-
“Oppa, segera hubungi aku setelah kau menerima pesan ini. Aku tidak akan berhenti sampai kau bicara sesuatu, jadi tolong, aku menunggu. Oke?”
Leighton mematikan sambungan telepon. Dia hampir menyerah. Sudah berulang kali dia berusaha menghubungi Yunho, tapi tak ada satupun panggilannya yang terjawab. Padahal Leighton sudah sengaja menelepon pada jam-jam tertentu yang dirasanya tidak akan mengganggu kesibukan kerjaYunho, maupun waktu-waktu istirahatnya. Yunho tidak bersedia bicara dengannya.
Dilemparnya ponsel ke atas meja. Kesal. Dia kemudian merebahkan diri ke sofa, menatap dua boneka manekin yang dihiasi oleh gaun pengantin berwarna merah hati dan baby pink yang masih setengah jadi. Leighton harusnya segera menyelesaikan detil desain gaun itu hari ini, tapi seluruh kegiatan pelacakan-orang-hilang ini mengganggu seluruh fokusnya, ditambah lagi begitu banyak masalah yang belakangan ini seolah bermunculan memperebutkan perhatiannya. Seungho, Siryeol, Changmin, hingga bahkan Siwon.
Dia masih ingat bagaimana saat Changmin terakhir kali muncul di hadapannya suatu malam tempo hari. Dari semua orang yang akan menemuinya, dia tidak pernah menyangka akan menemukan Changmin di depan pintu rumahnya. Lelaki itu tampak tidak begitu menyukainya sejak awal, tapi melihat Changmin bersedia memohon seperti itu padanya, Leighton menyadari ada yang tidak beres dalam hubungan orang-orang itu.
“Aku tidak ingin kehilangan dia, Leighton, hanya kau yang bisa membantuku.”
God… Leighton bahkan tidak bisa melupakan sorot mata Changmin saat menatapnya. Sebuah perasaan yang tiba-tiba saja disadarinya.
Changmin sangat menyukai Siryeol. Atau bahkan mungkin lebih dari itu.
Tapi apa yang bisa dilakukannya? Dia bukan seseorang yang bisa melakukan sesuatu mengenai hal ini. Meski keinginan Leighton pun tidak kalah besar untuk melihat Seungho tidak lagi berhubungan dengan Siryeol, dia tetap bukan orang yang bisa melakukan sesuatu untuk memisahkan mereka.
Di atas meja ponselnya berkedip. Leighton serentak mencondongkan tubuhnya melihat siapa yang menghubunginya, berharap itu adalah Yunho. Tapi ketika dia melihat nama Siwon yang muncul di layar ponsel, Leighton merebahkan kembali punggunya bersandar di kursi. Dia tidak berniat untuk menjawab panggilan itu.
Leighton tidak tahu harus bersikap apa menghadapi Siwon belakangan ini. Lelaki itu menyukainya, dan Siwon menunjukkannya secara gamblang. Yang Leighton tidak tahu apakah Siwon benar-benar tulus dengan seluruh afeksi itu, ataukah ini hanya sekedar permainan kecil lain yang seringkali Siryeol sebutkan padanya. Apapun itu, Leighton tidak bisa menolak. Di saat seperti ini Leighton mau tidak mau harus mengakui kuatnya karisma seorang Choi Siwon yang tidak pernah gagal memikat gadis manapun yang lelaki itu dekati. Lelaki itu memang pakarnya menggoda.
Satu babak singkat yang sempat membuat jantung Leighton berdetak kencang tak karuan terjadi di sore kemarin. Hari itu hujan salju mengguyur Seoul sepanjang pagi dan membekukan jalanan kotanya hingga kemacetan terjadi di mana-mana.
Leighton sengaja mengakhiri pekerjaannya lebih awal, menutup galeri dan memulangkan seluruh pekerjanya lebih cepat supaya mereka tidak perlu terjebak di jalanan sebelum jam pulang kerja seluruh perkantoran, jadi mereka membawa pulang pekerjaannya masing-masing. Dengan dua paperbag besar berisi gaun pengantin yang mengejar proses finishing, Leighton berjalan kaki pulang menyusuri pelataran jalan besar Cheongdam.
Hari itu sebenarnya tidak berbeda dengan hari lainnya. Salju juga tidak turun selebat sebelumnya, meski dinginnya terasa menusuk hingga ke tulang. Leighton sengaja mampir ke kedai kopi tak jauh dari galerinya dan membeli segelas espresso untuk menghangatkan tangannya selama perjalanan pulang. Overcoatnya terkancing rapat menutupi seluruh tubuhnya, syal tebal melingkar melindungi lehernya dari tiupan angin, sementara kedua telinganya tertutup earmuff yang hangat. Leighton melangkah cepat di bawah payungnya, agar bisa cepat sampai ke rumah.
Dan dia sudah melewati jalan masuk ke dalam area residental yang mulai sepi pejalan kaki saat perasaannya tiba-tiba saja diserang kegelisahan. Dia merasa diawasi, seperti diikuti, dan dia mempercepat langkah tanpa berani mengecek keadaan di sekitarnya.
Leighton benci perasaan ini. Dia sudah lama tidak merasakan ketegangan semacam ini, di mana jantungnya terasa terpacu kuat karena rasa yang tidak aman. Degup penuh kewas-wasan itu sering dirasakannya saat masih bekerja di kota New York, tapi lingkungan Cheongdam ini seharusnya menjadi lingkungan yang aman. Siryeol pernah meyakinkannya bahwa area residental mereka adalah salah satu yang paling aman di seluruh negeri, jadi ketegangan yang mendadak muncul itu membuatnya ketakutan.
Sialan. Padahal hari masih belum gelap. Bersusah payah Leighton merogoh ke dalam tasnya sembari berjalan cepat, mencari pepper-spray yang selalu dia bawa ke mana-mana, dan jantungnya serasa hampir melorot hingga ke bawah perutnya ketika dua lengan besar tiba-tiba muncul memeluk dadanya dari belakang.
“Boo!!”
“Oh!”
Leighton memejamkan matanya, lututnya lemas hingga oleng dan hampir terjatuh kalau Siwon tidak segera menangkapnya.
“Ya Tuhan, Leighton, maaf. Aku tidak bermaksud mengejutkanmu, kau baik-baik saja?” Siwon menggunakan kedua lengannya untuk menyokong tubuh Leighton, sementara gadis itu mengatur napasnya dengan satu tangannya menekan dada.
“Siwon ssi, kau hampir membuatku mati. Jangan pernah lakukan itu lagi.” Leighton menghela napas panjang, uap embun membias di depan mulutnya saat dia melakukannya. Kepalanya agak sedikit pusing, tapi begitu kakinya sudah cukup kuat, dia segera kembali berdiri tegak.
