-
“Pahlawan itu akan berharga jika ada orang yang mengharapkannya.”
* * *
Bangunan satu lantai yang terletak di pinggir kota Incheon itu terlihat tenang, seakan tak ada sedikitpun keramaian yang mampu menyentuhnya. Sebenarnya tak ada yang istimewa dari bangunan itu. Sebuah rumah tua yang dibangun di atas tanah seluas tiga puluh lima meter persegi, dengan sebuah pohon berukuran besar di bagian depan.
Namun, sebenarnya rumah itu begitu istimewa. Setidaknya itulah yang dipikirkan Choi Minho. Dengan senyum lebar, Minho menapaki jalan setapak yang bertabur daun-daun kering. Tangannya memegang sebuah bola sepak yang terlihat baru, sementara kakinya dibalut oleh sepatu sepak bola berwarna putih. Sepatu kesayangannya.
Angin musim gugur yang dingin mulai bermain-main dengan telinganya. Minho menggosok sebelah telinganya, berusaha menghilangkan rasa kaku yang menjalar ke bagian pendengarannya. Bahkan gagasan untuk memakai penutup telinga tiba-tiba terlupakan saking bersemangatnya ia ke tempat ini.
Kakinya berhenti di depan sebuah pagar berwarna putih gading. Masih dengan senyum kebanggaannya, dia mulai mendorong pagar kayu itu.
Bunyi engsel pagar tua itu memecah keheningan. Tak menghiraukan sepinya lingkungan, Minho melangkahkan kakinya masuk. Tangan Minho yang terbalut sarung tangan putih memegang gagang pintu. Dia menarik napas panjang. Senyum manisnya masih terpatri jelas ketika ia memasuki rumah itu.
“Selamat siang!” teriak Minho dengan suara lantang. Dia membusungkan dadanya sedikit ketika meneriakkan salam.
Mungkin Minho terdengar gila berteriak di sebuah rumah yang tampaknya tak berpenghuni. Itu adalah rumah yang terlihat angker dan berhantu menurut penduduk sekitar. Namun, puncak demi puncak kepala yang mulai menyembul itu mengindikasikan bahwa pendapat itu salah.
“Selamat pagi, Minho Hyung!” Segerombolan kecil anak laki-laki mulai mengerumuni Minho dengan wajah cerah. Minho tertawa kecil. Teman-teman kecilnya rupanya tepat janji. Mereka menunggu Minho di rumah ini untuk bermain bersamanya.
“Apa kalian sudah mandi?” tanya Minho pada anak laki-laki yang kompak memakai sweater merah itu. Mereka terlihat seperti buah ceri dimatanya.
“Sudah!” jawab anak-anak itu serempak. Minho mengacak rambut anak bermata bulat di sampingnya, lalu mengacungkan jempolnya. Tak lupa dengan deretan giginya yang rapi.
Anak bermata bulat itu menarik lengan jaket hitam Minho. “Minho Hyung! Apakah kita akan bermain bola lagi hari ini?” tanyanya dengan nada lugu. Minho melirik bola baru yang ia bawa. Sesaat kemudian ia kembali tertawa sambil mengangguk.
* * *
Tak banyak orang yang mengira bersama anak-anak kecil inilah Minho menghabiskan jatah liburannya. Biasanya, orang-orang akan menghabiskan waktu liburan mereka untuk pergi ke tempat yang jauh, lalu menikmati suasana baru. Seperti member SHINee lainnya misalnya, Key memilih menghabiskan waktu liburannya di tempat ia pernah tinggal–Amerika–atau Onew yang menghabiskan waktunya bersama gajah di Thailand.
Bagi Minho, tak ada yang lebih menyenangkan dibanding pulang ke kampung halaman sendiri. Di Incheon. Dia merasa lebih normal di sini.
Tak ada yang bisa berkata bahwa Minho tak punya kehidupan yang super sibuk semenjak ia memutuskan untuk menyambung nasib di Seoul. Dia berpindah ke sana kemari. Ke stasiun televisi yang satu, menuju ke stasiun televisi yang lain. Semua ia lakukan demi mengikuti passion-nya dalam bermusik.
