What if I’m tired of being your dirty little secret?
-o0o-
Gadis itu begitu gelisah di tempat duduknya. Ia mengkhianati apa yang seharusnya ia nikmati dengan sepenuh hati. Segelas sampanye, seporsi sirloin dan seorang lelaki yang menatapnya penuh cinta menembus cahaya lilin di antara mereka—seharusnya adalah kombinasi yang sempurna. Namun kombinasi sempurna itu tak mampu menyentuh penghayatannya, seakan semua yang ada di hadapannya itu belumlah cukup.
Jemari gadis itu bersembunyi di pangkuannya, menggenggam erat sebuah ponsel dalam cengkeraman. Layarnya menyala menampilkan sebuah pesan pendek yang langsung dapat dibacanya dengan mudah begitu ia melayangkan pandangan ke arah di mana ponsel itu berada.
Dia menunggunya… Lelaki itu menunggunya.
Gelisah gadis itu kian kentara. Ia menarik nafas dalam. Tarikannya terlalu panjang sehingga lelaki di hadapannya seketika menautkan kedua alis dan lantas menatap gadis itu dengan sorot cemas. Tapi hal itu luput dari perhatian si gadis. Ia semakin menunduk dalam-dalam. Setumpuk perasaan bersalah baru saja ditambahkan pada gunungan dosa yang telah tertimbun di hatinya sejak lama. Hilang sudah keberaniannya untuk membalas tatapan lelaki di hadapannya.
Kenapa lelaki ini harus begitu sempurna?
Kenapa…
-o0o-
Siwon mengira segalanya telah sempurna. Ia bahkan telah meminta bantuan Kyuhyun—sahabatnya—untuk menyiapkan semua ini.
Ia mandi lebih awal dan berdiri di depan cermin tak ubahnya seorang gadis remaja yang baru saja dimabuk cinta. Ia bukan seorang gadis remaja, tapi jelas lelaki itu sedang dimabuk cinta. Sangat mabuk sampai ia kehilangan akal sehatnya.
Bibirnya bahkan tak bisa berhenti menarik ke dua sisi berlawanan membentuk sebuah senyuman konyol selama ia menyisir rambutnya. Ia juga menghabiskan waktu dua kali lipat lebih lama dari yang sudah-sudah hanya untuk memutuskan jas mana yang akan dikenakkannya. Hitam atau abu-abu.
Orang-orang di luar sana mengatakan tidak akan ada gadis yang tidak akan luluh melihat sang kekasih menyiapkan sebuah dinner romantis dengan terpaan cahaya lilin di tengah kesunyian malam—yang seolah menyanyikan lagu cinta hanya untuk mereka berdua. Tidak perlu pujangga untuk menyampaikan perasaan yang tengah meluap di hati karena tatapan mereka seharusnya telah bisa menceritakan segalanya meski tanpa sebait kata. Degup jantung yang mengkhianati ritme di dada mereka, debarannya akan menjalar melalui tangan yang saling terkait.
Segalanya sempurna—seharusnya.
Namun melihat gadis yang dicintainya memucat, gelisah dan menolak untuk membalas tatapannya meski gadis itu berada tepat di hadapannya, maka tahulah Siwon bahwa terkadang ada beberapa hal yang tidak berjalan seperti apa yang seharusnya.
“Hei, kau sakit?” Sorot penuh cinta dalam tatapan lelaki itu kini bercampur dengan kecemasan. Ia mencoba menyentuh dahi gadis itu dengan punggung tangannya. Tidak ada yang salah dengan suhu tubuh gadis itu. Akan tetapi kulit gadis itu yang memucat dan bulir keringat yang satu persatu mulai terbit di dahinya tak membiarkan kecemasan Siwon mereda.
“Soon Yi-ya…” Suara lembut lelaki itu mengalun lembut memanggil nama yang terkasih. Ia mencoba menarik dagu gadis itu agar mau menatapnya. Usaha lelaki itu pada akhirnya berujung sia-sia. Gadis itu tetap menolak untuk membalas tatapannya.