Siwon terkekeh, tapi sudah mulai kembali berjalan, masih memeganginya. “Maaf, maaf. Kau tidak pernah terkejut sebelumnya, aku tidak tahu kau akan seterkejut ini.”
Ya. Leighton memang tidak pernah seterkejut ini sebelumnya, dia tidak akan bersikap seperti itu kalau saja Siwon langsung saja mengejutkannya tanpa mengintainya terlebih dulu atau segala macamnya. Tapi dia memutuskan untuk tidak mempermasalahkannya lagi. Perhatiannya teralih dengan kemunculan Siwon hari itu, setelah beberapa hari sebelumnya lelaki ini berpamitan pergi ke Amerika.
“Kau baru kembali?” Leighton bertanya, mengalihkan topik pembicaraan mereka.
“Yap. Mereka mau mengantarkanku pulang, tapi tadi kulihat kau berjalan, jadi aku minta sopir menurunkanku di tepi jalan. Kau kelihatan kacau, ada masalah?”
“Tidak ada,” kata Leighton, menggeleng. Dia tidak tahu bagaimana Siwon bisa menangkap seluruh gelagat itu dari dirinya, lelaki itu seperti memiliki magnet yang kuat pada masalah-masalahnya. Leighton tidak habis pikir.
“Tapi kau menunjukkan wajah ‘itu’ tadi,” Siwon rupanya masih belum puas berusaha mengorek sesuatu darinya. Lelaki itu sengaja merapatkan tubuh, menawarkan diri untuk memegangkan gagang payung dan membawakan barang bawaan Leighton.
“Wajah apa?”
“Wajah ‘itu’, seolah kau adalah orang paling merana di dunia dan kau menunggu pangeran berkuda putih untuk segera membawamu pergi dari kehidupan yang super kacau.”
Leighton mengangkat kedua alisnya. Apa?
Dia kemudian terbahak. Sungguh tergelak tidak bisa menahan gelinya mendengar kata-kata Siwon. Dia bahkan tidak mengerti apa yang sesungguhnya lelaki itu katakan, tapi Leighton sepenuhnya mendapatkan intensi Siwon saat melakukannya. Lelaki itu ingin menghiburnya dengan lelucon sarat kode ini, dan Siwon berhasil. Sangat. Leighton bahkan hampir menangis karena dia tidak bisa menghentikan tawanya.
Di sampingnya Siwon hanya tertawa pelan. Leighton tidak tahu apa yang lelaki itu pikirkan di dalam kepalanya, tapi dia sangat berterima kasih. Dia tidak pernah mengerti kenapa kehadiran lelaki itu seringkali membuat gejolak yang ganda di dalam dirinya. Kadang dia merasa seperti menaiki wahana pembangkit andrenalin, dijungkirbalikkan layaknya koin-koin bergemerincing di dalam kantong kulit. Di saat yang lain, dia seperti menaiki sebuah perahu di lautan yang tak berombak. Saat ini Siwon adalah laut itu, lelaki itu membuatnya tenang.
“Lihatlah, pipimu bersemu begitu.” Siwon kemudian menangkup wajahnya dengan dua tangan, menertawainya. Sebuah gestur refleks yang berhasil membangunkan kawanan kupu-kupu di dalam dadanya. Leighton menarik wajahnya melepaskan diri, dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia menyentuh pipinya yang membeku, ada sedikit rasa hangat di sana. Apakah pipinya benar-benar memerah saat ini?
“Bagaimana Los Angeles?” Leighton kemudian bertanya lagi, untuk kedua kalinya mengalihkan topik pembicaraan mereka, menghindari kecanggungan.
“Hangat. Sedikit lembab. Cuacanya menyenangkan, aku suka Los Angeles.” Siwon kemudian menarik tangannya yang menggenggam gagang payung ke mulutnya dan meniupnya supaya hangat. Saat itu Leighton baru menyadari bahwa Siwon tidak memakai sarung tangan. Lelaki itu pun tidak memakai mantel panjang untuk melindungi tubuhnya dari angin musim dingin yang menusuk, hanya celana jeans tebal dan jaket kulit menutupi kaos wool berkerah tinggi.
Leighton tahu benar Siwon pasti kedinginan, tapi karena dia tidak mungkin berbagi mantel dengan lelaki itu, maka Leighton merogoh ke dalam saku mantelnya dan mengeluarkan sebuah hot-pack.
“Pegang ini,” ujarnya memberikan bantal penghangat itu pada lelaki di sampingnya ini.
“Bagaimana denganmu?”
“Tidak apa-apa, espressonya masih cukup panas untuk menghangatkan tangan.” Kata Leighton lagi seraya menunjukkan gelas kopi yang tergenggam erat di tangan kanannya.
Siwon mengawasinya selama beberapa saat. Lelaki itu tampak memikirkan sesuatu hingga tiga detik kemudian idenya mencuat.
“Berikan sarung tanganmu,”
“Apa?”
“Sarung tangan kirimu, berikan padaku.”
Tanpa menunggu Leighton memberikan apa yang Siwon inginkan, lelaki itu sudah menarik tangan kirinya yang tersembunyi di saku mantel keluar, dan melepas sarung tangannya. Seluruh jari-jarinya terasa membeku sekejap ketika tangannya yang telanjang terlepas dari sarung kulit yang membungkusnya.
Leighton mengawasi Siwon berusaha menjejalkan jari-jarinya ke dalam ruangan sarung tangannya yang tidak seberapa besar, hampir tertawa melihat Siwon sepertinya kesusahan melakukannya.
“Kau baik-baik saja? Apa yang ingin kau lakukan, sarung tangan itu bukan ukuranmu,” ujarnya menahan geli.
Siwon tidak menjawab. Ketika akhirnya tangannya berhasil masuk ke dalam sarung—yang untungnya cukup elastis menyesuaikan bentuk tangan pemakainya, dia menggunakan tangannya yang telah terbungkus sarung itu untuk memegang gagang payung dan menyusupkan tali paperbag ke lengannya. Dia lalu meraih tangan Leighton yang telanjang, dengan hotpack yang tergenggam di antara kedua tangan mereka.
“Begini baru hangat, terima kasih,” ujar lelaki itu seraya memasukkan tangan mereka yang tergenggam ke dalam saku jaketnya.
Leighton tidak berkata apa-apa, hanya tersenyum, tapi tidak keberatan dengan aksi spontan yang Siwon lancarkan padanya. Tangan lelaki itu terasa dingin menjalar ke atas lengannya, tapi kelamaan beku itu menguap dan terganti dengan kehangatan yang melingkupi seluruh tubuhnya. Dia bahkan tidak menyadari bahwa dirinya sudah berhenti menggigil begitu Siwon menggenggam tangannya. Mereka berjalan pulang dalam keheningan.
