-
Ama, begitu ia dipanggil, wanita pengantar susu ke kediaman Payton di Pittsburgh. Ia berwajah bulat, berkulit putih pucat dengan banyak bercak-bercak gelap di sekitar tulang pipinya akibat sering terkena sinar matahari. Usianya sekitar tiga puluhan tahun. Tubuhnya tidak begitu tinggi, sekitar empat kaki, namun ia sangat lincah dan cekatan dalam bekerja. Ia tinggal di sebuah kamar sewa di lantai atas sebuah toko buah di pasar Pittsburgh. Tidak ada yang tahu dari mana ia berasal. Ia muncul begitu saja di pasar Pittsburgh dan menawarkan tenaganya kepada orang-orang, menjadi juru masak, tukang cuci atau pengasuh anak hingga kemudian dipekerjakan oleh Tuan Warren, pemilik ternak sapi terbesar di Pittsburgh. Ia bertugas mengantarkan susu segar setiap pagi ke para pelanggannya, termasuk keluarga Payton.
Putri tunggal Payton, Samara sangat menyukai Ama. Ia selalu mencari wanita itu untuk membantunya menjahit pakaiannya yang koyak. Ia akan mencari Ama saat jarinya terluka terkena pisau ketika memotong labu, atau saat ia demam. Ama bisa mengobati banyak penyakit. Samara sangat ingin menjadi seperti Ama yang bisa menyembuhkan. Ia menjuluki Ama sebagai Si Penyembuh.
Peternakan Warren mengalami perubahan yang sangat signifikan semenjak kedatangan Ama. Seluruh sapi perah milik Warren selalu menghasilkan susu segar tanpa henti hingga tiga kali lipat daripada hasil sebelumnya. Tuan Warren menjadi kaya raya.
Namun tiba-tiba Ama berhenti bekerja di peternakan dan seketika sapi berhenti menghasilkan susu. Warren bangkrut dan akhirnya gantung diri di rumahnya setelah memaksa istri dan ketiga anaknya meminum racun hingga tewas.
***
Malam itu sedikit aneh. Ini adalah seminggu setelah tewasnya keluarga Warren. Tidak ada angin yang berhembus sama sekali. Di musim gugur angin akan berhembus cukup kencang hingga membuat daun-daun terlepas dari pohon dan terbang bergulung-gulung sebelum jatuh mengotori pekarangan. Samara merasa gerah di kamarnya. Ia mencoba memejamkan mata untuk tidur namun tidak bisa. Lampu telah dipadamkan dan kamarnya menjadi gelap dengan cahaya tipis dari luar yang masuk melalui jendela yang sengaja dibuka. Samara memiringkan badannya menghadap dinding, berpikir untuk melakukan sesuatu yang bisa membuatnya tertidur.
Sebuah bayangan tipis muncul perlahan di dinding kamarnya. Sangat jelas terlihat akibat pantulan cahaya suram dari luar. Bayangan itu bergerak lurus mendekati tempat tidur Samara sementara anak perempuan itu terbelalak, melihat pergerakan bayangan itu mendekatinya sebelum ia sempat berteriak.
Samara Payton merasakan sesuatu membekap mulutnya. Sesuatu yang sangat dingin. Samara tidak tahu itu apa, tapi ia yakin itu bukan tangan. Ia tidak bisa melihat apa-apa. Mulutnya tercekat. Dadanya sakit dan tidak bisa bernapas. Samara meronta-meronta mencoba melepaskan diri masih berusaha sekuat tenaga mengeluarkan suara dari mulutnya yang dibekap namun gagal.
Apa ini?
“Berjanjilah padaku, Samara Payton, kau akan menggunakannya dengan baik. Jangan pernah balas dendam atau ia akan meminta dirimu.”
Samara yakin mendengar suara itu. Tidak. Ia tidak mendengarnya, tapi merasakannya. Suara itu seperti berasal dari dalam tubuhnya.
Siapa itu?
“Berjanjilah, Samara Payton, kau akan membakarku hingga menjadi abu, atau aku tidak akan bisa melepaskan semuanya.”
Apa?
“Bakar aku dengan batu bara, Samara Payton. Bakar aku hingga semua tulangku menjadi abu. Hancurkan gigiku dengan palu. Jangan biarkan bagian tubuhku tersisa. Lenyapkan aku, Samara Payton.”
Samara Payton tidak bisa merasakan kakinya sama sekali. Ia juga tidak bisa menggerakkan tangannya. Badannya melemah seiring dengan tumpukan oksigen di dadanya yang memaksa untuk keluar. Ia sangat ketakutan.
“Katakan kau akan membakarku, Samara Payton.”
Tolong aku…
“Aku akan menolongmu. Tapi berjanjilah kau akan membakarku malam ini.”
Tolong jangan sakiti aku…
“Samara Payton, aku adalah Ama.”