“Maafkan aku Siwon-ah,” Suara Soon Yi teredam dan seakan datang dari kejauhan. “Bisakah kita pulang sekarang? Aku ingin pulang. Maafkan aku…”
Untuk beberapa saat lamanya Siwon terdiam. Perasaan kecewa perlahan mulai merayap di dadanya dan menjalar menuju kepalanya. Senyum lelaki itu telah lama hilang.
Meski begitu, tak ada yang berubah dengan prioritasnya. Soon Yi tetap yang terpenting baginya.
“Baiklah, kita akan pulang. Kau beristirahatlah.” bisiknya. Ia menyapu lembut pipi gadis itu dan tak menyia-nyiakan kesempatannya ketika untuk pertama kalinya malam itu Soon Yi bersedia untuk membalas tatapannya. Lelaki itu memberikan senyumnya—mencoba menyakinkan kekasihnya bahwa segalanya akan baik-baik saja.
Choi Siwon.
Ia lelaki yang sedang dimabuk cinta.
-o0o-
Kegelapanlah yang menyambut begitu Soon Yi membuka pintu rumahnya. Satu-satunya sumber cahaya adalah lampu dari dapur yang memang selalu ia biarkan menyala kapanpun ia akan keluar dari rumah. Gadis itu menutup pintu itu kembali dan mencoba menenangkan perasaannya yang masih bergolak dengan menyandarkan punggungnya ke daun pintu. Akan tetapi ia dapat merasakan seorang lelaki mendekat dengan cepat dan menarik lengannya ke dalam sebuah pelukan.
Sebuah lengan merangkul pinggangnya sementara lengan lainnya menarik kepalanya merapat. Bahkan sebelum ia sadar akan situasi, ia merasakan bibirnya dilumat dalam membuatnya sulit bernafas.
Gadis itu meronta dengan nafas yang tersengal-sengal. Hidungnya tertekan pada pipi lelaki yang tengah menciumnya membuat satu-satunya jalan udara untuk masuk ke dalam paru-parunya menjadi sulit untuk berfungsi. Ia mencoba menahan dada lelaki itu dan mendorongnya mundur— mengurangi sempitnya jarak antara tubuhnya dan tubuh lelaki itu.
Sayangnya semua sia-sia. Ia kalah tenaga.
Soon Yi berhenti meronta. Pasrah dan perlahan mulai membalas ciuman yang mulai terasa menggelitik syaraf-syarafnya dan mengaburkan akal sehat yang ia punya. Lobus otakknya mulai bekerja—menginterpretasi dan mengenali sebuah aroma maskulin khas yang perlahan mulai menelesup ke dalam penciumannya. Ia sangat mengenal aroma itu dan tahu apa yang sanggup dilakukan aroma itu terhadap logikanya. Aroma itu bisa membuatnya hilang akal, mabuk dan juga dapat menenangkannya pada saat bersamaan.
Sekian menit, ciuman itu berakhir. Keduanya saling melepaskan pagutan, namun tidak dengan pelukan mereka. Lengan lelaki itu melingkar kian posesif di pinggang Soon Yi dan tangan gadis itu masih berada di dada sang lelaki—bukan lagi untuk mendorongnya menjauh melainkan untuk mencengkeram agar mereka semakin dekat.
Remang cahaya yang menelusup dari arah dapur membuat Soon Yi dapat melihat mata lelaki yang memeluknya tengah berkilat dengan sorot tak terbaca.
Soon Yi membalas tatapan itu dengan jantung yang berdegup liar. Ia tahu, satu orang lagi yang terluka karenanya malam ini dan ia sama sekali tak senang karenanya.