“Oh, bukankah itu Yang Seungho?”
Langkahnya terhenti. Siwon ikut berhenti mendadak di sampingnya.
Leighton juga melihatnya, apa yang Siwon lihat tak jauh di hadapan mereka. Seungho keluar dari gerbang rumah Siwon, dengan senyum lebar berjalan ke mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Leighton melangkah mundur dan menyembunyikan diri di belakang tubuh Siwon, membuat lelaki itu kebingungan.
“Ada apa? Kau tidak ingin menemuinya?” Siwon berbalik dan menghadapnya. Seperti sebuah instruksi tanpa kode, lelaki itu menyengajakan diri menjadi tameng untuk menyembunyikan Leighton dengan tubuhnya, seperti yang gadis itu inginkan.
Leighton menggeleng. Dia jelas bukan alasan Seungho berada di sana. Lelaki itu menemui Siryeol, dan dia benci melihat pemandangan ini.
“Ada apa?” Siwon bertanya lagi, menuntut jawaban.
“Kami bertengkar hebat. Aku tidak ingin bicara dengannya.”
Leighton harus berbohong. Dia tidak ingin Siwon tahu apa yang tengah terjadi di antara mereka. Lelaki itu tidak akan suka bila tahu Seungho kini berhubungan kembali dengan Siryeol, sementara adik gadisnya itu telah memiliki seorang kekasih. Dia juga tidak ingin terlalu menunjukkan perasaannya pada Seungho di depan lelaki itu, entah kenapa.
Dari balik bahu Siwon, Leighton bisa melihat Seungho sudah berada di dalam mobil dan pergi. Seungho tidak melihat mereka di sini, dan perasaannya buruk sekali saat itu. Leighton kemudian menarik tangannya dari dalam genggaman Siwon, meminta bawaannya kembali dan berpamitan untuk terlebih dulu pergi kembali ke rumahnya.
Dari sisi kanan kepalanya, Leighton menarik sebuah hair-comb yang terpasang pada rambutnya yang tergelung. Hiasan rambut itu berbentuk memanjang, dengan ukiran kupu-kupu di tengahnya berhiaskan batu intan. Siwon memberikan hiasan rambut itu pagi ini saat sarapan bersama, sebuah hadiah yang tidak bisa dia tolak, atau tidak boleh, lebih tepatnya. Siwon tidak pernah menerima penolakan, apalagi kalau itu dari dirinya.
“Kenapa kalian semua harus membuatku bingung?” Leighton bermonolog, bicara pada hiasan rambut di tangannya. “Apa aku salah bila memutuskan datang ke Korea? Ini salahku sejak awal?”
“Gyejangnim, ada tamu yang ingin menemui Anda.”
Ketukan pintu di sudut ruang kerja membuyarkan kesibukan Leighton merutuki diri sendiri. Leighton menaruh hiasan rambutnya ke sisi kepalanya, dan menoleh menjawab panggilan asistennya.
“Siapa?”
Tepat begitu Leighton menanyakan identitas tamunya, sang asisten menyilakan seseorang masuk ke dalam ruangannya. Leighton beranjak dari sofa saat melihat orang itu. Shim Changmin, lelaki yang selalu memberikan kesan keseganan yang besar kini berdiri di hadapannya.
“Kau sedang sibuk?” Changmin bertanya, agak canggung.
Leighton menjawabnya dengan bahu yang terangkat, lalu mempersilakan lelaki itu duduk. Changmin menolak, lelaki itu memilih tetap berdiri dan beralasan kunjungannya tidak lama. Bila dia masih berada di Amerika saat ini, sikap Changmin tidak akan menyinggungnya, tetapi lelaki itu memang terlalu blak-blakkan untuk ukuran orang Korea, dan Leighton tidak begitu menyukai ketidaksopanannya.
“Ada yang bisa kubantu?”
“Umm, aku hanya ingin memberitahumu. Sikapku beberapa waktu yang lalu mungkin telah membuatmu bingung, jadi aku meminta kau untuk melupakannya. Anggap saja aku tidak pernah datang dan mengatakan sesuatu.”
Jadi begitu. Memang dasar Shim Changmin. Lelaki itu tepat seperti yang Siryeol deskripsikan padanya selama ini. Tidak tahu perasaan, dan sangat gengsian. Bahkan dalam keadaan seperti ini Changmin tidak ingin mengakui kalau dia benar-benar menyukai Siryeol, malah memutuskan untuk melupakannya.
Leighton tidak yakin harus bersikap bagaimana pada awalnya. Apakah dia perlu melakukan apa yang Changmin suruh, atau sebaliknya. Karena pada dasarnya apa yang terjadi di antara mereka berdua memang bukan urusannya, tapi di sisi lain, Leighton seperti merasa mereka berada di pihak yang sama. Dia tidak yakin bila Changmin mengetahui sesuatu tentang Siryeol dan Seungho, tapi melihat gelagat Changmin yang terlihat sangat panik malam itu, ini berarti ada sesuatu yang berbeda dari Siryeol. Seorang Shim Changmin tidak bersikap seperti layaknya Shim Changmin saat itu, dan itu menarik.
Tidak sampai dua detik Leighton telah memutuskan. Sorot mata Changmin yang memohon kini telah tergantikan dengan sebuah keseriusan yang dalam, sarat dengan ketidakpedulian, dan ketidakramahan yang besar, seolah memperingatkan Leighton agar tidak ikut campur dalam masalahnya. Maka Leighton menurut, dia menaikkan kedua alisnya.
“Kau datang dan mengatakan sesuatu? Kapan?” Ini respon yang sempurna. Kalau Changmin ingin dia melupakannya, maka itulah yang dilakukannya.
Melihat sepertinya mereka telah mendapatkan kesepakatan tak tertulis ini, Changmin mengangguk. Puas. Dan dia kemudian berpamitan pergi.
“Apakah Jung Yunho juga di Seoul sekarang?” Leighton bertanya sesaat Changmin berbalik. Lelaki itu berhenti melangkah, dan menoleh padanya.
“Ya.”
“Kau tahu di mana dia bila aku ingin menemuinya?”
Changmin merapatkan bibir, mengerling curiga. Lelaki itu mungkin tidak pernah tahu tentang pertemanannya dengan Yunho, dan Leighton tidak heran melihat Changmin sedikit ragu-ragu berbagi informasi dengannya.
