Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[SPECIAL PROJECT] VAMPIRE PRINCE : The Beginning

$
0
0

“Kamu membenciku?” Rian bertanya. Pelan. Lirih. Membuat Naya yang melangkah di belakangnya berhenti melangkah. Dan karena tangan Naya berada dalam genggamannya, Rian pun ikut berhenti. Berbalik. Menatap Naya yang balas memandangnya.

“Ulangi pertanyaanmu…” ucap Naya.

“Dengan semua yang kamu alami karena aku,” kata Rian. Masih selirih tadi. “apa kamu membenciku?”

“Kenapa kamu berpikir kalau aku akan membencimu?”

Rian mengangkat satu alisnya. Menampilkan efek kurang suka dengan reaksi Naya. Selalu begitu. “Kamu selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan,” katanya dengan nada sedikit kesal.

Ada segaris senyum di wajah Sunda milik Naya.

Rian mempererat gengaman tangan kirinya, meremas lembut tangan kanan Naya yang mungil. “Aku…” ucapnya. “memberimu ilusi… Menipu penglihatanmu, mengacak-acak memori dan kenanganmu, menganggap main-main perasaanmu padaku. Aku juga memisahkanmu dengan keluargamu. Yang lebih buruk lagi… aku hampir membuatmu terbunuh…”

“Bukankah itu cukup untuk membuatmu membenciku?” tambah Rian tatkala Naya tak mengucap sepatah kata pun setelah semenit berlalu.

“Kalau aku membencimu…” ucap Naya pelan. “Aku tidak akan berada di sini. Bersamamu,” Ada senyum terlengkung di wajahnya.

“Tapi…”

“Aku tak bisa membencimu,” kata Naya seraya menatap langsung ke mata Rian. “Aku pernah membencimu. Tak lama setelah aku tahu siapa dirimu. Tak lama setelah menyadari bahwa kamu telah banyak membohongiku. Menipuku. Tapi tidak bisa,” Naya menggeleng. “Rupanya aku tidak bisa membencimu. Karena waktu itu… semakin aku menyatakan diri bahwa aku membencimu, semakin aku merindukanmu. Semakin aku ingin bersamamu, berada di sampingmu, menemanimu menghadapi hidupmu yang tidak lazim. Dan tolong…” Naya mengangkat tangannya yang digenggam Rian ke dada, mata coklatnya menatap lurus mata violet Rian. “jangan membuatku menyesali pilihan hidupku ini. Aku tak membencimu dan tak akan pernah membencimu.”

Rian membatu. Tatapannya masih terkunci tatapan Naya.

“Maaf…” lirihnya sejurus kemudian.

“Untuk apa?”

“Untuk membuatmu terikat dengan makhluk brengsek ini,” ucap Rian dengan senyum melengkung di wajahnya. Ditariknya Naya ke pelukannya dan berbisik lembut di telinganya, “Terima kasih.”

~*~

Beberapa bulan sebelumnya.

Mereka bertemu setelah enam tahun berlalu. Setelah Rian menghilang tanpa kabar, tak bisa dihubungi oleh Naya lewat media komunikasi apapun. Dan sekarang mereka di sini, berhadap-hadapan, di koridor kampus tempat Naya mewujudnyatakan mimpi masa kanak-kanaknya: menjadi dosen.

Tapi tidak seperti perjumpaan kembali yang selalu ada dalam film, novel, atau apalah, yang romantis penuh rasa mengharu biru; perjumpaan Naya dengan Rian terasa sangat aneh.

Bukan karena tempatnya. Atau waktunya: sepuluh menit menjelang kelas Naya dimulai. Tapi karena reaksi Rian. Dan statusnya.

Rian, yang menjulang dengan tingginya yang hampir satu koma delapan meter, berdiri tegak di hadapan Naya yang cuma satu koma lima ketika mereka berpapasan di koridor Timur. Hari itu adalah hari pertama Naya mengajar di kampus itu dan dia sedang berjalan menuju kelas, sedangkan Rian yang mendapat tugas sebagai penanggung jawab mata kuliah Naya datang menjemput. Selama semenit mereka hanya saling menatap. Sampai Naya menyebut nama Rian dan bertanya pelan, “Kamu sedang apa di sini? Kenapa jadi mahasiswa S1 lagi? Bukankah…”

Reaksi Rian membuat Naya terdiam. Dan tak bertanya lagi. Mereka beriringan menuju kelas dengan Naya yang tertawa canggung karena merasa bodoh mengira bahwa mahasiswanya adalah kekasih lamanya yang menghilang.