Lelaki itu memutuskan intensitas tatapan mereka sebelum kemudian ia menyapu bibir Soon Yi dengan ibu jarinya. Ia melakukannya perlahan-lahan dan lembut seolah begitu cemas gadis itu akan pecah atau retak karena sentuhannya.
“Apa aku melukaimu?” tanya lelaki itu.
Soon Yi menggeleng cepat—terlalu cepat, mungkin. Tidak, lelaki itu sama sekali tidak melukainya.
“Aku yang melukaimu.” bisik gadis itu. Sebulir air menggenang di sudut-sudut matanya.
Lelaki itu tertawa. Nadanya miris.
“Ya. Aku terluka.” tanggapnya. Ia menarik tubuh Soon Yi kian mendekat dan menautkan dahinya di dahi gadis itu.
“Aku tadi melihatnya menciummu dan sesuatu terasa meledak di dalam dadaku.” bisiknya.
-o0o-
Kyuhyun membiarkan pikirannya berkelana sementara tubuhnya rebah di sofa rumah milik Soon Yi. Ia bahkan tidak repot-repot menyalakan salah satu lampu di ruangan itu dan membiarkan kegelapan menelan sosoknya.
Ia sudah mengirim pesan kepada gadis itu. Ia akan menunggunya. Menunggu sampai kapanpun—seperti yang selalu dilakukannya selama ini.
Lelaki itu tidak tahu berapa lama kegelapan membenamkan pikirannya ketika kemudian ia mulai mendengar suara mesin mobil yang mulai mendekat. Kyuhyun tahu mobil siapa itu dan ia segera bangkit dari sofa. Lelaki itu mendekat ke arah jendela depan. Ia menyibakkan gorden, membuat sedikit celah baginya untuk dapat melihat apa yang sedang terjadi di luar sana. Bertepatan dengan itu, sebuah mobil berhenti di halaman depan rumah.
Kyuhyun masih diam dan memperhatikan. Siwon keluar dari sisi kemudi mobilnya dan kemudian segera memutar lalu membukakan pintu untuk Soon Yi. Keduanya tampak bercakap-cakap selama beberapa saat. Kyuhyun tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi cara Siwon menatap Soon Yi dan dekatnya jarak antara keduanya membuat lahar serasa baru saja mencapai titik didih di kepala Kyuhyun.
Segalanya berlangsung terlalu cepat. Tangan Kyuhyun mengepal erat di kedua sisi tubuhnya ketika melihat Siwon mulai menunduk untuk menyejejajarkan wajahnya dengan milik Soon Yi. Siwon mengecup bibir Soon Yi.
Kyuhyun memejamkan matanya untuk menenangkan akal sehatnya yang mulai berkabut. Entah berapa lama ia berada pada posisi tersebut. Ia baru membuka matanya kembali ketika mendengar suara pintu rumah terbuka dan tertutup kembali setelah beberapa saat. Ia mengintip ke luar dan mendapati mobil Siwon telah hilang entah sejak kapan.
Kyuhyun tahu usahanya beberapa saat lalu untuk menenangkan pikirannya adalah sia-sia belaka. Tanpa sadar, ia mendapati dirinya telah melangkah cepat menghampiri Soon Yi dengan langkah-langkah yang lebar dan terburu-buru. Ia merengkuh gadis itu. Dalam hitungan detik, ia meraup bibir gadis itu dengan bibirnya sendiri. Tak ada yang perlu tersisa dari seorang Siwon ketika Soon Yi berada di sisinya.
Cho Kyuhyun.
Ia lelaki yang sedang terbakar api cemburu.
-o0o-
Tak ada yang bicara di antara mereka berdua. Mereka hanya saling membisu dalam pelukan masing-masing. Beberapa saat lalu Soon Yi telah menyalakan salah satu lampu di sudut ruang tamunya. Meski tidak terlalu terang, kini keduanya tidak lagi sepenuhnya meringkuk di kegelapan.
