Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all 585 articles
Browse latest View live

[FICLET] Deep Breath

$
0
0

kim jongin - chocokailate

.

-o-

.

Kutarik napas dalam-dalam untuk menenangkan hatiku. Aku tidak akan mati hari ini, kan?

 .

“Berubah pikiran?” tanya lelaki di sebelahku sambil memamerkan cengiran khasnya.

Sial. Dia pasti bisa membaca pikiranku.

Memandang jurang yang terbentang di hadapanku, aku bergidik ngeri dan menelan ludah, sementara pemandu kami mengencangkan tali pengaman di sekelilingku. Aku bisa merasakan kakiku mulai gemetaran.

Oke. Ini benar-benar, super tinggi. Serius. Berapa tadi kata si pemandu? Oh yeah, 143 meter.

 .

Kami sedang liburan di New Zealand – ralat, aku yang liburan, lelaki di sebelahku ini hanyalah anak dari sahabat ibuku, yang dititah oleh ibuku untuk menemaniku – dan aku ingin mencoba permainan yang menantang adrenalin.

Jadi, aku memilih The Nevis Swing.

The World’s Biggest Swing.

Dan sekarang aku menyesali keputusanku untuk mengikuti tantangan lelaki gila di sebelahku, Kim Jongin, untuk mencoba Tandem Backwards Swing dengannya. Yeah, seolah melompat dari langit tidak cukup mengerikan, aku memilih untuk dilontarkan dengan posisi terbalik.

Berdua dengannya.

 .

Ini semua salah orangtuaku. Ibuku tidak mengijinkanku liburan ke luar negeri atau melakukan bungy jumping atau kegiatan ekstrim apapun jika Jongin tidak ikut denganku. Ibuku percaya pada Jongin dan menyayanginya seperti anaknya sendiri, mungkin malah lebih.

Yang ibuku tidak sadari adalah, anak lelaki dari sahabatnya itu digilai seluruh perempuan – kecuali aku, tentu – di kampus kami. Aku yakin, gadis-gadis itu akan membakarku dan melumatku hidup-hidup jika mereka tahu Jongin menghabiskan liburannya menemaniku. Berdua saja.

Mereka sudah cukup merepotkanku karena Jongin selalu dekat-dekat denganku.

 .

“Jangan takut, aku akan selalu bersamamu. You jump, I jump, right?”

Kalau saja aku tidak sibuk memikirkan apakah alat pengaman yang dipasang benar-benar aman, aku pasti akan meninjunya karena mengutip  quote dari Titanic  barusan. Yeah, dia tahu betul aku tergila-gila pada Leonardo DiCaprio dan selalu menangis tersedu-sedu saat adegan you-jump-i-jump.

Tapi, dia benar. Kali ini kami akan melompat bersama. Ya Tuhan, kami akan mati. Mati bersama. Bagus sekali.

 .

“Ngomong-ngomong, karena kita akan terjun bersama, dan ada kemungkinan… kau tahu—“ dia menelan ludah, mengedikkan bahu sekilas, dan menoleh ke jurang di belakang kami, “aku ingin mengajukan pertanyaan yang tidak pernah kau jawab.”

Biasanya aku akan mengabaikan pertanyaan semacam ini darinya, tapi berhubung kami akan loncat dan ada kemungkinan untuk mati bersama, sepertinya hatiku melunak dan aku menyahutinya, “Kau mau tanya apa?”

“Mengapa kau begitu membenciku? Mengapa kau tidak pernah sekalipun, mau memandangku?”

Oke, pertanyaan ini lagi. Aku benci pertanyaan ini dan aku tidak tahu jawabannya. Dia tampan, menawan, pintar, lucu, dan idola para gadis. Bukan hanya itu, dia begitu baik padaku dan selalu membuntutiku sejak aku kecil. Jadi kenapa aku membencinya?

Aku kembali membisu. Kali ini dia ikut membisu, tidak mengoceh dan menuntut seperti biasanya. Mungkin, sibuk memikirkan apakah kami akan jatuh dan mati atau semacamnya.

 .

Lalu, ketika kami sudah digantung terbalik, di ketinggian 143 meter, bersiap untuk dilontarkan, dan aku bisa merasakan darah mengalir di kepalaku…

mataku terpaku pada langit biru di hadapanku.

Langit.

Saat itulah, tiba-tiba aku tahu jawabannya.

 .

Maybe, because I’m afraid to fall.

Ya. Aku tidak ingin memandangnya – dia, yang terlalu tinggi seperti langit – karena aku takut jatuh.

Aku takut jatuh hati padanya.

Aku takut jatuh, patah hati, lalu mati.

 .

Melihat dirinya yang tidak bereaksi, sepertinya dia tidak mendengar ucapanku barusan.

.

“Kalian oke di sana? ” kudengar pemandu kami berteriak memanggil kami.

Jongin balas berteriak, “We’re good!”

“Oke. Ready? One…” kudengar pemandu kami berteriak memberi aba-aba.

 .

Tiba-tiba Jongin menoleh padaku, tangannya meraih tanganku, senyumannya mengembang lebar – membuat jantungku mendadak berhenti berdetak sejenak.

Don’t worry baby, I won’t make you fall…”

 .

“Two…”

Aku tidak bisa menyahutinya karena sibuk memejamkan mata rapat-rapat dan menarik napas dalam-dalam. Lalu, sebelum hembusan angin menerpaku ketika kami terlontar ke belakang dengan kecepatan super tinggi,

aku masih bisa merasakan genggaman erat tangannya, dan menangkap suaranya yang berteriak lantang padaku,

 .

“…I’ll make you flyyyyyy!”

 .

.

.

.

.

.

 

 

 

 

-o-

Dia benar, aku tidak jatuh.

Aku terbang.

Bersamanya.

-o-

.

.

.

.


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Kim Jongin

[FICLET] Mereka Belum Dewasa

$
0
0

ownyour future

credit image

 

Lalu, untuk apa mereka berkoar-koar di hadapan kami, para siswa SMA yang – katanya – masih labil dan butuh diarahkan?

(sekuel dari Menjadi Dewasa)

*****

Dengan gusar kututup novel Snow Country terjemahan yang baru kubaca separuh. Memusingkan sekali mencerna bahasanya, ditambah lagi dengan ocehan dari dua orang mahasiswa yang duduk berdekatan dengan jendela belakang angkot ini. Suara mereka yang cukup keras mengganggu konsentrasiku.  Syukurlah mereka sudah turun lima menit yang lalu.

Namun, tetap saja, pembicaraan mereka masih terngiang jelas di benakku karena membicarakan masalah kedewasaan. Ya ampun, sudah berumur kepala dua, tetapi masih mengeluh karena tidak siap dewasa?

Orang-orang seperti mereka itu beberapa kali datang ke sekolahku, menawarkan informasi terkait jurusan-jurusan yang bermutu dan berprospek cerah bila dilakoni. Saat mereka datang dengan jaket almamater nan gagah, saat itu pula aku dan teman-temanku gugup tak karuan. Darah kami berdesir membayangkan bila suatu saat kelak kami menjadi bagian dari mereka. Jantung kami berdegup kencang, membayangkan bahwa yang akan berbicara di hadapan kami semua adalah mahasiswa.

Mahasiswa. Itu berarti lebih dari sekadar siswa, bukan?

Ketika suara mereka yang dalam penuh wibawa itu berkumandang, mengagungkan pentingnya menggantungkan mimpi setinggi langit serta berusaha keras hingga –kalau perlu– tak ada lagi sesentipun lemak tersisa di tubuhmu, kecuali yang melekat di otak. Aku terbius mendengarkan alunan nada persuasif mereka yang lembut, sekaligus mengobarkan bara di dalam dada. Alunan itu, untuk sesaat, mampu mengalahkan agungnya komposisi klasik karya Mozart dan Beethoven, membawaku ke puncak menara mimpi tertinggi yang bisa kudaki.

Mendengarkan riuh tepuk tangan dari sekelilingku, kala itu, aku yakin bahwa teman-temanku juga merasakan hal yang sama. Mereka pasti telah memantapkan hati untuk memilih jurusan impian masing-masing. Semustahil apa pun kelihatannya, jalan panjang menuju masa depan itu tentulah akan mereka tempuh dengan keyakinan yang mantap.

Ah, tetapi tak kusangka bahwa mahasiswa sekali pun, belumlah yakin dengan masa depan mereka. Mereka masih gamang dan ragu dengan ragam pilihan yang nyaris tak berbatas. Jadi, untuk apakah mereka menghabiskan waktu bertahun-tahun di kampus, menekuni ilmu dan keahlian  yang katanya bisa membantu mereka untuk menjadi manusia dewasa yang paripurna.

Lalu, untuk apa mereka berkoar-koar di hadapan kami, para siswa SMA yang – katanya – masih labil dan butuh diarahkan?

Bukankah lebih baik mereka membenahi diri mereka dulu, sebelum menghujani kami dengan ceramah tentang masa depan?

 

fin

 

I am not sure whether this is a story or simply a result of uncontrolled motion of my fingers.


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Mereka Belum Dewasa

[Oneshot] Bus 21

$
0
0

girl-bus-photography-wallpaper-1920x1200

(credit pic by freehdwall)

Bus 21

by Cherry Hee

Apa yang bisa kau harapkan saat bertemu sosok asing di jalan yang merebut seluruh perhatianmu dan kau sadar, pertemuan selanjutnya hanya berdasar pada keberuntungan.

 .

Aku berangkat di jam yang sama pagi itu. Di halte yang sama dan bus yang sama, terjadwal pukul 08.51. Di bawah cerah musim panas seperti dua bulanan ini, akan jadi pagi yang biasa, jika saja lelaki itu tak muncul di seberang bangku. Sedang menikmati jalanan tanpa menoleh ke arahku. Wajahnya mengarah pada kaca, tapi dari samping aku bisa melihat hidung bangirnya. Rambutnya yang kecoklatan terlihat ringan teracak angin. Matahari pagi tepat mengarah di sampingnya. Kulitnya yang putih kemerahan membuatnya seribu kali lebih bercahaya. Dari ujung mataku aku tidak bisa berhenti memperhatikannya.

Sepanjang perjalanan itu aku menikmati pemandangan di seberang bangku, tentu dengan melirik diam-diam. Aku tidak punya nyali menantang wajahnya langsung apalagi mendekat dan mengangsur tangan minta kenalan. Sungguh aku terpesona, tapi setidaknya aku masih ingat apa itu harga diri. Dan kenyataan bahwa mungkin itu pertemuan terakhir kami, membuatku ingin betah berlama-lama mengamatinya.

Aku bukan pengamat fashion, tapi melihat gayanya membuatku jatuh cinta. Aku yakin apapun yang ia kenakan juga akan sama saja. Tidak berefek apa-apa karena wajah dan postur tubuhnya sudah sedemikian bagus. Ia mengenakan kemeja biru, celana jins, dan bersepatu hitam bertali. Ransel abu-abunya ia pangku. Kakinya saling bertumpuk sedang siku kirinya ia tempelkan di bingkai jendela. Ia duduk dengan wajah serius seperti itu sepanjang jalan. Nyaris tak bergerak.

Aku mulai penasaran, apa yang ia pikirkan?

Sampai layar depan menunjuk tempat pemberhentian, bus telah sampai di Blücherplatz. Aku berdiri dengan perasaan carut-marut. Berat hati meninggalkan pemandangan indah itu. Tapi gerakanku terhenti. Lelaki itu ikut berdiri. Menggantungkan ranselnya di bahu kanan dan turun melewatiku.

Kakiku sudah menginjak trotoar tapi perasaanku seperti tengah melayang. Pafumnya baru saja membaui penciumanku dan aku masih menyimpanya lekat di kepalaku.

Hingga aku sadar punggung itu menjauh ke arah berlawanan dengan jalanku.  Perpisahan yang nyata ada di depanku.

Siapapun orang asing itu, aku berharap Tuhan berbaik hati mempertemukan kami lagi. Meski dengan dia yang duduk di seberang bangku, diam. Dan aku yang mengamatinya malu-malu.

Malam harinya aku pulang. Menanti bus 21. Bus itu memang bolak-balik melewati jalan yang sama. Jadi langgananku tiap pergi dan pulang kerja.

Pikiranku sudah terlalu lelah memikirkan lelaki asing itu. Begitu turun di Bushof aku baru ingat kalau lelaki itu tidak terlihat di sekitarku. Mungkin dia pulang lebih dulu atau aku pulang lebih awal dari dia.

Keesokan harinya dengan harapan baru aku datang ke halte pagi-pagi. Sepuluh menit sebelum kedatangan bus. Tapi di halte tidak ada siapa-siapa kecuali seorang nenek tua yang kelihatannya mau berbelanja, karena terus sibuk memeriksa daftar beliannya, dan cucu lelakinya yang terlihat terpaksa mengikuti neneknya. Hari itu pun berlalu tanpa wajah si lelaki asing.

Hari kelima, setelah tiga hari berturut-turut gagal, aku nekad ikut bus 51. Jadwalnya pukul 08.52 dengan tujuan sama, Blücherplatz. Lokasi haltenya berbeda, aku harus berjalan sedikit lebih jauh dari apartemenku. Karena itu juga aku harus berangkat pagi sekali. Tapi tak mengapa. Aku tengah mencari peruntungan. Mungkin saja lelaki itu naik bus selain bus 21. Tapi ternyata tidak. Sampai bulan terbit aku tak menemukannya juga.

