Puppet Show by ilachan
Romance – General
Suara ketukan sepatu membentur lantai kayu yang terus bergaung ke seluruh ruangan, memantul dan melesat masuk kedalam lubang telinga, akhirnya berhenti bersamaan dengan kehadiran sesosok pria yang tiba-tiba saja sudah berdiri menjulang di hadapan hidung Irene. Sekali– dua kali, gadis bersurai keemasan itu menelan ludah. Tenggorokanya tiba-tiba saja berubah menjadi kering. Titik-titik keringat muncul di peluhnya seolah musim panas datang empat bulan lebih awal, membuat suhu ruangan yang mulanya sedikit dingin berubah menjadi sepanas sauna. Tapi, tentu saja hanya Irene yang bisa merasakan bagaimana ruangan itu berubah menjadi oven raksasa. Bukan karena apa, tapi tentu kehadiran pria itulah yang menyebabkan kekacauan di dalam diri Irene dimulai.
Takut-takut, manik matanya akhirnya memberanikan diri menangkap visual superior pria itu. Hidungnya yang runcing, dagunya yang tegas, mata sipit yang ganti menatapnya meneliti, di percantik dengan bauran cahaya sorot yang jatuh dari atas kepala mereka, menciptakan gradasi bayagan yang tambah membuatnya memikat. Sebisa mungkin Irene tidak membuat dirinya kembali menelan ludah, karena Baekhyun yang dihadapannya pasti bisa membuatnya dirinya tersedak.
Satu detik, dua detik– Irene membuang pandangannya ke arah lain dengan asal. Tapi nihil, dia tidak bisa melihat hal lain karena sekeliling mereka berdua hanyalah warna hitam. Di tempat mereka berdua berdiri, tak ada hal yang bisa di buat sebagai topik kambing hitam karena memang hanya yang ada di bawah sorot cahaya lah yang bisa mereka lihat. Sialnya, hanya mereka berdua yang ada di bawah siraman sorot cahaya yang menciptakan garis pembatas jelas antara bayangan gelap dan terang berbentuk lingkaran di lantai kayu yang mereka pijak. Mau tak mau, Irene harus kembali menatap Baekhyun.
“Apa?” kata pria bersurai hitam itu ketika Irene kembali mendongak kepadanya, “Kau bilang kau ingin mengatakan sesuatu kepadaku.”
Irene menunduk lagi, mengunyah bibir bawahnya sembari berpikir. Haruskah dia mengatakannya? Sekarang? Di tempat ini? Apakah pria itu tak keberatan? Apakah pria itu akan marah? Apakah setelah dia mengatakan yang sebenarnya, pria itu akan membenci dirinya?…
“Harus sampai kapan aku menunggu dirimu bicara?” dia berkata dengan nada rendah dan santai. Tapi entah kenapa banyak emosi menjengkelkan yang ikut keluar bersamaan dengan ucapannya.
“A-aku,” Irene berhenti dan mengerjap. Sial, dia lagi-lagi tergagap. “A-aku disini untuk mengajakmu bicara.”
“Cepat katakan.” kata Baekhyun, nada suaranya terdengar tak sabar. Dia pasti sudah terlampau kesal jauh-jauh ke tempat semacam ini untuk mendengarkan gagap bicara gadis itu.
Jemarinya diam-diam saling bertaut dan meremat seolah sedang mencuci tangan. Kata-kata Baekhyun yang baru saja membenturnya terdengar sederhana namun Irene perlu berpikir dalam-dalam untuk menjawabnya. Bukan perkara yang sulit untuk mengatakan kalimat yang sebenarnya susunannya tak rumit. Tapi yang membuat Irene kesulitan adalah orang yang ia ajak bicara.
