-
“Untuk menjadi seorang superhero, kau hanya perlu berada di sisinya setiap saat”
-
Sosok imut itu datang tepat di hadapanku di saat aku sedang duduk sendirian di salah satu kedai kopi langgananku. Seperti biasa, kedua telinganya masih tersumpal dengan earphone berwarna putih kesayangannya itu.
Taemin, namanya Lee Taemin. Salah satu bintang sekolah yang populer karena kemampuan dancenya. Ia juga merupakan salah satu sahabatku. Sahabat terbaikku di masa SMA ini.
Lee Taemin adalah seseorang yang pertama kali kukenal setahun yang lalu, saat aku menginjakkan kaki di sekolah ini sebagai siswa baru. Seseorang yang menjadi teman sebangkuku di kelas sepuluh. Saat itu dia masih terlihat lugu dengan model rambut mangkuknya.
Taemin berubah total menjadi cukup–dalam hal ini aku mengatakan cukup, bukan sangat–tampan, setelah ia mengikuti kegiatan ekstrakulikuler dance. Aku tidak tahu apa sebabnya. Ia hanya tersenyum malu-malu jika aku bertanya tentang alasannya.
Taemin adalah sahabat terbaikku. Tapi itu tidak berarti bahwa aku akan selalu memujinya. Taemin memang imut, namun harus kuakui bahwa sebenarnya wajahnya tidak terlalu tampan.
Apalagi jika dibandingkan dengan Choi Minho si kapten basket. Atau Lee Jong Seok, senior Taekwondo tingkat akhir yang tinggi menjulang itu. Namun jika dibandingkan dengan mereka, Taemin mempunyai satu poin unggulan.
.
Menurutku dia pahlawan masa kini.
Anggapan itu bermula ketika aku sekali lagi duduk sendirian di kedai kopi langgananku pada suatu siang. Tiba-tiba seorang wanita paruh baya menjatuhkan barang belanjaanya di tengah jalan.
Aku tidak tahu dari mana wanita paruh baya itu baru keluar. Tapi sepertinya ia baru saja keluar dari Papper Market, supermarket yang terletak tidak jauh dari sini. Aku hanya bisa berasumsi ketika melihat tas plastik khas Papper Market yang dibawa wanita itu.
Wanita itu sepertinya hendak menyebrang untuk menghampiri sebuah mobil SUV berwarna silver yang berhenti di seberang jalan. Tapi naas, high heels sekitar tiga senti yang ia pakai itu, tersandung kakinya sendiri. Wanita itu jatuh, berikut dengan barang belanjaan yang berceceran.
Aku menyesap kopiku dengan pelan kala itu. Aku memang menyukai kedai kopi di daerah Gangnam itu karena suasana tempatnya yang membuatku tenang. Kopi favoritku adalah Moccapucino. Entahlah mungkin ini sudah umum, namun aku paling suka dengan kopi racikan kedai ini. Rasanya pas dan sesuai yang aku inginkan.
Awalnya aku tidak menyadari apa yang terjadi, sampai kemudian aku mendengar sebuah decitan keras antara ban mobil dan bunyi hantam yang cukup mengerikan. Ternyata ada mobil sport mewah yang melaju dengan sangat kencang dari arah barat dan pada akhirnya menabrak pembatas jalan.
Melalu jendela besar di sisi kiriku, aku melihat wanita paruh baya itu sudah berada di pelukan seorang pemuda. Seolah-olah ia seperti baru saja diselamatkan dari terjangan mobil mewah tadi. Dan sepertinya dugaanku tidak meleset terlalu jauh.
Detik itu juga suasana menjadi ricuh. Banyak pengunjung kedai kopi ini yang juga ikut keluar untuk melihat langsung tempat kejadian perkara. Sebenarnya aku juga penasaran, namun ketika kupikirkan kembali sepertinya lebih baik aku diam saja sembari menonton insiden itu dari dalam kedai
Tak berapa lama kemudian, beberapa mobil polisi beserta ambulans datang untuk menangani kejadian tersebut. Namun yang paling membuatku terperangah adalah bahwa ternyata aku sangat mengenali sosok pemuda yang bertindak sebagai pahlawan itu.