Esok harinya, tidak mau menyerah, aku memilih bus 52. Berselisih tiga menit lebih lama dari bus 21. Aku menantinya duduk manis di bangku halte. Sampai bus datang dan membawaku, lelaki itu tak tampak di mana-mana.

Sial! Aku ditipu. Harusnya aku tahu, orang asing selamanya akan tetap jadi asing.

Hari ketujuh tanpa berharap lebih lagi aku kembali pada rutinitasku. Menunggu bus 21. Begitu bus biru itu datang aku mengambil duduk tanpa memperhatikan sekeliling. Harapanku pupus. Gadis pekerja biasa sepertiku tidak perlu berharap lebih. Mungkin lelaki itu pekerja kantoran kaya yang sekadar iseng ingin mencoba naik bus karena bosan dengan kendaraan mewah pribadinya. Meski penampilannya tidak terlihat kantoran, tapi dari wajah ia punya khas tuan muda kaya.

Aku mendesah dengan segala lamunan tak pentingku. Memikirkan orang yang belum tentu memikirkan kita ternyata menyakitkan.

Entschlidung, Frau. Boleh aku duduk di sini?”, tanyanya dalam bahasa Jerman.

Aku mendongak. Termangu seperti orang bodoh, aku hanya mengangguk tanpa tahu wajah yang harus kutampilkan.

Lelaki itu! Yang merasuki pikiranku semingguan ini, baru saja meminta duduk di depanku?!

Ia tersenyum tak enak saat meraih tasku di bangku itu. Aku tersadar dan buru-buru menerimanya sambil meminta maaf. Ia menjawabnya dengan suara renyah setengah tertawa, “Tidak apa-apa.”

Bus berjalan beberapa menit. Melintasi pertokoan kota yang mulai ramai. Aku tidak berani menghadap depan. Masih sayang nyawa. Berpura-pura mengamati luar jendela saja jantungku sudah berdentam tak karuan. Apalagi bersitatap dengan matanya.

“Kau tinggal di sini?”

Aku terperanjat sedikit.

Ja.” Leherku seperti terserang kram. Tidak bisa mengangguk. Jadi aku hanya menjawab sebisaku.

“Aku juga.” Dia tersenyum ramah. Membuatku mulai luluh.

Aku pun balik bertanya. “Kau bekerja?”

Dia mengangguk. “Dan kuliah.”

Selain parfumnya aku mulai menikmati suaranya.

“Dua tahun aku tinggal di sini, rasanya menyenangkan sekali. Kamu sendiri, sudah berapa lama tinggal di Bushof?”

“Lima tahun lalu sejak ibuku pindah dari Indonesia ke sini. Ibuku asli Indonesia mengikuti ayahku yang  memutuskan untuk menetap di Jerman. Urusan bisnis” jelasku singkat tanpa menunggu jeda sedikit pun..

“Oh, jadi benar tebakanku?” Dia bertepuk tangan sekali sambil tertawa kecil. Matanya menyipit manis. “Ibuku orang Indonesia. Sejak awal lihat kamu, aku ingin menyapa.” Bibirnya tiba-tiba bergerak berbahasa ibuku. Agak janggal melihat lelaki bermata biru berbicara seperti itu. Lucu sekali. Dan manis!

Kami pun mulai berbicara dengan bahasa Indonesia. Berbagi banyak hal seperti tempat makan favorit, tempat-tempat yang biasa dikunjungi di akhir pekan dan kebiasaan orang-orang jerman yang menarik.

Dan perjalanan itu pun terasa singkat.

“Aku senang bisa bertemu dengan kamu di hari terakhirku di sini.”

Perasaan muram tiba-tiba melingkupiku. “Maksudnya?”

“Aku akan kembali ke Indonesia besok setelah semua urusan kuliahku selesai. Ayahku meminta aku pulang setelah bertahun-tahun betah hidup di sini.” Bibirnya melengkung ringan.

Aku mencoba untuk membalas dengan senyum yang sama. “Senang juga bertemu denganmu. Apa rencanamu sepulang ke Indonesia? Apa kamu akan kembali ke sini?” Ini tidak benar, aku tidak bisa menahan bibirku.

“Rencanaku? Yang pasti mencari pekerjaan lalu menikah.” Ia menertawai jawaban terakhirnya. “Dan mungkin aku akan kembali ke sini dengan istriku. Bulan madu.”

“Rencana yang bagus.” Aku tersenyum menyembunyikan kecamuk hatiku.

Bus berhenti di halte tujuan kami.

Ketika kami berderet turun bersama penumpang lain, ia berbicara di belakangku. “Oh ya, namaku Zelig.”

Aku menjawab tanpa menoleh padanya. “Aku Aryn.”

Sampai di depan halte ia melambai tangan dan berseru, “Auf wiedersehen, Frau!”

Dan berlalu membiarkan diriku menatapi punggungnya.

Benar. Apa yang bisa kau harapkan saat bertemu sosok asing di jalan yang merebut seluruh perhatianmu dan kau sadar, pertemuan selanjutnya hanya berdasar pada keberuntungan?

Jika aku bertemu lagi dengannya esok hari saat ia membawa istrinya ke sini, maka itu akan jadi keberuntungan yang kejam.

.

 -fin-

Note:

Frau : Nona

Ja : Ya

Entschlidung : Permisi

Auf wiedersehen : Sampai jumpa lagi

Referensi Bus 21 didapat dari sini


Filed under: one shot, original fiction

[FICLET] Etalase

$
0
0

popp

Coba kenangi semua, walau t’lah tiada, bagai etalase jendela

(Etalase, dari Sore)

.

Dulu, ada Adit. Tertua di antara kami karena lahir di bulan Januari. Tinggal di blok sebelah. Banyak omong jika sedang lapar. Datang ke rumah setiap jam makan malam. Kesayangan ayah dan ibuku, tapi bukan kesayangan orangtuanya.

Dulu, ada Maria. Ulang tahunnya beda dua minggu denganku. Paling canggung, namun paling mengerti aku. Dalam diamnya ia belajar memahami kami. Bersedia meminjamkan telinga kapan pun dan dalam keadaan apa pun. Maria tak pernah keberatan mendengar kami bercerita dengan tawa atau pun air mata yang bertumpah ruah. Ia selalu bersyukur setiap hari. Tampak baik-baik saja setiap saat, padahal tidak.

Dulu, ada Kanina. Paling berisik di antara kami. Menjadi teman sebangkuku sejak awal masuk sekolah. Memfavoritkan warna hitam karena ia suka langit malam. Puitis, tapi kadang bengis. Sederhana di luar, tapi rumit di dalam.

Dulu, ada Gathan. Paling muda. Badannya besar tapi cengeng. Ia paling tidak bisa melihat kami disakiti, oleh siapa pun itu. Waktu kelas empat SD ia pernah mendatangi orangtua Adit karena sudah membuat wajah anaknya memar, berteriak membela meski pada akhirnya ia yang menangis karena diteriaki balik.

Dan dulu, ada Jani juga. Paling pintar di sekolah, sejak kecil sudah menjadi andalan siapa pun. Jarang mau mendengarkan, tapi pandai memotivasi. Ia mandiri dan tak suka diatur. Meski tampak tak pedulian, anehnya ia sangat mementingkan perasaan orang lain.

Ya, aku pernah memiliki mereka semua. Kini kelimanya entah di mana, pergi satu per satu dipaksa waktu, melupakan aku di sini. Kalau ingat mereka, biasanya aku rindu. Tapi kalau tak ingat, tetap saja aku rindu. Semula kuberpikir jika kebersamaan kami akan selamanya, tapi impian dan keadaan bersikap kejam karena telah memisahkan aku dengan mereka.

Sekarang rambutku sudah putih semua, kulitku juga mengerut di setiap jengkalnya. Ingatanku sedikit demi sedikit memudar, namun tawa mereka masih saja menggema di telinga. Setiap sore aku duduk di muka jendela, menikmati sisa hidup sambil berselimut bahagia. Oh ya, anakku cuma satu, tapi cucuku ada lima. Namanya Adit, Maria, Kanina, Gathan, dan Jani. Bahagia….

-fin

a/n: menjawab tantangan dari putri di ask.fm. Spontanitas saya cuma segini ternyata hehehe. Btw, etalase jendela itu yang kayak gimana ya? Maaf kalau gambarnya tidak representatif


Filed under: one shot, original fiction, song fiction Tagged: Etalase, Orific, Sore

[Ficlet] Salah Tingkah

$
0
0

IMG_20150224_151829[1]

-.-

Gina terpekur di depan layar netbooknya.  Sesekali ia menyandarkan punggung dan kepalanya menandakan lelah. Ia kemudian melihat ke kanan dan ke kiri, tempat minum kopi terkenal tidak terlalu ramai.  Banyak tamunya adalah orang-orang yang ia yakini adalah berkebangsaan asing. Ia meraih gelas berukuran super besar berisi green tea latte, favoritnya. Tidak lupa whipped cream untuk menambah manis dan mempercantik tampilan agar lebih instagram-able. Sedikit mengaduk, ia kemudian menyeruput minumannya.

Tangannya sibuk di atas keyboard, memencet tombol-tombol huruf, lalu ia merasa seperti ada yang tengah memerhatikannya. Gina menghentikan kesibukannya, mencoba melirik ke penjuru arah, memastikan bahwa dugaannya benar. Benar saja! Matanya kemudian beradu dua detik dengan seorang pria bermata biru. Gina terburu-buru menundukkan pandangannya. Lima detik kemudian, ia mencoba kembali memandang laki-laki itu. Mata mereka kali ini tak beradu. Sudut bibirnya sedikit tertarik.

Pekerjaan tambahannya sebagai penyunting lepas di sebuah penerbit ternama kembali menyibukkannya dengan timbunan kata-kata yang harus teliti diperhatikan.  Perhatiannya kembali terganggu. Secepat kilat ia kembali memandang laki-laki yang sebelumnya ia perhatikan. Yang berambut kecokelatan itu mengalihkan pandangannya ke layar telepon genggamnya.  Tapi tak lama kemudian mereka kembali beradu tatapan.

“Kak! Sorry! Macet banget tadi!” suara Kayla, adiknya, membuat pandangannya beralih.

Gina tidak peduli adiknya sudah berpeluh. Hari ini ia berhasil menyuruh Kayla untuk menjemput dirinya di tempat minum kopi itu.

“Kenapa sih?” tanya Kayla bingung.

“Bukan gue ge-er sih, Kay. Itu bule ngeliatin gue mulu dari tadi!” ujar Gina setengah berbisik.

Kayla duduk di samping Gina, memiringkan kepalanya dan melihat kakak perempuan satu-satunya itu.  “Ya iyalah! Itu whipped cream belepotan di pipi lo!” kata Kayla cuek sambil mengambil minuman Gina.

Sang laki-laki berambut kecokelatan dan bermata biru bangun dari duduknya, melihat Gina. Mengadu tatapannya selama tiga detik, lalu mengangguk, tersenyum simpul, dan pergi ke arah keramaian.

Gina meraba pipinya. “Njir!”

 


Filed under: one shot, original fiction

Dayoungie Story: Good-Moody Kris

$
0
0

hb-dayoung

Kota New York masih tertutup sedikit salju tapi hari cukup cerah. Mood Kris sedikit membaik. Walaupun orang selalu memandang ia ber-mood tidak bagus, sebenarnya dirinya mudah untuk disenangkan. Cuaca cerah dan segelas es teh lemon, sebut saja, bisa membuat suasana hatinya riang gembira. Tentu saja tidak semua orang mengerti akan hal itu.

Sweetheart, kau mau menolongku hari ini?” tanya ibunya sambil melipat cucian yang sudah kering.

“Apa?”

“Belikan aku Indomie di toko Asia”

Kris hanya mengangguk. Sebenarnya ia malas tapi apa boleh buat. Ibunya membuat mi goreng lengkap dengan telur mata sapi untuk makan malam. Kris yang sedari tadi hanya di rumah saja membantu mengupas jeruk dan apel. Ia juga sempat mencuci selada dan wortel untuk tambahan salad.

“Ma, kenapa banyak sekali?” tanya Kris heran. Di rumah mereka hanya ada dua orang. Dan ibunya memasak seakan ada lima atau enam orang di rumah itu.  Kris juga melihat ada cake cokelat di dalam lemari es. Entah kapan dibeli.

“Oh, ada tamu hari ini!”

“Hah? Tamu? Siapa?” Kris bertambah heran. Ibunya tidak mengatakan apa-apa sebelumnya.

Tepat pukul tujuh, bel pintu berbunyi.Semua hidangan sudah siap di meja makan. Kris sudah berpakaian bersih (paling tidak bersih karena sulit membuat dirinya rapi). Ia membuka pintu dan sedikit kaget karena yang datang adalah keluarga Jung, Appa, Eomma, dan Dayoung.

“Halooo.. .” sapa Ibu Kris menyongsong tamunya.

“Pretty!”

“Siapa Pretty?” tanya Kris heran

“Pretty!” itu adalah suara Dayoung memanggil ibu Kris.

“Astaga!” Kris menepuk dahinya.