Namun, kehidupan diterangi sinar lampu sebenarnya bukan segalanya bagi Minho. Separuh jiwanya juga tertempel di olahraga. Bahkan mungkin porsinya lebih banyak dibandingkan jiwa musiknya. Dia pandai mengolah bola sepak. Dia lihai memainkan bola basket. Dia juga termasuk cepat dalam urusan lari.
Minho tak pernah menyesali keputusannya untuk terjun di dunia musik, sungguh. Setidaknya dia tidak harus melawan ayahnya yang menentang keputusannya menjadi atlet. Toh, tujuan ayahnya baik, untuk menghindarkan putranya dari kerasnya dunia olahraga.
Selama di Incheon, Minho tak pernah mengendarai mobil untuk pergi ke suatu tempat. Ia memutuskan untuk berjalan kaki, mengobati rasa rindunya pada kampung halaman.
Dan dalam perjalanan itulah Minho menemukan anak-anak ini.
Suatu hari, sepasang mata Minho menangkap anak-anak kecil berlarian dengan riang di halaman rumah yang katanya angker. Kaki kecil mereka menendang sebuah bola sepak yang terbuat dari plastik. Wajah kecil mereka terlihat begitu bersinar, sementara pipi mereka memerah seperti buah persik.
Hari demi hari, Minho terus memperhatikan mereka, sampai memutuskan untuk mulai berkenalan dengan mereka. Anak-anak kecil itu berasal dari lingkungan sekitar. Mereka sering berkumpul dan bermain bola di halaman rumah yang terlantar itu.
Mereka begitu ramah, bahkan terus-terusan berdecak kagum ketika melihat Minho dengan gesit menggiring bola. Minho bahkan sampai menendang bola itu hingga bocor dan melesak separuh.
“Apa Hyung memasang paku di sepatunya?” Minho mendengar mereka berbisik dengan wajah sumringah saat itu. Sesaat kemudian ia tertawa. Anak-anak itu begitu lucu. Ia merasa bersalah karena telah merusak bola berharga milik anak-anak itu.
Mereka bahkan berbaik hati memberitahu nama mereka. Minho ingat, nama mereka adalah Nara, Goojeun, Joonae, Byul, dan Yoogeul. Padahal, Minho termasuk orang yang sangat susah mengingat nama orang. Sepertinya ia memang ditakdirkan untuk berlibur bersama mereka.
Maka, untuk membayar rasa bersalahnya, Minho membeli sebuah bola berbahan kulit buatan Adidas. Kali ini Minho yakin kakinya tidak akan memakan korban.
Anak-anak kecil itu menghambur ke halaman rumah, memasang senyum serta memperlihatkan gigi mereka yang kecil. Minho menggeleng takjub sejenak. Sepertinya angin musim gugur tidak bisa menghalangi anak-anak itu.
Minho meletakkan bola sepak itu di tengah lapangan, sesaat kemudian mulai menggeleng takjub lagi. Manik matanya menangkap anak-anak itu sedang membuat garis di halaman dengan sebuah batu kapur yang berhasil mereka temukan.
Beberapa anak yang lain mengambil batu-batu yang cukup besar, lalu meletakkannya pada dua titik yang sejajar – terlihat hendak membuat gawang. Anak-anak itu begitu bersemangat. Bahkan Minho tak yakin ada pemain bola yang memiliki jiwa sebening mereka.
* * *
“Gol!” Minho bersama timnya memekik senang. Goojeun dan Nara melompat kecil, sementara mata Byul membulat senang sambil menarik jaket hitam Minho.
“Minho Hyung, itu keren sekali! Hyung harus mengajarkan Byul teknik berputar itu! Byul ingin tahu!” ucapnya. Minho menatap anak laki-laki itu sambil tersenyum mengiyakan.
Dari semua anak itu, yang menjadi favorit Minho sejak awal adalah Byul. Semuanya terlihat lucu, sungguh. Namun Minho suka sekali meladeni Byul yang lebih aktif berbicara padanya dibanding yang lain.