Tidak salah lagi, sosok itu…
Lee Taemin.
* * *
Keesokan harinya, berita tentang Taemin-menyelamatkan-seorang-wanita-dari-tabrakan-mobil menjadi berita paling hangat di sekolah. Para siswi bergerombol di depan Taemin hanya untuk menanyakan kronologi kejadian itu, yang pada akhirnya hanya dijawab dengan senyum malu-malu oleh si penyelamat.
Tidak heran sh, Taemin memang bukan sosok yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi seperti Jonghyun, si vokalis band kebanggaan sekolah. Ia hanya akan terlihat percaya diri pada saat menari di atas panggung. Selebihnya, ia pribadi yang cukup pemalu menurutku.
Berita itu ternyata masih juga beredar saat aku mengunjungi perpustakaan sekolah seminggu kemudian. Dan sekali lagi–saat aku sedang mencari buku mengenai kerajaan Joseon untuk mata pelajaran sejarah–Taemin muncul di hadapanku dengan tak terduga.
Pemuda itu menyapaku dengan riang dan senyum andalannya ketika ia melihatku disini. Aku yang sudah hafal dengan kebiasaanya hanya menoleh sekilas dan kembali fokus pada tujuan utamaku datang ke tempat ini. Tidak menghiraukannya.
Biasanya jika aku seperti ini, pemuda itu akan protes dengan keras, namun mengapa sekarang diam saja?
Penasaran, aku menoleh ke samping dan ternyata memang ia sudah tidak berada di sana. Baru saja aku berniat mencarinya, tiba-tiba aku mendengar suara khasnya tidak jauh dari tempatku berdiri saat ini.
Ternyata Taemin menghilang di balik rak buku geografi yang letaknya persis di depan rak buku sejarah. Melalui sela-sela buku yang terjejer dengan rapi, aku bisa melihat dengan jelas apa yang ia lakukan.
Lee Taemin tetaplah Lee Taemin. Seorang pemuda pemalu namun penuh dengan rasa penasaran. Saat itu, aku melihat Taemin sedang menawarkan bantuan kepada seorang gadis yang berdiri di sampingnya.
Gadis itu sibuk meloncat-loncat karena kesulitan mengambil buku yang letaknya di ujung atas rak buku. Perawakan gadis itu cukup mungil, jadi bisa disimpulkan bahwa tinggi badanya tidak memungkinkan ia untuk mengambil buku tersebut.
Ketika Taemin menawarkan bantuan, gadis itu dengan suka cita menyambutnya. Namun ternyata hal itu tidak semudah yang diperkirakan. Taemin memang berhasil mengambil buku itu, namun ternyata buku itu sangat tebal dan berat.
Tak ayal – dikarenakan tubuh Taemin yang juga tidak terlalu besar, bahkan kecil–ia menjadi sedikit oleng. Dan di detik berikutnya Taemin sudah jatuh menimpa tubuh gadis itu. Sedangkan buku sumber malapetaka itu terjatuh di lantai dengan bunyi debum yang cukup keras.
Untung saja Taemin sempat menahan tubuhnya dengan tangan sehingga gadis tidak benar-benar tertimpa tubuh Taemin. Aku tahu bahwa aku seharusnya tidak tertawa sekecil apapun disituasi ini.
Tapi raut wajah dua orang dihadapanku itu sangat lucu. Dan dimataku hal itu juga terkesan sangat romantis, dan cukup membuatku sedikit mual. Karena sebenarnya aku tidak terlalu menyukai hal-hal yang berbau romantic seperti itu.
Gadis yang kuketahui bernama Son Naeun itu terlihat sangat terkejut dengan wajah pucat di bawah tubuh Taemin. Sedangkan Taemin sendiri… entahlah, tapi aku melihat raut kaget sekaligus lega di wajahnya.
