnya, seperti ada yang mengunci bibirnya rapat-rapat saat dia menerima tiap pukulan dan tendangan yang bertubi dari lima orang sekaligus.
“Belagu banget lo jadi orang, mentang-mentang juara kelas, lo bisa seenaknya aja.” Kinanti mendengar ada yang bicara.
“Jadi lo yang nikah sama Darma? Bokap lo yang ngebungkam kepsek buat nggak nindak lo? P***k lo, udah lo apain aja Darma? B*****t lo…”
Kinanti menahan napas saat terhuyung jatuh. Dia menarik napas dalam setelahnya, sungguh berusaha untuk menahan diri agar tidak meledak. Dia tidak ingin berkelahi, salah satu alasannya karena dia bukan petarung yang andal. Tapi minggu ini sungguh bukan hari-hari terbaik. Lelah, penat, tekanan ujian dan resital piano, ditambah lagi segala keadaan tidak normal yang harus dia lalui karena Darma, dan sekarang dia harus menghadapi segerombolan anak perempuan yang siap membunuhnya karena terlalu tergila-gila pada anak laki-laki itu.
Kemarin, untuk sabar mungkin masih bisa, tapi Kinanti tidak bisa menerima perlakukan ini.
Hilang sudah kesabarannya.
“Hidup Darma bukan urusan gue!” serunya dengan keras. Amarahnya memuncak, dan Kinanti mendorong anak perempuan yang menariknya dengan keras, membuatnya jatuh terjengkang.
Tangan dan kaki Kinanti gemetaran, saking lelahnya menahan sakit, jari-jarinya kebas. Anak-anak perempuan itu mulai memukulinya lagi, menjambak rambutnya, meninju tulang rusuknya. Rasanya seperti mau mati.
Kinanti sungguh berpikir dia mungkin akan mati malam ini, sudah hampir menyerah untuk melawan ketika terdengar suara teriakan dari jauh.
“Hei! Stop! Stop”
Ada setitik kelegaan yang membuncah di dada Kinanti saat mendengar suara itu. Untuk pertama kalinya, dia senang melihat Darma berlari dengan kecepatan tinggi menghampiri mereka, berteriak dengan segala umpatan yang tidak pernah dia dengar sebelumnya, menghentikan segala ‘aktifitas’ yang anak-anak perempuan itu lakukan padanya.
“Hei, stop! Apa-apaan sih ini?!”
“Darma, kasih tau kita sekarang, jadi lo beneran nikah sama orang ini? Kenapa di antara semua perempuan yang ada harus anak ini sih?” ujar salah satu anak perempuan dalam gerombolan itu. Kinanti hampir tertawa saat mendengarnya, konyol, bener-bener konyol mereka semua.
“Lo ngomong apaan sih. Mabuk lo, pergi sana!” Darma tidak memedulikan pertanyaan itu, dia berteriak memanggil satpam, lalu berbalik ke arah Kinanti. Satpam datang sejurus kemudian untuk mengamankan anak-anak itu.
“Duh, lo nggak papa, Nan?” Tanya Darma seraya berjongkok yang mengulurkan tangan untuk membantu Kinanti berdiri.
Menurut lo?! Kinanti ingin sekali berteriak ‘kemana aja lo baru muncul setelah gue babak belur?! Nggak liat apa badan begini masih tanya gue nggak papa?!’ Keterlaluan, Kinanti menahan marahnya. Dia menepis tangan Darma, menolak dibantu.
Masih dengan tangan dan kaki gemetaran Kinanti berusaha berdiri sendiri. Dia tidak mengacuhkan Darma yang terus ingin mengecek keadaannya, atau membantunya berjalan. Seorang satpam membantu Kinanti membawakan tas dan kotak biola, dan kali ini Kinanti tidak menolak.
Kinanti tidak lagi berpikir untuk tinggal lebih lama. Dia pergi begitu saja meninggalkan Darma dan para satpam mengurusi para penguntitnya, seraya mendesis pelan meratapi kulitnya yang terasa perih di mana-mana karena tercakar, dan tulang-tulang seluruh badannya yang terasa remuk redam.
Lift datang tidak lama setelah dia menekan tombol pemanggil. Kinanti menolak saat satpam menawarkan diri untuk mengantarnya ke atas, dia sudah berada di dalam kotak besi itu saat melihat Darma berlari ke arahnya.
“Tunggu! Tunggu! Tunggu!”
Ditekannya tombol penutup pintu berulang kali agar segera tertutup, dia tidak ingin naik ke apartemen bersamaan dengan tukang pembuat ulah itu. Tapi ternyata Darma lebih cepat. Anak laki-laki itu menahan pintu dengan lengannya, membuatnya terbuka kembali. Kinanti merapat ke dinding lift begitu Darma berdiri di sampingnya.
“Gue udah pastiin mereka nggak bakal pulang tenang malam ini. Satpam lagi ngehubungi orangtua mereka.” ujar Darma kemudian.
Kinanti tidak berkata apa-apa, tidak peduli. Kepalanya terangkat, kedua matanya menatap layar di atas pintu lift menunjukkan angka yang berubah-ubah dengan cepat sementara bergerak naik. Napasnya terhela panjang, kedua matanya berair.
Darma menoleh padanya, menatapnya sesaat. “Sori ya, Kinan…”
“Diem.” Kinanti memotongnya tanpa melepaskan kedua matanya dari atas pintu.
“Gue nggak nyangka kalau…”
“Aku bilang diem.” Nadanya tidak membentak, tapi itu cukup untuk membuat Darma terdiam setelahnya.
Begitu sampai di lantai apartemen mereka, Kinanti langsung keluar tanpa menunggu pintu lift terbuka sepenuhnya. Dia memasukkan angka kunci pengaman rumahnya, dan tanpa untuk menyapa orangtuanya yang sedang menonton televisi di ruang santai, dia bergegas pergi ke kamarnya.
“Kinanti…”
Kinanti tidak menunggu anak laki-laki itu selesai bicara. Dia sudah terlalu kesal malam itu hingga tidak bisa lagi membendung air matanya. Tepat di depan muka Darma, Kinanti membanting pintu kamar.
* * *
.
.
.
Entah kenapa suka banget nama Dewantara, megah banget kayaknya nama itu ❤
Feel free to comment and like, tell me what you think! *smooch*
Filed under: original fiction, series Tagged: Unspoken