Byul sering kali berceletuk lucu sambil menarik-narik lengan pakaian Minho. Ketika berbicara, terlihat sedikit celah di gigi bagian tengahnya. Matanya yang bulat biasanya berkilat-kilat ketika bercerita tentang sesuatu yang ia suka.
Minho suka sekali dengan anak itu. Ia merasa bahwa ia bisa mencubit pipinya kapan saja. Minho berjongkok, menyejajarkan tubuhnya dengan Byul. “Tentu saja.”
Byul tergelak, lalu memeluk Minho. Sesaat kemudian, teman-temannya mulai berhamburan, lalu ikut memeluk Minho.
“Terima kasih, Hyung! Kami cinta Hyung!”
Minho tersenyum. Walaupun udara musim gugur makin menusuk tengkuknya, hatinya terasa hangat. Terima kasih untuk anak-anak lucu ini, segalanya terasa pas untuk liburannya. Minho memejamkan matanya, mendengar gemerisik daun yang makin lama terdengar makin jelas. Dia menyandarkan kepalanya di bahu kecil itu.
“Byul! Byul!” Minho mendengar suara seorang perempuan memanggil nama Byul. Sesaat kemudian rengkuhan anak-anak itu mulai merenggang.
“Noona! Byul di sini!” teriak Byul sambil melambaikan sebelah tangannya.
Sesaat kemudian, sendi Minho serasa terkunci. Seorang gadis berambut hitam legam memecah daun-daun dengan sepatu boots-nya. Matanya yang bulat terlihat begitu identik dengan mata Byul. Gadis itu terlihat cantik dan anggun dengan pakaian musim dingin sederhananya.
“Bukankah Noona sudah bilang agar jangan ke sini lagi, hmm?” Gadis itu mengelus puncak kepala Byul. Terlihat belum menyadari keberadaan Minho. “Lihatlah ini. Kau bahkan mengajak teman-temanmu untuk ke sini…” Mata gadis itu menyelusuri halaman. Kemudian matanya berhenti pada sosok Minho. “Oh. Astaga, Byul. Kenapa kau menyeret seseorang lagi ke sini?” Gadis itu merendahkan suaranya sedemikian rupa.
Minho menelan ludah. Apa gadis ini mengenali sosoknya?
* * *
Awalnya, Minho mengira gadis itu–yang sekarang ia kenal sebagai Goo Hana, kakak Byul–akan menyeret Byul bersama teman-teman kecilnya dari ‘taman bermain’ mereka, menyuruh mereka pulang. Namun kenyataannya Hana hanya tersenyum lega, mungkin itu karena gadis itu berhasil bertemu dengan adiknya, lalu mulai berkenalan dengan Minho.
Saat tangan seputih salju itu terulur, Minho sempat menahan napasnya tegang. Batinnya bertanya-tanya apakah gadis itu mengenali dirinya sebagai idol. Ia tidak ingin ketenangannya terusik atas identitas dirinya.
“Namaku Goo Hana. Terima kasih sudah menjaga Byul. Siapa namamu?” Gadis itu bertanya dengan senyum manis. Lesung pipinya setia menemani lengkung sabit yang terbit diwajahnya.
Gadis itu terlihat tulus. Rasa takut Minho perlahan menghilang. Lagipula gadis itu sepertinya menganut visi yang sama seperti Minho, tidak mengekang hobi anak-anak itu dan membiarkan mereka berkreasi dengan bermain bola.
“Eung… Minho, sebenarnya umurmu berapa, sih?” tanya Hana yang mengambil tempat duduk di sebelahnya. Gadis itu memainkan jarinya.
Minho kemudian mengalihkan pandang dari Byul dan kawan-kawan yang melanjutkan bermain bola. Dia menatap gadis itu, lalu mulai menjawab dengan santai, “Dua puluh satu.”
Gadis itu menyahut pelan, “Oh.” Minho kemudian kembali memperhatikan anak-anak kecil yang berlari dengan lincah di hadapannya. Otaknya mencari-cari topik pembicaraan yang tepat untuk menghilangkan atmosfer aneh di antara mereka.
