Indonesia yang Lain oleh theboleroo
~
“Bulan depan Amalia akan mengikuti kontes menari tingkat provinsi, Ad.”
Nada bicara gadis itu terdengar seringan awan, di sela-sela ucapannya ada seulas senyum yang seakan menular. Barangkali mustahil ada manusia yang mampu menolak untuk ikut menarik sudut-sudut bibir mereka ketika melihatnya tersenyum, termasuk Adrian.
Lelaki itu tak pernah berpikir jika sebuah aula terbuka berlantai kayu yang terletak di belakang kampus akan menjadi tempat favoritnya sejak beberapa bulan lalu. Sebuah tempat yang akan menjadi ramai ketika Rabu dan Jumat sore menjelang. Kursi kayu panjang yang berjajar di pinggir aula kini menjadi area favorit lelaki itu. Awalnya Adrian akan duduk sendiri di sana, namun beberapa saat kemudian seorang gadis berambut hitam akan menghampiri dan mengajaknya berbincang, namanya Raya―salah satu pelatih di sanggar tari tersebut.
“Oh, ya? Aku turut senang mendengarnya.”
“Ya, dia memang sangat berbakat. Ada beberapa tari daerah yang sudah dikuasainya, kupikir itu hal yang luar biasa mengingat umur Amalia baru menginjak sembilan.” Terdengar Raya terkekeh pendek, lalu ia mengalihkan perhatian ke sekumpulan anak perempuan yang tengah berlatih serius di tengah aula, kala itu mereka menarikan Tari Merak. Sesekali gadis itu ikut menggerakkan kedua tangan seolah memberi instruksi agar sekumpulan anak itu tidak keliru. “Jenis tarian di Indonesia sangat beragam dan indah,” ungkapnya menambahkan.
Adrian mengangguk setuju, sementara Raya kembali melempar tatapan teduhnya ke arah lelaki itu. Adrian tersenyum kikuk, kemudian memalingkan wajahnya yang mendadak panas.
“Ad, apa yang kau suka dari Indonesia?” tanya si gadis seraya menempelkan punggung ke sandaran kursi. Sampur berwarna merah terang masih terikat di pinggangnya yang ramping, tangan Raya memilin salah satu ujung kain tersebut sesekali.
Adrian menoleh, lelaki itu sempat bergumam sangat pelan―seolah tengah berdialog dengan diri sendiri mengenai jawaban seperti apa yang cocok dilontarkan atas pertanyaan sederhana tersebut. Apa yang kau suka dari Indonesia? Sungguh, Adrian tidak tahu.
“Apa yang sedang kaupikirkan?” Raya mengibas-ibaskan tangan di depan wajah Adrian, kala itu secara tak sadar sepasang manik sipitnya nyaris tak berkedip memandangi Raya.
“Bukan apa-apa,” Adrian menggeleng cepat. “Aku hanya sedang memikirkan pertanyaanmu,” lanjutnya sembari mengusap tengkuk―pertanda bahwa ia gugup. Jelas jawaban lelaki bukanlah sebuah alibi, pertanyaan Raya seolah menggantung begitu saja di atas ubun-ubunnya.
“Benarkah? Kurasa itu adalah pertanyaan mudah.”
Sangat mudah, tambah Adrian dalam hati. Lelaki itu tersenyum lalu menatap lurus ke depan, ke arah pohon-pohon cemara yang berjajar dengan jarak yang tak rapat di seberang aula. Sebagian besar anggota sanggar tari sudah pulang sekitar setengah jam yang lalu, sedangkan sisanya masih ingin berlatih setidaknya sampai 15 menit ke depan. Lara dan Aline―pelatih tari yang lain―juga sudah pulang sejak tadi, hanya Raya yang tersisa lantaran tak ingin meninggalkan anak-anak itu berlatih tanpa pengawasan.
“Bagaimana jika kau yang menjawabnya lebih dulu?” tanya Adrian kemudian.
“Hm?” Raya menoleh dengan kedua alis yang terangkat.
“Iya, apa yang kau suka dari Indonesia?”
//
Mereka sudah saling mengenal sejak tahun pertama kuliah, keduanya berada di kelas yang sama. Namun, kedekatan mereka baru terjalin sejak beberapa bulan yang lalu, ketika Adrian tak sengaja melihat gadis itu tengah melatih sekumpulan anak perempuan menari di aula serbaguna. Ia memutuskan untuk menonton, dengan niat untuk mengusir rasa penat akibat serangkaian aktifitas yang sudah dijalaninya sepanjang hari. Lelaki itu memang pernah mendengar bahwa ada beberapa mahasiswi di fakultasnya yang mendirikan sanggar tari kecil-kecilan, namun Adrian baru tahu jika Raya adalah salah satu pendirinya.
“Aku tak menyangka kau penari yang andal.”
“Kau berlebihan.”
“Apa aku boleh datang lagi kemari?”
“Tentu saja, kau mau sekalian kuajarkan menari?”
“Tidak, Raya. Terima kasih banyak.”
