Sejauh apa kau sanggup mengabdikan dirimu untuk mereka yang membutuhkanmu?
-
Sebagai seorang pendidik, sebelum ini aku belum pernah berpikir jauh tentang arti sebuah pengabdian. Selama ini pola yang tercetak di dalam kepalaku hanyalah bahwa aku mengajar untuk membuat murid-muridku menjadi pintar, mereka bisa mendapatkan nilai bagus di raport, bisa lulus ujian akhir dengan hasil yang bisa membanggakan kedua orangtua dan sekolah.
Namun semua itu pastilah tak kulakukan secara cuma-cuma. Pengabdianku masih butuh diiming-imingi oleh materi. Tak mau munafik, kurasa aku bukan salah satu dari orang-orang berhati mulia yang merelakan kehidupannya dengan pindah ke pedalaman hanya untuk mengajar anak-anak yang tak terjamah pendidikan formal tanpa bayaran barang sepeserpun. Semuanya murni karena panggilan jiwa.
Sementara aku?
Pahlawan tanpa tanda jasa. Begitu orang-orang menyebut orang-orang yang berjuang dengan menyandang profesi ini. Tapi tak secuil keberanianku untuk menyebut diriku begitu. Barangkali aku akan menjadi pembual besar, jika aku berani mengaku-ngaku.
Pemikiran tentang pengabdianku sebagai seorang guru berputar-putar dalam pemahaman sirkular yang sempit. Aku tak ingin menggali sejauh apa jiwaku terpanggil untuk profesi ini. Mungkin ini efek dari apa yang kujalani sekarang hanyalah dorongan orangtua semata, tak benar-benar lahir dari hatiku sendiri.
Sampai suatu ketika hati kecilku diketuk. Pikiranku diusik. Kepalaku dipaksa untuk berpikir lebih jauh tentang arti sebuah pengabdian. Aku tak akan berbicara pengabdian dalam konteks yang besar karena ini hanya menyangkut pada apa yang kupahami selama ini.
-o0o-
Waktu itu aku datang dengan beberapa berkas ke kantor dinas pendidikan di daerahku. Aku sedang mengurus kepindahan tempat dinas. Ya, sudah setahun lamanya aku mengajar di tempat yang memang tergolong daerah tertinggal, jauh dari kehidupan kota, sebagian besar penduduk masih rentan dengan pemikiran primitif, aliran listrik terbatas dengan pemadaman bergilir yang terjadi setiap hari dan berbagai macam keterbatasan lainnya.
Aku sudah cukup berkompromi dengan berusaha bertahan untuk bertugas di tempat tertinggal seperti itu. Satu tahun tentu saja bukan waktu yang singkat untukku. Selama dua puluh dua tahun usiaku, aku menghabiskannya dengan di lingkungan perkotaan. Modernisasi selama tempo waktu itu terbentuk dan berkembang tepat di depan hidungku. Orang-orang mungkin tidak akan mengerti bagaimana jungkir balik yang aku lakukan untuk beradaptasi dengan lingkungan baruku.
Di tempat tertinggal itu, aku terpaksa berpura-pura tidak kenal dengan beberapa bukti kemajuan zaman. Internet? Oh, lupakan yang satu itu. Bahkan untuk menelepon saja, tak jarang aku harus memanjati sisa pangkal pohon kelapa yang telah ditebang di dekat tempat tinggalku untuk menangkap sinyal lebih baik. Lupakan juga soal menonton ke bioskop atau belanja di mall, yang ada di sini hanyalah pasar tradisional dengan lokasi layaknya trek kendaraan off road. Lumpur di mana-mana. Para pedagang mengobralkan dagangannya dengan suara nyaring dan nyaris tepat di permukaan daun telingaku seolah-olah aku ini orang tuli atau apa. Parahnya lagi, pasar yang seperti itupun hanya dibuka sekali seminggu di hari Sabtu.