“Apa kau haus?” tanya Hana tiba-tiba. Minho melirik gadis itu. “Aku belikan minum, ya! Tunggu di sini.” Gadis itu berlalu, tanpa menunggu jawaban Minho.
Angin musim gugur berhembus lagi, Minho menatap punggung gadis itu, serta rambut hitamnya yang berkibar. Sesaat kemudian dia mulai merasa suka menatap siluet gadis itu.
“Minho Hyung! Apa Minho Hyung tahu kemana Hana Noona pergi?” Byul menghampiri Minho, tangan kecilnya mengusap peluh yang bercucuran di dahinya.
Minho menggeleng kecil, lalu mulai berjongkok di hadapan anak super imut itu. “Memangnya ada apa?”
“Kaki Byul rasanya aneh.”
Byul menggulung celana panjangnya. Sesaat kemudian mata Minho membulat. Dia menatap Byul dan kaki itu dengan tatapan tak percaya.
Sebuah kaki palsu tersambung di balik celana panjang itu.
* * *
Dulu, sewaktu masih kecil Minho punya sebuah pengalaman yang sangat berharga.
Saat itu ia masih duduk di bangku kelas 1 SD. Seorang anak laki-laki bermata bulat yang sangat suka bermain bola. Setiap hari, ia selalu membawa sebuah bola seukuran bola ping-pong. Bola itu selalu dimainkannya saat istirahat, entah untuk ditendang, atau untuk dipantulkan ke tanah yang tertutup semen.
Minho kecil sangat menyukai bola berwarna hijau itu. Dia bahkan tak bisa memikirkan hal menyenangkan lainnya jika bola itu menghilang. Namun kenyataannya bola itu memang pernah hilang.
Suatu hari, beberapa temannya iseng mengganggunya. Mereka membuka loker tempat Minho menyimpan tasnya, lalu mengambil barang yang bisa mereka ambil. Sialnya, barang itu adalah mainan kesayangan Minho.
Sepulang sekolah, Minho kecil mencari bola itu ke seluruh penjuru sekolah. Namun karena tak dapat menemukannya, ia menangis. Saat itulah sebuah tangan panjang terulur di hadapannya, mengulurkan bola yang selama ini dicarinya.
Minho membulatkan matanya, lalu menatap sosok laki-laki dewasa yang mengulurkan bola kesayangannya itu. Retinanya menangkap bayangan laki-laki gemuk berkumis, tatapannya tegas, dan senyum hangat terkembang diwajah laki-laki itu. Itu bapak Kepala Sekolah.
“Bukankah ini bolamu, Nak?” Kepala Sekolah bertanya dengan suaranya yang berat. Minho mengangguk kecil. Jantungnya berdegup kencang. Kepala Sekolah sepertinya tidak pernah berurusan terlalu banyak dengan muridnya.
Minho selalu memperhatikan laki-laki gemuk itu. Minho begitu hafal gaya berpakaian Kepala Sekolah. Beliau selalu memakai kemeja panjang, bahkan saat musim panas sekalipun. Minho bahkan tidak yakin pernah melihat laki-laki itu memakai polo shirt, seperti guru yang lain.
Selain itu, Kepala Sekolah begitu pendiam. Tak banyak yang bisa berbicara dengan orang nomor satu di sekolahnya.
“Bapak menemukannya berada di dalam pot depan ruang kepala sekolah. Bapak yakin itu milikmu. Karena kau satu-satunya murid yang belum pulang,” ucap laki-laki itu. Senyumnya masih terkembang. “Nah. Karena barangmu sudah kau temukan, sebaiknya kau cepat pulang sebelum ibumu khawatir.”
Minho menatap bola yang masih dipegang oleh Kepala Sekolah, lalu mengambilnya dengan tangan yang sedikit gemetar. “Terima kasih, Pak,” katanya sambil tersenyum kecil. “Sampai bertemu besok, Pak!”
“Besok, simpanlah bola itu di tempat yang aman, mengerti?” Kepala Sekolah menepuk pundak Minho setelah ia membungkukkan badan. Sesaat kemudian laki-laki baik hati itu berlalu.
