![]()
CUTTING VEINS
-azureveur
© 2015
.
.
“Aku memilih untuk tidak memilih hidup. Aku memilih hal yang lain. Dan alasannya? Nyatanya, tidak ada alasan saat kau memiliki heroin.” –Irvine Welsh
.
.
Sudah gelap ketika ponsel Earl meringking untuk ketiga kali. Mau tak mau tangan besarnya melintasi wajahku untuk sekadar terperanjat ingin tahu. Mungkin itu telepon iseng; bisa jadi Brent—pacarnya dari Cambridge; atau bisa juga ibunya tahu perihal Fullers yang raib dari lemari pendingin. Aku tak benar-benar mendengar. Alih-alih, menarik otot, tak sengaja menyenggol kaleng-kaleng kosong yang beronggok di kolong sofa. Pinggangku nyaris rontok. Dua kali mengerjap, aku masih mencium sengit tembakau yang bertemperasan di lantai, di bawah teve yang masih menyala. Earl baru saja menyapu bersih trofi untuk level keempatbelas dari Rainbow Six. Memborong komplotan mafia. Serta merampok gudang senjata. Bagus.
Bibirku tak benar-benar tersungging sementara pikiranku masih melayap menerka angka di meja nakas. Biasanya ganjil. 01:33 atau mungkin 09:13 lantas kakiku gegas bersijengket ke kamar mandi. Tapi malam itu aku terbangun tepat di tengah malam, 00:00, digit sempurna di atas nakas, sebelum Earl berpakaian dan menendang bokongku keras-keras.
“Shite, Mate. Apa yang kaulakukan?” aku mencoba protes, tapi Earl sudah berlari. Ia tidak benar-benar berpakaian, sesungguhnya, hanya membuka pintu kamar dengan kesetanan. Menjejalkan jemari kakinya ke dalam sneakers hitam. Dan menarik jins kebangsaannya tinggi-tinggi agar bokong hebat itu tak jadi tontonan.
“Earl!” pekikku; buru-buru menuruni tangga.
“Cepat, Banci. Kau tidak mau ketinggalan pesta terbaik di Edinburgh ‘kan?” Ia sempat berbalik menatapku. Tertawa-tawa. Dan seketika aku tahu ke mana kami akan mengarah.
Aku buru-buru mengunci pintu, menyelipkan kuncinya di bawah babut. Berharap Dad tidak pulang malam ini dan menemukan ampas Irn-Bru dan Fullers yang diselundupkan secara ilegal lewat jendela lantai dua.
Earl berada dua meter di hadapanku dan bertelanjang dada. Berlarian empat blok jauhnya. Napasku mulai terenggah. Kami berbelok di rumah kelima, bercat krem tua dengan fasad mewah dan Volkswagen yang baru saja terparkir miring di carport depannya.
“Rex! Rex!” Earl berteriak kegirangan sembari terenggah-enggah. O, god. Dan temanku yang homo itu serta-merta masuk lantas memukul-mukul kaca jendela untuk orang yang sama linglungnya. “Kau mendapatkan pesan itu?” tanyanya.
Sebaliknya Rex dengan mata sayu, menurunkan kaca yang separuh terbuka. “Er?” Mungkin ia menyapa, mungkin bergumam. Kala itu Jumat malam dan Earl seolah tak khatam kebiasaan Rex mengunjungi Studio 24[1].
Dua sesap martini tentu tidak jadi masalah. Tapi, bagaimana dengan satu botol ia yang curi dan peluk seorang diri?
Earl mendengus frustasi.
Aku mengintip ke jok samping. Syukurlah. Ini termasuk beruntung. Tidak ada si Pirang Menyebalkan seperti minggu lalu.
“Aku membawa Tip juga. Kau tidak mendapatkan pesan Chip?!” Earl berusaha menepuk pipi Rex beberapa kali.
“Mmm? Hentikan! Shite, siapa kau?” Masih dengan terpejam, Rex mengumpan tinjuan kosong.
“Seperti ini percuma saja,” ujarku, melipat tangan di depan dada.
“Jangan menyerah, Banci. Kita akan pergi menjemput Enzo dan pergi ke tempat hebat itu,” bisik Earl, merogoh lewat partisi jendela. Dan klik. Selak otomatis itu terbuka. Tangannya menggapai anak kunci, memutarnya hingga bunyi mesin berderum.