Tapi aku tahu semua ada harganya dan aku harus berkompromi. Aku tahu betapa tidak meratanya tenaga pendidik di negeri ini. Terkonsentrasi tinggi di daerah perkotaan dan sangat minim di daerah-daerah tertinggal. Tentu saja jika ada pengangkatan tenaga guru, kesempatan untuk ditempatkan di daerah-daerah tertinggal jauh lebih besar. Kalau benar-benar ingin menjadikan guru sebagai profesi, tentu aku harus tak boleh pilih-pilih. Maka aku mengalah sementara, semua ada harganya seperti yang sudah kukatakan. Dan harga yang sanggup kutawarkan itu ya… satu tahun itu.
Tidak apa-apa, cuma sekadar buat melunasi kewajiban saja. Yang penting dapat SK[1]-nya dulu. Kan nanti aku bisa mengajukan surat pindah dinas ke tempat yang lebih oke.
Begitu rencana yang kususun sejak awal. Dan kupikir, setelah satu tahun, ini adalah saat yang tepat untuk mewujudkannya.
Hari itu, ditemani Abib—abangku yang menungguku di bangku di koridor kantor dinas—aku menghadap seorang pria separuh baya yang tugasnya memang mengurusi pemindahan tempat bertugas. Suwardi Harahap—begitu yang kubaca di tag nama yang tertempel di baju dinas Si Bapak. Beliau melayaniku dengan ramah dan menanyakan tujuan kedatanganku. Setelah kujelaskan, kulihat senyumnya menghilang.
“Ibud[2] masih kekurangan tenaga pengajar, Buk Aela. Guru yang saat ini bertugas di sana saja masih kurang, jadi permohonan pindah Ibuk mungkin memiliki kesempatan kecil untuk bisa kami tindak lanjuti.”
Jujur saja, jawaban Pak Suwardi sudah kuperkirakan. Meminta pemindahan tempat kerja tak segampang yang dipikirkan. Tapi aku tentu sudah mempersiapkan senjata cadangan. Aku menempuh perjalanan berjam-jam dari Ibud ke kantor dinas yang ada di kabupaten bukan untuk pulang dengan sia-sia.
Kukeluarkan berkas surat permohonan yang telah kubuat sebelumnya dan menyodorkannya kepada Bapak Suwardi. “Ini coba Bapak lihat dulu surat permohonan saya.” kataku.
Dahi Si Bapak berkerut bingung sesaat. Agak ragu, ia membuka berkas itu dan tak beberapa lama ia mendesah panjang.
“Kalau begitu, surat permohonan Buk Aela ditinggal di sini saja dulu. Permohonan Buk Aela akan kami usahakan untuk diproses tapi tentu butuh waktu. Buk Aela bisa datang lagi ke sini dua minggu lagi untuk melihat kelanjutannya.” ujar Pak Suwardi.
Aku tersenyum lega. Salah seorang om-ku adalah petinggi pemerintahan, selembar memo dari om-ku yang terlampir bersama surat permohonan tentu membuat permohonanku sulit ditolak. Aku tahu ini curang, tapi jika tak begini aku tidak akan pernah bisa pindah dari daerah itu.
“Terima kasih, Pak.” Aku menyalami Pak Suwardi dengan hati yang girang.
Aku sudah berpamitan dan bersiap-siap berdiri dari tempat dudukku lalu memberitahu Abib soal kabar gembira ini ketika Pak Suwardi kembali memanggil namaku.
“Buk Aela…” Beliau menatapku serius.
Aku menghentikan setiap pergerakanku, menunggu pria itu untuk melanjutkan ucapannya.
“Saya sering bertanya kepada diri saya sendiri, sejauh apa saya sanggup mengabdikan diri untuk negeri ini? Untuk tanah air. Untuk Indonesia. Tapi saya tidak pernah bisa menjawabnya dengan baik karena saya setiap hari hanya duduk di kantor ini dan tidak cukup berani untuk mengambil tindakan yang lebih jauh. Saya memang mengabdi, tapi hanya sampai di sini—di kursi dan meja ini.” Beliau menunjuk tempat duduknya.
Aku diam, belum mengerti ke mana arah pembicaraan ini.
Tak lama Pak Suwardi kembali berbicara. “Tidakkah Buk Aela juga penasaran seberapa jauh Buk Aela sanggup mengabdikan diri ketika Buk Aela diberikan kesempatan untuk menunjukkan pengabdian dengan porsi yang lebih besar daripada saya?”