Minho selalu mengenang kejadian itu. Jika Kepala Sekolah tak menemukan bola kesayangannya, mungkin ia akan terus-terusan menyalahkan dirinya sendiri. Ia akan terpuruk dalam rasa bersalah dan tak mau lagi bertemu dengan siapapun. Laki-laki itu adalah seorang pahlawan di kehidupan masa kecilnya.
Satu hal juga yang selalu Minho ingat tentang Kepala Sekolah adalah, fakta bahwa laki-laki itu tidak benar-benar memiliki tangan. Laki-laki baik hati itu memakai tangan palsu.
“Hahaha. Tentang tangan palsu ini?” Kepala Sekolah saat itu tertawa menangkap ekspresi terkejutnya. “Saya mengalami kecelakaan dan tangan saya harus diamputasi. Memang tangan ini tidak pernah bisa menggantikan apa yang pernah Tuhan berikan, tapi setidaknya ini masih bisa membantu saya.”
“Apakah Bapak baru saja memasangnya?” tanya Minho. Dahinya berkerut, menandakan bahwa ia masih tidak mengerti.
Laki-laki itu menggeleng. “Tidak. Saya bahkan sudah memasangnya sebelum kamu masuk ke sekolah ini.”
Sesaat kemudian, laki-laki itu mencondongkan tubuhnya. “Fisik saya memang kurang, tapi saya punya prinsip harus berguna untuk orang lain,” Kepala Sekolah menarik napas panjang, kemudian melanjutkan, “Itulah gunanya hidup, bukan? Saling membantu satu sama lain tak pernah membuat sesuatu yang buruk terjadi dalam hidup kita.”
Laki-laki bersorot mata tegas itu memang seorang pahlawan. Minho sangat kagum padanya.
* * *
Minho tak pernah menyangka dapat bertemu seorang yang memakai alat gerak buatan lagi selain Kepala Sekolah. Sambil menatap Hana yang sedang membetulkan hal yang salah dengan kaki palsu Byul, Minho meminum teh yang berhasil gadis itu dapatkan. Bahkan anak sekecil itu sudah memakai kaki palsu.
Hal ini membuat Minho sangat bersyukur karena beranggota tubuh lengkap.
“Apa Byul suka teh?” tanya Minho pada anak kecil yang duduk di sebelah kirinya. Matanya melirik absennya tungkai Byul.
Alis tebal laki-laki kecil itu terangkat. Sesaat kemudian ia mulai mengoceh. “Byul suka sekali teh! Apalagi teh yang berisi bulatan-bulatan yang selalu dibelikan Noona!”
“Goojeun juga suka!”
“Nara juga!”
“Cita-cita kalian apa?” tanya Minho lagi. Dia tersenyum lebar. Dia sangat suka ketika anak-anak kecil mulai mengoceh tentang apa yang mereka suka.
“Dokter!” Si mungil Joonae berkata.
“Polisi!” Yoogeul yang duduk di bagian belakang menyahut dengan suara lantang.
“Guru!” Nara yang berkacamata angkat bicara.
“Goojeun mau menjadi perawat!” Goojeun ikut-ikutan menyahut dari seberang.
Byul terdiam sejenak. Minho mengangkat alisnya bertanya. Biasanya Byul selalu spontan ketika berbicara, namun kali ini ia terlihat sedang memikirkan masak-masak tentang hal yang dicita-citakannya.
“Uhm… Byul mau menjadi Iron Man!”
Teman-temannya tergelak, mungkin mengira bahwa jawaban Byul main-main. Namun Minho tidak ikut tertawa. Matanya melirik Hana yang menatap punggung Byul dengan tatapan yang serius juga.
“Kenapa?”
“Byul ingin menjadi pahlawan seperti Iron Man!”
* * *
Game kedua sudah dimulai. Setelah masalah kaki Byul selesai, anak-anak itu mulai menghambur ke halaman lagi. Menyerbu setiap sisi halaman dengan kaki-kaki kecil mereka.
Walau Minho sangat ingin ikut bermain, namun ia toh akhirnya memutuskan untuk duduk di pinggir bersama Hana. Rasa penasarannya memaksanya untuk tetap tinggal. Hana tak ubahnya mirip seperti saksi kunci di sebuah pengadilan.