Rian tak mengenalinya. Tentu saja. Karena Rian yang ini bukanlah Rian yang itu. Nama mereka berbeda; Rian yang ini panggilan dari Adrian, sedangkan Rian yang itu singkatan dari Alzrian. Naya sudah mengkonfirmasinya di database kampus segera setelah kelas berakhir. Tidak hanya nama yang berbeda, begitu pula tempat dan tanggal lahir, juga nama orangtua, dan asal daerah. Namun selain itu semua sama. Termasuk postur, wajah, suara, cara berjalan, gaya bicara, semua. Semua mirip.

Mungkinkah ada dua orang yang sangat mirip di dunia ini, selain anak kembar?

Naya pernah mendengar bahwa setiap manusia setidaknya punya tujuh kembaran yang hidup tersebar di muka bumi ini. Tapi… tidak mungkin semirip itu kan?

*~*

“Kamu lelah?” tanya Rian tatkala Naya berhenti melangkah.

Naya tak menjawab. Dia sibuk mengatur napas seraya menatap sekeliling. Lalu menghampiri sebuah tembok rendah dengan kerindangan pohon menjulang di atasnya. Duduk di sana sambil menepuk tempat kosong di sebelahnya. Memberi isyarat pada Rian untuk duduk.

“Kamu tidak merasa lelah?” tanya Naya.

“Maaf.”

“Kenapa minta maaf? Jawaban dari pertanyaanku itu ya atau tidak. Bukan maaf. Kamu tidak merasa lelah?” Naya mengulangi pertanyaannya.

Rian menatap jalanan seraya menggeleng pelan.

“Bohong,” kata Naya tajam. “Kamu berkeringat banyak,” Telapak Naya mengelus pelipis kiri Rian, mengeringkan bulir keringat yang berlomba turun dari sana. “Bukankah vampire itu tidak akrab dengan matahari? Dan entah kenapa cuaca Bandung hari ini panas sekali…” Naya melindungi mata dengan telapak tangannya, mengintip bayangan matahari di langit yang terik.

“Kamu… tidak haus?” tanya Naya lagi. Ditatapnya Rian yang masih memandang jalanan. Pelipisnya sudah basah oleh keringat lagi. Naya mengambil kipas mungil dari tasnya dan mulai mengipasi Rian.

“Kalau… aku bilang aku haus… kamu mau apa?” tanya Rian. Ditatapnya Naya yang masih mengipasinya. “Tidak seperti air minum… tidak ada darah dalam kemasan… Tidak ada yang dijual bebas, maksudku…”

Naya tersenyum hambar. “Walaupun aku punya banyak, aku… tidak akan menawarkannnya padamu. Karena kamu pasti menolak. Hmmm…” Naya menelengkan kepalanya, gestur khususnya saat sedang berpikir. “Kita harus ke Utara. Lembang. Atau Pangalengan. Di sana udaranya dingin. Dan… mmm… di Pangalengan ada peternakan sapi. Jadi kurasa… Mmm… pernah coba darah sapi? Bagaimana rasanya?”

“Tidak bisa ke sana.”

“Hmm?”

“Lembang.  Atau Pangalengan. Terlalu sedikit manusia.”

“Hmm?”

“Kita harus berada di antara banyak manusia. Untuk menyamarkan auraku. Mereka akan semakin kesulitan mencari jika auraku tersamarkan.”

“Hmm… Kalau begitu agak turun ke bawah saja. Daerah Cihampelas. Atau Sukajadi. Sekitar situ. Daerah padat penduduk. Kau tetap bisa pergi ke Pangalengan untuk…minum. Atau… mmm… ada rumah sakit besar di Pasteur. Mungkin…”

“Maaf,” ucap Rian pelan. Sepersekian detik kemudian dia berjengit kaget. Alis kirinya baru saja kena sentil telunjuk Naya.

“Sekali lagi bilang begitu, aku marah!” ucap Naya tegas.  Bibirnya mengerucut, kedua tangannya diletakkan di pinggang. “Kamu menyebalkan!”