Dan detik berikutnya, aku malah melihat wajahnya yang memerah ketika mata mereka saling bertemu. Sepertinya dia baru menyadari bahwa dia berada sangat dekat dengan gadis cantik itu dalam posisi yang kurang lazim.
* * *
Semenjak insiden di perpustakaan itu, aku belum bertemu Taemin kembali. Taemin berada dikelas yang berbeda denganku dikelas sebelas ini. Sehingga aku jarang bertemu dengannya lagi. Apalagi sejak ia menyabet titel ‘Dance King of the Year’ sekolahku, beberapa bulan lalu.
Hingga pada suatu siang–sekali lagi–ia muncul di hadapanku dengan tiba-tiba. Saat itu aku sedang duduk sendirian di kelas sembari mendengarkan lagu lewat earphone kesayanganku. Taemin menghampiriku, memutar kursi yang berada tepat di depanku dan duduk di atasnya.
“Menurutmu aku bagaimana?”
Aku mengerutkan kening sambil mengangkat alis kiriku sesaat setelah mendengar pertanyaannya. Taemin menjulurkan kedua tangannya, dan melepaskan earphone dikedua telingaku–yang ketika itu melantunkan lagu The Man Who Can’t Be Moved milik The Script.
“Im Hyemi, menurutku aku bagaimana?” tanyanya lagi.
“Maksudmu?” Aku benar-benar tidak mengerti arah pembicaraannya kali ini.
Ia tiba-tiba saja datang, duduk di hadapanku, melepas earphone kesayanganku, dan langsung memberiku pertanyaan tanpa basa basi.
“Apa aku seperti Spider Man?”
Aku langsung melepas tawaku ketika mendengar pernyataannya yang menurutku sangat konyol. Taemin langsung merengut mendengar tawaku yang kelewat lepas ini.
.
Hey, menurutku ini wajar. Siapa yang tidak tertawa mendengar entah pertanyaan atau pernyataan itu secara langsung seperti itu?
“Apa maksudmu?” tanyaku setelah berhasil mengontrol suaraku.
.
Ya Tuhan, apa yang dipikirkan bocah dihadapanku ini?
Taemin terdiam.
“Oke, baiklah.” Aku mengembuskan napasku, mencoba lebih menetralkan suaraku.
“Kau kurang tinggi dan kurang berisi jika ingin disamakan dengan Spider Man.”
Taemin merengut, kali ini bibirnya mungkin sudah mencapai lima senti. “Aku serius!” serunya tidak terima.
“Hm, well, aku dua rius!” balasku cuek.
Tidak ada percakapan diantara kami setelah itu. Taemin menelungkupkan kepalanya diatas meja sambil memainkan earphoneku dikedua tangannya. Wajahnya saat ini persis seperti anak kecil yang merajuk minta dibelikan permen.
Aku menghela napas pelan. “Menurutku kau baik.”
Taemin langsung menengadahkan kepalanya begitu mendengar ucapanku.
“Ya, kau baik. Sangat baik. Tapi jika kau ingin disamakan dengan Spider Man… menurutku kalian tidak sama.” lanjutku.
Taemin bergeming.
“Sekarang, beritahu aku. Apa maksud dari pertanyaanmu?” tanyaku kemudian. Taemin menoleh menatapku. “Yang mana?” tanyanya.
Aku mengedikkan bahu pelan. “Keduanya.”
Taemin membenarkan posisi duduknya. “Kau tahu insiden tabrakan mobil itu?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Aku melihatnya.”
“Apa?” Taemin menatapku terkejut. “Tapi aku tidak melihatmu di sana, dan, yah… aku pikir tidak ada yang mengenaliku saat itu.”
“Aku sedang berada di kedai kopi langgananku saat itu. Kedai kopi yang berada di dekat situ.” Jawabku jujur.
Taemin mengangguk. “Kau tahu?” ucap Taemin kemudian, “aku dianggap pahlawan sejak saat itu.”