“Dia di apartemennya kurasa. Dia bilang akan langsung pulang begitu kami berpisah tadi,” ujar Changmin beberapa detik kemudian. Lelaki itu kembali menganggukkan kepala sebagai bentuk pamit, dan kemudian melangkah meninggalkan kantor Leighton.
Dan Leighton tidak membuang waktu. Dia segera menyambar tas dan juga mantelnya, menyuruh asistennya untuk membereskan pekerjaannya dan berpamitan pergi.
“Aku tidak akan kembali ke kantor, tolong bawa saja gaun-gaun di kantorku ke rumah, tinggalkan di dalam ruang manekin.” Leighton menyerahkan sebuah kartu pass pengamannya pada sang asisten dan bergegas keluar kantor. Dia menyetop taksi di pinggir jalan, meminta sang sopir mengantarnya ke sebuah komplek apartemen tempat Yunho tinggal.
Leighton tahu yang dilakukannya saat ini sudah kelewat memaksa. Dia tidak pernah memiliki determinasi sebesar ini saat mengejar seseorang. Dia bahkan tidak melakukan hal semacam ini untuk mencari perhatian Seungho. Hanya saja Yunho pun sudah kelewat batas, lelaki itu tidak mengacuhkannya, atau bahkan menganggapnya ada, setelah semua itikad baik yang mereka lalui dalam janji persahabatan yang Yunho tawarkan padanya.
Hal ini sangat mengganggunya. Dia tidak keberatan dengan orientasi seksual Yunho. Dia tidak pernah mengharapkan lelaki itu akan menyukainya. Leighton menganggap Yunho seperti pengganti Seungho selama keabsenan sahabatnya itu di sisinya. Persahabatan yang singkat. Bagi Yunho mungkin beberapa bulan ini hanyalah bentuk pendekatan terhadap seorang rival, tapi bagi Leighton, lelaki itu adalah teman terbaiknya. Dan dia tidak berniat untuk kehilangan teman seperti Yunho dalam waktu dekat, tidak dalam keadaan seperti ini. Dia tidak peduli bila lelaki itu membencinya, apapun yang terjadi Leighton tidak ingin perasaan yang Yunho simpan untuk Siwon merusak persahabatan mereka. Ini sama sekali tidak lucu.
“Oppa, buka pintunya. Aku tahu kau di dalam.” Leighton menoleh untuk mengawasi keadaan sekitarnya, dan menekan bel sekali lagi. Ini bukan pertama kalinya Leighton berada di sana, Yunho pernah mengajaknya berkunjung ke apartemen lelaki itu beberapa bulan yang lalu.
Leighton harus berhati-hati, karena beberapa penggemar tampak terlihat berkemah di depan gedung apartemen saat dia masuk tadi. Beberapa di antara mereka bahkan berusaha mengintip kombinasi angka yang dimasukkannya pada mesin pemindai saat hendak naik lift, dia harus jaga-jaga bila ada orang di sana. Dia tidak ingin kunjungannya ini akan menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu.
“Oppa, kita harus bicara, buka pintunya,” ujar Leighton. Dia mengetuk pintu lebih keras.
Sedetik kemudian pintu terbuka, tidak begitu lebar.
“Kau tahu, setelah kau masuk, aku mungkin tidak akan membiarkanmu keluar lagi.” Yunho muncul di sela-sela pintu itu dan menatapnya dengan tidak ramah.
Leighton mencelos. Lelaki itu tidak seharusnya bersikap seperti ini padanya, tapi ini mungkin pertanda angin segar. Selama beberapa saat tadi Leighton sempat berpikir Yunho akan membuatnya mengetuk sepanjang malam dan membiarkannya tetap di luar.
Napasnya tertarik dalam. “Biarkan aku masuk,” katanya kemudian.
Pintu ditutup. Leighton menghela napas. Tidak sampai satu detik pintu kemudian dibuka kembali, lebih lebar, dan Yunho menariknya masuk dengan kasar.
Leighton sama sekali tidak sempat memahami apa yang terjadi, saat gerakan itu begitu cepat dan dia sudah terdesak di balik pintu. Yunho menarik lengannya dan mendorongnya hingga punggungnya membentur pintu dengan keras. Tasnya terhempas ke lantai. Leighton terhenyak.
“Kenapa? Kenapa kau datang? Bukankah sudah kukatakan padamu kalau aku membencimu? Tapi kenapa kau masih bersikeras ingin menemuiku?” ujar Yunho tepat di depan wajahnya. Lelaki itu mengurungnya di antara dua tangan yang bersandar di sisi kepalanya.
Yunho terlihat sangat marah. Leighton tidak pernah melihat lelaki itu seperti ini sebelumnya, seluruh kehangatan, juga senyum dan tawa yang biasanya selalu menghiasi wajah yang ramah itu kini menghilang, tergantikan dengan amarah. Leighton bahkan tidak mengerti kenapa Yunho merasa terkhianati seperti ini, sementara selama ini yang dilakukannya hanyalah menjadi teman palsu lelaki itu.
“Oppa, aku…”
“Kau menyukaiku, ya?” Yunho memotong kalimatnya, “Semua yang kukatakan padamu, kau menganggapnya sebagai lelucon, dan kau tidak bisa pergi dariku bahkan setelah aku menyuruhmu pergi. Kenapa? Kau benar-benar menyukaiku?”
“Oppa…”
“Berhenti panggil aku Oppa!!” Yunho berteriak, meninju pintu di sisi kepala Leighton.
Jantungnya terasa berhenti berdetak. Leighton mengangkat satu tangannya menyentuh lengan Yunho untuk menenangkannya. Lelaki itu menepis tangannya.
“Kenapa kita tidak lupakan saja? Hubungan apapun yang kau miliki bersama Siwon, aku tidak akan ikut campur. Kau dan perasaanmu, kisah kalian, aku tidak mau tahu. Tapi jangan bersikap seperti ini, kau berjanji kita akan berteman.”
“Aku tidak ingin berteman, Leighton, karena aku membencimu. Karena tiap kali kami bersama yang dibicarakannya hanya kau, dan kau terlalu mudah ditaklukkan. Kau, dan juga para perempuan bodoh yang dengan mudah termakan rayuannya, kalian semua sama saja.”
Yunho tidak akan pernah tahu betapa Leighton sangat terluka mendengar kalimat itu terlontar padanya. Serendah itu penilaian Yunho padanya selama ini, setelah semua obrolan dan lelucon yang mereka buat tentang para wanita Siwon, dan kini Yunho mengatakan bahwa dia tidak berbeda dengan para social-climber itu.