“Ma—” Rian tak melanjutkan ucapannya. Diusapnya wajah yang basah oleh peluh. Menarik napas dalam-dalam, menyimpannya di dada selama beberapa saat. Lalu menghembuskannya perlahan. “Baiklah. Kita atur rencana. Tapi sebelum itu… mau makan apa? Aku lapar. Walaupun ya… dua ratus cc darah akan membuatku kenyang sampai satu minggu ke depan tapi… kurasa nasi padang boleh juga,” Rian bangkit dari duduknya.

“Berjanjilah satu hal padaku, Naya,” ucap Rian ketika mereka melangkah sambil bergandengan menuju rumah makan masakan padang terdekat.

“Hm?”

“Jangan pernah bertanya lagi apakah aku haus atau tidak.”

“Kenapa?”

“Karena… jujur saja, itu membuatku semakin haus. Dan aku takut… Aku takut tidak bisa mengendalikan diri. Aku…”

“Baiklah,” kata Naya tegas. “Tapi kamu pun harus berjanji satu hal padaku.”

“Apa itu?”

“Beritahu aku kalau kamu sudah tak kuat menahannya.”

*~*

Setiap kali matanya menangkap sosok Adrian, Naya bergidik. Terlalu mirip dengan Alzrian.

Terlalu mirip.

Naya tak berhenti mengulang pernyataan itu.

Setiap kali ada kesempatan Naya akan terus memperhatikannya. Membandingkan Adrian dengan Alzrian. Dan setiap kali pula diakhiri dengan tersenyum miris, ngeri.

Naya butuh bukti lebih dari sekadar data dasar dari database kampus untuk meyakinkan dirinya bahwa Rian yang ini bukanlah Riannya. Dan Naya menemukannya. Warna mata.

Adrian punya mata dengan iris gelap, seperti kebanyakan orang Indonesia. Berbeda dengan Alzrian, warna matanya violet. Warna yang sangat, sangat, sangat jarang ditemui. Perpaduan merah dan biru, terletak di antara ungu dan biru, perlambang kemewahan, individualis, dan ambiguitas. Sesuai dengan karakter pribadinya.

Itulah yang dipegang Naya selama berbulan-bulan untuk tetap meyakinkan diri bahwa Adrian bukanlah Alzrian. Sampai suatu insiden terjadi.

Suatu kejadian besar yang membuat keyakinan Naya runtuh. Keyakinan bahwa Alzrian memang menghilang. Karena Alzrian tidak pernah menghilang. Dia ada di hadapan Naya, sebagai Adrian.

Naya pun menghadapai kenyataan yang lain. Bahwa Rian tidak sama seperti dirinya, manusia. Bahwa Rian adalah sejenis makhluk yang disebut vampire, yang Naya tahu hanya ada dalam novel atau film. Makhluk yang tak akan dia bayangkan bisa dijumpai di negeri tropis ini. Dan pernah berhubungan dekat dengannya.

Tapi Naya masih mencintainya. Dan dia tak mampu meninggalkannya. Terutama saat Rian terluka.

Seseorang—atau lebih dari seorang, Rian tak yakin—menyerangnya. Seseorang yang dia sebut Hunter. Seperti kebanyakan cerita vampire  yang Naya tahu, selalu ada orang-orang yang memburu vampire dan itulah yang dialami Rian saat ini. Hunter itu sudah memburunya selama bertahun-tahun, sejak dia memutuskan pergi dari perang antar klan vampire di negeri asalnya, Skandinavia. Ya, Naya baru tahu kalau Rian bukan orang Indonesia. Dia sadar kalau Rian punya darah Eropa, karena warna matanya yang unik, tapi tak pernah menyangka kalau Rian benar-benar dari Eropa. Dan bertahun-tahun yang dimaksud tadi bukanlah satu atau dua atau sepuluh tahun, melainkan puluhan bahkan ratusan tahun. Rian sudah tua dan Naya baru tahu.