Samara bisa mendengar suara itu. Ama?
“Aku Ama. Aku adalah Si Penyembuh. Sekarang dengarkan aku, Samara Payton…”
Apa yang dilakukan Ama di sini?
“DENGARKAN AKU, SAMARA PAYTON!”
Samara merasakan sesak berpuluh kali lipat di dadanya begitu mendengarkan suara misterius itu berteriak, tidak di telinganya, entah di mana tapi membuatnya kesakitan di dalam tubuhnya. Tubuhnya berguncang hebat di atas ranjangnya. Ia tahu ia menangis tapi ia tidak bisa mengeluarkan airmatanya.
“Badanku tergeletak di kamarku. Di lantai atas toko buah Nyonya Johnson―kau tentu tahu di mana toko buah Nyonya Johnson. Bawa tubuhku ke perapian di belakang toko. Bakar tubuhku dengan batu bara hingga seluruh tubuhku hancur. Aku sudah menyediakannya―aku sembunyikan di balik keranjang buah di gudang. Jika api di batu bara terus menyala, maka tubuhku―dan juga tulang-tulangku―akan hancur sebelum matahari terbit.”
Tapi aku tidak bisa…
“Kau bisa, Samara Payton. Tentu saja kau bisa melakukannya―”
Kenapa harus aku?
“Karena Dia tidak mengenalmu, Samara. Percayalah padaku.”
Dia?
“Cepat, Samara Payton. Cepat lakukan sebelum aku mati.”
Mati? Kau akan mati?
“LAKUKAN!”
Samara Payton tercampak dari tempat tidurnya menghantam dinding. Ia mengaduh dan merasakan sakit di seluruh tubuhnya. Bekapan di mulutnya lepas. Ini kesempatan. Samara merangkak ke pintu kamarnya―yang tiba-tiba terkunci. Ia berusaha membuka pintu kamarnya, memukul-mukul pintu berteriak minta tolong.
“Ibu! Ayah! Tolong aku!”
“Jangan panggil ibumu, Samara! Atau Dia akan mendengarnya dan membunuh orang tuamu!”
“Tolong aku!”
Samara menyadari ia tetap berteriak namun tidak ada suara yang terdengar dari mulutnya. Ia seperti orang bisu yang hanya menggerak-gerakkan mulutnya tanpa ada bunyi sama sekali.
“Aku mohon, Samara Payton. Tolong aku.”
Suara itu melembut seiring dengan Samara yang merasa ada perasaan aneh di dalam tubuhnya. Perasaan iba dan kasihan terhadap sesuatu yang sama sekali tidak ia tahu.
“Aku mohon, Samara. Bakar aku. Dengan begitu kau akan menjadi Si Penyembuh.”
***
Samara Payton terbangun dengan sakit yang luar biasa di kepalanya. Ia merasa seperti habis ditusuk ribuan jarum jahit yang biasa dipakai Ama untuk menjahit pakaiannya yang koyak.
Ama.
Apa tadi itu kenyataan? Atau hanya mimpi? Apa aku benar-benar membakar tubuh Ama?
Perlahan Samara menggerakkan badannya, menoleh ke samping―memastikan ia memang berada di kamarnya tanpa ada bayangan yang datang dan tiba-tiba membekap mulutnya. Pintu kamarnya terbuka. Ia bisa melihat ruang tengah dan Nyonya Payton yang melintas sekaligus melirik ke dalam kamar. Samara melihat sekeliling. Ia berada di kamarnya. Hari begitu terang. Matahari sudah naik begitu tinggi.
“Kau sudah bangun, sayang? Apa kau baik-baik saja? Kau bangun begitu siang.”
Apa itu mimpi?
“Pagi ini tersebar berita terjadi sesuatu di toko Nyonya Johnson. Perapiannya hancur seperti sengaja dirusak seseorang. Orang-orang juga tidak melihat Ama. Tapi barang-barangnya masih ada di dalam kamarnya. Aneh.”
Tunggu…
Itu bukan mimpi.
Samara melihat badannya. Ia masih mengenakan gaun tidur putih miliknya. Gaun itu terlihat bersih seperti saat ia mengenakannya sebelum tidur tadi malam. Tidak ada bekas arang atau sisa-sisa pembakaran. Samara Payton kebingungan dan ingin bertanya pada ibunya sebelum Nyonya Payton memotong,
“Oh, apa itu? Apa itu pemberian Abigail? Ia masih sempat memberikanmu sesuatu sebelum pernikahannya.” Nyonya Payton menunjuk sebuah kaleng tertutup berukuran sedang di nakas di samping tempat tidur Samara.
Samara tidak ingat jika ia mempunyai barang seperti itu. Ia dan Abigail, teman baiknya suka mengumpulkan benda-benda, tapi ia yakin ia tidak pernah memiliki kaleng seperti itu. Samara menemukan sesuatu yang lain di balik kaleng itu. Sebuah biji hickory.