“Melompatlah ke belakang,” suruh Earl. Ia mendorong Rex ke jok penumpang dan gegas memasukkan presneling ke gigi mundur.
.
Earl masih mengetuk-ngetuk pinggiran kemudi untuk senarai lagu Iggy Pop yang ia sambungkan lewat kabel ponsel. Rex tertidur pulas bersama igau-igau tololnya mengenai Ramona—si pirang sialan itu, yang mengataiku ‘banci’. Maaf, banci hanya untuk Earl dan Enzo, Rex dan Chip bahkan memanggilku Tip. Tip untuk Tipton. Tipton Hastings yang baru saja dipanggil untuk mengisi kuisioner di ruang konseling tadi siang.
Bergelung di kursi belakang. Lantas, jemariku mencengkeram sandaran jok depan.
Perjalanan menuju rumah Enzo seyogianya tak lebih dari beberapa quid. Tapi, malam sudah turun. Dan aku hanya dapat membiarkan Earl melanjutkan mimpinya sebagai pembalap amatiran; menginjak pedal rem; memindahkan presneling dengan bunyi memekakkan telinga.
Sementara aku masih memikirkan kuisioner tolol itu di tengah malam, yang bertajuk Opsi Kariermu di Masa Depan: (a) fisikawan, (b) akuntan, (c) insinyur.
“Kau baik-baik saja, Mate?” Earl melirikku lewat spion muka.
Bahuku mengedik.
Earl tersenyum. Baginya, mungkin kuisioner itu tak lebih dari tisu toilet belaka. Kariernya sudah di depan mata. Ingin jadi apa Earl? Tentu saja Iggy Pop. Ia bahkan sudah memperlakukan dirinya sebagai utusan yang diselundupkan lewat rahim Mrs. Cummings sedari umur lima. Membeli jins pertama, melupakan perihal atasan yang padan untuk sneakers hitam bututnya. Dan lengkap sudah, ia mengecat rambut cokelat gelap itu jadi pirang terang mirip bintang rock tahun delapan puluhan.
“Setidaknya kau harus berhenti memikirkan ide tentang mencumbui guru konseling payah itu dan menyusun strategi untuk untuk mengencani Janet,” sahut Earl, terkikik geli.
Janet, tetanggaku, hanya Earl yang tahu aku naksir padanya sedari kelas satu.
“Tutup mulutmu, Homo!” peikik Rex sekonyong-konyong; aku meringis. Rasakan, Earl!
“Sialan, kukira ia baru saja kehilangan nyawa setengah jam lalu,” umpat Earl, mengambil jalan memutar. Rex masih disorientasi. Tapi, agaknya ia tahu mengenai pesta yang katanya hebat itu.
“Tidak akan ada yang kehilangan nyawa untuk pesta hebat di minggu ini, asal kautahu.”Ia mengacungkan botol Vernon itu ke luar jendela, menenggaknya banyak-banyak, mengangsurkannya pada Earl, lantas padaku untuk estafet seputaran menyambut pesta yang-katanya-hebat itu.
Aku mendengus geli, tapi tidak untuk satu injakan pedal rem yang membuat kami bertiga nyaris memagut dasbor. Rex nyaris mengeluarkan isi abdomen; Earl memberhentikan Volkswagen tak sempat melewati tikungan di pojok jalan. Sirine polisi sejurus membuat kami tercekat. Dan begitu saja Iggy Pop seakan-akan membisu, sebelum aku memberanikan diri berjengit pertama kali. Ada yang tidak beres. Ada yang tidak beres dengan Enzo.
“Tip?!”
Aku tak memedulikan pertanyaan Earl, alih-alih, membuka paksa selak pintu dan melompat turun. Berlari dengan berdengih-dengih, melewati ruas jalan di pukul satu dini hari. Dan menemukan mobil patroli ayahku terparkir di depan rumah Enzo.
“Shite, shite, shite.”
Entah berapa lama aku mengumpat, meremas tinju tanpa bisa melayangkannya. Earl melandaskan langkah di depan pagar. Dan Rex yang masih separuh pengar, berjalan limbung.
“Shite, Mate.” Earl menambahkan yang terakhir, sebelum kami berjibaku menembus patio. Tepat ketika ayahku menerobos keluar dan menarik lenganku dengan paksa. Dadaku mencelus.
“Lepaskan aku, Dad. Apa yang terjadi pada Enzo?”
Ini bukan pertanda yang baik. Dad menarik napas panjang. Earl memasukkan kedua tangan di saku belakang. “Sir?” panggilnya.
“Kalian tidak bisa masuk ke dalam,” ujarnya, “Tunggu saja di luar. Kami perlu membereskan jasadnya dan mengumpulkan barang bukti.”
Omong kosong. “Jangan bohong, Dad. Enzo—” kata-kata itu raib begitu saja, aku berusaha mendorong, terus mendorong. Berteriak kesetanan.
Mungkinkah?
Kami bertiga begitu mengenal ruang tamu itu, masih dijajari lemari-lemari pajang khas era tujuh puluh. Dengan rangka kayu eboni tua berbau dupa. Tapi, Enzo tak ada di sana. Aku melihat bubuk putih yang beronggok di meja kopinya, tempat biasa kami melempar satu kemungkinan dari 52 kartu yang ada. Kursi ottoman-nya yang dinodai ceceran darah. Dan lebih banyak noda merah yang merembes di sela linoleum.
“Ia bunuh diri,” pungkas Dad, menepuk bahuku sekali.
Earl yang paling pertama ambruk. Ia membiarkan jins itu menggosok-gosok birai patio. Dan Rex hanya memeluk botol Vernon-nya tanpa suara.
“Tidak mungkin, Dad!” raungku. Aku masih berusaha menerebos. Menarik kuat-kuat lini polisi yang memagari pintu depan; Dad menahan tanganku bersama Officer Bishop. Mempertanyakan keputusan Enzo untuk tergeletak di balik sana. Apa ia sempat menyuntikkan benda jahanam itu lewat nadinya?
Aku harus tahu.
“Hentikan, Banci!” Earl yang menegurku, sampai-sampai para petugas forensik menatap ke arah kami.
“Tutup mulut, Earl!” Suaraku tak kalah meninggi. Aku berbalik ke arahnya. “Aku bukan banci. Aku bukan—keparat, Enzo!” Satu tinjuan. Earl terhuyung, nyaris terjungkal ke pekarangan muka. Aku tak begitu ingat mengenai serangan balasan itu. Yang kutahu, hidungku berderak cukup parah.
Rex menarik Earl menjauh. Officer Bishop memasung tanganku ke belakang. Itu adalah ruang hampa yang panjang, seolah sebuah ledakan masif meletup di sisi telingaku. Aku masih mempertanyakan Enzo yang kukenal dengan tatapan-tapanan yang kini menatap jasadnya terbujur kaku di kantung mayat. Menelisik masuk ke dalam labirin otaknya dan bertanya, apakah ini caranya untuk menghukumku?
****
Cukup dua episode hidup Earl yang sanggup membuatku bergidik: ketika ia berbisik padaku tentang orientasi seksualnya yang timpang, kurasa ada beberapa jenak saat ia tertarik padaku sebelum akhirnya menemukan Brent lewat jejaring sosial; lalu, ketika Earl bilang ia memiliki bisnis bersama Enzo.
Seseorang pasti tengah berkelakar kalau ia mengaku tidak mengenal Enzo. Tak perlu nama belakang untuk membedakan, kami hanya perlu memanggilnya Enzo. Rambutnya cokelat gelap, seringnya kedapatan sengkarut dan lupa bersisir. Tatonya mengular di pergelangan bawah, lantaran dari itu ia mengganjur ke mana-mana lumberjack lusuh berwarna merah tua.
Dan kenalkan diriku, Tipton Hastings. Tidak terlalu populer kecuali menjadi bahan bulan-bulanan di kelas Sejarah Dunia. Duduk di deret paling belakang. Dan gemar menghitung sisa hari menuju kelas terakhir di penghujung tahun. Pekan-pekan pendek yang mana aku dapat terbebas dari artileri limpasan kloset George Richardson.
Menolak untuk terlibat, kala itu hanya satu hal yang berkelebat di benakku: membereskan berkas-berkas pra-kalkulus Mrs. Jones dan bergegas pulang. Alih-alih, Enzo mengambil kursi yang seharusnya milik Earl di sampingku.
“Ingin bergabung dengan tim hebat? Tidak ada Richardson, tidak ada olok-olokan bodoh itu lagi,” ajaknya, serta-merta merebut botol Irn-Brn dari mejaku. Kuperhatikan jemarinya yang menguning lantaran terlalu sering merokok. Sebelah kakinya yang terangkat, menindih tumpukan kertas.
Aku menggeleng. Satu gelengan pendek sembari berharap ia akan meninggalkanku sendiri.
“O, ayolah, Mate. Kau takkan membiarkan mereka menginjak-injak harga dirimu, ‘kan?”
“Thanks. A-aku rasa, aku akan meninggalkan itu untukmu.” Kutunjuk botol Irn-Brn di tangannya, menjejalkan lebih banyak kertas ke dalam tas, bergegas untuk raib.
“Tunggu. O, tunggu dulu, Tip. Mau ke mana kau?” Ia menarik tubuhku dengan amat mudah, menjumput lapel kemeja dari arah belakang. Ini tidak baik, sungguh buruk, tepatnya. Aku mulai membayangkan hari-hari pertama itu. Air limpasan toilet yang mirip rasa susu basi.
“Perpustakaan,” aku berdusta kecil, sesungguhnya aku ingin pulang.
Keparat, Earl. Ia baru saja memasukkanku ke senarai nama tim busuknya.
“Baiklah kalau itu maumu, belajar dengan tenang di perpustakaan, tapi jangan lewatkan pertemuan esok hari. Pukul satu.” Ia mengangsurkan kertas lisut itu dari sakunya. Terlipat-lipat seperti nyaris sobek. Dengan tulisan carut-marut dan menandak-nandak.
Kami berlima menyebutnya Citadel. Beberapa blok lewat jalan belakang Leith Academy. Menyusuri gang paling bau di Edinburgh. Dan di sanalah Citadel berdiri. Tajuk yang elok, bersanding terbalik dengan konturnya yang nyaris ambruk. Sekilas ditilik, bentuknya lebih mirip griya tawang milik koloni tikus.
Earl yang menyambutku sangat meriah. Dengan stereo bekas yang entah ia pungut dari mana. Lust for Life dari Iggy Pop berdentam-dentam keras di belakangnya. “Selamat datang di Citadel, Mate!”
“Kau menemukan seseorang di sana, Earl?” tanya seseorang dari dalam. Pemabuk itu bernama Rex. Berjalan-jalan dengan kemejanya yang lusuh, dasi biru dongker yang melingkar seenaknya, tak lupa sebotol Carlsberg di tangan kiri.
“Ah, ini Banci alias Tip,” ujar Earl.
Citadel punya ventilasi raksasa, setinggi tubuhku dikali dua. Tirai minimalis sintetis, semi-transparan dengan menghibridakan kelir kamar mandi dan tirai elegan gaya Victoria abad kedelapan belas.
Masuk ke dalam. “Itu Porno!” pekik Earl, masih kegirangan; Rex baru memilih kursi beanbag, melesakkan tubuh dengan keadaan separuh teler. Porno, seperti namanya yang menjijikkan itu—aku lebih memilih nama Chip untuk memanggilnya—mengenakan celana super pendek, duduk gaya duyung, mempertontonkan lemaknya yang menggelambir dan atasan kemerjas mandi. Kompleks. Atraktif. Tapi, tidak cukup poin untuk naik ke pergelaran fesyen Edinburgh.
Bukan tim super, seperti liga fantasi yang beranggotakan empat manusia mutan. Peraturan itu singkat, empat orang duduk silih hadap. Tidak termasuk Enzo. Aku enggan bertanya, apa yang kerap ia lakukan di terali jendela. Menyundut lebih banyak Berkeley? Tapi, yang perlu kauketahui adalah barang bagus di hari Rabu dan Jumat.
Shite, umpatan yang tepat. “Ingin coba?”
Aku bergidik. “Jangan! Banci takut,” Earl tertawa. Tapi, sesungguhnya aku memang takut. Merinding hingga ke tengkuk, malamnya aku kena insomnia akut. Ingin memberitahu Dad, aku berpikir soal Enzo. Tapi, barang gila itu—kata-kataku tandas.
Enzo membawa heroin tiap hari Rabu—dan terkadang Jumat. Earl langsung menyenggolku, meminta pinjaman beberapa lembar quid. Kadang ia mencuri. Merogoh sedikit dalam, sangat dalam, lama-lama ia berani menggadaikan semuanya. Kecuali koleksi piringan vinil Iggy Pop, ia rela.
Senja itu tak ubahnya kerja paruh-waktu pertama, duduk di ruang kelas Mrs. Jones rasanya seperti terkena wasir seminggu. Earl dan Rex mengetuk jendela kelas dari pekarangan belakang. Ikut kami, artikulasinya jelas, tapi aku pura-pura tak lihat. Mrs. Jones berdeham, Rex mempertontonkan tinjunya padaku. Mau tak mau aku mengangkat tangan, mangkir ke bilik kencing. Sebagai bulan-bulanan yang tidak terlalu populer, tanganku malah menjadi gunjingan Rex dan Earl sebagai aparatur magis. Takaran tepat, pembakaran sempurna di atas sendok. Dan satu suntikan hebat yang setara dengan seribu orgasme.
Sedikit demi sedikit aku tidak takut tepung keparat itu menyelinap ke mimpiku. Tak sampai menyelinap di dalam pembuluh darah. Enzo mengajariku menyesap Berkeley miliknya, kadang Marlboro milik Rex. Terbatuk sekali. “Ini tidak buruk, ‘kan?” ujarnya.
“Sedikit pahit,” kilahku, meludah ke gelas kopi.
“Bukankah begitu hidup?” Alis Enzo berjungkit. “Sedikit pahit. Sedikit asam. Tapi, membuat orang tetap terjaga untuk siap bertarung.” Ia menjelaskan moto hidupnya yang tak ubahnya Koloseum; terus bertarung dan bertarung, seolah ia enggan untuk minggat.
Sepotong dari kejadian yang kuingat, Banci bisa jadi topik panas di Citadel, tapi tak lagi di koridor Leith Academy. Entah apa yang Enzo jampi-jampikan kepada George. Kupikir, aku kepalang menyukai pseudonim Banci ketimbang Tipton; Banci bisa berdiam diri dan berbohong; Tipton harus melakukan sesuatu.
.
Sebelum menjadi sebuah antalogi berita yang hebat, kabar itu sudah menjadi mimpi buruk dua malam lalu. Tidurku gelisah. Earl masih anfal di bawah efek suntikan heroin keempat. Rex minum-minum semalam suntuk, minta disuntik dua kali. Chip tidak menonton malam itu; ia menyambut kami dengan satu seringai besar, sebelum dadanya menggeligis diam-diam, menangis di pojok, tempatnya berfantasi.
Aku mengabaikan telepon Dad entah untuk keberapa kalinya. Ia meninggalkan pesan suara, yang enggan kutengok. Hanya menyundut lebih banyak batang Pal Mal, menyesap asapnya tanpa suara, mengembuskannya. Dan begitu saja, aku menghabiskan pak ketiga. Aku tak pernah merokok sebanyak itu, paru-paruku protes, tapi aku hanya membuka satu per satu botol Barney’s persediaan Enzo dan menenggaknya banyak-banyak.
Tak ada cara lain selain menyelinap malam itu, berpura-pura tidur, kendati tak benar-benar bisa terpejam. Aku hanya menerawang para-para. Seyogianya tidak sesulit itu, ‘kan? Enzo bukan teman yang kepalang akrab, ia hanya menyerahkan Bic-nya, satu pak Brekeley, dan ia akan berbagi cerita tentang kedua orangtuanya serta rumah yang menjadi kudeta para pamannya.
“Tipton?” Dad memanggil ketika matahari sudah sepenggalah.
Pagi membuatku makin pengar. Bergelung di antara selimut, aku enggan masuk sekolah. Melompat pelajaran sepertinya lebih terdengar asyik. Tapi, niat itu urung lantaran Dad tidak mengungkit telepon-telepon keparat itu, ia hanya menyuruhku duduk di meja makan. Seperti kencan berdua di malam bisu.
“Kau baik-baik saja, Tip?” tanyanya.
Aku mengangguk, sengaja mengudap sarapan ala kontinental itu dengan begitu serius, hingga melewatkan adat silih tatap. Memotong petak-petak kecil untuk irisan bacon dan telur mata sapi.
“Mereka akan menggelar pemakaman di hari Kamis. Enzo. Pemuda itu, teman baikmu?”
“Tidak terlalu,” ujarku sembari mengunyah pelan-pelan. “Ia teman baik Earl, dan Rex, yang malam itu datang.” Terpaksa aku harus memasukkan nama-nama lain lantaran tak ingin Dad berpikiran kalau Tip, yang ia kenal, bercengkerama dengan pecandu.
“Kami tidak menemukan bukti lain selain kecurigaan pertama.” Ia menghela napas.
“Maksudmu bunuh diri?”
Dad mengangguk. Mengangsurkan gelas, aku bangkit, mengambil air dari keran di bak cuci. “Apa kalian menemukan bukti lain dari tim forensik?”
“Heroin, alat suntik, sendok, pemantik, dan pisau untuk menggurat nadi. Hanya dengan sidik jarinya. Ada keterangan lain, Nak?”
“Semacam kesaksian terpisah?” Seketika perutku mulas. Aku meletakkan pisau itu berkelontang di atas piring.
“Mungkin dengan begitu bisa membantu tim forensik. Kami menduganya, ia telah meninggal beberapa jam sebelum ditemukan. Tetangganya yang pertama kali menelepon.”
“Entahlah.” Aku terduduk dengan perasaan tercampur aduk, dengan kata-kata paling tenang, tapi dengan sejuta pemikiran, Enzo tak mungkin bunuh diri. Tidak semudah itu. “Kami pikir akan menjemputnya untuk bermain game di rumah Rex.”
“Bagaimana dengan orangtuanya?” Ia mengunyah potongan bacon terakhir, sementara jantungku tak mau berhenti melompat.
“Ayahnya meninggal ketika ia masih bayi, kalau aku tak salah dengar. Ibunya?” Bahuku mengedik.
“Boleh aku ke sekolah sekarang?”
Kali itu aku tak ingin berbohong terlalu banyak.
.
Hipotesis Earl berkeras pada teknik pemotongan nadi yang dilakukan di luar nalar Enzo, agaknya ia terbang ke petala langit ketujuh setelah menyuntikkan banyak-banyak dosis heronin di pembuluh; Rex menangkisnya dengan dengusan. Aku sependapat dengannya. Enzo bukan mati bunuh diri. Lantaran apa? Kami masih bersirobok di koridor kelas. Bersandar pada loker 176, loker yang harusnya dikunjungi Enzo di pagi pekan pertama, yang mana ia akan datang pagi hari, duduk dengan mata terpejam di kelas Mr. Humperdink, kelas Pertukangan kegemarannya. Berpikir tentang mengatur investigasi pribadi sepulang sekolah nanti, hingga Jim penghuni loker 177 menerobos kerumunan.
“Kalian harus ke auditorium sekarang,” ujarnya, menatap kami dalam fase berkabung.
Setelah pengumuman yang dikumandangkan lewat speaker pengeras, semua orang berkumpul memasuki ruang auditorium bertingkat. Aku datang belakangan, mengekori Earl dan Rex. Chip mengangkat tangan, memanggil kami untuk duduk berendeng.
Kepala sekolah kami menyampaikan eulogi dengan terbata-bata di atas podium. “Enzo sempat membuat para guru kewalahan. Dengan tingkah membolosnya. Dan pelanggaran-pelanggarannya hingga menjadi langganan di ruang detensi. Tapi, ia seorang murid yang hebat, satu di antara sejuta yang sulit kami lupakan.”
Omong kosong. Enzo tak pernah seterkenal itu. Si gaek Turman seharusnya memanggilnya dengan nama belakang kalau ia berbangga soal Enzo di sekolahnya.
Kerumunan dibubarkan setelah acara sesumbar selama setengah jam. Satu per satu, Mrs. Jones, Mr. Humperdink, dan para guru senior mengungkapkan belasungkawanya lewat mikrofon. Tengkukku kian meremang. Hanya semudah itu, dalam dua malam dan Enzo takkan ada lagi di kursi ottoman kebesarannya. Boleh aku merindukannya. Aku masih membayangkan malam-malam terakhirku dengannya. Dan sibuk membeberkan kalau kami sekadar berbagi cerita.
Aku memperhatikan para murid perempuan yang berdesakkan menuju pintu keluar.
Lantas, Janet terperenyak begitu saja di sisiku. Matanya begitu biru dengan rambut pirang sebahu. Sebagaimana kami berpakaian di sekolah, Janet berpakaian paling rapi tanpa cat kuku.
“Kau baik-baik saja, Tip?” Ia menepuk bahuku sekali; aku mengangguk kecil, separuh yakin dan tak yakin. “Aku sungguh prihatin,” lanjutnya.
Kedatangan Janet cukup membuatku terkejut, dengan kata-katanya, mungkin dengan kecantikannya yang terbiasa kuintip lewat kelir jendela, tapi tidak dengan ungkapan itu. Tidak begitu banyak yang tahu soal Enzo, tapi Janet tahu.
Aku berusaha tidak berteriak. Jatungku sesungguhnya berkebit, tapi aku berkata, “Aku tidak mengerti maksudmu.” Lagi-lagi aku berbohong.
“Aku tahu, kau sering main dengan Enzo. Pemuda itu. Yang berambut cokelat.” Ia memandang lurus ke bawah, tepat ke layar putih besar, yang memproyeksikan foto terakhir Enzo, berkardigan biru tua.
Janet sukses menangkap basah diriku.
Earl dan yang lain sudah meninggalkan kami berdua. “Aku melihatnya minggu lalu. Nyaris tiap malam,” lanjutnya.
“Apa maksudmu?” Aku perlu tahu, apa yang tengah Enzo lakukan di depan rumahku. Dan apakah orang itu memang Enzo? Aku menghela napas dan berusaha tenang.
“Aku tidak tahu apa yang ia lakukan. Sejujurnya, aku baru tahu, ia bernama Enzo. Ia memarkir mobilnya di depan rumahmu, tak melakukan apa-apa. Aku sempat ingin mengatakannya padamu. Tapi, kurasa, kalian memang kerap menghabiskan waktu bersama.”
“Semacam itu, kami bermain game sampai larut malam,” aku terpaksa bercericip kecil.
“Baiklah. Aku sedikit curiga dengan perangainya.”
“Ia orang yang baik.”
“Seperti yang dikatakan para guru.”
“Terlepas dari kesalahan-kesalahan konyolnya. Kau tak perlu khawatir.”
“Tentu saja. Sampai bertemu nanti, Tip.”
Aku menatap lurus-lurus, memperhatikan Enzo yang tersenyum bahagia; Janet menutup pintu ruang auditorium.
Luar biasa, Enzo. Ia sukses menghukumku dengan sekelumit barang bukti.
Hari itu aku urung membolos. Kendari Earl melompat pelajaran bersama Rex; Chip agaknya tidak benar-benar peduli. Tapi, kelas Mrs. Jones adalah sebuah petaka. Aku tak hentinya memikirkan kata-kata Janet. Ada dua hipotesis baru: orang yang dimaksud Janet adalah Enzo atau orang itu adalah seseorang yang dikenal Enzo.
Nilai partisipasiku nol besar dan Mrs. Jones memergokiku mencatat materi pra-kalkulusnya dengan kotak-kotak peluang. Sebuah fraktal ‘x’, yang kucoret berulang kali di kertas. Ada minggu yang mana Enzo memang bersamaku dan aku akan berhenti berkata, kami sekadar berbagi cerita. Aku kepalang ngeri jika Janet akan buka suara. Apa ia akan mengatakannya ke semua orang? Ke teman baiknya si penggosip itu, lalu Earl, lantas ayahku.
Tapi, nyatanya Enzo pun tidak mengatakan apa-apa tentang rencana malam kami minggu lalu.
___________________
[1] diskotek ternama di Edinburgh, tepatnya di Calton Road
P.S. Cutting Veins, Pt. 2: http://saladbowldetrois.com/2015/07/31/cutting-veins-pt-2-end/
Password bisa didapatkan via Twitter (@frostbitiggy); LINE (ID: azureveur)
Filed under:
one shot,
original fiction Tagged:
Cutting Veins