“Ya, aku tahu.” Aku mengangguk lagi. “Aku bahkan sudah dengar semua hal tentangmu, kalau kau mau tahu.”
“Tapi….” Taemin menggantung ucapannya.
“Sepertinya aku belum dianggap superhero oleh gadis itu.” Ucap Taemin lirih.
Aku tersenyum dan menepuk bahunya pelan.
“Kau sudah dianggap pahlawan oleh gadis itu. Tenang saja.”
* * *
Gadis yang dimaksud Taemin tempo hari adalah Naeun. Gadis yang sama saat ditolong Taemin waktu insiden di perpustakaan beberapa hari lalu.
Beberapa hari setelah percakapanku dengan Taemin mengenai Spider Man, aku belum berbicara dengannya lagi, kecuali hanya tentang percakapan basa-basi dan percakapan seperlunya.
Aku hanya mendengar bahwa sang raja dance akan dipasangkan dengan sang ratu populer diacara pentas seni tahunan sekolah tiga bulan lagi. Dan dari sudut pandangku, sepertinya Taemin sangat menikmati keputusan guru yang memilihnya.
Aku sedang duduk di taman belakang sekolah saat kulihat dua orang datang ke tempat yang sama denganku. Aku duduk menghadap kolam di taman belakang sekolah, sedangkan mereka berdua berdiri di sisi yang berseberangan denganku.
Aku melihat mereka dengan wajah datar ketika aku sadar bahwa salah satu di antara mereka adalah Naeun. Dan setelah kuamati, orang yang bersama Naeun itu adalah Myungsoo, salah satu siswa populer dengan wajah super dingin. Dia juga dikenal sebagai mantan pacar Naeun.
Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu apa yang mereka katakan saat itu. Aku hanya melihat mereka berdua dalam diam, dan tidak berniat untuk membuat gerakan yang membuat mereka menyadari keberadaanku.
Aku masih tidak peduli saat tiba-tiba saja tangan Myungsoo melayang ke pipi sebelah kiri Naeun. Aku kaget, tentu saja. Aku sudah akan beranjak menghampiri mereka ketika kulihat sosok lainnya berjalan cepat ke arah mereka berdua.
Dan sosok itu adalah Taemin. Terkadang aku heran, mungkin memang sahabatku satu itu mempunyai keahlian muncul secara tiba-tiba. Di mana saja. Termasuk saat ini.
Taemin langsung melayangkan tinjunya ke arah Myungsoo sesaat setelah berdiri di hadapan laki-laki itu. Aku tidak tahu seberapa kuat pukulannya, tapi sepertinya cukup kuat sampai Myungsoo limbung dan hampir tercebur ke dalam kolam.
Myungsoo berniat membalas pukulan Taemin, tapi bukannya Taemin yang kena kepalan tinjunya, ia malah memukul Naeun tepat di rahang bawah kirinya.
Terkejut dengan perlakuan Myungsoo, aku berdiri menghampiri mereka bertiga yang sekarang terlihat seperti hubungan cinta segitiga itu.
Aku tidak peduli jika hanya Taemin dan Myungsoo yang melakukan adu pukul. Tapi jika gadis seperti Naeun juga ikut kena getah pukulannya, menurutku itu kelewatan.
Aku berdiri di hadapan Naeun yang sekarang sedang setengah berbaring sambil memegang dagu kirinya. Matanya sembab, jelas sedang menangis. Kedua laki-laki itu hanya kaget melihat kedatanganku, tapi aku tidak peduli.
“Kau tidak apa-apa?” tanyaku memastikan bahwa akibat dari pukulan itu tidak terlalu parah.
Aku mengangkat sedikit dagunya dan perkiraanku meleset. Bekas pukulan itu cukup parah namun beruntung tidak sampai mematahkan tulang dagu gadis itu.
Aku menolehkan kepalaku setelah mendengar suara adu pukul di belakangku. Aku mendesis geram melihat betapa konyolnya mereka saat ini.