Kyuhyun menyandarkan punggungnya ke sofa sementara Soon Yi menyandarkan punggungnya di dada lelaki itu. Salah satu lengan Kyuhyun melingkar erat di area perut gadis itu, sementara yang satunya lagi melingkar di bahunya dan sesekali membelai rambut gadis itu.
Dalam tempo-tempo tertentu Kyuhyun akan menghirup udara lebih dalam dari biasanya dan membiarkan aroma jasmine yang menguar dari tubuh Soon Yi ikut menyisip masuk bersama udara yang menuju paru-parunya. Ia selalu menemukan sejumput rasa nyaman setiap kali ia melakukan semua itu.
“Bagaimana makan malam kalian? Apa kau menyukainya?” tanya Kyuhyun. Bibirnya mengecup ringan puncak kepala Soon Yi.
Soon Yi berdecak pelan. “Aku bahkan tidak menyentuh makananku lagi setelah menerima pesan darimu.”
“Hmm..” Kyuhyun bergumam. “Siwon pasti kecewa. Ia memohon padaku agar aku mau membantunya menyiapkan semua itu.” kata lelaki itu. Datar.
Dulu—dulu sekali, mungkin benar nada bersalah akan ikut terdengar kala salah satu dari mereka mulai menyebut nama Siwon di tengah kebersamaan mereka, baik itu secara sengaja ataupun tidak. Tapi hal itu tidak terjadi lagi setelah beberapa lama. Mungkin ia sudah mati rasa—atau mungkin Kyuhyun hanya sengaja berpura-pura untuk terlihat mati rasa. Semua ini sudah cukup berat untuk mereka. Kebersamaannya dengan Soon Yi sangat minim dan ia tidak butuh berbagai kalimat penyesalan untuk merusak semua itu.
Soon Yi kekasih Siwon. Tapi ia juga mencintai Soon Yi dan begitupun sebaliknya. Tidak ada yang salah dengan semua itu, bukan? Benar. Tidak ada yang salah—begitu yang diyakini Kyuhyun di dalam kepalanya. Meski jauh di lubuk hatinya lelaki itu tahu ia hanya sedang mencari-cari pembenaran atas tindakannya yang salah.
“Aku tahu. Aku bahkan tak sanggup membalas tatapannya. Tangisku bisa meledak kapan saja dan itu kedengaran tidak baik sama sekali.” ujar Soon Yi. Ia kemudian mengangkat kepalanya, mencoba melirik Kyuhyun. “Terlebih saat kau mengatakan kalau kau akan menungguku. Ini hari jadi kita, mana mungkin aku membiarkanmu menunggu?”
Kyuhyun tidak menanggapinya. Hanya jemarinya yang masih belum berhenti menyisiri helaian rambut Soon Yi. Ia sedang mencoba mengumpulkan keyakinannya bahwa Soon Yi mencintainya melebihi Siwon. Mungkin kali ini ia akan kembali mencoba peruntungannya.
“Soon Yi-ya, what if…” Soon Yi kembali mendongak dan memberikan perhatiannya untuk Kyuhyun. Menunggu apa yang akan ditanyakan lelaki itu kepadanya.
“What if I’m tired of being your dirty little secret? Bagaimana jika aku telah lelah menipu diri sendiri dengan berkata pada dunia betapa sempurna kau bersamanya? Sementara yang kuinginkan adalah akulah yang menjadi satu-satunya lelaki di sisimu.”
Soon Yi lalu menunduk. Ia tidak ingin menatap lelaki itu ketika ia memutuskan tidak akan menjawab pertanyaan yang terlontar dari bibir Kyuhyun. Bukan karena ia tidak mau, tetapi karena ia tidak tahu harus bagaimana menjawabnya.
“Bagaimana jika aku sudah terlalu lelah dengan semua ini dan memintamu untuk memilih?”
Soon Yi merasakan pelukan Kyuhyun mengerat. Debar jantungnya sendiri terasa meningkat. Ia tahu kemana pertanyaan ini akan berujung.