Keluarga Jung masuk sambil tersenyum. Ibu Kris pun tampak akrab dengan keluarga itu.

“Pretty! Aku mau duduk di samping Darling!” kata Dayoung sambil tertawa ceria.

Makan malam sangat meriah dan berantakan. Berantakan karena Dayoung belum bisa makan dengan rapi dan dia sibuk mengganggu Kris untuk membantunya.

“Dayoungie tidak boleh sering-sering ya makan mi!” nasihat ibu Kris

“Oke! Darling tidak boleh sering-sering ya makan mi!” tiba-tiba Dayoung berkomentar.

“Memangnya kenapa kalau aku makan mi?” tanya Kris kepada Dayoung.

“Kalau sering nanti rambutnya berubah jadi mi! Hiiiii!” sambil berkata begitu Dayoung langsung memeluk Kris dan mengacak rambutnya.

“Apa sih! Lepaskan aku, bocah nakal!”

“Hiiiiyyy.. Miiiii!” Dayoung terus mengacak-acak rambut Kris.

Appa dan Eomma Dayoung hanya bisa menggelengkan kepala. Dan walaupun tampak kesal, malam ini mood Kris semakin membaik. Tidak ada es teh lemon, tapi tawa Dayoung juga salah satu alasannya.

-

Suwitt Suwiit Kriisss…


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Dayoungie Story, Kris Wu, Yoon Dayoung

[ONESHOT] Packing

$
0
0

tips-keliling-dunia-photo-from-photographylife.com_

.

.

There is always a sadness about packing. I guess you wonder if where you’re going is as good as where you’ve been. – Richard Proenneke.

.

.

Sehun melihat lelaki itu menghela napas sembari melanjutkan melipat beberapa bajunya. Ia duduk di lantai, bersila di depan lemari kaca tempat semua bajunya tersimpan. Rambutnya bahkan masih terlihat basah. Menandakan bahwa ia baru saja selesai mandi.

Sama halnya dengan member yang lain, mereka berbagi lemari baju di dorm EXO dengan member lainnya. Namun mengingat sifatnya yang tidak suka berbagi hal-hal pribadi; lemari baju termasuk adalah hal utama, namun ia tidak punya pilihan lain. Karena di Korea itu adalah ‘menumpang’ di negeri orang untuknya, tentu saja hal seperti itu tidak bisa dihindari.

Kemarin menjadi malam yang cukup panjang bagi Sehun dan para member lainnya. Bagaimanapun juga, Luhan – lelaki itu – sudah menjelaskan apa yang ia mau di kemudian hari. Jujur saja itu tidak berlangsung dengan mudah. Banyak raut kekecewaan terpatri di sana. Namun keputusan Luhan sudah bulat.

Perlahan Sehun berjalan mendekati Luhan yang tengah asik melipat kemeja warna biru favoritnya. Ia mendudukan diri di sebelah tumpukan baju dengan kaca lemari sebagai sandaran punggungnya. Luhan menoleh dan melihat raut wajah Oh Sehun menatapnya dengan tatapan memelas.

Dengan seulas senyum, ia mengambil sehelai sweater berwarna biru gelap dari tumpukan baju paling atas. “Kamu mau ini tidak?” kedua tangannya membentangkan sweater itu dengan senyum lebar, “untuk kenang-kenangan mungkin?” meskipun suaranya terdengar getir. Seperti ada sesuatu tersendat di tenggorokan. Luhan merapikan poninya, rambutnya sudah kembali berwarna hitam sekarang.

“Jadi ini semua nyata ya?” Sehun memperlihatkan senyum tipis, “Aku pikir semalam itu hanya mimpi buruk, dan ketika aku bangun semua tetap seperti sediakala.”

Utuh.

Tidak berubah.

“Janganlah melankolis seperti itu,” serunya sambil mengacak-acak rambut Sehun seperti yang biasa ia lakukan.

Dalam keadaan normal, Sehun akan selalu merengek bahwa ia tidak suka diperlakukan seperti anak kecil. Ia bahkan sudah lebih tinggi dari Luhan.

Tapi keadaan kali ini sedang tidak normal.

“Begini saja, kau kupinjamkan tas MCM kesayanganku itu, tapi berjanjilah kau akan mengembalikannya. Bagaimana?” Tanyanya mencoba mengajukan penawaran.

Sehun mencebik. Ia hanya memandangnya dengan galak. “Maksudmu kau tidak ikhlas memberikanku tas itu?”

“Mungkin,” jawabnya lugas. Salah satu hal yang menjadi favorit Luhan adalah menggoda Sehun, dan mungkin di masa depan ia akan merindukan ini. Tiba-tiba Luhan menghentikan kegiatannya melipat baju dan menaruh semua barang-barangnya di dalam lemari.

“Aku sedang tidak ingin berdebat,” sahutnya sembari menggusur badan Sehun supaya tidak menghalangi pintu lemari, “kita beli bubble tea saja,yuk?” Ia menutup pintu lemari kemudian berdiri dan menggamit tangan Sehun untuk membantunya berdiri.

“Kau bertambah tinggi,” ucap Luhan. Ia harus sedikit mendongak untuk bisa melihat netra cokelat milik lelaki itu dengan jelas. Ada semburat kesedihan di sana.

“Tentu saja, aku masih dalam masa pertumbuhan, tidak sepertimu,” ucap lelaki tinggi itu datar.

“Apa kau bilang?” Luhan menaruh legannya di leher Sehun dan memitingnya sekuat tenaga hingga yang yang bersangkutan berteriak minta ampun.

“Kau sadis sekali hyung, sebenarnya niat menghibur tidak sih?” Sehun memijat lehernya yang sekarang berwarna kemerahan.

“Aku hanya mengingatkanmu kembali, siapa tahu kalau aku tidak disini lagi lalu kau merindukanku,” terang Luhan sambil menjulurkan lidahnya.

“Cih. Sudahlah ayo beli Bubble tea, tapi dibayarin ya, Sehun lagi tidak punya uang,” ucap Sehun sembari menunjukkan senyum dua puluh gigi ajaran salah satu hyungnya yang ia adaptasi dengan sangat baik.

“Sejak kapan kalau kita beli Bubble tea bukan aku yang bayar?” ucap Luhan sembari menggeret Sehun keluar dari dorm. Apa yang akan terjadi nanti biarkan menjadi urusan nanti.

 .

 FIN

.

note:

Holla lagi mencoba untuk menulis lagi kkkk :)


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: EXO, Oh Sehun, Xi Luhan

[RESENSI] Across The Universe by Beth Revis

$
0
0

9780141333663

.

.

.

“ I never thought how important the sky was until I didn’t have one.” – Amy Martin, Across The Universe.

.

.

.

Judul                     : Across The Universe (Trilogy)

Author                  : Beth Revis

Penerbit:             : Gramedia

Harga                    : Rp. 88.000,-

 

Amy adalah remaja yang dibekukan dalam cairan Kriogenik di dalam pesawat Godspeed. Ia dan keluarganya akan menuju sebuah planet baru yang bernama Bumi – Centauri tiga ratus tahun kemudian. Namun secara tidak sengaja, ruang Krio no. 42 milik Amy terbuka lima puluh tahun lebih awal.

Pesawat Godspeed dihuni oleh 2.312 populasi dan dipimpin oleh seorang yang disebut Eldest. Dimana Eldest ini adalah sosok pemimpin yang otoriter dan menakutkan. Namun disamping itu, Amy juga bertemu dengan Elder – murid Eldest – dimana ia menawarkan diri untuk menjaga Amy.

Ditengah kefrustasiannya akan dunia baru dan asing, Amy harus menerima kenyataan bahwa ada seseorang yang ingin membunuhnya. Bahwa kotak Krio bukan tidak sengaja terbuka. Dan banyak orang beku lainnya yang juga menjadi korban.

Di satu pihak, Elder mulai tidak mempercayai doktrin yang diberikan Eldest padanya. Ia merasakan ada suatu rahasia yang disimpan oleh Eldest . Rahasia yang berkaitan dengan kelangsungan hidup seluruh penghuni pesawat. Rahasia yang bisa mengungkapkan apa yang terjadi dalam penerbangan beberapa abad tersebut.

“Mybe the secret of the stars has nothing to do with being alone.” – Beth Revis, Across The Universe.

Pertama kali baca synopsis di bagian belakang bukunya, aku sudah tertarik dengan buku ini. Cuman karena waktu itu belum gajian dan duit delapan puluh delapan ribu itu begitu berharga kala itu, jadinya kesendat baru beli dua hari yang lalu.

Ternyata aku tidak menyesal. Sebenarnya aku tidak begitu tertarik akan hal yang berbau penjelajahan ruang angkasa sebelumnya. Apalagi sehabis liat film Gravity, menambah daftar alasan mengapa berpijak pada bumi adalah pilihan terbaik. Yah setidaknya buatku.

Tapi… keyakinan itu goyah semenjak dik Asa Butterfield hadir dalam layar Bluray memimpin timnya sebagai pilot luar angkasa dalam film Ender’s Game dengan luar biasa unyu. Seperti biasa, godaan dedek emesh nan fana itu sangatlah luar biasa, sehingga aku pun menjadi tertarik akan cerita berbau space model begini.

Nah, dalam Across The Universe ini tokoh utamanya adalah Amy dan Elder. Iya Elder. Itu namanya. Karena si Elder sendiri juga diceritakan tidak mengetahui asal usul dirinya sendiri yang sebenarnya. Diceritakan dari masing-masing sudut pandang, baik Amy dan Elder, membuat pembaca benar-benar lebih mengerti dan merasakan apa yang terjadi dengan kedua karakter ini. Pesawat Godspeed ini dihuni oleh kaum monoetik. Dimana semua ras manusianya adalah sama.

Berkulit zaitun, berahang tegas, dan berambut gelap adalah ciri mutlak penduduk Godspeed. Sedangkan Amy, sebagai pendatang yang berasal dari Bumi – Surya; sebutan untuk bumi lama, mempunyai kulit putih pucat, rambut merah terang dan berwajah oval. Tentu saja hal ini menjadi perhatian sendiri bagi penduduk setempat.

Ditambah sifat Amy yang masih labil, dikarenakan ia baru berumur tujuh belas tahun saat dibekukan, sehingga membuat keadaan sedikit menjadi lebih kacau. Yang paling aku sukai dari buku ini adalah bagaimana kita sebagai pembaca bisa merasakan rasa kesendirian, kesepian serta kefrustasian yang di alami oleh tokoh utama. Terutama Amy.

Sewaktu Amy dibekukan, dia seharusnya akan mengalami perasaan seperti terbius dan tidak sadar. Namun yang terjadi adalah, ia seperti sadar namun tidak sadar. Dalam artian memang tubuhnya membeku namun ia tidak sepenuhnya terbius.

Sehingga ia bisa merasakan dengan jelas bagaimana ketika selang penyambung kehidupan itu dimasukkan melalui tenggorokan. Bagaimana rasa sakit ketika cairan biru Krio itu memasuki rongga paru-paru dan yang paling menyakitkan adalah rasa ingin berteriak tapi tidak bisa karena semua menjadi kaku. Beku.

Mungkin karena aku adalah orang yang gampang baper, jadi aku benar – benar membayangkan bagaimana rasanya. Terjebak diantara alam sadar dan tidak sadar selama tiga abad. Dan menurutku itu cukup membuat aku tidak bisa bernapas dengan cukup baik ketika membaca ini.

Kembali ke Godspeed, Elder disini dikisahkan sebagai remaja tanggung yang harus siap sedia untuk menggantikan Eldest sewaktu-waktu. Yang paling menarik, Eldest selalu menekankan bahwa semua perbedaan itu akan mengundang bencana. Padahal di satu sisi, Elder sangat mengagumi Amy.

Interaksi perbedaan ini yang membuat aku juga membayangkan, bagaimana jika sesuatu yang kita tahu sekarang, pada akhirnya nanti akan menjadi bagian dari sejarah beratus tahun kemudian, dan kita kembali melihat kejadian itu dalam posisi saksi hidup dari sejarah tersebut. Aneh pasti.

Penciptaan Godspeed dilakukan pada tahun 2036. Dimana setting cerita ini adalah 250 tahun kemudian. Atau tahun 2286. Ketika itu semua buku sudah berbentuk membran digital – sejenis IPad yang lebih canggih –  yang disebut Floppy. Dan buku dari kertas sudah masuk museum dan menjadi peninggalan sejarah. Buat aku sih sayang banget secara aku suka banget bau buku baru. Weird? I know.

Godspeed sendiri diciptakan dengan fungsi yang semirip mungkin dengan bumi. Ada lahan pertanian, peternakan, pabrik kain, Balai Catatan sebagai ganti sekolah, Rumah Sakit hingga langitpun dibuat nyaris seperti langit yang asli. Meskipun jelas bahwa itu semua buatan, namun sangat jarang penduduk asli Godspped yang mengetahui hal itu. Buat kalian yang membeli buku ini, selain pembatas buku, juga akan diselipkan cetak biru Godspeed sebagai bonus sisipan.

godspeeddiagramwallpaper1024-768

Seperti biasa, kalau tokoh utamanya itu cewek sama cowok terus mereka tidak saling menyukai itu kan seperti merusak kodrat fiksi gitu ya. Nah bisa ditebak sih sebenarnya bahwa pada akhirnya Amy akan menyukai Elder. Meskipun pada awalnya ia sempat berfikir bahwa ia tidak mau mencintai dikarenakan tidak adanya pilihan lain, tapi tetap saja suka. Titik.