“Sebentar….” ucapku pada Naeun setelah membantunya berdiri dan mendudukannya di tepi kolam. Aku harap ia cukup kuat untuk menopang dirinya sendiri agar tidak limbung dan tercebur ke dalam kolam.
“Ya!” teriakku mencoba menginterupsi kedua laki-laki itu. Sekolah sudah sepi, sehingga tidak ada yang bisa dimintai tolong untuk memisahkan mereka berdua mengingat jam pelajaran telah usai dua jam yang lalu.
Kedua laki-laki itu tidak mendengarku. Aku menggeram frustasi, kemudian maju menghampiri mereka. Hampir saja aku terkena pukulan Myungsoo jika saja aku tidak menghalau tinjuannya kepadaku.
Dengan gerakan defensif yang aku pelajari saat latihan karate, kupelintir tangan Myungsoo ke belakang tubuhnya, dengan ancaman akan mematahkan tangannya jika tidak berhenti melayangkan tinjunya.
Di lain sisi, Taemin malah berniat akan memukul wajah Myungsoo jika aku tidak segera menendang tubuhnya menjauh dariku dan Myungsoo.
“Kalian…” desisku pada Myungsoo di dekapanku dan Taemin di bawahku, ”kalian boleh berkelahi sesuka kalian, asalkan tidak disekolah ini, dan dengan seragam identitas kalian.”
“Ya!—Argh!” pekikan Myungsoo terdengar ketika aku kembali memelintir tangannya. Menyuruhnya untuk tidak berbicara.
“Dan kau, Myungsoo, aku tidak peduli aku akan berkelahi dengan siapa, tapi jangan pernah kau melayangkan tamparanmu ke seorang perempuan! Siapapun itu juga jika kau tidak ingin dibilang banci yang pengecut!” seruku sambil mengeratkan kuncian tanganku.
Aku melepaskan kuncianku setelah mengucap kalimat itu. Tidak ada pergerakan yang berarti dari Myungsoo ataupun Taemin setelahnya.
Aku berjalan kearah Naeun dan memapahnya memasuki gedung sekolah menuju ruang kesehatan di dalam gedung, meninggalkan kedua laki-laki itu di luar.
* * *
“Terima kasih.” Ucap Naeun setelah aku selesai mengompres bekas pukulan Myungsoo dengan air hangat yang kuambil dari mesin penghangat air otomatis di ruang kesehatan.
Aku tersenyum, “Tidak masalah.”
Naeun terlihat akan mengucapkan sesuatu saat aku sedang membereskan beberapa peralatan yang kugunakan untuk mengobatinya. “Ada yang ingin kau tanyakan?” tanyaku kemudian.
Naeun diam. Ia akan membuka mulutnya ketika pintu ruang kesehatan tiba-tiba terbuka dengan lebar. Di depan pintu berdiri sosok imut dengan penampilan tidak karuan. Rambutnya acak-acakan dan seragamnya kotor. Jelas ia habis berkelahi.
Sosok itu hanya melihatku sekilas, kemudian berjalan melewatiku dan langsung menghampiri Naeun.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Taemin begitu sampai di hadapan Naeun. Tangannya terulur untuk melihat bekas lebam di dagu Naeun. Yang ditanya hanya tersenyum menjawab pertanyaan Taemin.
“Sakit?” tanya Taemin lagi. Aku mendengus sinis begitu mendengar pertanyaan bodoh Taemin.
”Perlukah kau menanyakannya?” ucapku sinis, mengutuk kebodohan laki-laki di hadapanku ini. Taemin hanya melirikku sekilas dan kembali sibuk pada Naeun.
Tangan Naeun yang sebelumnya saling menggenggam ringan di atas pangkuannya langsung terulur menakup wajah Taemin. Dan dari tindakan Naeun, aku baru menyadari ada beberapa luka di wajah Taemin, dan salah satunya di pelipis kiri lelaki itu.
Tiba-tiba aku merasakan atmosfer yang berbeda beberapa detik kemudian. Atmosfer yang membuatku tersenyum geli sekaligus mual di saat yang bersamaan.
Kedua orang di hadapanku ini sedang saling menatap satu sama lain, dengan tangan yang sama-sama menakup wajah orang lain di hadapannya. Aku tidak melihat dengan jelas arti tatapan itu, tapi feelingku mengatakan bahwa aku harus pergi dari sini.
Dan di sinilah aku, berdiri di depan pintu ruang kesehatan dengan tangan yang masih memegang kenop pintu, dan dengan raut menahan tawa di wajahku.
Semenjak insiden itu Taemin dan Naeun resmi berpacaran. Dan kini Taemin berniat mentraktirku di kedai kopi langgananku. Aku melambaikan tangan dan ia pun tersenyum lebar kemudian menghampiriku.
“Hai, sudah lama?”
Aku menggeleng. “Aku pikir sepuluh menit masih memasuki masa toleransi.”
Taemin terkekeh. “Pesanlah apa yang kau suka. Aku yang bayar.”
“Oke.”
Dan kami berdua tertawa bersama.
* * *
.
Klek.
Bunyi pintu yang tertutup pelan menyadarkan kedua orang itu. Keduanya langsung menarik tangan masing-masing dengan gerakan canggung ketika sadar bahwa mereka sedang menakup wajah satu sama lain.
“Wajahmu terluka,” ucap Naeun memecah atmosfer canggung di antara keduanya. Taemin tersenyum. Ia berjalan menuju cermin yang terpasang di ruang itu. Sedikit memastikan berapa banyak luka yang dideritanya.
“Ya…” ucap Taemin, sambil memegang luka di wajahnya, “tapi tidak terlalu banyak.” lanjut Taemin menenangkan.
Mengikuti Taemin, Naeun beranjak dari kasur dan menghampiri Taemin yang masih memegang wajahnya di hadapan cermin.
“Sini.” Naeun menarik tangan Taemin duduk kembali dan mengambil beberapa obat, kain, dan air hangat. Naeun duduk di samping Taemin, menghadapkan wajah Taemin kepadanya, dan mulai mengobati luka-luka di wajah Taemin.
Sekilas wajah Naeun memerah karena berada sedekat ini dengan Taemin, tapi ia langsung memfokuskan diri pada luka-luka diwajah Taemin, dan menyugesti dirinya sendiri untuk bersikap sewajarnya.
Naeun berhasil menyugesti dirinya sendiri, dan langsung sibuk pada luka-luka Taemin, tanpa memperdulikan, atau tepatnya pura-pura tidak peduli pada pandangan Taemin ke arahnya. Toh, yang dia lakukan hanya mengobati lukanya. Tidak berniat merencanakan lebih.
Ketika plester terakhir sudah menempel sempurna di pelipis Taemin, Naeun merasakan tangannya digenggam oleh laki-laki di hadapannya.
“Maaf.” lirih Taemin. Naeun mengerutkan dahinya bingung.
“Maaf untuk apa?” tanya Naeun kemudian.
Taemin diam. Dia hanya menjulurkan tangannya kelebam Naeun dan mengelusnya pelan.
“Sakit?” tanya Taemin tanpa memedulikan pertanyaan Naeun sebelumnya. Naeun tersenyum kecil.
“Perlukah kau menanyakannya?” Taemin diam, tapi pelan-pelan dia tersenyum.
“Sudah sore. Ayo pulang!” ajak Naeun sambil membereskan beberapa peralatan yang tadi ia gunakan ke tempat semula. Taemin mengangguk dan menggandeng tangan Naeun keluar ruang kesehatan.
“Ada apa?” tanya Naeun pada Taemin yang sedang menatapnya ketika mereka berjalan melewati lapangan menuju gerbang sekolah.
Taemin tersenyum. ”Tidak. Tidak ada apa-apa.” Naeun memandang Taemin, sebelum akhirnya mengedikkan bahu singkat dan kembali berjalan menuju gerbang.