Gadis itu menarik nafasnya, mencoba mengendalikan emosi yang beberapa saat lagi akan membuatnya meledak seperti bom waktu. Salah satu tangannya kini meluncur ke salah satu sisi wajahnya untuk menyelipkan rambut diantara daun telinganya. Dia berusaha tenang, dia berusaha menata nafasnya yang makin lama makin bertempo cepat. Dia lagi-lagi menelan ludahnya seolah dengan begitu rasa gugupnya bisa ikut hanyut masuk kedalam perutnya. Tapi tunas kecil keberanian yang akhirnya muncul di dasar dirinya, mati begitu saja ketika Baekhyun berdecak tak sabar. Irene membuat pria itu menunggu terlalu lama.
“Kalau kau tidak mengatakan apa-apa, aku akan pergi.”
Untung saja– entah dari mana– nyali Irene kembali muncul. Dan siapa duga, ia berani meneriaki Baekhyun bahkan sebelum pria itu bergerak satu centi dari tempatnya, “Jangan pergi! Aku akan mengatakannya sekarang.”
Baekhyun mengangkat salah satu alisnya, tampak tertarik. Dia kembali berdiri tegap sambil melipat kedua tangannya di dada, memberi kesempatan Irene untuk berbicara lebih banyak.
“Sebenarnya, aku menyukaimu sejak lama. Mungkin kamu sudah tahu kalau aku sering mengekori dirimu kemana-mana saat di sekolah. Aku ingin mengatakannya sejak lama tapi, aku takut.” kata Irene setengah menggumam. Wajahnya tertunduk lalu dia diam, menunggu reaksi mengecewakan dari Baekhyun.
Irene pikir pria itu akan tertawa menyusul perkataannya, tipikal tawa menghina yang mungkin Baekhyun lakukan karena berpikir Irene sedang melakukan sebuah lelucon payah. Irene pikir pria itu akan mendaratkan kedua jari kurusnya di dahinya dan mendorongnya seraya berkata bahwa Irene kehilangan kewarasannya. Irene pikir Baekhyun akan menggeleng beberapa kali sabil memutar tumit kakinya dan mulai berjalan pergi meninggalkannya. Tapi tidak, pria itu diam saja. Dia hanya mendengus pelan dan tak lebih dari itu.
Irene kembali menatapnya, seolah menuntut karena ekspresi yang Baekhyun berikan tidak sesuai dengan apa yang ada di pikirannya. Tapi rupanya, ada hal lain. Baekhyun sedang tersenyum kepadanya, senyuman manis yang tak pernah Irene tahu.
“Kenapa kau tersenyum?”
“Aku hanya merasa sangat beruntung.”
“Apa maksud…”
“Aku hanya tak menyangka bahwa seseorang yang aku kagumi rupanya menyukaiku.” katanya enteng, dan malah membuat Irene kebingungan.
“Jadi maksudmu…”
“Ya, aku juga menyukaimu, noona.”
Irene merasakan seluruh Indera miliknya tidak bisa berkoordinasi dengan baik. Matanya tiba-tiba melonjak terbuka, rahangnya jatuh membuat mulutnya menganga lebar, telinganya berdenging karena darahnya tiba-tiba berdesir mengalir kencang hingga ke pembuluh darah terkecil miliknya, nafasnya terasa sesak, kepalanya berdenyut nyeri, dan rusuknya terasa sakit karena benturan bertubi dari jantungnya.
“Wow,” mungkin itu adalah sisa kata yang bisa ia ucapkan.
“Jadi, bisakah aku memelukmu sekarang?” kata Baekhyun, nada cerianya tak tertinggal.
Irene mengangguk kaku dua kali sebelum akhirnya Baekhyun melingkarkan kedua tangannya di sekeliling pundaknya dan menarik Irene kedalam kehangatan suhu tubuhnya. Ah, beginikah rasanya berpelukan dengan orang yang kau sukai, tanpa paksaan dan dilakukan dengan setengah hati? Rasanya jantung Irene mau melompat ke leher saja.
Tapi, belum selesai dia mencerna segala situasi yang ada di sekelilingnya, belum selesai dia menikmati moment aneh manis yang sedang membentur dirinya, belum selesai dia berpikir hal apa yang akan gadis itu lakukan setelah Baekhyun melepaskan pelukannya, tahu-tahu saja ada suara dari kejauhan yang memecah moment mereka. Suara itu datang dari kegelapan, suaranya bergaung keras, memantul di dinding-dinding sebelum akhirnya masuk ke lubang telinganya dan menyadarkannya. Irene langsung mengerjap dan menyadari bahwa sandiwaranya selesai.