Sudah cukup. Leighton telah mendapatkan jawaban yang diinginkannya, tidak ada lagi yang perlu dia dengarkan bila kunjungannya hanya untuk mendengar Yunho mengata-ngatainya dengan kalimat menyakitkan semacam ini. Leighton menarik diri, mengangkat kedua tangannya mendorong dada Yunho menjauh hendak melepaskan diri, tapi lelaki itu mendorongnya kembali dengan keras.
Leighton mengaduh, benturan di pintu membuat seluruh kepalanya terasa nyeri.
“Aku tidak akan mengemuimu lagi, biarkan aku pergi.”
“Kau tidak ingat? Bukankah tadi aku bilang setelah kau masuk aku mungkin tidak akan membiarkan kau pergi. Mungkin itu sekarang sudah berubah jadi ‘pasti’. Aku tidak akan membiarkanmu pergi.”
“Lalu apa yang akan kau lakukan? Menyekapku di sini sampai mati?”
Tatapan kedua mata Yunho begitu tajam sempat membuatnya berpikir kata-katanya tadi mungkin tengah lelaki itu pertimbangkan saat ini, tapi yang Yunho lakukan bisa saja lebih buruk. Leighton merasa batuan es seolah menjalar dari ujung kaki ke atas kepalanya, jantungnya berdetak kencang tidak karuan.
Leighton sangat mengenal tatapan mata yang Yunho sorotkan padanya saat ini. Intensi itu. Gairah. Tangannya gemetar.
“Aku membencimu, Leighton, kau membuatku muak…” Yunho menyusuri wajah Leighton dengan jarinya, suaranya terdengar lembut, tapi tanpa maksud yang berbanding lurus dengan arti yang terkandung di dalamnya.
“Tapi Siwon sangat menyukaimu, dan itu membuatku kesal. Kau adalah kelemahan terbesarnya saat ini, kau tahu? Untuk menyerangnya aku hanya perlu menggunakanmu, kasian sekali. Kau seharusnya tidak pernah datang ke Korea, kau telah membuat kesalahan yang besar, Sayang.”
Setetes air mata mengalir di sisi wajah Leighton. Dia tidak berkata apa-apa, tidak bisa. Tubuhnya yang menegang membuat mulutnya terkunci, kedua tangannya mencengkeram kaos yang Yunho kenakan, berusaha menjaga jarak mereka dalam batas aman.
“Please…” Leighton memohon, tapi kata-katanya tidak didengarkan. Saat itu juga Yunho kembali menepis kedua tangannya, lelaki itu mencengkeram rahangnya dengan satu tangan, mendesaknya ke pintu dan menciumnya.
Leighton tidak bergerak ketika Yunho semakin merapatkan tubuhnya, dan melumat bibirnya dengan kasar. Cengkeraman lelaki itu di sisi wajahnya begitu keras. Dia hanya bisa menahan sakit, ketakutan.
Kejadian bertahun-tahun silam seolah terjadi lagi di depan matanya. Seluruh rasa ngeri, dan juga mimpi buruk itu terputar di dalam kepalanya. Leighton ingin berteriak, dia ingin memberontak, tetapi otot-ototnya terkunci. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, tidak mampu bergerak. Air matanya mengalir deras. Lelaki itu menyakitinya.
Leighton tidak berani membayangkan apa yang akan Yunho lakukan padanya. Saat lelaki itu menarik kerah kemejanya dengan kasar, Leighton bisa mendengar suara kancing yang terlepas dan gemeletak ke lantai. Leighton menarik diri saat menemukan celah, membuang wajahnya ke arah lain seraya berusaha menggapai udara. Dia telah menemukan kekuatannya, mendorong Yunho dengan kedua tangannya, berusaha memberontak.
Semua itu terjadi begitu saja. Sebuah gerakan dari balik pintu menghentikan Yunho. Mereka berdua membeku saat bel apartemen lelaki itu berbunyi.
Mereka diam. Yunho kembali menatapnya, lekat. Jarak lelaki itu begitu dekat, Leighton bahkan bisa merasakan hembusan napas Yunho yang memburu di wajahnya.
Di saat seperti ini sebenarnya adalah saat yang tepat bagi Leighton untuk melarikan diri. Dia bisa berteriak minta tolong, pada siapapun yang menekan bel di balik pintu. Mereka hanya terpisah oleh papan kayu setebal tiga senti, suaranya pasti akan terdengar dari luar bila dia berusaha memberitahu keberadaannya.
Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Leighton membisu. Satu-satunya gerakan yang tidak statis di antara mereka berdua hanyalah air matanya yang tidak berhenti mengalir, tekanan kedua tangan Yunho di tubuhnya seperti sebuah lakban yang merekatkan bibirnya rapat.
“Yunho ya, kau di dalam?”
Leighton mengenal suara itu. Suara Siwon. Demi Tuhan!
Siwon menekan bel beberapa kali, tapi Yunho tampak tidak berniat untuk membukakan. Yunho hanya diam, tatapannya mengawasi Leighton. Dia sudah siap untuk membekap gadis itu bila bersuara, tapi hanya keheningan yang tercipta di sana.
Dari posisi mereka, Leighton bisa mendengar Siwon seperti sedang menghubungi ponsel Yunho, meninggalkan pesan di sana, mengatakan bahwa dia sedang berdiri di depan pintu apartemen lelaki itu dan menyuruh Yunho menghubunginya begitu menerima pesan ini.
Kemudian suara langkah menjauh terdengar. Leighton kembali panik.
Jangan pergi. Leighton mulai terisak. Dia berdoa di dalam hatinya agar Siwon tidak meninggalkannya, tapi dia tidak mendengar suaranya lagi. Yunho menciumi lehernya.
Dia harus melakukan sesuatu. Dia tidak bisa terus berada di sini dan berakhir entah dalam keadaan apa, dan saat itulah dia teringat sesuatu. Tanpa kentara, Leighton menggerakkan tangannya, merogoh ke dalam saku mantel di sisi tubuhnya, menemukan Blackberry-nya di sana. Dia menekan tombol ponselnya itu sembarangan, dengan dugaan tombol itu akan menggiringnya pada panggilan terakhir yang masuk ke ponselnya, dan menghubungi nomor itu.
Saat mendengar samar ponsel berdering di luar sana, Leighton hanya bisa memejamkan matanya.
Tolong datanglah… Jangan tinggalkan aku, tolong datanglah…
Dan Leighton merasakan tangan Yunho menelusuri tubuhnya, dari leher ke sepanjang lengannya. Lelaki itu menarik tangannya keluar dari dalam saku mantel, dan menarik diri ketika menemukan ponsel yang tergenggam di tangan Leighton. Yunho mengeceknya, dan mendesis pelan saat melihat ponsel itu dalam keadaan menelepon seseorang. Dia segera mematikan sambungan teleponnya.