“Sejak kapan Byul memakai kaki palsu? Bukankah biasanya tindakan itu diambil untuk pasien yang sudah dewasa?” Minho bertanya pada gadis itu.
“Sejak umur lima tahun,” jawab gadis itu dengan wajah suram. “Ayah dan ibu tak tega melihatnya bergantung terus pada kursi roda. Itulah sebabnya kami memutuskan untuk memasangkan alat itu di kakinya.”
Gadis itu menarik napas panjang. “Aku adalah seorang aktivis untuk anak-anak seperti Byul. Setiap hari aku bersama beberapa temanku berusaha untuk memberitahu orang-orang bahwa anak-anak seperti itu tetap berharga. Tak pantas untuk dijauhkan dari pergaulan hanya karena keterbatasan fisik mereka.”
“Tapi buktinya Byul punya teman,” celetuk Minho. Sebuah gol ternyata berhasil dicetak oleh Nara. Anak-anak itu kembali menghambur dalam pelukan perayaan.
Hening sejenak. Tiba-tiba sebuah gagasan muncul di otak Minho.
“Hana. Kapan ulang tahun Byul?”
“Dua hari lagi, kenapa?”
* * *
“Hyung, apa kau yakin pakaian ini tidak sempit?” Taemin yang berjalan di sebelah bertanya. Lengannya memeluk kantung putih, dan sebuah kotak berukuran cukup besar.
Minho tertawa dengan tenggorokannya yang sedikit kering. “Tentu saja sempit, bodoh. Rasanya pakaian itu akan menghalangi napasku saja.”
“Lalu kenapa kau memaksakan untuk memakainya? Kau bisa memakai pakaian yang lain. Superman, misalnya?” tanya Taemin lagi. Minho menggeleng.
“Seorang pahlawan itu, akan berharga jika ada orang yang mengharapkannya. Aku tak diharapkan memakai pakaian itu, maka itu kurang berharga.” Minho merapatkan jaket hitamnya sambil melirik Taemin. “Apakah penjelasanku bisa masuk di otak kecilmu?”
“Ya, Hyung! Berhenti meledekku!” pekik Taemin. Minho refleks menutup sebelah telinganya.
“Hei. Kau boleh berteriak seperti itu sekarang, tapi jangan di depan anak-anak itu, mengerti? Kau terdengar seperti kakek-kakek cerewet di ujung gang.”
“HYUNG!”
* * *
Balon-balon berwarna-warni terpasang di hampir setiap sisi ruangan. Terlihat kue sederhana berada di tengah ruangan. Di puncak kue itu terpasang lilin berbentuk angka tujuh.
Manik mata Minho mengintip dari balik tirai. Matanya menangkap Taemin yang siaga dengan postur sempurnanya saat hendak bermain piano. Taemin duduk dengan punggung tegap, dan jari yang siaga di atas tuts piano.
Matanya beralih ke arah anak laki-laki yang didekap oleh seorang gadis yang ia kenal sebagai Hana. Sesaat kemudian otomatis senyumnya terkembang.
Dentingan piano mulai terdengar. Semua orang terpukau dengan suara dentingan piano yang dihasilkan oleh Taemin. Minho bersyukur karena dia dapat mendatangkan seorang pianis secara gratis. Ah, tidak. Bayaran yang tepat untuk Taemin adalah sebuah ajakan makan di sebuah restoran yang enak.
“Selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun…” Para undangan yang didominasi oleh anak kecil mulai bernyanyi dengan senang. Minho menarik napas panjang, lalu mulai menyibak tirainya dan ikut bernyanyi.
Suasana seketika senyap ketika Minho memasuki ruangan. Pasti gara-gara kostum supersempit ini, pikirnya. Untuk mencairkan suasana, Minho mulai bertepuk tangan, dan bernyanyi di balik kostum merahnya.
“Selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun…” Suara beratnya mulai melantunkan nada sederhana itu. Anak-anak itu ikut bertepuk tangan, lalu ikut bernyanyi.