“CUT!”
Lampu sorot yang mulanya menyinari mereka dan menciptakan lingkar cahaya yang memisahkan gelap dan terang di lantai, langsung berubah redup. Ruangan itu tak seketika berubah menjadi gulita karena lampu-lampu lain di ruangan itu mulai menyala dan menunjukkan detail ruangan gelap itu dengan lebih jelas. Kini Irene bisa melihat deretan bangku penonton, dua kordin merah yang menggantung di dua sisi ujung panggung, serta beberapa kerumunan orang yang berdiri di lantai kosong antara deretan panggung penonton dan bibir panggung yang tinggi. Mereka bertepuk tangan dan sesekali mengacungkan ibu jari ke arah dua tokoh utama drama yang berlagak sedikit kikuk dan kebingungan di panggung sebelum akhirnya saling melepaskan pelukan dari satu sama lain.
“Kerja bagus!” seru pria paruh baya bersurai perak yang berdiri di paling depan kerumunan, penuh antusias. Dia terlihat senang sekali, bahkan sudah tidak menyadari kalau kertas skrip yang ada di tangannya sudah ia kepal, “Bagus sekali Irene, Baekhyun! Aku tak salah memilih kalian berdua sebagai pemain utama di drama ini. Pertunjukan esok hari pasti akan luar biasa.”
Kegembiraan Mr Lee tak berhenti di situ saja. Dia masih saja memamerkan giginya ke arah pemain lain yang tak kalah senangnya dengan dirinya. Mr Lee kemudian sibuk menjabat tangani satu persatu crew dan pemain drama yang berkerumun di sekitarnya setelah mendapatkan senyum simpul terimakasih yang baru saja muncul di bibir Baekhyun.
Irene memperhatikannya.
Pria itu masih tersenyum, perhatiannya kini tertuju pada crew yang kini sedang berencana pergi makan malam bersama setelah latihan drama selesai. Ah, sayang sekali drama miliknya sudah berakhir.
“Acting mu bagus sekali Irene-ssi.” kata Baekhyun, tiba-tiba perhatiannya tertuju kepada Irene.
“Ah, terimakasih banyak. Kau juga hebat.” kata Irene singkat, lalu menggigit kuku jarinya.
Sebenarnya itu tadi bukanlah sandiwara.
“Benar apa yang telah Mr Lee katakan, dia tak salah memilihmu menjadi pemeran utama.” lanjut pujian Baekhyun.
“Kau juga Baekhyun-ssi. Kau bekerja dengan serius.”
Justru sandiwaraku yang sebenarnya akan baru dimulai.
Baekhyun tersenyum simpul sambil memamerkan gesture untuk menyarankan Irene ikut pergi bergabung dengan crew dan pemain lain yang sedang menunggu mereka di bawah panggung. Sang gadis hanya bisa mengangguk lemah dan secara diam-diam dia harus bisa menahan rasa getir dari fakta.
Andai dia seberani Irene di dalam drama yang mengutarakan perasaannya tanpa rasa malu. Andai dia adalah Irene yang ada di dalam drama yang berani menghadapi Baekhyun sendirian. Andai dia adalah Irene yang rasa cintanya di balas sepenuh hati. Tapi sayangnya dia bukanlah Irene yang ada di atas panggung. Hidupnya bukanlah skrip manis yang dibuat sutradara. Dan yang tersisa adalah, permainan boneka bodoh yang diperankan oleh dirinya sendiri sebagai pemeran utama. Sandiwara boneka bodoh itu adalah hidupnya yang berbumbu Ironi.
Andai dia tercipta sebagai pembuat sekenario pertunjukan boneka. Dia tidak akan pernah menciptakan boneka bernama Irene yang tidak di cintai Baekhyun.
-fin
Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Bae Irene, Byun Baekhyun, EXO, Red Velvet