“Akankah kau memilihku?”
Soon Yi menarik nafas dalam. Ketimbang menjawab, ia memilih untuk melonggarkan pelukan Kyuhyun dan memberi jarak di antara tubuh mereka. Bagi Soon Yi hal itu mungkin hanya gerakan kecil yang tidak berarti apa-apa. Namun bagi Kyuhyun, ia bisa membaca sesederhana apapun pergerakan gadis itu. Gadis itu tidak akan menjawab dan masih menolak untuk memilih.
Rasa sakit seperti menjalar di setiap jengkal permukaan kulit lelaki itu.
“Aku mengerti. Kau tidak perlu gelisah begitu.” Kyuhyun menanggapi dengan kekehan. Namun suara seraknya yang terdengar berat seolah dapat menjelaskan bahwa ia sedang menekan amarah dan kekecewaannya. Hatinya baru saja lebur menjadi kepingan-kepingan kecil.
Hancur.
Lelaki itu kembali menarik Soon Yi ke dalam dekapannya dan mengecup singkat pipi gadis itu sebelum kemudian ia bangkit dari tempat duduknya. Ia menahan kedua bahu Soon Yi agar gadis itu tidak ikut bangkit bersamanya.
“Aku akan pulang, kau beristirahatlah.” ucapnya. Sebuah kecupan lembut mendarat lagi—kali ini tepat di bibir Soon Yi. Sebelum gadis itu sempat bereaksi, Kyuhyun telah membalikkan tubuhnya dengan cepat dan akhirnya sosoknya menghilang di balik pintu rumah Soon Yi.
-o0o-
Soon Yi masih membantu di tempatnya semula. Ia tahu kalau ia tidak perlu menyusul atau melakukan apapun untuk menghubungi Kyuhyun. Lelaki itu terluka, ia mengerti akan hal itu. Namun satu hal yang ia pahami lebih dari apapun—esok atau lusa Kyuhyun pasti akan kembali lagi padanya, lalu semuanya akan kembali seperti sedia kala. Kejadian buruk malam ini akan terlupakan. Begitu saja. Serupa dengan kejadian-kejadian buruk lainnya seperti yang telah mereka lalui selama ini.
Suatu ketika Kyuhyun pernah mengatakan sesuatu kepadanya.
Aku tidak bisa tanpamu, Soon Yi-ya. Aku mungkin akan terluka, lelah dan mencoba untuk berhenti mencintaimu selama beberapa lama. Tapi jelas kemudian aku akan kembali mencarimu dan mencintaimu lagi, lagi dan lagi.
Pengakuan lelaki itu mungkin terdengar berlebihan, tapi tak ada yang perlu diragukan dari kata demi kata dalam ucapan lelaki itu. Soon Yi memercayainya.
Seberapapun dalamnya Kyuhyun terluka, ia akan kembali kepada Soon Yi. Mereka bercinta dan kemudian lelaki itu akan kembali memintanya untuk memilih. Ia akan datang dengan sejumlah ‘what if…’ lainnya dan ketika Soon Yi tidak mampu menjawabnya, Kyuhyun kembali terluka.
Begitu yang terus terjadi di antara mereka hingga berulang-ulang kali. Soon Yi tahu itu dan sudah menghafalnya sebagai suatu siklus tetap dalam hubungan mereka. Hanya saja, setiap kali melihat punggung Kyuhyun menghilang di balik pintu rumahnya dengan hati yang terbelah, Soon Yi tidak pernah tidak ikut hancur bersamanya.
Ia mencintai lelaki itu.
Cinta.
Sangat.
Sangat cinta.
Namun segalanya tidak hanya soal cinta.
end
note :
Ini cuma sebuah postingan lama dari blog pribadiku dan sebuah blog lain tempat aku bernaung sebagai author. Hehehe… Semoga suka, ya
Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Cho Kyuhyun, Choi Siwon, Super Junior