Selain itu petualangan di dalam pesawat Godspeed ini juga cukup membuat penasaran. Beth Revis sebagai author berhasil membuat siapapun yang membaca buku ini akan merasakan rasa penasaran setengah mati akan rahasia yang disimpan oleh Eldest selama berabad-abad.

Meskipun dari awal hingga pertengahan alurnya berjalan dengan cukup lambat, namun emosi yang dibangun dari awal sampai dengan ending tidak mengecewakan. Buku ini berakhir dengan sewajarnya untuk bisa bersambung ke buku yang kedua.

Ada beberapa pertanyaan yang sampai dengan halaman terakhir masih belum terjawab. Yang pertama, mengapa mereka semua bersusah payah untuk melakukan perjalanan berates tahun kalau sebenarnya bumi masih layak untuk dibuat tempat tinggal?

Yang kedua, dengan risiko yang sangat banyak akankah penemuan planet baru itu sepadan dengan segala pengorbanan yang dilakukan?

Dan yang ketiga, ketika dalam bentuk beku, apakah ketika dicairkan semuanya masih tetap akan hidup?

Kesimpulanku sih mungkin ketika itu mereka hanya mencari alternative tempat tinggal. Dimana Bumi – Centauri yang dituju terlihat masih sangat menjanjikan. Dan perihal orang beku itu… entahlah itu seperti mengingatkanku akan cerita vampire hahaha.

Maksudku konsepnya sama. Jika para vampire itu ditusuk tepat dijantungnya dengan kayu pasak, maka mereka tidak akan mati. Mereka hanya akan tidur atau lebih tepatnya membeku hingga kayu pasak itu dicabut dari tubuh mereka.

Dimana ketika itu terjadi, umur mereka akan tetap sama meskipun telah sekian ratus tahun terlewati. Sama seperti Amy yang ketika dilelehkan tetap menjadi gadis berumur tujuh belas tahun. Sama seperti ketika ia dibekukan 250 tahun sebelumnya. Tidak ada perubahan.

Beth Revis sendiri adalah author yang berasal dari North Carolina. Ia sangat menggemari novel karya C.S Lewis yang salah satunya adalah Narnia series. Mengambil jurusan Sastra Inggris membuatnya semakin mencitai dunia tulis menulis. Saat ini Beth tinggal bersama sang suami di North Carolina dan mulai menulis untuk karya barunya setelah trilogi Across The Universe ini berakhir.

.

.

***


Filed under: Book Review Tagged: book review, taKYUyaki

[FICLET] Gerimis yang Meringis

$
0
0

GERIMIS YANG MERINGIS.

-azureveur

© 2015

.

.

“Aku gak tau kalau kamu ngerokok,” katanya, diikuti derik pintu. Masih menyisakan derai tawa dari dalam ruangan; suara stereo dengan ringkingan tembang kasmaran Nidji ikut merembes keluar. Aku baru saja akan membuangnya. Lekas-lekas. Lebih lekas lebih baik. Tiga sesap pun tak sempat tandas. Batang baru dicucuh dua menit lalu. Aku terbatuk keras. Asap bertemperasan ke mana-mana; tangannya lekas merebut batang hitam itu dari jemariku.

“Si—” aku akan mengumpat dan menonjoknya kalau perlu. –alan? semburku dalam hati. “Mas Ra—”

Aku tak sempat melanjutkan perkataan bodoh itu lantaran melihat alisnya yang dijinjing naik. Bibirnya menyesap rokokku. Mencuarkan asap pertama lewat cuping hidung. “Sudah lama rasanya,” ia mendengus. “Aku berhenti di hari Minggu, tiga tahun lalu. Ingat?”

“Er …” perkataan itu kupungkas dengan sebuah tawa. Kekeh muskil tentang hal-hal yang seyogianya tak perlu kutemui. Ia mengangsurkan rokok itu; aku menyesapnya sedikit, menyemburkannya dengan leret terpendek seperti seorang amatir. Mengapa ia berada di sini sih?

“Aku gak tau kalau kamu ngerokok.” Masih pertanyaan yang sama. Ia tidak bosan untuk bualan retoris macam itu. Kuperhatikan pernampilannya yang separuh kusut. Sepatunya yang mengetuk aspal pelataran trotoar; bersihadap denganku.

“Saya juga gak tau kalau Mas pernah ngerokok,” sahutku, tersenyum gemas.

“Raka,” ia coba membetulkan. Tentu saja aku tahu. Raka. Rakata. Nama lengkap yang coba ia tutup-tutupi di kartu nama. Dini, yang dulu menaruh rasa pada Raka, pernah memberitahuku, mencukil banyak-banyak informasi tentangnya, kala kerja profesi dulu. Sayang, terakhir kali kujumpai namanya, frasa tiga kata itu sudah terembos dengan efek perak di kartu undangan.

“I-iya, Raka.” Aku menilik ke arahnya. Memasukkan sebelah tangan di saku jaket. Berjungkat-jungkit dengan tumit. Menikmati langit Bilangan Kemang yang kian meredup. Desir angin yang meletup-letup.

“Kamu sudah keburu menghilang sih,” ujarnya; aku menjentikkan abu di sisi beranda depan.

“Kontrak kerja saya habis. Tahu ‘kan? Hanya mahasiswa magang.” Bara di jungur puntung bergemeritik kecil, aku memberanikan diri meniliknya dari samping.

“Egi mencari kamu sejak tahun lalu. Katanya kamu menghindar.”

Ia masih berhubungan dengan Egi. Tentu saja. Proyek teater di Singapura. “Enggak kok. Aku hanya pindah kerja,” dalihku.

Raka tidak memperpanjang debat kusir kami. Sementara aku menyesap lebih banyak asap. Sempat kuangsurkan kotak Djarum itu padanya; rasa teh celup, barangkali ia mau. Meneror kata-kata insyafnya dengan konspirasi asap terbaru. Ia meringis. “Kamu kerja di mana sekarang?”

“Di Jakarta.”

Raka tertawa. “Kalau itu sih, kita juga lagi di Jakarta, Rin.”

Aku tercekat. Kenapa harus Rin? Aku enggan dipanggil begitu lagi. “Panglima Polim,” ujarku cepat. Seolah-olah enggan diinterogasi. Puntung itu sudah nyaris habis. Aku membuangnya; melindasnya dengan jungur sepatu. Tak lagi menggunakan Chuck Taylor usang kebanggaanku yang kerap menerjang limpas hujan dulu. Lantas, mengecek angka di arloji. Jarum merujuk ke angka tujuh.

“Saya pulang dulu ya.” Aku baru saja merogoh tas duffle; mengorek ke samping sampai menemukan payung kecil.

“Apa kamu selalu begini?” sambarnya sekonyong-konyong. Ia menusir pergelangan tanganku.

“Er?” Tatapan kami bersirobok; aku dengan raut bingung; ia dengan senyum 1-0 itu.

“Dulu juga begitu.” Suaranya terdengar mendekat.

“Begitu bagaimana?” Dahiku mengerut.

“Kamu selalu menghindar, Rin. Aku pengin nganter kamu pulang kali ini.”

Bukan opsi terbaik. Aku tak jadi menarik tuas payung. Hanya gaya canggung mirip orang yang tak jadi terbang. Ingin terenyak, tak ada kursi di belakang; memilih jongkok, rokku pasti akan tesingkap naik. Duh.

“Tapi, Mas—”

“Raka,” koreksinya entah untuk yang keberapa kali.

“—iya, Mas Raka. Saya gak apa-apa kok jalan sedikit ke sana, sebentar lagi saya dijemput.” Ia menahan tanganku; sementara kaki-kaki itu ingin lekas meninggalkan beranda resto.

“Kamu masih dijemput—”

“Dina!” pekik seorang dari sisi samping; Raka yang terlebih dulu menoleh. “Kami pulang duluan ya!” Rika, rekan kerjaku, berpamitan sambil melambai kegirangan. Rambut pink manyalanya disimbur cahaya lampu. Ia tidak sendirian.

“Eh, pacar kamu ya?!” Dan celetukan Biyanti pun sukses membuat Raka terpingkal. Tangannya pindah ke belakang kepala. Bingung. Entahlah. Ini posisi terburuk sepanjang masa.

“Buk—” aku berusaha berkilah.

Keduanya silih bisik. Gunjang-gunjing di belakang. Luar biasa. Naga-naganya besok semua orang akan tahu hal memalukan itu.

Bye!” sahut keduanya. Tanganku melambai kecewa.

Shit!

“Kamu ditinggal deh,” sergah Raka. Aku melirik ke arah bawah, menelusuri pantalonnya yang terseterika rapi. Mengerling ke atas.

“Gak apa-apa kok, Mas. Saya bisa pulang sendiri. Indekos saya deket. Cuma beberapa menit kalau naik taksi.”

“Ini sudah malam, Rin.” Aku pernah kenal nada itu, kala ia menutup presentasinya dulu. Raka enggan dibantah.

“Tapi—”

Ia menarik tanganku begitu saja. Mengambil payung mungil itu untuk dibagi berdua. Langkah-langkah rikuh. Aku menyeret flatshoes-ku dengan enggan; sementara loafer miliknya digelontori hujan.

 .

.

Pembicaraan kami tak langsung dimulai. Raka masuk dan mengempas pintu; memasang seat-belt. Dan aku masih mematung. Terenyak pada jok empuk Camry miliknya. Entahlah. Aku tak percaya, sekarang Raka sungguh punya Camry. Menatap lurus-lurus ke arah depan; Raka menarik tuas presneling ke belakang.

“Kenapa bengong?” tanyanya, melintasi lapangan parkir.

Aku menoleh ke arahnya. “Kamu punya Camry?”

Ia terkekeh. “Iya, kenapa? Kamu teringat Raka bikinan kamu tiga tahun lalu itu?”

Wajahku memerah. Hanya sebuah kebetulan. Aku menutupinya dengan tawa. “Saya bahkan sudah nyaris lupa.”

Ada jeda. Pun ada aroma kopi. Bukan artifisial seperti yang kerap kuendus di jok mobil seseorang dulu. Alih-alih, aroma dari gelas karton Starbucks di bawah kompartemen dasbor. Ia meraup sesuatu di samping tungkai kakiku.

Sorry ya,” ia tersenyum jengah; meruyak kantong belanjaannya dengan susah payah.

“Sini biar saya bantu,” tawarku.

“Gak usah kok.” Memamerkan senyum jenaka dari bawah sana. “Buat kamu,” angsurnya. Raka menggigit satu yang menjadi jatahnya, memutar kemudi, dan berhenti di depan stopan perempatan Jalan Pelita Abdul Majid.

“Kamu kerja apa sekarang?” Ia masih masyuk menggigit. Tak jenak dengan gigitan kecil, lantas berbusa-busa soal gigitan besar. Aku menatapnya geli.

Account executive,” itu hanya cericip pelan di antara lindap radionya. “Run” dari Collective Soul, berkerap terang di layar display.

“Bukan copywriter?” tanyanya, menginjak pedal gas.

Egi pasti bercerita banyak. Dulu, ya, dulu aku pernah suka. “Bukan,” sahutku, mencengkeram keliman rok.

“Aku pikir kamu suka menulis.

“Enggak lagi. Dengan modal menulis susah kalau ingin bertahan di agensi.”

“Kupikir, Dimas orangnya open-minded.”

“Tunggu,” ujarku. Dimas? Aku tak jadi melempar tatapan ke luar jendela.

“Atasan kamu Dimas, ‘kan?” Menggigit apel dengan bersemangat; tatapan cerkas; ia tengah menunggu.

Aku menarik napas; memejamkan mata. Tiga tahun, kupikir tidak akan ada momen ini. Interogasi sinting yang memergokiku masuk ke agensi tolol dengan portofolio yang kubuat dua hari lalu. Agensi milik Dimas—Dimas Prasetyo yang membutuhkan junior account executive.

Aku tak kunjung menjawab. Takut itu merayap. Menaiki jemari. Lantas merongrong kaki. Aku ingin keluar. Buru-buru kutarik tuas pintu. Selotnya terkunci. Kubuka ristleting tas, menarik satu pak Djarum Black. Ia merebut kotak hitam itu dari tanganku.

Raka meminggirkan mobil sekonyong-konyong. “Gak ada Okta di rokok ini, Rin.” Ia membuka penutupnya, menekan tombol jendela, lantas membuang puntung-puntung itu begitu saja.

“Raka!” pekikku.

“Sampai kapan, Rin?” Matanya berkilat-kilat, disilap remang lampu jalan. Dengusan pertama tercipta dengan canggung.

Aku menggigit bibir. “Kontrak saya sudah berakhir.”

“Tapi, belum dengan Egi. Egi perlu kamu, Rin. Elegi juga.”

Egi keluar hanya untuk Elegi. Proyek agensi iklan amatir ciptaannya. Aku pegawai pertamanya, ia merekrut diriku dengan embel-embel copywriter, pekerjaan idamanku kala kami silih bertukar tatap dendam di masa orientasi dulu.

“Proyek itu kandas,” sebutku pelan. Menjatuhkan apel pemberiannya di sisi konsol tengah.