Meski keduanya berada di lingkungan yang sama nyaris setiap hari, sesungguhnya mereka belum pernah berbicara banyak. Raya ramah kepada siapa saja, bertolak belakang dengan Adrian yang terkesan membatasi diri. Tak banyak orang dapat menjamahnya dengan mudah, lantaran Adrian hanyalah lelaki pasif yang nyaris membeku jika tak menemukan Raya. Itu saja.
//
“Bagaimana jika aku menyukai semua yang ada di negeri ini?”
“Termasuk koruptornya maksudmu?”
“Tidak juga, sih.”
Raya mengulas senyum yang agak lebar, dan hal itu menimbulkan sesuatu yang menggelitik di balik dada Adrian sehingga ia tertawa pendek. Dan sejurus saja, tawa gadis yang ada di sampingnya juga menyusul. Secara topik pembicaraan, jelas tak ada kesan lucu sebenarnya.
“Hal yang paling aku suka dari Indonesia adalah keseniannya,” ujar gadis itu setelah tawanya mereda, “Sewaktu umurku delapan tahun, ayah pernah mengajakku menonton pertunjukan seni, di sana ada banyak sekali kelompok yang menyajikan tarian daerah. Dan percaya atau tidak, aku langsung menyadari bahwa Indonesia sangat mengagumkan karena memiliki tarian-tarian yang indah, kurang dari 24 jam aku langsung merengek minta bergabung di sanggar tari.”
Raya senang bercerita, sedangkan Adrian pada dasarnya adalah pendengar yang baik, sejauh ini tak ada pembicaraan yang terkesan membosankan di antara mereka. Selalu saja ada topik sederhana yang mau tidak mau menjadi menarik, entah mengapa.
“Aku juga ingin seperti ayahku, beliau memberi banyak kontribusi dalam memajukan kesenian Indonesia. Yah, meski tak semua orang bisa melihat dan merasakan apa yang sudah ayah berikan. Lalu, Sanggar Tari Kirana yang kudirikan bersama teman-teman adalah permulaan di mana aku bisa membuat hal besar untuk Indonesia. Kau tahu? Ibuku bilang, jangan pernah berjuang setengah-setengah jika kita mencintai sesuatu.”
Juga seseorang, tambah Adrian dalam hati.
Raya pernah bercerita bahwa dirinya adalah anak tunggal dari sepasang orang tua yang memiliki darah seni. Ayahnya adalah seorang pemimpin sanggar gamelan yang cukup diperhitungkan, sedangkan ibunya adalah seorang guru tari di sebuah sekolah menengah. Lain halnya dengan Raya, lelaki itu adalah keturunan Tionghoa. Kedua orang tuanya adalah seorang pengusaha. Adrian dibesarkan di lingkungan yang tidak begitu akrab dengan budaya Indonesia, termasuk kesenian daerahnya. Di samping itu, ia juga tak menaruh minat pada budaya salah satu nenek moyangnya tersebut. Paradigma lelaki itu sedikit demi sedikit berubah ketika kedekatannya dengan Raya bergulir. Adrian mulai hafal satu per satu jenis tarian yang sering dibawakan oleh anggota sanggar, perlahan lelaki itu menyukainya dan menganggap jika seni tari adalah bagian dari budaya Indonesia yang luar biasa.
“Aku sangat setuju dengan ucapan ibumu. Kirana adalah awal yang bagus, kurasa. Lagipula usaha yang sudah kaulakukan bersama temanmu kan tidak sia-sia. Anak didik kalian sudah memenangkan beberapa perlombaan, dan itu hebat.” Adrian menghela napas panjang dan melanjutkan, “Secara pribadi, aku belum memiliki rencana apa-apa dalam waktu dekat. Tapi, melakukan sesuatu di masa depan adalah sebuah keharusan. Akan kupikirkan nanti.”
Indonesia Raya adalah gadis berdarah Jawa. Memiliki sepasang mata besar yang dibingkai bulu lebat nan lentik, gadis itu berkulit cukup gelap dengan rambut hitam yang tergerai sampai pinggang. Raya tak begitu tinggi dengan bentuk tubuhnya yang kecil. Ia memiliki senyum yang menakjubkan, dan Adrian menyukainya. Iya, menyukai Indonesia Raya yang kini tengah menatapnya…
“Kupikir bukan mustahil jika di masa depan kau akan memberikan hal besar untuk Indonesia, kau adalah orang yang jenius, bahkan nilaimu selalu menjadi yang tertinggi di antara kami.” Raya menepuk bahu lelaki itu, ia hanya membalas dengan seulas senyum.
Ada beberapa hal yang mungkin terlalu dini untuk disadari, namun pada akhirnya kesimpulan itu akan tetap sama di akhir nanti. Entah berapa banyak waktu yang diperlukan, untuk sekadar mengerti sepenuhnya dengan apa yang tengah terjadi. Adrian tidak benar-benar paham dengan apa yang tengah dirasakannya, namun satu hal yang selalu diingatnya; Raya adalah gadis yang istimewa.
“Sepertinya obrolanku sedikit melenceng ya, Ad?”
“Ya, memang.”
“Serius?”
Lelaki itu hanya tertawa ringan.