Pikiran sempitku mengatakan kalau Si Bapak hanya sedang bertingkah sok bijak karena tak bisa menolak surat permohonan yang kuajukan. Namun pikiranku yang lebih sehat sedang berusaha mencerna setiap untai kalimat Pak Suwardi dan mengakui setiap kebenarannya.
Saat itu yang kupikirkan hanya pembelaan diri, maka dengan gaya diplomatis aku berkilah, “Cara untuk mengabdikan diri tidak hanya mengajar di daerah tertinggal kan, Pak?”
Pak Suwardi tersenyum. “Tentu tidak. Tapi kenapa mencari cara pengabdian yang lain ketika Buk Aela sudah diberi sebuah cara untuk menunjukkan pengabdian yang lebih besar? Tidakkah Buk Aela merasa kalau Buk Aela lebih dibutuhkan di Ibud?”
Bibirku mengatup, tak kutunjukkan tanda-tanda untuk menyahut. Aku tiba-tiba merasa diriku tersudutkan. Dan tak tahu harus bagaimana kuutarakan kelegaanku ketika ponsel milik Pak Suwardi berdering di mejanya.
Saat Pak Suwardi mengangkat teleponnya, kumanfaatkan baik-baik kesempatan itu untuk menyeruak ke luar dari ruangan tanpa menunggu beliau menjawab salamku.
-o0o-
“Ibuk… ibuk… ambo indak ngaroti do, buk. Torangan lah ke ambo lai.” [3]
Aku mengangkat wajahku dan menemukan sebentuk tatapan polos dari seorang bocah kelas 6 SD. Bocah itu adalah salah seorang muridku. Namanya Ega.
E, G dan A. Tiga huruf itu saja yang membentuk namanya. Ketika pertama kali mengabsen namanya di kelas, aku sempat menanyai bocah itu berulang kali karena kurang yakin bahwa namanya benar-benar hanya terdiri dari suku kata itu saja. Tapi ternyata memang hanya itu.
Ega tak tahu tanggal kelahirannya. Sebanyak apa kutanyai anak itu maka sebanyak itu pula tanggal yang ia sebutkan berubah. Selama ini form data murid milik Ega tetap terbiarkan kosong di buku induk milik sekolah dan tetap berlanjut demikian sampai beberapa hari kemudian. Sampai aku akhirnya memutuskan menghampiri langsung ibu Ega saat tak sengaja berpapasan di pasar. Dari beliaupun masih tak kudapatkan tanggal pasti.
“Ega lahir ketika banjir bandang belasan tahun silam, Buk Aela. Waktu itu seharusnya sudah masuk musim menuai, sawah milik kami terendam semua.” Wanita itu menjawab dengan bahasa Indonesia yang kaku karena bercampur dengan nada bahasa daerah setempat yang terdengar sangat kental.
Aku diam antara takjub dan prihatin.
“Sudah coba Ibuk tanyakan kepada rumah sakit tempat Ega dilahirkan? Mereka biasanya selalu menyatat data setiap kelahiran di sana.” Aku mencoba memberi solusi.
Untuk beberapa lama wanita separuh baya itu diam dan tampak berpikir. “Saya melahirkan cuma dibantu Mbah Kusma, dukun beranak di kampung ini. Si Mbah tak mungkin lagi saya tanyai, Mbahnya sudah meninggal dua tahun yang lalu.” ujar wanita itu lagi.
Pada akhirnya aku harus mengarang sebuah tanggal lahir rekaan untuk Ega. Bocah itu akan segera lulus dan dia akan membutuhkan segala hal mengenai data pribadinya untuk mendapatkan ijazah dan melanjutkan sekolahnya nanti.
Tentu saja Ega bukan murid satu-satunya yang memiliki problema serupa.
Tanpa mengenyampingkan murid-muridku yang lain, namun Ega jelas menjadi satu di antara murid yang menarik perhatianku paling banyak—meski bukan yang terpintar, dia adalah salah satu anak yang paling rajin dan pantang menyerah. Rasa keingintahuannya sangat besar.