“Lantaran tidak ada yang mendanai?” tantangnya; tak perlu dijawab; pasti ia serta-merta bersedia. Aku menarik tuas pengunci dengan paksa. Tak peduli hujan, payungku kubiarkan menghuni sela jok belakang. Pintu mobil terbuka lebar. Aku berlari, melindungi kepala dengan tas duffle.

“Rin!” pekik Raka. “Dan aku juga,” sebutnya pelan. “Aku perlu kamu.”

Aku bohong soal pertemuan terakhir kami. Bukan tiga tahun lalu di kursi kafe itu, tapi tiga tahun lalu saat Raka mengucapkan kata-kata yang sama padaku. Tapi, aku malah menyesap rokok di belakangnya.

Tanpa sepengetahuannya aku menyimpan sesuatu yang hanya dapat kunikmati tentangnya dari jauh. Menyesap Djarum Black yang selalu Okta kepulkan di hadapanku.

Kaki-kakiku ingin berlari, tapi tak selamanya dengan berlari aku dapat melarikan diri. Ada rengkuhan di belakang sana; saat mata-mata di sekelilingku menatap; saat gerimis yang tadi meringis kini terasa mengiris.

_____________________

Baca cerita #OktaRindina selengkapnya di: sini dan #RindinaRaka di: sini


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Gerimis yang Meringis

Ngobrol Bareng Jenny Thalia Faurine

$
0
0

Hi Saladbowl readers semua… Apa kabar? Semoga hari-hari kamu selalu bahagia. Pada kesempatan kali ini, Saladbowl berkesempatan untuk melakukan wawancara ala-ala dengan salah satu penulis muda Indonesia, Jenny Thalia Faurine. Ada yang sudah kenal? Belum?  Yuk, waktunya kamu berkenalan dengan menyimak obrolan singkat antara Mimin dan Jenny.

 jen

 –

About Jenny

Mimin (M): Hi Kak, kenalan dong. Asl plz (astaga miminnya jadul)

Jenny Thalia Faurine (J) : Hihihi. Halo, salam kenal wahai mimin yang pasti dulunya kenal mIRC. :p (ceritanya sok tau) Aku Jenny, umur 19 tahun, (katanya) perempuan tulen, dan saat ini tinggal di Bogor. ^^

M: Masih 19 tapi dengar-dengar bukunya udah banyak banget ya? Sudah nerbitin berapa buku, kak? 19 juga?

J: Hihihi, belum sebanyak itu, kok. Sampai saat ini yang udah terbit baru 8 novel dan 1 kumpulan cerpen. Terus ada 1 yang bulan April ini mau terbit. :D Total baru 10 sih, hihihi.

M: Luar biasa 10!!! *tepuk tangan*

J: *ikut tepuk tangan* #lho

 –

Jenny adalah penulis dari “Playboy’s Tale” dan “Unplanned Love” yang keduanya diterbitkan oleh Elex Media Komputindo. Beberapa judul lainnya adalah “No One Like You” (Media Pressindo) dan “If You Only knew” (Ragam Media).

combine_images

 –

About Being An Author

M: Awal pertama menulis gimana ceritanya kak?

J: Awal ya? Aku karena awalnya suka baca sih, ya. Mamaku juga. Terus pas SD selalu suka pelajaran Bahasa Indonesia (terutama kalau disuruh mengarang tentang liburan sekolah :p). Baru pas SMP, mulai benar-benar nulis fiksi dan mulai berani kirim-kirim ke penerbit dan media. :D

M: Trus awalnya kirim-kirim ke penerbit dan media gitu langsung diterima atau gimana?

J: Awalnya sering ikut event di NulisBuku. Ikut proyek antologi mereka gitu. Tulisan pertamaku yang dimuat ya di proyek itu, sebuah cerpen di buku “Be Strong Indonesia #13″. Setelah itu aku coba kirim cerpen ke beberapa majalah dan … ditolak. Nyoba kirim naskah ke penerbit pun… ditolak dulu. Nggak langsung diterima, kok. Hahaha.

M: Terus akhirnya diterima penerbit bagaimana juga ceritanya?

J: Jadi, dari aku lulus SMP sampai aku kelas 2 SMA, aku terus nyoba untuk ngirim ke penerbit. Ditolak, revisi lagi. Kirim lagi. Begitu terus sampai ditolak 4 penerbit yang berbeda. Tapi akhirnya, di Media Pressindo-lah novel pertamaku diterima dan akhirnya diterbitkan di Desember 2013.Judulnya itu No one like you. Menceritakan tentang remaja perempuan yang berusaha survive setelah ditinggal orangtuanya

M: Apakah Kak Jenny kalau bikin cerita slalu tentang remaja?

J: Nggak juga kok. Novelku yang tokohnya remaja, hanya novel pertama dan keduaku, sisanya… rata-rata tentang orang dewasa sih. Ada kesulitannya kalau bikin cerita tentang orang dewasa. Karena aku kan terhitung masih remaja, hihihi. Ruang lingkup pergaulannya, pola pikir, kegiatan sehari-hari orang dewasa, itu kan belum tentu sama denganku yang masih remaja. Jadi menyesuaikan isi kepala dengan seperti apa tokohku nanti, menjadi tantangan sendiri juga dalam menulis.

M: Kalau soal berkeinginan, Kak Jen sekarang lagi pengen bikin cerita tentang apa?

J: Kalau sekarang sih aku lagi pengen banget bikin cerita berseri dan kental dengan unsur “keluarga”. xD

M: Tokoh utamanya aku aja kak! *dikeplak*. Eh Kak, apa suka dukanya jadi penulis?

J: Banyak. Huihihi. Bisa ketemu teman penulis baru, ketemu sama pembaca yang dukung kita untuk terus berkarya, dan menambah wawasan kita tentang dunia perbukuan sih. Hehehe. Dukanya? Apa ya? Aku bingung kalau ditanya ini. Paling-paling kalau naskah ditolak, berduka sih emang, tapi nggak parah-parah amat lah.  Karena sesungguhnya, penolakan itu adalah penerimaan yang tertunda. Huehehehe.

M: Mimin suka dengar isitilah “Writer’s block”. Kak Jen suka ngalamin gitu nggak?

J: Writer’s block … sekarang alhamdulillah aku nggak ngalamin itu ya. Sekitar dua atau tiga tahun lalu, aku sering sih ngalamin. Biasanya aku rehat sejenak, nonton film, baca novel, dan diskusi dengan teman-teman aja sih. Kebetulan sahabat-sahabatku semua pecinta novel. Jadi kalau sharing dari A-Z pasti nyambung dan ujung-ujungnya … WB-ku hilang.

Nah, kadang WB itu cuma “malesnya” kita aja. Namanya doang keren jadi WB. Hehehe. Itulah gunanya deadline. Aku selalu pasang deadline agar aku terpacu untuk terus nulis tanpa menghiraukan rasa males. Aku pun nerapin “award and punishment” untuk diriku sendiri. Biasanya, award untuk aku yang tepat deadline, aku akan kasih waktu seminggu untuk diriku sendiri leha-leha tanpa nulis. Punishment-nya, aku nggak boleh baca novel apapun atau nulis cerita lain sebelum novelku yang lagi dikerjain selesai. :D

M: Bagaimana dengan pembaca? Kan suka ada tuh pembaca yang suka kritik atau beri komentar nyelekit

J: Ahahaha, yang kayak gitu mah pasti ada. Di setiap semua karyaku. Ahahaha, aku soalnya udah sering sih dikasih “cabe”. (Ini bukan cabe di pasar kan, Kak?) Mau marah-marah juga … buat apa :’)

Tapi, ya, aku berterima kasih untuk mereka yang “bawel” terhadap karyaku. Karena mereka mau meluangkan waktu untuk membaca karyaku dan memberikan kritik/komen untukku.

Kalau kritik dan komennya bisa membuat aku jadi lebih baik ke depannya, tentu aku “ambil” kritik/komennya itu. :D

M: Kak Jen, aku kepo. Uang dari hasil menulis dijajanin apa sih? Bukan batu akik, kan!

J: Pas SMA, buat bayar SPP. Terus beli buku, wedges (aku pecinta wedges, hahaha), tas, sepatu, gitu-gitu doang sih. Paling juga dikasih ke Mama. xD

M: Eh anyway, selain jadi penulis ada nggak sih cita-cita Kak Jen yang lain?

J: Pengen bikin kafe dan pengen kerja di bidang yang kusukai selain menulis

M: Bidang apa tuuuh??

J: IT dan Keuangan. Hohoho.

 –

About Reading Habit

M: Kak Jen katanya suka buku romance ya. Siapa sih penulis favoritnya?

J: Penulis favoritku itu Sitta Karina, AliaZalea, Jenny Han, dan Sarah Dessen. :D

M: Nggak bosen kak baca buku romance mulu? Hehehe. Ada nggak sih buku yang serasa tantangan untuk dibaca?

J: Yang menantang … yang ditulis oleh penulis “baru” bagiku. Baru yang kumaksud adalah penulis tersebut belum pernah kubaca sama sekali karya sebelumnya, yang belum pernah kudengar, dan punya premis cerita yang kuat. Karena sekarang-sekarang, kebanyakan yang kubaca itu ya buku yang penulisnya memang sudah sejak dulu kutunggu karya-karyanya. Jadi udah tau deh gaya bercerita dan yang lain-lainnya. :D

 –

About Online Writer

M: Kak Jen, tahu fan fiction dooong. Menurut Kak Jen gimana?

J: Fan fiction ya? Hm, aku belum pernah sih mencoba untuk berkecimpung di dunia fan fiction. Tapi aku suka aja sih kalau disodorin fan fiction untuk dibaca. Karena aku ngerasa tokohnya udah “real”, huehehe.

M: Kak Jen, sekarang kan banyak nih penulis-penulis yang tauh cerita mereka di blog. Menurut Kak Jen gimana?

J:  Menulis di blog itu menyenangkan. Karena kamu bisa langsung berinteraksi dengan pembaca di sana. Dan jadi ajang latihan juga. Dengan menerima saran dari pembaca ketika kita menampilkan tulisan di blog, saat itu juga kita belajar dan belajar untuk terus menulis dengan lebih baik. Jadi tulisan kita kan nggak hanya mengendap di folder laptop, hihihi.

M: Sebagai penulis yang sudah lebih banyak pengalaman, boleh dong di-share kalimat semangatnya :D

J: Buat kamu yang suka nulis, teruslah semangat! Latihan. Belajar. Jangan malas. Komitmen. Itu perlu banget. Hal yang selalu aku bilang ke orang-orang adalah, komitmen dalam menulis itu perlu. Komitmen buat nunggu si “dia” aja mau, masa komitmen untuk menyelesaikan satu novelmu aja nggak bisa? :’)

M: Dia siapa kaak? Kyaaaa

J: Dia yang mimin tungguuuu. Eaaa…

 –

 –

M: Eh Kak, tadi sempet menyinggung soal buku baru. Promo boleh lho di sini. Hahahaha.

J: Aku senang kalau disuruh promo. Hohoho.

Teman-temaaaan, April ini buku kesepuluhku akan terbit! “Wedding Rush” akan membawamu bersama Padma, menghadiri sebuah pernikahan yang menyakitinya bahkan sebelum pernikahan itu terjadi. Karena, tidak semua orang turut berbahagia atas pernikahanmu! Ihiy!
Wedding Rush akan terbit tanggal 27 April nanti! Jangan lupa dicantumin ke wishlist ya! Terima kasiiiih! *tebar undangan pernikahan (?)*

M: Asiiik Mimin dapet gratisannya yaa #mimincintagratisan. Kak, kalau Mimin atau teman-teman yang lain pengen ngobrol sama Kak Jen lagi boleh kaan. Gimana nih hubunginnya?

J:  Bisa hubungi aku di Twitter: @JennyThaliaF atau kalau mau ngobrol yang lebih panjang, bisa kirim e-mail ke jthaliaf@gmail.com ^^

M: Makacih Kak Jeeen…

J: Aih, sama-samaaa mimin

 ***

Nah, itulah wawancara singkat Mimin dengan Jenny Thalia. Semoga ke depannya saladbowl bisa menghadirkan ngobrol bareng penulis lain yaa…

Sukses terus buat Jenny dan teman-teman semua :)


Filed under: editor issue

[Drabble] Jas Terakhir

$
0
0

670px-Dress-For-a-Funeral-Step-1

-o-

Chiara melipat rapi kemeja putih di depannya yang telah dilepas dari gantungan pakaian. Dengan teliti dan sabar ia mengusap bagian kerah dan ujung lengan, dan diletakkan di atas tempat tidur. Puas dengan hasil kerjanya, ia berdiri dan mengambil dasi biru sutra kesayangan Papa. Berhati-hati ia meletakkan dasi itu di atas kemeja. Lipatan celana panjang hitam diambilnya pula. Terakhir, ia menjangkau jas yang bergantung di dalam lemari.

Lalu kakinya terasa lemas tak berdaya. Ia bersimpuh. Air matanya tak terbendung lagi, membasahi jas terakhir Papa.

Sirine ambulans sayup-sayup terdengar.


Filed under: one shot, original fiction

[ONESHOT] Mission Blue

$
0
0
G0030036-980x360cr : blackhillbycycle

by

Ririn Setyo

Family, Adventure (PG – 15)

*

Mission Blue Begin

“Keputusanku sudah bulat, kalian harus membantuku tanpa menolak!”

