-
.
“Lembur” adalah nama tengah pegawai bank. Nama itu setidaknya melekat di setiap akhir bulan. Rutinitas tutup buku tiap akhir bulan memaksa para pegawai harus kerja ekstra, tanpa peduli libur akhir pekan.
Maya menghela napas. Meskipun dirinya merupakan seorang Account Officer senior di kantor cabang salah satu bank terkemuka di tanah air, tidak membuatnya lantas lepas dari nama tengah itu. Ia merasa sangat penat melihat pekerjaan yang menumpuk di depannya. Keinginannya saat ini hanya ingin menikmati hari libur tanpa dihantui kerja lembur dan pencapaian target seratus lima puluh persen. Tapi tidak akan ada hari libur baginya jika pekerjaan ini tidak selesai.
Ini sudah malam dan semua pegawai yang lembur panik karena kelaparan. Ketika para pegawai sedang berdebat mengenai siapa yang diutus untuk turun ke lantai bawah dan menyeberang ke warung di seberang gedung kantor dan membeli makan malam mereka, Maya mengendap-endap keluar dari kubikel kecilnya, melarikan diri menuju lift. Ia tidak sabar jika harus menunggu perdebatan itu selesai sementara ia kelaparan dan pekerjaan masih menumpuk untuk diselesaikan.
Batagor Pak Yunus adalah salah satu makanan kesukaan Maya, tapi ia belum pernah sekalipun mampir ke warungnya karena selalu menyuruh office boy untuk membelikannya. Kali ini Maya mencoba untuk makan di tempat, selain untuk menghindari keributan di kantor, juga untuk menenangkan pikirannya sejenak dari tumpukan berkas di mejanya.
Maya memesan satu porsi batagor dan segelas es teh pada pria yang ia duga sebagai Pak Yunus, pemilik warung ini, lalu duduk di meja sudut di dalam warung berukuran mungil itu.
“Dul! Nih, ibu di meja sono.” Pak Yunus memberikan batagor pesanan Maya pada anak lelaki itu untuk diantar ke meja Maya.
Anak yang dipanggil Dul itu datang membawa seporsi batagor dan teh botol dingin pesanan Maya. Seorang anak lelaki berusia sekitar tiga belas tahun menghampiri meja Maya. Wajahnya tirus dan sedikit pucat. Badannya kurus tapi tidak terlihat penyakitan. Anak itu berusaha untuk kelihatan rapi meskipun mengenakan kaus oblong yang dekil dan celana kain bewarna gelap yang tidak kalah dekil. Jelas ia bukan seorang gelandangan.
“Ini, Bu, pesanannya.”
Maya merasa seakan disentil saat anak itu mengatakan “Bu” padanya. Ia masih berusia dua puluh lima dan ia merasa tidak rela jika sudah dipanggil “Bu”. Tapi ia hanya berdehem dan mulai makan.
Hanya beberapa menit bagi Maya untuk menghabiskan satu porsi batagor. Ia seharusnya segera kembali ke kantor namun ia terlalu malas untuk kembali sekarang dan matanya menangkap anak bernama Dul itu dengan serius mengerjakan pekerjaannya sampai tidak menyadari pandangan mata Maya.
“Kamu lagi ngerjain PR, Dul?” tanya Maya sedikit berbasa basi.
Anak bernama Dul itu menoleh pada Maya dan berkata, “Nama saya bukan Dul, Bu. Nggak pake L.”
“Jadi cuma Du?” tanya Maya sedikit bercanda.
“Abdu, Bu. Nama saya Abdu. Abdu Rifa’i” jawab anak itu.
“Nama yang bagus. Kamu anaknya Pak Yunus?” tanya Maya lagi menduga.
Abdu menggeleng, “Nggak, Bu. Saya cuma numpang kerja di sini sampe mau puasa.”
“Kamu kerja sampe malam begini? Kamu kan harusnya tidur jam segini. Besok harus sekolah,” ujar Maya, memperhatikan jam tangannya. Pukul sembilan.
“Saya sekolah siang, Bu,” jawab Abdu sekenanya. Maya mengangguk pelan, antara perduli atau tidak pada jawaban Abdu. Tapi jawaban Abdu selanjutnya mencuri perhatian Maya,
“Kalo pagi saya cuma ngantar koran ke toko sama nganterin cucian kerjaan ibu, trus kerja di pasar. Siang sekolah sampe sore, habis itu baru ke sini.”
“Kamu kerja apa di pasar?”
“Bantuin budhe Ning jualan sayur.”
Maya memperhatikan Abdu yang kembali fokus pada tugasnya, tapi ia makin penasaran pada anak itu. “Kamu tiap hari kerja kayak gini?”
Abdu mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.
“Kamu nggak capek kerja terus? Kapan main sama temannya?” tanya Maya makin penasaran. Bagaimana anak seusia Abdu harus bekerja seharian.
Abdu menoleh pada Maya, “Enggak, Bu. Saya bekerja untuk bantuin ibu. Bapak saya udah nggak ada, Bu. Ibu kerjanya cuma tukang cuci. Kalo lagi ada pesanan kadang buatin kue basah.”
“Sebenarnya saya nggak disuruh ibu sih buat kerja kayak gini. Saya kerja biar pas bulan puasa nanti ibu nggak perlu kerja terlalu banyak. Jadi pas puasa ibu nggak usah nyuci, kalo ibu mau, jual bukaan puasa aja. Kalau kerja banyak sekarang, udah ada duit buat beli baju hari raya buat ibu sama adik. Pas puasa nggak perlu capek-capek lagi. ”
Maya terdiam. Ucapan Abdu benar. Ia memilih bekerja berat hari ini agar bisa santai keesokan harinya.
Maya pamit pada Abdu dan memberikan senyum terbaiknya, meminta Abdu menyampaikan salam pada Ibu dan adiknya dan mengatakan akan bertemu ia lagi besok. Ia ingin segera kembali ke kantor, menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin agar ia bisa merasakan hari liburnya. Seperti yang dilakukan Abdu.
“Ibu kerja di bank yang di depan ya?” tanya Abdu sebelum Maya meninggalkan warung.
Maya mengangguk, “Memangnya kenapa?”
“Saya boleh nabung di sana nggak, Bu? Saya punya duit, tapi takut kalau disimpan di rumah. Kalo banjir, takut duitnya basah.” ujar Abdu.
“Boleh. Emang duit kamu berapa?” tanya Maya.
“Seratus ribuan,” ujar Abdu polos dan bersemangat, sementara Maya tercengang. “Tapi saya mau ambil sedikit buat beli kolak dan bubur untuk buka puasa pertama. Sisanya buat beli baju lebaran adik sama ibu.”
Maya terhenyak.
“Kamu nggak beli baju baru?” tanya Maya.
Abdu menggeleng. “Saya udah beli baju koko kemaren ini buat tarawihan. Baju koko tahun lalu udah jelek banget dipake sholat terus. Masa’ mau ketemu Allah pas tarawihan bajunya jelek. Entar Lebaran kan bajunya masih bagus, pake yang itu aja.”
“Kamu boleh kok nabung di sana, tapi sekarang kantor udah tutup. Besok aja ya,” ujar Maya seraya tersenyum kecil. Ia tidak yakin simpanan Abdu cukup untuk membayar setoran awal untuk membuka rekening tabungan.
Tapi Maya punya rencana kecil.
Ia akan membuat rekening tabungan untuk Abdu dan mengisinya tiap bulan selain setoran uang Abdu.
* * *
.
fiksi ini pernah dimuat di Nulisbuku dalam proyek Sayembara Menulis Cerpen #KejutansebelumRamadhan.
Filed under: one shot, original fiction