Taemin memainkan lagu yang sama sampai kira-kira tiga kali, kemudian ia berdiri, dan mengambil tugasnya sebagai pembawa acara ulang tahun.
“Nah, anak-anak. Apa kalian mengenal siapa dia?” tanya Taemin pada anak-anak itu sambil menunjuk Minho. Hampir semuanya mengangguk, wajah mereka terlihat kagum. Minho seperti lukisan Monalisa yang berharga untuk dilihat.
“Iron Man!” pekik suara kecil di belakang Minho. Minho berbalik, lalu menangkap sosok kecil Byul.
“Hai, jagoan!” ucap Minho sambil mulai berjongkok. Kostum itu sepertinya mulai membuat napasnya sesak lagi. “Apa kau yang berulang tahun sekarang?” tanyanya.
“Iya, tuan Iron Man!”
* * *
“Tuan Iron Man, ayo tebak aku membawa apa?” Byul bertanya seusai pesta. Tangan kecilnya menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya. Minho kemudian menatap jendela ruangan yang sudah mulai sepi. Yang tersisa hanya Hana, Taemin, dan beberapa teman Hana di dalam rumah.
Minho belum membuka kostumnya, karena Byul masih terjaga. Mungkin ia akan membukanya saat Byul tertidur nanti. Mendengar pertanyaan Byul, Minho menggeleng. “Tidak. Apa itu?”
Byul kemudian tersenyum, lalu menunjukkan sebuah bola kulit bermerek Adidas. Bola yang diberikan oleh Minho.
“Ini bola dari Minho Hyung,” Tangan kecilnya mengelus bola kulit itu. Minho hanya bergumam ‘oh’ pelan, tak mengerti harus menanggapi apa. Wajah Byul terlihat sedikit sedih. “Sayang Minho Hyung tidak ada di sini. Kata Taemin Hyung, Minho Hyung sedang sibuk, jadi dia tidak bisa datang ke acara ulang tahun Byul. Byul sedih Minho Hyung tidak bisa datang.”
Minho tersentak. Ternyata kedatangannya lebih diharapkan dibandingkan Iron Man.
Byul tersenyum sedih. “Tapi untung saja ada tuan Iron Man. Walaupun Minho Hyung tidak datang, Byul sedikit senang karena ada yang mirip dengan Minho Hyung di sini.”
“Mirip? Maksudnya?”
Byul mengangguk. “Iya, mirip. Minho Hyung terlihat sangat lincah, seperti diisi oleh bahan bakar yang lain. Minho Hyung juga terlihat cerdas saat mengolah bola. Minho Hyung bahkan membantu Byul saat melepaskan kaki ini. Ia adalah alasan Byul suka Iron Man.”
Minho tanpa sadar menahan napasnya.
“Terima kasih, tuan Iron Man,” ucap Byul lagi. Tangannya memeluk bola itu erat.
Tanpa sadar mata Minho memburam. Terharu akan kejujuran dan keluguan anak kecil ini. Di balik kostumnya, dia tersenyum dengan bibir yang gemetar. “Sama-sama,” jawabnya sambil mengacak rambut anak itu. Byul berhasil memunculkan sebuah kesadaran baru dari dalam dirinya.
Pahlawan adalah manusia yang bisa menginspirasi orang yang lain. Dia diharapkan. Kehadirannya tanpa sadar membuatmu merasa senang. Bahkan membuatmu rela mengorbankan apapun untuknya, menjadi pahlawan untuk pahlawan.
Byul adalah pahlawannya. Di luar keterbatasannya, ucapan lugunya secara tak langsung membuat Minho melakukan sesuatu yang tak pernah ia lakukan untuk orang lain.
Minho kini sadar bahwa ia tak perlu berkostum menjadi seorang superhero, atau berubah menjadi seseorang yang kuat dan gagah perkasa. Ia hanya perlu menjadi dirinya sendiri, sama seperti Pak Kepala Sekolah yang sudah menjadi pahlawan masa kecilnya.
Dan jadi pahlawan, ternyata memang sesederhana itu.
.
- END -
Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Choi Minho