“Sudah kubilang kau bodoh, aku sama sekali tidak salah,” ujarnya pelan di telinga Leighton.
Tidak sampai detik berikutnya, Blackberry Leighton berdering. Yunho hanya bisa menatapnya, kemudian kembali menatap Leighton yang masih tidak bergerak di dekatnya. Ponsel Leighton berhenti berdering. Dia menghitung detik.
Di angka ke-tiga ponselnya kembali berdering, kini dengan sebuah suara lain. Gedoran di pintu dan suara Siwon yang memanggil namanya.
“Leighton? Kau di dalam? Yunho, buka pintunya!”
Leighton ingin berteriak, tapi Yunho membekap mulutnya. Lelaki itu mencengkeram lengannya, tidak ingin melepaskan. Di luar pintu Siwon masih menggedor pintu. Lelaki itu kembali menelepon ponsel Leighton yang berbunyi nyaring untuk memastikan dirinya berada di dalam, dan semakin mendesak Yunho membukakan pintu.
Jangan pergi. Tangis Leighton semakin deras, Yunho mencengkeramnya semakin keras, dan kemudian Leighton mengerang.
“Leighton?! Jung Yunho! Buka pintunya atau kudobrak masuk!”
“Baiklah, kembalilah pada pangeran tampanmu itu, Bodoh.” Yunho mendorongnya menjauhi pintu hingga jatuh ke lantai, kemudian membukakan pintu untuk Siwon.
“Kau berisik sekali.” Lelaki itu berujar dengan tenang.
Sementara di dekatnya Leighton berusaha menenangkan dirinya, dan menghapus air matanya cepat-cepat ketika Siwon berhambur masuk dan berjongkok di dekatnya.
“Ya Tuhan, apa yang dilakukannya padamu?” Siwon langsung beranjak dan menghampiri Yunho, “Apa yang kaulakukan padanya??” Dia mendorong lelaki itu keras ke pintu, dan memukulnya sekali.
Bukk!
Melihat pemandangan itu Leighton segera berdiri dan menghampiri mereka. Kedua laki-laki itu harus segera dipisahkan. Perkelahian mereka akan mengundang perhatian para penghuni apartemen lainnya, dan ini tidak akan menjadi berita yang sedap dikonsumsi massa. Leighton melerai mereka, menyuruh Siwon berhenti memukuli Yunho.
“Siwon ssi, Siwon ssi! Hentikan!” Leighton menarik Siwon dari belakang, merebut perhatian lelaki itu kembali padanya. “Kita pergi dari sini, kumohon, kita pergi sekarang.”
Leighton menarik Siwon semakin keras menggunakan tenaganya. Dia sama-sama tidak berani menatap wajah kedua lelaki itu, begitu menarik Siwon, dia membiarkan lelaki itu menyambar tasnya dan meninggalkan apartemen Yunho dengan lengan yang terkait di tubuhnya, posesif.
“Demi Tuhan, apa yang kau lakukan di sana, Leighton? Lihat apa yang akan dilakukannya padamu kalau aku tidak kembali,” Siwon membantu Leighton merapikan diri. Lelaki itu menatapnya prihatin, dengan kilat amarah yang tercetak jelas di sudut wajahnya.
“Aku baik-baik saja, oke?”
“Kau baik-baik saja katamu? Seperti ini kau bilang baik-baik saja?”
“Ini salahku, aku yang memprovokasinya.”
“Dan aku seharusnya membunuhnya tadi.”
“Kau tidak akan melakukan apapun padanya. Demi Tuhan, berjanjilah padaku, jangan ikut campur. Ini masalahku dengannya.”
Siwon menggeram kesal dan meninju dinding lift, Leighton melangkah mundur saat melihatnya. Waswas.
“Maaf, aku tidak bermaksud…” Siwon menarik napasnya dalam, bersandar di dinding lift dan menenangkan dirinya.
Leighton tidak bermaksud membuat suasana menjadi kacau. Dia pun tidak pernah melihat Siwon sekesal ini. Sekarang setelah apa yang lelaki itu saksikan, hubungannya dengan Yunho tidak akan berjalan baik lagi seperti dulu. Ini membuatnya merasa bersalah.
“I’m sorry.”
“Kenapa kau meminta maaf? Aku tidak mengerti…” Siwon menatap Leighton tidak habis pikir, dia tidak melanjutkan kalimatnya. “Kemarilah,” katanya kemudian mengulurkan kedua lengannya, menawarkan pelukan.
Ya. Saat ini Leighton memang membutuhkannya. Sebuah pelukan. Tubuhnya masih gemetaran, dan masih belum hilang rasa takutnya setelah insiden mengejutkan yang baru saja terjadi padanya. Dia memang memerlukan dua lengan yang melingkari tubuhnya dengan erat, menyimbangkan detak jantungnya yang tidak karuan dan menenangkannya. Tapi bukan dari Siwon.
“Aku baik-baik saja,” Leighton berkata sekali lagi. Dia memutar tubuhnya ke arah pintu lift, memandang dirinya dari pantulan dinding pintu. Keadaannya sangat kacau.
“Kau mau mengantarku?” Leighton bertanya. Dia menoleh menatap Siwon yang masih terdiam bersandar di dinding.
“Aku akan mengantarmu ke dokter.”
“Tidak, tolong antarkan aku ke suatu tempat saja. Ada seseorang yang harus kutemui.”
Siwon menghela napasnya. Dia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
* * *
“Ada masalah dengan Siwon oppa?”
Kyuhyun tersenyum menjawab pertanyaan yang Victoria lontarkan begitu sambungan teleponnya berakhir. Dia menggeleng.
“Biasa. Dari satu kegalauan pada kegalauan yang lain, kakak beradik Choi selalu memiliki masalah yang sama.”
Victoria tertawa geli mendengar jawabannya. Gadis itu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan selalu memiliki cara untuk mengorek sebuah informasi dengan cara yang pintar. Dia tidak memberitahu gadis itu bahwa Siwon yang baru menghubunginya, tapi Victoria selalu tahu. Selalu menyenangkan bermain detektif dengan gadis itu.
“Tapi wajahmu serius sekali tadi. Kalian seperti sedang membahas misi menaklukkan dunia. Ini membuatku teringat forum netizen yang kutemukan kemarin,”
“Oh ya? Mereka membahas apa?” tanya Kyuhyun pura-pura tertarik. Dia sudah kembali duduk di hadapan Victoria dan memakan sandwich menu makan siang yang sengaja gadis itu buatkan untuknya. Mulai lagi obrolan mereka tentang netizen, Kyuhyun hampir bosan dengan bahasan ini dan itu tentang apa kata orang, tapi dia tidak menolak mendengarkan. Pokoknya, apa pun, selama itu Victoria yang mengatakannya, dia akan selalu bersedia mendengarkan.