Ega masih berdiri tepat di depan mejaku di kelas. Ia menarik lengan bajuku sekilas dan hal itu segera mengembalikan pikiranku yang sempat menerawang barusan. Bola mata Ega membulat, sarat dengan sorot meminta penjelasan.
Dengan senyum terulas, aku menarik buku yang disodorkan Ega, memintanya agar menunjukkan padaku apa yang tidak ia mengerti. Bocah itu mengangguk beberapa kali ketika aku kembali menjelaskan materi yang sebenarnya sudah kusampaikan beberapa saat yang lalu.
Ega tersenyum lebar seolah baru mendapat sebuah pencerahan. Dengan semangat menggebu ia menarik kembali bukunya. Tapi sebelum ia sempat beranjaka menuju tempat duduknya, aku menahan lengan bocah itu.
“Masih ingat apa yang Ibuk selalu katakan ketika berbicara di kelas?”
Ega terkesiap. Ekspresinya menunjukkan rasa bersalah.
“Ingat, Buk. Selalu gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.” Ega menyahut dengan kaku. Lidahnya seolah akan keseleo hanya karena mengucapkan kalimat singkat itu.
Aku kembali tersenyum. Aku tak marah pada Ega. Merubah sesuatu yang telah menjadi sebuah kebiasaan memang bukan perkara mudah. Hal ini sudah menjadi permasalahan sejak lama di daerah ini. Penggunaan bahasa Indonesia menjadi sesuatu yang langka di tempat ini.
Hal ini telah menjadi tugas berat untuk para guru di tempat ini sejak lama. Sebagian besar guru akhirnya menyerah, membiarkan sebagian besar murid terus berkomunikasi dengan bahasa daerah setempat. Tapi aku belum mau menyerah, entah kenapa aku merasa bertanggungjawab mengenai hal ini.
“…Tidakkah Buk Aela merasa kalau Buk Aela lebih dibutuhkan di Ibud?”
Tiba-tiba saja pertanyaan Pak Suwardi tempo hari terngiang kembali di telingaku.
Aku menghela nafas panjang sambil memijat ringan dahiku. Jujur saja, hatiku tidak lagi tenang beberapa hari belakangan. Aku tiba-tiba saja meragukan kembali akan keputusanku untuk pindah tugas ke tempat lain.
-o0o-
Hari itu aku menangis.
Di sekolah tempatku mengajar sedang diadakan acara kecil-kecilan untuk memperingati hari kemerdekaan. Ada beberapa macam lomba yang diselenggarakan dan satu diantaranya adalah lomba berpidato.
Ega berdiri di podium. Ia menjadi salah satu peserta lomba pidato. Judul pidato bocah itu yang membuatku menangis.
‘Aku Ingin Bisa Menggunakan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar’
Itulah judul pidato Ega lengkap dengan namaku yang disebutkan di akhir pidatonya sebagai orang yang menginspirasi terciptanya pidato tersebut.
Hatiku makin terasa berat. Perkataan Pak Suwardi memang benar adanya. Aku merasa diriku jauh lebih dibutuhkan di tempat ini.
Namun sayangnya kemarin aku baru saja menerima kabar bahwa permohonan pindahku dikabulkan. Aku akan segera meninggalkan Ibud. Tempat tugasku yang baru berada di ibukota kabupaten. Sekolahnya sama sekali tidak sedang kekurangan tenaga guru, namun di negeri ini, semua bisa terjadi jika menggunakan kekuasaan.
Ironisnya, aku tak lagi bahagia dengan kepindahanku. Aku cemas, barangkali aku sudah salah memilih langkah.
Pengabdianku untuk Ibud harusnya tak hanya sebatas ini saja. Ibud membutuhkanku. Aku membuang kesempatanku untuk menunjukkan pengabdianku di Ibud.
-o0o-
note :
1. Surat Keputusan
2. Nama sebuah daerah (fiktif)
3. “Ibuk… ibuk… saya tidak mengerti, buk. Tolong jelaskan lagi kepada saya.”
Filed under: one shot, original fiction