//
Cukup aneh, ketika ia tak menolak untuk hadir di sebuah pertunjukan angklung bersama Raya. Gadis itu tak memaksa, dan namun Adrian tak cukup sanggup untuk menolak. Tak hanya menonton, namun di acara tersebut ada sesi di mana seluruh penontonnya diharuskan untuk memainkan angklung dengan arahan dari seorang pemimpin sanggar angklung tersebut.
“Ternyata cara memainkannya sangat mudah, aku baru tahu.”
“Ya, hanya tinggal diguncangkan (Raya mengguncangkan angklung miliknya) seperti ini.”
Atau ketika gadis itu menyodorkan tiket pertunjukan wayang kulit. Meski pada awalnya enggan lantaran di sepanjang pertunjukkan bahasa yang digunakan adalah Jawa, namun Raya berhasil meyakinkan bahwa dirinya adalah seorang penerjemah yang baik. Sehingga, saat acara berlangsung Adrian lebih banyak mendengar Raya dibanding menonton pertunjukan itu sendiri, tapi baginya tak masalah.
“Pusing?”
“Lumayan, Raya.”
“Maaf.”
“Tidak, tadi itu menyenangkan, kok.”
//
Kala itu, Rabu sore terasa sama menyenangkannya seperti belasan Rabu sebelumnya. Hari ini Raya lebih banyak tersenyum, optimisme tergambar jelas ketika sudut-sudut bibirnya berjinjit. Amalia pasti akan melakukan yang terbaik untuk sanggarnya, ucap Raya. Sementara lelaki itu mengamini sembari memanjatkan doa di dalam hati.
Langit senja terlihat lebih jingga. Keheningan tak bisa dihindari selama beberapa saat, sampai akhirnya Raya mengajukan kembali sebuah pertanyaan serupa untuk Adrian.
“Jadi, bagaimana denganmu? Apa yang kau suka dari Indonesia?”
Lelaki itu membisu sesaat, bagaimana jika aku memberi jawaban mengenai rasa sukaku terhadap Indonesia yang lain? Bagi Adrian, Indonesia yang bernapas di sampingnya lebih indah dari Indonesia yang kini tengah ia pijak tanahnya.
“Semuanya. Kehangatan, keramahan, kehebatan, keanggunan, keindahan, dan―” ucapan Adrian terhenti sejenak, “Kecantikannya,” tambah lelaki itu dibarengi dengan semburat merah di wajahnya yang putih bersih.
Sepasang manik sendu Raya terpicing, barangkali ini adalah kali pertama di mana mata mereka beradu di dalam keasingan yang menyenangkan, ada sesuatu yang menjalar lamat-lamat ke dasar hati keduanya; hangat dan nyaman.
“Aku sangat menyukai Indonesia… Raya.”
Suasana sekonyong-konyong riuh. Rupanya sekumpulan anak-anak itu telah menyudahi latihan, mereka hendak berpamitan dan menghampiri dua anak manusia yang tengah dirundung situasi ambigu itu sembari berceloteh riang.
“Kak Raya,” sapa salah satu anak, dia Amalia. Anak perempuan dengan rambut berkuncir kuda itu meraih tangan Raya, menciumnya. Lantas diikuti oleh anak-anak yang lain.
“Nanti kita ketemu lagi di hari Jumat, ya!” sahut Raya dengan senyum yang merekah, anak-anaknya menjawab ‘ya’ dengan kompak, membuat Adrian tak bisa untuk tidak membiarkan kedua sudut bibirnya meninggi.
“Kak Adrian hari Jumat mau nonton kita latihan lagi?” Itu Kansha yang bertanya.
“Boleh?”
“Tidak,” gurau Raya disusul tinjuan ringan dari lelaki itu.
Pembahasan itu tenggelam bersamaan dengan Matahari, langit menggelap dengan perlahan namun pasti. Mereka seolah enggan untuk membahas―ah―lebih tepatnya sungkan. Adrian menyampirkan backpack berbahan korduroynya yang berwarna cokelat di bahu kanan sembari memerhatikan Raya yang tengah mengemasi barang bawaannya ke totebag ukuran besar bergambar manusia berkepala rubah favoritnya.
“Ad, apa aku boleh bertanya sesuatu?” mimik wajah gadis itu memang jauh dari kesan serius, seolah apa yang akan ditanyakannya adalah pertanyaan biasa yang tak akan membuat organ vital dibalik dada Adrian bergetar hebat. Namun?
“Tentu.”
Raya menghela napas panjang, mengembuskan dengan perlahan lalu bertanya, “Indonesia yang mana yang kau maksud tadi?”
Tentu Adrian bukan seorang pengecut yang akan berkilah. Lelaki itu hanya tak pandai merangkai kata, lagipula Raya terlalu istimewa untuk diberi klu dengan cara yang biasa. Akhirnya ia hanya tersenyum, menggandeng tangan gadis itu dan mengajaknya pulang. Membiarkan pertanyaan Raya dipangku udara, tinggi dan jauh, untuk sementara waktu.
FIN.
Filed under: one shot, original fiction