“Humm,” Victoria mengerucutkan bibirnya. Kyuhyun selalu suka bila gadis itu melakukannya. “Sesuatu tentang sangat tidak bijaksana bila kau membuat masalah dengan dengan keluarga Cho, atau keluarga Choi, karena kalian adalah salah satu yang berkuasa di Korea. Mereka banyak membahas tentang hal-hal ‘tersembunyi’ yang kalian lakukan, sesuatu yang sempat membuatku merasa sedang berpacaran dengan yakuza,” ujar gadis itu dengan tempo yang cepat dan jenaka, lalu menertawakan kata-katanya sendiri seolah itu sangat lucu.
Kyuhyun ikut tertawa, pelan. Dia tahu banyak orang yang membicarakan keluarganya, yang sebatas di forum online saja. Nyatanya memang tidak ada yang benar-benar berani menyatakannya secara gamblang, dia tidak bisa mengatakan apa yang Victoria katakan sepenuhnya salah.
“Tidak ada pembelaan diri? Tidak berusaha membersihkan nama keluargamu?” Victoria bertanya lagi, masih belum berniat mengakhiri topik bahasan asiknya.
Kyuhyun kembali tertawa, “Aku tidak peduli apa kata orang, dan menurutku, kau harus berhenti membaca forum-forum seperti itu. Pakailah cara lain untuk belajar bahasa Korea, kau tidak akan mendapatkan apapun dengan mengikuti orang-orang bergosip,” katanya seraya mengetukkan sumpitnya pada dahi gadis itu saat mengatakannya.
“Aku tahuuuuu, tapi mengikuti gosip itu menarik. Ah, aku jadi ingat, netizen sering membahas tentang TVXQ belakangan ini. Bagaimana Changmin?”
“Dia baik-baik saja. Kau tahu, seperti Shim Changmin biasanya saat dia sedang jatuh cinta.” Kyuhyun mengangkat bahunya. Dan kini mereka akan membicarakan Changmin, satu hal lain yang membuatnya bosan. Kehidupan Changmin membosankan baginya, dan segala tetek bengek mengenai lelaki itu.
Victoria mengangkat kedua alisnya, “Changmin tidak pernah melakukan apapun saat jatuh cinta.”
“Tepat sekali. Seperti itulah kabarnya.” Kyuhyun tersenyum lebar, kemudian mengunyah potongan terakhir sandwichnya sebelum meneguk habis jus jeruk dari dalam tumbler milik Victoria. Dia mengangkat tangan, menatap jam tangannya.
Kyuhyun kemudian mengerang. Waktu sepertinya berjalan cepat sekali bila mereka tengah berdua. Sepertinya baru semenit yang lalu mereka bertemu. Keduanya sama-sama meluangkan waktu beberapa menit jeda latihan dan bekerja untuk mengobrol sebentar, dan kini waktunya sudah habis.
“Aku masih ingin mengobrol, Vic, tapi rekaman bersama yang lain akan segera dimulai, aku tidak boleh terlambat. Dan akan ada Choi Siryeol di sana, aku harus menemuinya.”
“Ayolah, tinggalkan dia sendiri. Kau sepertinya tidak akan pernah puas mengganggunya.”
Kyuhyun tergelak. Memang hanya Victoria yang akan melontarkan komentar semacam ini, tapi sejak kapan dia bisa meninggalkan seorang Choi Siryeol sendiri? Gadis itu terlalu menyenangkan untuk tidak diganggu, apalagi setelah skandal rahasia kecilnya yang terbongkar. Kyuhyun tidak bisa tidak meluangkan waktu untuk membuat gadis itu kesal, bagaimanapun caranya.
“Lain kali aku akan membiarkan kau melihat ekspresinya bila sedang marah. Sungguh, itu adalah pemandangan yang tidak ingin kau lewatkan.”
“Kau sebegitu menyukainya, ya?” Victoria mengerucutkan bibirnya lagi, bersedekap defensif.
“Aku jauh lebih menyukaimu, Cantik. Sampai ketemu nanti, kita nonton film horor tengah malam.” Kyuhyun mencondongkan tubuhnya untuk mengecup bibir Victoria, kemudian beranjak dan melangkah pergi.
“Tidak akan lupa!”
“Oh, siap-siaplah ketakutan kalau begitu,” ujar Kyuhyun seraya tertawa lebar, berkedip nakal dan bergegas meninggalkan kafetaria.
Dipikir-pikir lagi, apa kata Victoria memang tidak salah. Dia harus lebih menahan diri bila kaitannya dengan menghadapi Choi Siryeol. Hubungan dekat keluarga mereka, juga pertemanannya dengan Siwon sedikit banyak berimbas pada bagaimana dia memperlakukan gadis itu seperti bagian dalam inner circlenya sendiri. Choi Siryeol bukan tipe gadis kesukaannya kalau boleh jujur, kecenderungan anak perempuan itu dalam membuat masalah tidak pernah menjadi poin utama yang membuat Siryeol istimewa di matanya. Dia memang bukan sepenuhnya lelaki baik-baik, tapi lelaki seperti dirinya lebih menyukai wanita yang manis dan penurut. Siryeol jauh dari dua syarat utama itu, menjadi temannya saja Kyuhyun kadang harus berpikir dua kali.
Satu hal mengenai Choi Siryeol, adalah bahwa Kyuhyun tidak tahan bila tidak mengkonfrontasi gadis itu secara terbuka. Ada keasikan tersendiri saat gadis itu menyatakannya sebagai musuh abadi. Mungkin karena selama ini orang-orang cenderung mengiyakan kata-katanya, dan juga melakukan apapun yang diinginkannya. Jadi ketika seseorang lebih suka menistakannya dengan uraian singkat yang tajam, Kyuhyun merasa tertantang. Siryeol seperti mainan baru bagi anak berumur lima tahun, keantusiasan yang didapatkannya selalu memuaskan.
Segala sesuatu tentang Siryeol terasa menarik dan menyenangkan belakangan ini, dan itu termasuk skandal kecilnya yang melibatkan salah satu teman baiknya. Shim Changmin selalu merasa bahwa dirinya pintar karena tidak mudah dikelabui, tapi bagi Kyuhyun, temannya itu tidak lebih baik dari laki-laki idiot.