“Maaf,” Itu kata pertama yang diucapkan Rian saat semuanya terungkap. Dengan satu mata violetnya menatap sendu sementara lainnya masih tertutup lensa kontak berwarna gelap, menatap tak kalah sendu. Juga darah yang terus mengalir dari luka di bahu Rian. “Aku tidak bermaksud membohongimu… Aku…”

“Ssst…” Naya menempelkan telunjuk di bibirnya. “Kalau kau bicara lagi, mereka akan menemukanmu. Kita bicarakan lain kali saja. Sekarang, mari kubalut lukamu. Dan… ayo pergi dari sini.”

“Ke mana?”

“Ke tempat aman.”

“Kau tidak bisa ikut, Naya…”

“Kenapa?”

“Aku tak ingin membahayakan hidupmu.”

“Kau sudah melakukannya sejak pertama kali kita bertemu delapan tahun yang lalu.”

“Huh?”

“Aku jatuh cinta padamu. Merindukanmu saat kau tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Bahagia saat akhirnya bersua lagi denganmu. Karena itu… jangan pergi lagi,” Naya menggenggam erat tangan Rian. “Aku akan ikut denganmu ke mana pun kau pergi.”

“Naya…” Rian melepaskan tangan Naya. “Ini bukan cerita dalam novel yang sering kaubaca itu… Ini… nyata. Dan tidak akan seindah dalam cerita.”

“Aku… Kita—aku dan kamu—akan membuatnya indah.”

Dan di sinilah Naya sekarang. Menemani Rian dalam pelariannya.

~*~

“Ah. Rian lihat!” Naya menunjuk suatu arah.

Rian, dengan ragu, mengamati arah yang ditunjuk Naya. Dan sengat matahari mulai membakar mata violetnya.

“Ah! Maaf!” Naya menghampiri Rian yang mengerang kesakitan. “Kita lupa gak bawa sunglass ya…”

“Aku tidak tahu kenapa aku begitu betah berada di sini, di negara tropis ini. Di bulan Agustus yang terik,” keluh Rian.

“Apa kau… berpikir untuk kembali? Ke Skandinavia?” tanya Naya. “Ah! Ayo berteduh di sana,” Naya menarik Rian ke bawah sebuah pohon rindang di tepi jalan.

Rian menatap Naya yang sibuk mencari kipas mungilnya. “Skandinavia jauh…” ucapnya pelan. “Dan aku tidak yakin kalau sekarang aku berada di sana apakah aku bisa bertahan hidup atau tidak. Klanku sudah berantakan… Dan semua saling menghancurkan… Aku…”

Naya mengulas senyum kecil. Seraya mengipasi Rian dia berkata lembut, “Kalau begitu… tetaplah di sini…”

“Maaf,” lirih Rian.

“Kan sudah kubilang jangan bilang maaf! Mau kusentil lagi?” Naya mengangkat jemarinya, membuat Rian spontan membentuk tanda silang dengan kedua tangannya.

“Aku tahu,” ucap Rian. “Dan baru menyadarinya. Kenapa aku tetap bertahan di sini… Kenapa aku mengulang masa kuliah dalam jarak waktu yang dekat, terlalu dekat. Karena ada kamu di sini… Karena aku ingin bertemu denganmu lagi…” Rian mengangkat tangannya, menyentuhkannya pada pipi bundar Naya, mencubitnya lembut. “Dan aku membawamu pada masalah…”

“Hmmm…” Naya membulatkan matanya seraya mengulas senyum. “Benderanya banyak,” ucapnya sambil lau, sementara pandangannya melayang ke sekeliling. Ada banyak kertas-kertas merah dan putih yang tergantung pada benang yang membentang malang melintang di atas mereka. Juga tiang-tiang kayu yang berdiri gagah di halaman depan banyak rumah penduduk di sekitar mereka. “Hari ini tanggal 17 Agustus ya?” tanya Naya.

Rian mengangguk pelan. “Sepertinya. Sejujurnya aku sudah tidak ingat tentang tanggal dan hari.”

Naya terkekeh pelan. “Aku juga. Hmmm… Kurasa… aku akan merindukan suasana ini…” Ditatapnya Rian yang sedang membuka mulutnya, hendak mengucapkan sesuatu. “Jangan minta maaf,” potong Naya. “Dan simpan ekspresi cemasmu itu. Kau akan lebih sering menggunakannya di waktu yang akan datang. Kita baru mulai kan?”

-end desu ka?-

Bandung, 16 Agustus 2013

17.19


Filed under: one shot, original fiction

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles