TENTANG DIA.
-azureveur © 2013
.
.
Terperenyak di jok mobil milik Oktarino adalah sebuah antalogi. Okta—sebagaimana biasanya ia dipanggil—tak duduk mematung. Bibirnya, yang sebentar-sebentar menjungkit, pasti berusaha memugar kata. Membahas langit? Biru, aku sudah tahu jawabannya. Pun dengan keadaan ruas jalanan Dago yang kerap dipadati ratusan kendaraan. Jemari kurusnya mengetuk pinggiran setir. Dengan sebelah siku bertelekan di atas kerai jendela. Kacanya sengaja dimelorotkan separuh. Ada orkestra kecil yang tercipta. Aku hafal frekuensi radio kegemarannya. 100.4, tanpa celotehan penyiar di balik speaker. Sinkopasi jazz non-stop yang tak berubah sedari tingkat tiga.
“Rin, kok lu diem aja?” Begitu kata Okta setelah lima belas menit berlalu. Aku tak larut. Aku hanya memperhatikan perawakannya. Kemeja putih yang ergonomis, seperti yang ia sandingkan dengan pantalon hitam, dan jas yang menggelendot di kapstok jok belakang. Aku tahu, hari itu terlalu distingtif untuk disepelekan.
“Er? Iya?” Aku terhenyak. Merenggut keliman gaun tunikku.
“Kok lu diem aja sih,” Okta mulai menyenggol bahuku. “Gak seneng ya diundang Dini?”
“Eh, seneng kok.” Aku berusaha menyembunyikan senyum itu.
“Terus kenapa asem gitu?” godanya, disambut tudingan kecil, mengarah ke pucuk hidungku.
“Ah, iya. Mikirin kerjaan.” Tawaku terdengar hambar, lantas menisik wajahnya. Ada gurat lelah di sana. Tapi, aku enggan memberitahu.
“Ih, males banget deh. Kita kan udah janji. Weekend ya buat hangout, bukan ngegalau mikirin gituan. Nih gue. Weekend selalu ke Bandung. Nemunin lu. Padahal Senin gue ada casting lho.”
“Wow. FTV baru ya?” tanyaku sok kaget. Lucu. Mungkin rautku tak pas dengan imbuhan wow seperti yang seharusnya. Kontradiktif ibarat kompliasi akting ala film noir dengan latar urbanis.
“Iya, gitu sih.” Bahunya mengedik. Okta menggeber gasnya hingga jarum odometer menjungkit ke angka empat puluh. “Tapi, udah ah, jangan dibahas dulu. Kan yang penting hari ini.” Giginya memamerkan senyuman khas. Nada bicaranya terimplikasi gelak tawa.
Alih-alih ikut terkekeh, aku tertunduk, memainkan kail penutup tas.
“Coba buka laci itu deh, Rin.” Okta berusaha menggapai laci dasbor di hadapanku. Alih-alih, lampu stopan kontan berubah hijau.
“Eh, sini biar gue aja deh.” Aku buru-buru membuka laci itu, hingga isinya tersingkap nyaris bertemperasan di atas karpet. Kotak Ray-Ban milik Okta, tiket parkir kedaluwarsa, satu lagi, Inferno. Judulnya diembos tebal-tebal dengan efek metalik semi hologram.
“Wow, Inferno-nya Dan Brown, Ta?”
Okta memicingkan mata. “Suka gak?”
“Dapet dari mana nih?” Aku, yang kepalang senang, membolak-balikkan sampulnya berulang-ulang.
“Biasa Egi. Lu ‘kan tau kebiasaan dia.”
Aku mendengus geli. Egi, si kutu buku jadi-jadian yang selalu mengadakan test-drive buku terlebih dulu. Konyol memang.
“Terus ini buat gue?” Aku memutuskan untuk bertanya dua kali.
Okta menekan klakson dengan tak sabar. “Tai lu!” umpatnya, menuding kaca depan. Lampu hijau berubah merah. Ia tak mengacuhkan pertanyaanku. Alih-alih, menarik keluar Djarum Black itu dari saku celananya.
Aku terdiam. Tak melarangnya mencucuh silindris hitam itu dengan pemantik Bic kuning menterengnya. Sinkopasi jazz di radio sejurus dirundung deru mesin motor tetangga.
“Sabar, Ta. Masih lama kok acaranya dimulai.”
“Ugh.” Okta memukul kemudinya frustasi.” Enggak, Rin. Gak lama. Ini bentar lagi. Gue butuh banget bantuan lu.”
Aku mengecek arlojiku sekilas.
“Rin?”
Bibirku digigit keras-keras.
“Rin,” panggil Okta. Mata kami bersirobok. Cokelat seperti yang selalu kusimak kala terduduk berhadapan di sofa depan ruang kepala sekolah.
“Iya, Ta. Santai aja ah, tadi ‘kan lu yang bilang sendiri kalau hari ini weekend. Waktunya buat hangout.” Lidahku pahit saat mengulang frasa gilanya. Weekend tak pernah sinkron untukku. Bagaimana takdir menyetel waktu dan mengabsen detiknya dengan lebih presisi, aku tak pernah ada di situ, merasakan kalau ia pernah alpa untuk membiarkanku tersenyum dengan sebuah status di antara kami berdua.
Okta menarik napas dalam-dalam. Aku dapat mencium aroma teh yang menguar dari puntung Black-nya. Teh bercampur cokelat, parfum yang ia kerap banggakan, seperti deret pariwara di teve lokal.
Aku tak melarang Okta merokok, tak pernah sekalipun. Aku tak memandangnya lama-lama, hingga ia ciut, tak berani menyemburkan gebungan asap itu, memberus rongga paru-paru.
Okta memutar setirnya ke arah kiri, membelok, menembus jalan mungil berbaliho “Bukit Bintang”. Dan aku sudah mengerti, ke mana ia akan membawaku. Kala itu pukul enam di penghujung senja dengan semburat merah muda meruncing di kaki langit. Tangan Okta yang terlebih dahulu menyembul. Menarik slot otomatis pada gagang pintu. Rokoknya disesap hingga tandas. Menyisakan filter yang terselubung di balik lintingan kertas.
Aku melepaskan selt belt dengan bunyi klik mengerdil di balik besutan angin. Okta membuka pintuku. “Rin,” ia memanggilku sekali. Kelotak itu terasa tidak pas, mengantuk permukaan aspal.
Hanya ada padang berambut ilalang. Dan banjaran lampu mikroskopik di kejauhan. “Ini keren, Ta,” aku berbisik kecil di sampingnya.
“Thanks.” Okta menggenggam tanganku. Gelenyar itu membuat tengkukku meremang. Seperti menyaksikan sebuah harapan yang tercipta.
“Er, ini yang lu bilang minta bantuan tadi?” iseng, aku bertanya.
Okta membuang rokoknya, menginjak dengan ujung sol sepatunya. “Bisa dibilang gitu.” Ia menarik napas dalam-dalam. “Rin, kalau seandainya ada yang nembak lu di tempat ini … er, apa respons lu?”
Tatapanku kontan menyalang tak percaya. “Jangan konyol ah, Ta.” Aku memilih tersenyum.
“Enggak. Gue cuma mau tau aja.” Okta balas memandangku dengan mata sayunya.
“Er, mungkin gue terima. Gitu maksud lu?” Pipiku memerah.
“Ah, begitu.” Ada napas singkat di sana. “Jadi, apa menurut lu Dini bakal ngejawab pertanyaan itu dengan respons yang sama?”
Kepalaku menekuri himpunan ilalang. “Gak tau, Ta.”
“Masa? Lu kan sahabat sekantornya.” Okta mendekatkan bibirnya di samping telingaku.
“Dini …”
“Dini kenapa, Rin?”
“Dini mungkin suka hal-hal yang romantis.”
“Beneran?”
Aku mengangguk; menghindari tatapan matanya.
“Cihuy!” Okta melepaskan genggamannya, lebih cepat dari yang kuduga. “Thanks banget buat jawaban lu, Rin. Sumpah gue lega banget sekarang. O ya, maaf buat adegan marah-marah gue tadi. Yang galau sebenernya gue, eh malah gue yang nyoba buat ngehibur lu. Lu emang sahabat gue yang paling oke deh.” Ia mencubit pipiku. Pipi yang terlanjur memerah lantaran ulahnya.
.
.
Tapi, merah tak berarti berani.
Alih-alih tanda untuk berhenti.
Berhenti berharap, seperti yang selalu kucoba selama ini.
Lantaran terlalu banyak yang kumengerti.
Namun, terlalu jauh bagiku untuk memiliki.
Filed under: one shot, original fiction