Seingat Kyuhyun, Changmin tidak pernah selemah ini di hadapan wanita. Lelaki itu memang pakarnya bersikap dingin, cenderung mengontrol dan menunjukkan siapa yang lebih berkuasa saat tengah berhubungan dengan seorang gadis. Setidaknya karakter itu terlihat sangat jelas ketika Changmin masih berpacaran dengan Victoria, sikap yang membuat gadis itu jengah, tapi mereka mampu bertahan cukup lama hingga hubungan itu berakhir dalam dua tahun. Tapi kali ini, entah apa yang sudah merasuki diri temannya itu hingga membuatnya buta, hanya karena seorang gadis yang dulu bahkan dipandangnya sebelah mata.
Kyuhyun sangat yakin Changmin pasti merasakan sesuatu. Meski laki-laki itu mulai buta, setidaknya Kyuhyun percaya masih ada sisa peradaban cara berpikir logis yang masih membenalu di dalam otaknya. Siryeol boleh berpura-pura, atau masa bodoh mengenai skandalnya dengan Yang Seungho, tapi tidak ada yang bisa memungkiri bahwa jalan belakang yang dia tempuh bersama pria itu sudah menjadi rahasia umum di dalam industri. Berita itu tidak sampai dibicarakan banyak orang karena memang tidak ada yang berani membicarakannya secara terbuka. Tapi, Demi Tuhan, melihat Changmin masih bersikap seperti kertas sketsa yang masih bebas coretan semakin lama membuatnya muak. Untung saja Changmin tidak pernah membicarakan masalah ini secara spesifik dengannya, Kyuhyun tidak bisa membayangkan bila suatu saat dia harus bersikap pura-pura peduli bila Changmin tiba-tiba saja meminta pendapatnya. Kalau saat itu terjadi, Kyuhyun berniat untuk pura-pura tidak mendengarkan.
“Kalian tahu apa yang membedakan kita dengan hewan?” Kyuhyun berhasil menyita perhatian Changmin dan Siryeol begitu dirinya muncul di dalam studio rekam. Dia menemukan dua sejoli itu sedang asik dalam dunia mereka sendiri, bahkan tidak memedulikan para junior yang juga berada di sana bersama mereka. Pemandangan yang membuat Kyuhyun jengah, dia menyapa Baekhyun dan Chen dari EXO sebelum memisahkan pasangan yang tengah ‘jatuh cinta’ itu dengan duduk di antara mereka berdua.
Changmin maupun Siryeol menatapnya dengan kesan kau-ini-bilang-apa yang begitu kuat. Keduanya sama-sama menaikkan alis, mungkin hanya Siryeol yang menambahkannya dengan dengus sinis juga bola mata yang diputar tidak mau tahu.
“Karena kita punya akal,” Changmin menjawabnya dengan serius. Kyuhyun agak terkejut karena lelaki itu tidak menanggapinya dengan asal, membahas hal yang serius bersama Changmin biasanya hanya terjadi di tahun kabisat. Kejutan sekali.
“Komunikasi. Adalah satu hal dasar yang membedakan kita dengan binatang. Komunikasi, naluri, insting manusia dengan memakai bahasa. Tanpa bahasa, bagaimana kita bisa saling memahami satu sama lain?” Kyuhyun menoleh ke sisi kirinya, bicara pada Changmin, lalu ke sisi kanannya.
“Meskipun kadang kau tidak perlu bahasa untuk melihat apakah seseorang jujur atau tidak,” ujarnya pada Siryeol. Sarat kode. “Kurasa komunikasi itu penting bila kau ingin benar-benar mengenal siapa pasanganmu, kurasa siapapun juga berpikir hal yang sama. Benar, kan?”
Kyuhyun menoleh ke kanan kirinya, tidak ada satupun di antara dua orang yang mengapitnya menjawab. Maka dia mengangkat bahu, merasa telah menyampaikan pesannya secara tersirat, kemudian beranjak.
“Kelihatannya sesi rekaman belum akan dimulai, ya? Aku ke toilet dulu kalau begitu,” katanya sambil lalu, dan keluar dari studio tanpa lebih banyak bicara lagi.
Dia tidak bisa lagi menahan tawa begitu keluar dari ruang kedap suara itu. Bayangan akan ekspresi dua orang di samping kanan kirinya tadi masih membekas jelas, seperti poster yang terpasang di dinding kamar dan kau tatap tiap malam sebelum tidur. Kyuhyun menertawainya pelan. Sore ini suasana hatinya sedang baik, hari yang cerah untuk mengganggu orang.
Kyuhyun berjalan cepat menyusuri koridor menuju toilet pria yang berada di ujung sisi lain gedung lantai lima. Di lantai itu hanya berisi dua studio rekam dan dua ruang latihan milik TVXQ dan gabungan trainee tertentu yang akan debut. Koridor sepi, seperti biasanya. Dan Kyuhyun baru saja masuk ke dalam toilet pria saat seseorang menarik lengan dan membalikkan tubuhnya paksa.
“You don’t treat me like that, Cho Kyuhyun! Kau tidak memiliki hak apapun berbicara seperti itu padaku. Kau, tidak bisa mengintimidasiku. Tidak usah bermain sindiran, katakan yang sebenarnya pada Shim Changmin apa yang kulakukan kalau memang kau ingin, aku tidak peduli. Berhentilah bersikap seperti anak kecil, kau menyebalkan.”
Kyuhyun agak sedikit terkejut sebenarnya. Choi Siryeol tiba-tiba saja muncul dan melabraknya langsung, di dalam toilet pria. Ini sama sekali bukan pemandangan yang normal bila ada orang yang melihat mereka dalam keadaan seperti ini. Gadis itu tidak menunggunya menjawab, mengklarifikasi, ataupun mengatakan sesuatu sebagai respon. Siryeol mendorongnya ke dinding dengan keras, kemudian berbalik pergi. Begitu saja.
Dia hanya mendengus, mencerna baik-baik apa yang baru saja dia dengar, kemudian tertawa. Choi Siryeol sepertinya tidak sadar penuh apa yang telah dikatakannya. Gadis itu mungkin tidak bisa diintimidasi, tapi dengan kasus yang serupa, Kyuhyun selalu terbuka dengan tantangan yang diajukan padanya. Dia bisa saja melakukan apa yang Siryeol suruh, memberitahu Changmin memang bukan ide yang buruk. Tapi apa asiknya?
“Terima kasih kembali!” ujarnya kemudian, setengah berteriak begitu Siryeol berlalu pergi. Dia kembali tertawa saat didengarnya Siryeol berteriak menyumpahinya dari luar.
Geez, gadis itu tidak menarik sekali.
.
* * * distadee & mythantik * * *
Filed under: fan fiction, series Tagged: Cho Kyuhyun, Choi Siryeol, Choi Siwon, Jung Yunho, Leighton Lee, Shim Changmin, the Gangnam Style, Victoria Song