Jingga menyerukan keputusan final untuk misinya kali ini, berdiri tegak dan tangan terlipat di depan dada, di hadapan tiga orang laki-laki yang langsung mengangguk mengerti akan titahnya.

Gadis bermata sebening kristal, berparas cantik, berambut gelap sewarna mutiara hitam sebatas bahu dan baru genap berumur 9 tahun sejak dua bulan yang lalu itu, tampak tersenyum puas atas kepatuhan dari tiga laki-laki yang bahkan berbadan lebih tinggi dan berumur lebih tua tiga tahun dari dirinya.

“Lalu apa rencanamu, Jingga?”

Laki-laki berambut abu-abu terang, bermata tajam dan berkulit gelap, dengan topi hitam bertuliskan Xoxo di atas kepalanya angkat bicara. Menatap Jingga yang hanya tersenyum, lalu melirik tas punggung biru miliknya yang tergeletak di samping kaki kirinya. Dengan pasti Jingga meraih tas punggung itu, menarik resletingnya lalu memperlihatkan lusinan tomat merah di dalam tas yang sudah masak sempurna.

“Kita akan memancing dia keluar dengan ini, Fakhri.”

Tanpa perintah tiga laki-laki di hadapan Jingga memajukan leher mereka, melirik ke dalam tas dengan ekspresi wajah yang berbeda. Fakhri mengangguk namun dahinya berkerut, tidak begitu mengerti manfaat dari buat tomat itu. Sedangkan laki-laki yang berdiri di samping Fakhri justru mengambil dua buah tomat lalu memakannya, membuat laki-laki berambut merah terang, bermata bulat dan berbadan lebih tinggi dari Fakhri, mendapatkan tatapan dingin dari Jingga.

“Banyu Anugrah, ini bukan untuk dimakan,” bukannya takut karena Jingga memarahinya, Banyu justru hanya tersenyum lebar hingga deretan gigi putihnya yang besar-besar terlihat, mengusap puncak kepala Jingga dengan lembut hingga membuat pipi gadis kecil itu sedikit merona.

“Terlalu kekanakan,” kali ini laki-laki yang berdiri paling kiri, bermata sipit, berkulit putih nyaris pucat dan memiliki senyum yang terlihat sama dengan senyum milik Jingga bersuara, hingga mata bening Jingga memicing.

“Aku tidak butuh pendapatmu Luka Permana.”

Segera Jingga menutup tas lalu menyampirkan di atas kedua bahu kecilnya, mengabaikan Luka dan memberi arahan kepada Banyu dan Fakhri untuk segera berangkat, berjalan beriringan menuju pintu untuk selanjutnya menuruni anak tangga di beranda rumahnya.

“Bagaimana dengan Luka?” Fakhri bertanya.

“Biarkan saja, kita tidak membutuhkannya.”

“Kau yakin?”

“Yups!”

Fakhri menaikkan bahunya tidak peduli, terus berjalan beriringan dengan Banyu dan Jingga. Melewati taman bunga mawar biru di pekarangan rumah Jingga yang luas, di atas jalan setapak bebatuan yang meliuk indah hingga menuju pintu gerbang.

Banyu menoleh sebentar ke arah belakang, tertawa pelan saat melihat Luka yang sudah berlari untuk menyusul mereka. Mata bulat Banyu berbinar, melirik Jingga yang berjalan di sebelahnya.

“Tapi sepertinya, Luka akan ikut.”

Banyu kembali tertawa, kali ini sedikit lebih lebar hingga kembali memperlihatkan deretan gigi putihnya yang tertata rapi.

“Kenapa kalian tidak menungguku?”

Mata bening Jingga berputar, mendengus sebal saat Luka dengan seenaknya mengambil tempat di sebelahnya dan mengeser Fakhri. Melingkarkan lengannya di bahu Jingga dan sedikit merapatkan tubuh mereka.

“Kau tidak bisa pergi tanpa aku, Jingga Sayang.” ucap Luka dengan kekehan yang terdengar sangat menyebalkan di telinga Jingga.

“Terserah!”

***

Setelah mengayuh sepeda selama satu jam penuh, melewati puluhan blok di perumahan yang ada di pinggiran kota. Jalanan ramai yang mendaki, jalanan sempit yang menurun, hingga jalanan lurus yang gersang, mereka akhirnya sampai ke tempat yang dituju. Sebuah padang ilalang yang sangat luas, tumbuh lebat hingga hanya menyisakan pemandangan tumbuhan ringan itu disepanjang mata memandang. Terlihat bergoyang indah bak riak air di sebuah danau, saat hembusan angin menyapa lembut di ujung ilalang yang mulai menguning.

Jingga turun dari boncengan sepeda yang Banyu kayuh, begitu juga dengan Fakhri yang membantu Luka untuk memarkir sepeda mereka, di pohon beringin yang rindang tepat di depan padang ilalang. Mereka menajamkan penglihatan hingga ke ujung padang ilalang, terlihat terik karena Sang Penguasa Langit Siang bersinar terlalu rendah hari ini.

“Ilalang ini tumbuh cepat sekali,” gumam Jingga saat menatap tinggi ilalang yang bahkan sudah hampir menyamai tinggi badannya.

“Bukan ilalangnya yang tumbuh terlalu cepat, tapi kau yang tumbuh terlalu lambat.” jawab Luka dengan santai.

Tanpa aba-aba Jingga melayangkan pukulan ke lengan Luka yang berdiri di sampingnya, menatap Luka yang hanya terkekeh, dengan hembusan napas kesal yang membuat wajahnya terlihat seram.

“Luka, berhenti menganggunya.”

Fakhri memakaikan topi hitam yang di pakainya ke kepala Jingga, melindungi gadis itu dari panasnya matahari hari ini. Udara di musim panas mulai tidak begitu bersahabat untuk mereka, bulir peluh bahkan sudah mulai mengalir pelan melewati pelipis mereka.

“Terima kasih, Kak Fakhri.” senyum manis Jingga berikan pada Fakhri, membuat semburat merah jambu di pipi laki-laki berkulit gelap itu muncul tanpa perintah.

“Jika sudah begini, kau baru memanggil Fakhri dengan kata depan kakak,”

“LUKA!!!”

Dengan cepat Luka menarik bahu Banyu dan menyeret laki-laki itu ke depan tubuhnya, saat Jingga menaikkan tangan kanannya ke udara hingga pukulan keras Jingga mendarat di lengan Banyu dan membuat laki-laki tinggi itu meringis kesakitan.

“Hentikan! Jika kalian tetap begini, misi kita tidak akan pernah selesai.”

Jingga yang berniat untuk kembali memukul Luka terdiam, menatap Luka dan menahan rasa kesalnya saat laki-laki itu sudah menaikkan kedua tangan tanda menyerah di samping wajahnya.

“Baiklah!”

Mereka berempat kembali menatap padang ilalang di hadapan mereka, mengatur strategi hingga mereka berempat tidak mati konyol dalam menyelesaikan misi penting mereka kali ini. Misi untuk menyelamatkan sesuatu yang sangat berharga bagi Jingga, bagi gadis kecil keras kepala dan tidak kenal kata menyerah disepanjang hidupnya yang baru seumur jagung.

“Aku akan berjalan paling depan, lalu Jingga, Banyu dan terakhir kau, Luka.” Ucap Fakhri dengan mengambil alih tas punggung Jingga. “Luka, kau harus memastikan jika tidak ada yang membuntuti kita.” Luka mengangguk sekilas.

“Pastikan kau menjaga Jingga dengan baik, Banyu.”

“Aku bukan anak kecil, Luka.”

“Umurmu baru 9 tahun.”

“Umurmu juga baru 12 tahun.”

“Lalu?”

“Bisakah kalian berhenti?” Banyu ikut bicara.

“TIDAK!!!” jawab Luka dan Jingga bersamaan, menatap Fakhri dengan ekspresi yang membuat laki-laki tinggi itu bergidik dan memilih untuk tidak melanjutkan ucapannya.

****

Sesuai dengan rencana, Fakhri berjalan paling depan, di atas jalan setapak yang bahkan sudah hampir tidak terlihat karena ilalang yang tumbuh lebat. Fakhri mengibaskan tangannya di ujung ilalang yang terus bergoyang, beruntung tinggi ilalang hanya sebatas dada Fakhri, memudahkan laki-laki yang sudah bertinggi badan 165 centimeter diusia 12 tahun itu, untuk menyisir keadaan di depannya. Tiba-tiba Fakhri menghentikan langkahnya, membuat Jingga yang tidak mengira Fakhri akan berhenti, menabrak punggung laki-laki itu. Jingga mengaduh, ia lalu mengusap hidungnya, Banyu yang berdiri di belakang Jingga terlihat mengecek keadaan Jingga dengan panik.

“Kau baik-baik saja?” tanya Fakhri dengan tatapan menyesalnya, Jingga hanya mengangguk tetap dengan mengusap hidungnya.

“Memangnya ada apa, kenapa kau berhenti tiba-tiba?” tanya Jingga, mendongak, menatap Fakhri.

“Aku sudah melihat gubuknya,”

Seketika air muka mereka berubah pucat, terdiam memaku seiring deguban jantung yang tiba-tiba memacu cepat, tanpa bisa mereka kendalikan. Jingga bahkan tanpa sadar sudah merangkul lengan Banyu, menatap cemas ke arah Luka yang berdiri di sebelahnya.

Fakhri melepaskan tas punggung dari bahunya, membuka tas lalu meminta Jingga, Banyu dan Luka untuk memenuhi tangan mereka dengan buah tomat. Melirik sekilas kearah depan, dimana sebuah gubuk yang di maksud Jongin berada.

Gubuk kecil berdinding kayu yang sudah mulai termakan rayap, beratap jerami, dan sebuah danau kecil di depannya, berada tepat di ujung padang ilalang. Gubuk milik seorang kakek tua yang diduga Jingga, telah menculik sesuatu hal yang berharga di hidupnya.

Kakek tua berambut putih panjang sebahu, bergigi hitam jarang-jarang, kuku tangan dan kakinya juga hitam tak terawat, dan memiliki kekehan mengerikan yang mampu meremangkan bulu-bulu halus disekujur tubuh jika mendengarnya.

Kakek tua yang diketahui bernama— Sardiman.

“Apa kita akan tetap melanjutkannya?” tanya Luka ragu, menatap sekali lagi buah tomat yang sudah memenuhi telapak tangan, dan dua kantung celana jeans biru sebatas lutut yang dikenakannya.

“Harus!” jawab Jingga pasti, kembali menjejalkan buah tomat ke dalam kantung celana pendeknya.

Banyu dan Fakhri saling pandang sebelum akhirnya mengangguk setuju, begitu pula dengan Luka yang juga ikut mengangguk. Mengambil posisi paling depan, bersiap untuk kembali melangkah guna menyelesaikan misi penting mereka, menyelamatkan kucing kesayangan Jingga yang diculik saat bermain di kebun bunga kemarin sore.

“Pastikan kalian berlari menjauh, jika aku tertangkap.”

“Tidak ada yang akan tertangkap Luka, kita akan selalu bersama apapun yang terjadi.” Jingga menjawab dengan pasti. “Kita pasti berhasil dan membawa Blue pulang dengan selamat.”

****

Di sebuah kursi goyang yang tampak rapuh, Sardiman mendudukkan tubuh tuanya, menggerakkan tangannya untuk mengelus hewan bermata biru, berbulu lebat warna coklat muda yang ada di gendongannya. Srdiman meloloskan satu helaan napas pnjang ke udara, melayangkan pandangan ke danau hitam yang ada di depannya. Tidak begitu peduli dengan hembusan angin yang terasa lebih panas hari ini, duduk bersantai di beranda tanpa ada satu orang pun yang menganggu, benar-benar hobi Sardiman sejak dulu.

Sementara itu dari balik ilalang muncul Luka dan Fakhri yang berjalan mengendap, sangat perlahan hingga berdiri di balik dinding gubuk kayu Sardiman. Luka mengintai keadaan sekitar dengan cermat, mengintip sosok Sardiman di atas kursi goyangnya dari balik celah dinding yang berlubang. Tanpa kata Luka memerintahkan Fakhri untuk memberitahukan Jingga dan Banyu, jika misi penyelamatan ini akan segera dimulai. Fakhri pun mengangguk, melempar satu tomat ke balik ilalang hingga sosok Banyu dan Jingga muncul beberapa saat setelahnya.

Jingga dan Banyu bersiap setelah menerima perintah tanpa suara dari Fakhri, mengenggam erat buah tomat, lalu mengangkat beberapa kerikil yang diambil Jingga disaat perjalanan mereka ke udara. Dalam sekejap kaca kusam di gubuk Sardiman menimbulkan bunyi bergeretak, membuat Sardiman yang hampir tertidur di atas kursi goyangnya tergagap.

Laki-laki itu menoleh dan tidak sadar jika hewan berbulu yang ada di pangkuan sudah meloncat turun, Sardiman pun bangkit dari kursi goyangnya bermaksud untuk mengecek apa yang ada di balik jendela. Namun niat Sardiman tertahan saat sebuah tomat melayang dan mendarat di keningnya, seketika Sardiman geram bukan kepalang, laki-laki tua itu meraih remahan tomat di wajahnya dengan rahang yang mengeras.

“BERANDAL!!!”

Sardiman melangkahkan kakinya segera, menggebrak dinding gubuk hingga membuat Luka dan Fakhri yang masih berdiri di balik dinding terkejut dibuatnya. Dalam langkah geramnya Sardiman meraih hewan berbulu lebat kembali ke dalam gendongannya, meraih sebuah balok kayu yang bersandar di ujung beranda dengan teriakkan yang kembali terdengar.

“BERANDALLL!!!”

BRAKK!!!—

 

Sardiman kembali menggebrak dinding, melebarkan mata sipitnya saat menangkap basah Luka dan Fakhri yang baru saja ingin melemparkan tomat. Sardiman mengeluarkan kekehannya yang mendunia, seraya mengangkat balok kayu ke udara. Membuat wajah Luka dan Fakhri seketika pucat pasi, berteriak sebelum akhirnya berlari tunggang langgang menuju Banyu dan Jingga yang tak kalah pucat dari mereka berdua.

“AAAHHH!!!”

“Mau lari ke mana kalian?”

Sardiman berlari dengan tetap mengancungkan balok di udara tetap mengendong erat hewan berbulu yang tampak meraung panik saat tubuh berbulunya berkuncang di dalam gendongan Sardiman.

“Banyu, Jingga, LARI!!!”

Teriak Luka saat melihat Banyu dan Jingga yang memaku di tempat, Fakhri yang berlari beberapa langkah di depan Luka tanpa rencana langsung menarik pergelangan tangan Jingga, setengah menyeretnya untuk berlari dari tempat itu. Banyu yang masih mematung di tempat dengan mulut yang menggangga, terlihat hampir terjungkal saat Luka menarik kerah bajunya dan meminta laki-laki tinggi itu untuk segera berlari.

Mereka berempat terus berlari kencang menghindar dari amukan Sardiman yang terus mengejar, disela kepanikan Luka dan Banyu melempar semua tomat yang ada di dalam saku celana. Beberapa berhasil mengenai wajah Sardiman dan membuat pria tua itu sedikit tertahan, Jingga terlihat menoleh ke belakang, matanya membulat, menatap terkejut pada sosok hewan berbulu yang digendong Sardiman.

“Blue?”

Dalam sekejap Jingga menghentikan larinya, menghempaskan tangan Fakhri yang menggenggamnya lalu berlari menuju Sardiman. Fakhri terkejut begitu pula dengan Banyu dan Luka, mereka bertiga berteriak meminta Jingga untuk berbalik.

“Jingga apa yang kau lakukan?”

Luka panik, menatap Jingga yang baru saja melewatinya. “Sial!” gumam Luka saat Jingga tidak mengindahkan ucapannya.

“Banyu, Fakhri tunggu di sini, persiapkan semua sisa tomat untuk menyerang pria tua itu setelah aku memberi aba-aba pada kalian. Segera bawa Jingga menjauh, saat aku berhasil mengecoh pria tua itu, kalian mengerti?” Banyu dan Fakhri mengangguk ragu, menatap Luka yang segera berlari menyusul Jingga.

“BLUE!!!”

Jingga berteriak, gadis itu meraih buah tomat di dalam saku, lalu mulai melempari Sardiman dengan brutal. Namun sayangnya Sardiman dapat menepis hampir semua dari lemparan Jingga, tertawa terbahak hingga memecahkan nyanyian ilalang yang mengepung mereka saat ini. Jingga berhenti tepat beberapa langkah di depan Sardiman, begitu pula Luka yang berdiri enam langkah di belakang Jingga.

“Kembalikan Blue padaku, Pak Sardiman.”

Jingga menaikkan dagunya, memasang wajah dingin, hingga wajah pucatnya yang sarat ketakutan terlihat samar. Gadis kecil itu mengeratkan genggaman tangannya di ujung kaos biru motif polkadot yang di kenakannya, saat Sardiman terkekeh mengerikan hingga memperlihatkan giginya yang hitam jarang-jarang.

Jingga bergidik ngeri, sedikit menyesal saat dia menolak ke dokter gigi saat gigi grahangnya berlubang. Mulai takut saat membayangkan jika tua nanti, giginya akan rusak seperti Sardiman.

Memiliki gigi hitam jarang-jarang di usia tua? Ah! Yang benar saja.

“Mengembalikan? Memangnya aku mengambil makhluk lucu ini darimu?”

“Blue adalah hewan peliharaanku, sejak dia dibeli oleh ibuku dari sebuah toko hewan, jadi Blue adalah milikku. Dan dengan memilikinya tanpa seizinku, itu berarti kau mengambilnya Pak Sardiman.”

Hahaha aku tidak pernah mengambilnya, kucing ini datang sendiri padaku, Bocah kecil.”

“Kau mengambilnya saat dia tersesat, seharusnya kau mengembalikannya padaku, bukan malah menyandranya disini, Pak Sardi.”

Sardiman tersenyum miring, matanya memicing, menatap Jingga yang terlihat tidak gentar dan tetap bertahan pada keinginnannya. Sardiman maju satu langkah, membuat Jingga merasa jantungnya lupa untuk sekadar berdetak. Gadis bermata bening itu melirik sosok Luka yang berdiri di belakangnya, memintanya untuk segera menyingkir dari Sardiman sebelum hal yang lebih buruk terjadi pada mereka.

“Tidak, tanpa Blue.” Teriak Jingga hingga tawa mengerikan Sardiman kembali terdengar.

Luka memejamkan matanya sejenak, menoleh perlahan ke arah Banyu dan Fakhri yang tengah bersiap di belakang sana. Dan saat Luka menganggukkan kepalanya, puluhan tomat pun melayang di udara, menghujani Sardiman hingga laki-laki itu terkejut dan membuat pijakan kakinya bergoyang.

BRUUUKK!!!—

 

Tak ayal Sardiman pun terjatuh dan membuat kucing berbulu coklat yang digendongnya meloncat turun, berlari kencang ke arah Jingga yang sudah berjongkok dengan memanggil nama dari hewan lucu itu.

“JINGGA! LARI, SEKARANG!!!”

Luka berteriak saat melihat Sardiman yang sudah kembali berdiri tegak, kembali berteriak saat Jingga hanya mendongak dengan mengendong Blue tanpa beranjak. Tanpa pikir panjang Luka segera menyambar lengan Jingga, menariknya untuk selanjutnya berlari kencang menerjang ilalang.

“Banyu bawa Jingga dari sini!” teriak Luka saat dilihatnya Sardiman yang semakin mendekat, mengabaikan saat kakinya menerjang sebuah batu hingga membuat kukunya patah dan berdarah.

Luka kembali melempari Sardiman dengan sisa tomat yang dimilikinya, begitu pula dengan Fakhri yang terus merogoh tomat di dalam tas dan ikut melempari Sardiman. Namun Luka pada akhirnya menyerah saat rasa nyeri di kukunya makin tak bisa diajak kompromi, terjatuh saat Sardiman pada akhirnya dapat menggapai kerah bajunya.

“LUKAA!!!”

Fakhri berteriak saat melihat Sardiman mencekal leher Luka di belakang sana, pria tua itu terkekeh seraya mengancungkan balok kayu ke udara. Tertawa dalam senyum kemenangan, menyeret Luka yang terlihat pasrah menuju gubuk miliknya.

“KAKAK!!!”

Jingga berbalik seketika, menerjang Fakhri yang berusaha menghalau langkahnya. Gadis itu merasa napasnya sesak, merasa pandangannya mengabur saat melihat Luka menghilang di balik ilalang. Jingga menghentikan langkahnya, mematung dalam hembusana napas yang terdengar memburu. Sebulir airmata kekakutan mengalir di pipi putihnya yang memucat, menatap Fakhri dan Banyu yang telah berdiri di kedua sisi tubuhnya.

“Luka bilang kita harus pergi dari sini, apapun yang terjadi Jingga.” Jingga mengerakkan tangannya yang bergetar, mengeratkan pelukannya pada tubuh Blue yang bergulung di lengannya.

“Tidak tanpa Luka,”

“Tapi—“

“Dia kakakku, Fakhri!” Jingga kembali meneteskan airmatanya. “Dan aku tidak akan meninggalkan kakakku sendirian di sini, kau mengerti?”

****

Sardiman terus menyeret Luka hingga mereka berdiri di beranda rumahnya yang rapuh, laki-laki tua itu memerintahkan Luka yang pucat untuk duduk di bangku kayu tanpa sandaran, tepat di samping kursi goyangnya. Luka yang ketakutan hanya mampu menuruti keinginan Sardiman tanpa bantahan, menatap Sardiman yang masuk ke dalam gubuk lalu kembali muncul dengan sebuah baskom berisi air hangat, handuk kecil yang terlihat kusam dan sebotol kecil obat merah.

Laki-laki itu berjalan pelan lalu berjongkok di depan Luka, mengabaikan Luka yang ketakutan hingga lupa untuk sekadar menarik napasnya. Sardiman meraih kaki Luka yang berdarah ke atas pangkuannya, membersihkan kuku Luka yang patah dengan hati-hati dan mengoleskan obat merah di sana. Luka yang tidak menyangka Sardiman akan melakukan hal itu, hanya mampu memperhatikan wajah Sardiman yang terlihat berbeda dengan seksama, hingga Sardiman mendongak, membuat Luka hampir terjunggal ke belakang karena terlalu terkejut.

“Dulu aku memiliki seorang cucu laki-laki yang nakal sepertimu, jika dia masih hidup— dia pasti juga sudah setinggi dirimu.” Sardiman meletakkan baskom di lantai, tersenyum sekilas, menatap Luka yang masih ketakutan, lalu bangkit dan mendudukkan tubuhnya di atas kursi goyang seraya melanjutkan ceritanya.

“Tapi sayangnya Tuhan berkehendak lain, Sunami Aceh 6 tahun lalu sudah merenggutnya dariku. Bersama putriku dan suaminya, orang tua cucuku.” ada sebulir airmata mengalir dari sudut mata senja Sardiman, tersenyum tipis saat menatap Luka yang lagi-lagi terkejut.

“Aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, aku menyendiri di sini, menikmati danau dan nyanyian ilalang, berharap jika suatu hari nanti cucuku datang untuk menanyakan keadaanku.”

“Pak Sardiman.”

“Aku tahu jika aku terlihat aneh, benar begitu?” Sardiman kembali menatap Luka, kali ini lebih lekat sebelum kembali melanjutkan kata-katanya. “Aku juga tahu jika para orang tua di kota ini, sering menggunakan namaku untuk menakuti anak-anak mereka.”

Untuk pertama kalinya Luka melihat Sardiman tertawa, tanpa hawa menyeramkan yang biasa ditampilkan laki-laki tua itu selama ini. Untuk pertama kalinya melihat Sardiman tersenyum hangat, mengusap bahunya dengan lembut dan menyerahkan secangkir teh hijau yang hampir dingin kepadanya.

“Katakan pada—“

“Jingga, dia adikku.”

Ah, katakan pada adikmu, jika aku tidak bermaksud mengambil kucing kesayangannya. Aku menemukan kucing itu di jalanan dan aku hanya ingin bersantai bersama kucing bermata biru itu sebentar, sebelum aku mengembalikannya pada adikmu sore ini.”

Luka hanya mampu menatap Sardiman dengan tatapan menyesalnya, benar-benar tidak menyangka jika laki-laki tua yang selama ini selalu membuatnya takut, ternyata adalah sosok laki-laki hangat dan penyayang. Luka benar-benar merasa menyesal dan berjanji untuk tidak pernah lagi berpikir dan menilai lebih, tentang seseorang jika dia hanya melihat sebagian.

“Maafkan kami, Pak Sardiman.”

****

Sementara itu dari balik ilalang terlihat Banyu, Fakhri dan Jingga menyeruak keluar, berjalan mengendap mendekati gubuk, mengintai dari balik dinding berlubang, mengulang kejadian yang terlihat sama seperti beberapa saat yang lalu. Mereka bertiga menatap Sardiman yang kembali tengah duduk nyaman di atas kursi goyangnya, laki-laki tua itu tampak tertawa terbahak, hingga menyisakan cairan crystal di ujung matanya yang mulai buram termakan usia.

Banyu menaikkan alis tebalnya, tampak melirik Jingga dan Fakhri yang juga tengah menatapnya. Saling menatap dengan ekspresi binggung, saat mendengar suara Luka yang ikut tertawa bersama Sardiman. Tidak ada tanda-tanda jika Luka sedang terancam, tidak ada tanda-tanda jika saat ini Luka sedang dalam bahaya, karna berada terlalu dekat dengan Sardiman yang terkenal menakutkan. Mereka pun tidak sadar jika Sardiman sudah beranjak, berjalan pelan lalu berdiri di depan mereka dengan secangkir teh dingin di tangan kanannya.

“Apa kalian mau bergabung bersamaku dan Luka?”

Dalam gerakan yang sama Jingga, Banyu dan Fakhri menolehkan wajah mereka, melebarkan pupil mata dengan wajah pucat tak terkira. Dan didetik berikutnya mereka bertiga sudah berteriak kencang, bersama Sardiman yang terlihat terkejut dan tanpa sadar juga ikut berteriak.

“AARRGGHHH!!!”