“Kita searah?” tanya Naeun begitu ia dan Taemin naik bis yang sama.
“Aku ada urusan dengan sepupuku yang tinggal dekat rumahmu.” Taemin menjawabnya dengan luwes, entah itu benar adanya atau hanya akal-akalan saja.
“Kau tahu rumahku?” Naen memandang laki-laki di depannya itu dengan takjub. Taemin hanya terkekeh pelan namun tidak menjawab.
”Sini, duduk sini.” ajak Taemin menuju dua bangku kosong di sisi kiri.
“Aku penasaran….” ucap Taemin kemudian.
Naeun menolehkan wajahnya kearah Taemin. “Penasaran apa?”
“Apa definisi superhero menurutmu?”
Naeun mengerutkan dahinya bingung. Alisnya menyatu. “Superhero? Kau yakin menanyakan definisi superhero padaku?” tanya Naeun memastikan. Taemin mengangguk yakin.
“Superhero….” lirih Naeun. “Dari sudut pandang mana kau menanyakannya?” lanjut Naeun kemudian.
Kini keadaan berbalik. Taemin mengerutkan dahinya bingung. Naeun tertawa. “Menurutku superhero adalah seseorang yang selalu menolong siapapun yang ada dalam kesusahan. Kau tahu Holmes? Menurutku dia superhero terbaik.”
“Holmes?” Taemin mengerutkan dahinya bingung. “Bukannya dia detektif?” tanyanya lagi.
“Ya, dia detektif yang merangkap menjadi pahlawan menurutku.”
“Lalu bagaimana dengan superhero semacam Spiderman, Captain America, dan Fantastic Four?”
“Mereka memang superhero, tapi… entahlah. Aku lebih menganggap Holmes adalah pahlawan sebenarnya.” Taemin mengerutkan dahinya lebih dalam. Bingung.
“Oke, aku tidak benar-benar tahu definisi superhero sebenarnya. Dan, yaahh, aku juga tidak tahu mengapa mengganggap Holmes adalah superhero yang sebenarnya. Aku hanya… asal menjawab, hehehe.” Ucap gadis berambut panjang itu sembari terkekeh.
“Tapi….” lanjut Naeun. “Menurutku, sebagai seorang gadis, sebagai seorang perempuan, dan tentunya secara pribadi, pahlawan yang sebenarnya adalah seseorang yang selalu ada di sampingku dalam keadaan apapun, situasi apapun, dan menjagaku bahkan ketika aku tidak sadar bahwa aku sedang membutuhkannya.”
Taemin melongo. Tiba-tiba pikirannya kembali ke pembicaraannya dengan Hyemi beberapa hari lalu.
“Kenapa kau pikir aku sudah menjadi pahlawannya?” tanya Taemin pada Hyemi yang duduk di hadapannya.
“Karena itu kau.” jawab Hyemi singkat.
Taemin merengut, “Jawaban apa itu!?” Hyemi terkekeh.
“Aku beri tahu kau satu rahasia.” Hyemi mencondongkan tubuhnya kearah Taemin.
Taemin diam. Ia tidak memperdulikan posisinya yang tinggal dua puluh senti dengan Hyemi. Ia hanya ingin mendengar lanjutan gadis itu, dengan sangat jelas.
“Bagi seorang perempuan, menjadi superhero adalah dengan berada di sampingnya apapun keadaannya.” Hyemi tersenyum.
“Dan kau sudah membuktikan kapasitasmu sebagai superhero di perpustakaan kemarin lalu.”
Taemin terdiam dengan mulut membentuk huruf ‘O’ besar.
“Dan kalau kau juga sadar, kau itu selalu ada di samping gadis itu. Menjaganya, bahkan ketika ia masih menyandang status sebagai pacar orang lain.” Tambah Hyemi
Mengingat hal itu, Taemin tersenyum, kemudian menyelipkan jemarinya di sela jari-jari ramping gadis itu. Gadis yang ia yakini sudah resmi menjadi kekasihnya.
*** END ***
Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Lee Taemin