Samara mencoba mengingat apa saja yang ia lakukan seharian kemarin. Ia tidak bertemu Ama yang bekerja di ladang gandum. Ia bersama dengan Abigail di kebun sayur ibunya, memberi makan anjing peliharaan Patrick, membantu ibunya mengangkat kain yang dijemur, makan malam bersama orang tuanya, dan akhirnya pergi tidur ke kamarnya.
Tunggu,
Ia berlari di kegelapan malam tanpa alas kaki dan mantel hangatnya menuju pasar Pittsburgh, hanya mengenakan gaun tidur putih tipis dengan rambut pirang sebahu yang tergerai, menarik tubuh Ama dari kamarnya menuju perapian di lantai bawah, mencabut gigi Ama dengan jepitan besi perapian dan menghancurkannya dengan palu milik Nyonya Johnson. Ia membakar tubuh Ama dengan batu bara dan api biru yang sangat panas itu dengan cepat menghancurkan tubuh kecil Ama beserta tulang dan tengkoraknya menjadi abu menyatu dengan abu pembakaran kayu dan batu bara. Ia mengumpulkan abu kremasi tubuh Ama ke dalam kaleng bertutup milik Nyonya Johnson yang biasa ia pakai untuk menyimpan biji hickory untuk ditanam di pekarangan rumahnya. Ia menghancurkan perapian batu itu dengan palu sebelum pergi membawa kaleng itu kembali ke rumah, menyusup melalui jendela kamarnya, membersihkan abu yang melekat di gaun tidurnya dengan sikat pembersih tirai hingga gaun tidurnya kembali bewarna putih dan tidur dengan tenang di ranjangnya, tepat sebelum matahari terbit.
Samara Payton benar-benar membakar Ama.
***
Sepuluh tahun kemudian.
Albert Harris menikahi Samara Payton, wanita yang menyembuhkannya dari penyakit aneh yang menyerangnya saat ia bekerja di peternakan bekas milik Harry Warren, pindah ke Harrodsville dan membangun sebuah rumah untuk keluarga kecilnya. Mereka akan tinggal di sana.
Ini adalah tempat yang tepat.
Sebuah lahan kosong yang cukup luas dengan hamparan hutan pinus di belakang. Lahan itu bergelombang membentuk bukit-bukit kecil hingga ke kawasan hutan pinus yang berbukit lebih tinggi. Samara Payton menyukai aroma pinus. Ia akan merasa senang jika setiap pagi menikmati aroma hutan yang segar sebelum memulai pekerjaannya.
Sekarang ia tinggal mencari satu tempat untuk menyimpan rahasianya.
Tiga puluh kaki dari pintu belakang rumahnya, Samara Payton menggali tanah membentuk lubang kecil, memasukkan biji hickory yang ia temukan di jalanan lalu menuangkan isi kaleng yang selama ini ia simpan di langit-langit kamarnya, abu kremasi tubuh Ama.
Pohon hickory itu tumbuh subur dari waktu ke waktu. Pohon itu tumbuh setinggi sekitar dua kaki pertahun dengan suburnya. Samara tidak pernah memperlakukan pohon itu dengan istimewa. Ia tidak pernah memberikan pupuk atau campuran tanah humus, tapi pohon itu bisa bertahan dan tumbuh menyendiri di tanah kosong. Ia akan berdaun rindang ketika musim semi muncul dan akan meranggas bahkan sebelum musim gugur datang.
Ketika Ignatius Harris mulai belajar berjalan, maka tujuannya selalu ke pohon hickory. Ia akan duduk di sana beberapa lama sebelum melanjutkan jalan tertatihnya kembali ke rumah. Hingga Ingnatius berusia empat tahun, ia masih gemar duduk bermain di bawah pohon hickory.
Samara tidak pernah melarang Ignatius. Ia bahkan tidak menjaga Ignatius kecil yang bersenang-senang di bawah pohon hickory. Arwah Ama berada di sekitar pohon itu untuk menjaga putra kesayangannya.
Ama telah tinggal di sana sejak Samara menanam abu kremasi tubuhnya bersama biji hickory yang kini tumbuh menjadi pohon yang kokoh. Ia telah berjanji untuk tetap menjaga keluarga kecil Samara seiring dengan tumbuhnya pohon hickory. Semakin besar pohon itu tumbuh, maka semakin kuat kemampuan Ama untuk menjaga kediaman Harris.
Namun ia juga memberitahu Samara sesuatu tentang dirinya. Ia bukan Ama.
Ia adalah Sarah Mason. Dan ia ingin memperbaiki kesalahannya di masa lalu. Untuk itu ia membutuhkan orang seperti Samara Payton.
***
Namun pohon hickory itu berhenti tumbuh ketika Samara Payton memapah wanita itu masuk ke dalam rumahnya.
Filed under: original fiction, series