~ THE END ~


Filed under: one shot, original fiction

[Oneshot] Major 134340

$
0
0

bintang

Orang itu—bintang… hanya dapat bermakna jika kita menatapnya dari kejauhan, bukan?

rinrinchanss(a.k.a renewtshn) presents,

“Major 134340.”

Masih pukul setengah 8 pagi, ketika salju tipis menutupi jalanan beserta pemukiman penduduk di Kopenhagen. Embun-embun yang hampir membeku terhampar di setiap petak bunga sisi jalan utama ibukota Denmark itu, juga termasuk bunga berwarna putih keperakan yang ditata rapi samping gerbang utama Kopenhagen Senior High School.

Upacara setiap pagi tengah dilaksanakan kala kapas-kapas putih yang dingin berjatuhan dari langit. Saat itu, semua siswa diperkenankan memakai jaket tebal— kesempatan emas yang dipergunakan seorang siswi tingkat 12 bernama Irene Watson untuk mengenakan jaket berwarna birunya, berhubung guru Kopenhagen Senior High School jarang sekali memberikan izin-izin seperti ini.

Kepala Sekolah Kopenhagen Senior High School maju untuk menunjukkan kepandaiannya dalam berorasi, yang mana membuat seluruh siswa spontan menguap dalam-dalam.

Lain lagi dengan Irene yang terlihat sedikit harap-harap cemas, dan sekali menggosok-gosokkan kedua tangannya yang dibalut oleh jahitan wol sederhana.

“Akhir kata, saya ingin mengumumkan beberapa siswa yang berhasil mendapat kesempatan untuk mewakili sekolah kita ini”—ia berdehem sejenak—“dalam Olimpiade Nasional. Sebelumnya, berikan tepuk tangan yang meriah untuk mereka semua!”

Terdengar riuh tepuk tangan dari seluruh penjuru sekolah.

Yeah! Woo! Hebat!” Irene berteriak tidak karuan dengan suaranya yang separuh mirip laki-laki.

“…Jaga sikapmu. Untung ada juga yang berteriak, kalau tidak, jangan harap nilai rapormu akan bertahan.”

“Maaf, Helen.” Gadis bermarga Watson itu menyengir lebarnya. “Aku hanya terlalu semangat.”

Beberapa siswa telah melenggang maju ke mimbar, ‘tuk mendapat ucapan selamat dari Kepala Sekolah. Sampai akhirnya siswa terakhir dipanggil, Irene membatu ditempat, bagai mendapat sengatan kecil di musim semi.

“—dan perwakilan Olimpiade Sains cabang Fisika, berhasil diraih oleh Frank von Stresemann dari kelas 12-B!”

Dari barisan peserta upacara, Irene dapat melihat—ralat, menatap Frank yang berjalan menghampiri perwakilan sekolah yang lainnya. Entah sejak kapan pandangannya hanya tertuju pada remaja itu seorang. Seharusnya terasa biasa saja, mengingat Irene dan Frank dulunya pernah menjadi rekan dalam tugas Teater—jelas gadis itu merasa Frank juga temannya, dan ia perlu berbangga atas keberhasilan pemuda itu. Tapi

Frank dari kejauhan, yang baru saja dihantam tinjukeakraban dari sahabat-sahabatnya, berjalan melewati barisan terdepan peserta upacara dengan rasa kegembiraan yang membuncah dari dalam dirinya. Irene jelas melihat Frank memperbaiki posisi kacamata dengan senyum —menurut Irene sendiri— yang membuatnya terlihat tampan sekaligus manis, serta langkahnya yang sedikit pelan saking gugupnya.

Sekarang, perasaan Irene pada mantan rekannya bukan lagi sebatas teman pada umumnya.

Dalam keheningan yang berpadu dengan keriuhan, Irene hanya mampu mengekspresikan kebanggaannya dalam senyum tipis.

Selamat untuk keberhasilanmu sampai sejauh ini. Kau benar-benar pantas mendapatkannya. Perlahan, gadis itu dapat merasakan pipinya yang menghangat ditengah-tengah hujan salju.

“Oh~ Jadi seperti ini yang dinamakan bangga dengan  orang yang kau sukai, ya?” Helen menggoda sahabatnya, dimana Irene merasa terganggu karenanya.

“Hus, kecilkan suaramu. Bagaimana kalau ia dengar?”

Easy, easy, Mrs. von Stresemann.”

That’s not funny. Aku bahkan belum pernah mencuri kesempatan untuk mengobrol-lama dengannya.”

Helen terkejut. “…lalu, bagaimana kau bisa menyukainya? Kukira kau dan Frank pernah mengobrol, dan secara tak sengaja kau jatuh cinta pada topik pertama kalian.”

Irene hanya menjawab dengan singkat, senyumnya mulai memudar, “Tidak tahu.”

“Hei— hei— kok bisa begitu, sih?”

“Karena jika aku beritahu, kau akan menganggapnya sesimpel itu.”

Ya, sesimpel gadis yang menyukai seseorang—yang spesial— dalam diam. Merasakan senangnya hanya seorang diri, serupa dengan mendapatkan pahitnya yang sama-sama tak dibagi pada orang lain. Selalu berlanjut sampai gadis itu hapal betul dengan rasa khas masing-masing —bagai melahap beberapa potong coklat yang berbeda, rasanya selalu berbeda bukan?— ,dan menikmati bagaimana hidupnya berjalan dengan perasaannya pada orang itu. Sesimpel itu, meski kenyataannya lebih rumit dibandingkan perasaan suka yang dijadikan konsumsi siswi-siswi penggosip— atau bahkan tidak menyukai satu orang pun selama masa-masa SMA.

Gagak-gagak yang menyusuri langit damainya, juga angin yang meniupkan bayang-bayang masa lalu pada Irene. Jam seakan berhenti berdentang.

.

Irene masih ingat, dalam kelas yang berisi 32 murid, ia dan Frank pernah menjadi teman sekelas sewaktu berada di tingkat 11. Ia masih mengingat betul, bagaimana Frank yang kebingungan mencari teman sebangku, yang pada waktu itu hanya ada kurang lebih 5 murid laki-laki di kelas mereka.

Ia benar-benar masih mengigat semuanya.

Bagaimana Frank yang dengan cepat menyelesaikan soal-soal Ilmu Pengetahuan Alam yang tertera di papan tulis. Juga saat pemuda itu mengetahui bagaimana azas Black bekerja penuh pada jawaban-jawabannya, Irene masih mengingat senyum yang terpatri di wajahnya. Senyum yang membuat Irene tak terpikir untuk sekalipun menyerah dari pemuda itu.

Bagaimana Frank yang berjalan mondar mandir didepan ruang Komputer dikarenakan rasa gugup jika ia gagal dalam Ujian Prakteknya. Irene yang menyelesaikan tes dengan kurun waktu tercepat hanya bisa menahan rasa khawatir—bagaimana ya, menyebutnya, tapi hampir seperti itu, dan seperti biasa menyimpannya untuk diri sendiri. Irene tergerak untuk membantu Frank yang kepayahan dalam mengerjakan grafik penjualannya, setidaknya memegang tangan saja—modus tak tersampaikan. Tapi ini serius, jari-jemari Frank yang gemetar itu membuat Irene sendiri hampir dikenai Ujian Pengulangan karena kesalahan dalam menginput data.

Bagaimana Frank yang mendapat kesempatan untuk berakting dengan gadis lain dalam Teater pelajaran Bahasa. Saat itu, Irene mungkin berpikir seperti “Sialan! Kenapa perannya sebagai suami tokoh utama?!”. Yang jelas, menyimpan untuk diri sendiri adalah salah satu jalan yang dirasa paling ampuh untuknya. Mana mungkin Irene akan memaki-maki di kelasnya sendiri? Jelas, akan ada ledakan tawa penuh ejekan dari teman-temannya.

Dan yang terakhir kali, Frank dan rekan Olimpiadenya yang tak sengaja bertemu dengan Irene di tangga. Beruntunglah Irene juga ditemani rekan klub Bahasa Inggrisnya, setidaknya ia terhindar dari salah tingkah akut— kalau hanya melihat sekilas, biasa. Kali ini, mata keduanya saling bertautan untuk beberapa detik. Juga Irene dan Frank yang menghentikan obrolan masing-masing secara bersamaan. Meski ada untungnya juga, karena baik rekan Olimpiade Frank maupun teman Irene, keduanya seolah-olah tidak menyadari sahabat masing-masing malah bertatapan seperti itu. Irene bebas dari ocehan sahabatnya.

Yang membuatnya sampai sekarang masih merasa tertekan? Tatapan idiot itu. Irene bahkan masih mengingat hari apa kejadian itu berlangsung, dan bahkan model dan warna jaket yang mereka kenakan tempo hari ternyata sama.

Ia menyusun memori-memori yang bagai kepingan puzzle berceceran itu, dimana pada awalnya tidak enak diingat—terlalu simpel, tak berkesan bagi orang lain, juga tidak sambung-menyambung satu sama lain, pada akhirnya akan membentuk suatu potret yang tak pernah ia lupakan.

Saat di tingkat 11, semua itu diawali dari pembagian kelompok Ilmu Pengetahuan Sosial.

“Untuk kelompok 5, anggota-anggotanya adalah sebagai berikut; Nancy Duchaness Ive, Rachel Elizabeth Janssen, Irene Watson, juga…”

“Ayo, dua anggota la—“

“Frank von Stresemann dan Hansel Fredrick Richter.”

“…he?”

Juga diawali dengan kegiatan pinjam-meminjam spidol.

“hei, Watson.”

“Ada apa?” Yang ditanya malah berusaha menyembunyikan keterkejutannya.

“Kupinjam spidol permanenmu yang hitam, ya. Kau boleh meminjam spidol yang warna merah padaku, jika kau tidak punya.”

“…uh, sure.”

Yah. Intinya, rasa suka bisa datang dari hal-hal sesimpel itu.

Ah, juga yang satu ini.

“Frank!”

“mr. Arben?”

“Kau dapat salam dari salah satu kakak kelas perempuanmu. Ia bilang, kau sangat tampan.”

“…oh, ya?”

Sahabat Frank mulai menyikut lengan pemuda itu.

Dan, marilah tengok Irene yang mendengus kesal sekarang.

“Bohong sekali. Apanya yang tampan?”

(“Jangan begitu, padahal setahuku kau pernah bilang ia tampan, bahkan mengatakan manis pun.” “Hei, diamlah!”)

Sepertinya, dibandingkan dengan pemuda lain, Irene membenarkan bahwa ia sudah terlalu “awestruck” dengan von Stresemann ini.

.

Ketika fajar mulai membentang, Irene sudah berada dirumahnya. Seusai menyejukkan tubuh dengan shower, ia menggunakan piyama berwarna baby blue untuk pakaian malam nanti. Ia menyalakan netbook yang ditaruh di atas meja kayu, sembari menyamankan posisi duduknya di kursi. Saat layar monitor mulai menyala, Irene segera mengklik icon salah satu jejaring sosial yang ia miliki.

Tak lama kemudian, lengkungan penuh kebahagiaan menghiasi wajahnya. Dari pesan terakhir yang ia terima—tak tahu darimana—, gadis itu bergegas merebahkan dirinya di kasur, mengambil telepon genggam yang tergeletak dengan naasnya, kemudian segera menghubungi seseorang.

“Selamat sore, ini dengan pemilik username ravenglasses?” Irene mulai menanyakan identitas begitu panggilannya sudah tersambung dengan orang di seberang sana.

“Tak perlu kaku begitu, auraivoir. Beruntunglah kau menerima pesannya.”

Irene tertawa renyah. “Jujur saja, aku tak menyangka kau memberikan nomor teleponmu sendiri dan ingin mengobrol denganku. Bukankah kita saling mengirimi pesan di twitter?”

“Tidak, hanya saja… aku ingin mengobrol langsung denganmu. Memangnya salah?”

Perasaan menggelitik kemudian muncul ke permukaan. Mendengar pernyataan seperti ini, Irene mengharapkan pemuda itu yang mengatakan ini, dihadapannya. Justru yang ia dapat malah teman akrabnya dari dunia roleplaying. Tak apalah, pikirnya. Barangkali pemilik username ravenglasses benar-benar orang yang hangat, seperti temannya di dunia fana tersebut.

Tetapi, ada sesuatu yang sedikit mengganjal. Suara ravenglasses, Irene kenal baik dengan pemilik suara ini. Namun, ia lupa identitas orang itu. Barangkali sahabat, teman, atau bahkan sepupunya.

“Baiklah, baik. Jadi, apa yang ingin kau bicarakan sampai aku harus menelponmu?”

“Begini, jadi..”ravenglasses menarik napas panjang—“..saatdisekolahtadikauharustahubahwaakuberhasilmewakilisekolahkuuntukolimpiadefisika!Itubenarbenarmembanggak—“

Gadis bermarga Watson itu ternganga. Bagaimana bisa temannya—ravenglasses berbicara tanpa jeda selama ini?

(Ngomong-ngomong, Irene seperti mendengar sesuatu yang lebih familiar jika dibandingkan nada suara ravenglasses.)

“…apa yang kau bicarakan? Tidak jelas, tahu.”

Terdengar ocehan kekesalan dari sana. “Baiklah, akan kujelaskan lagi, jadi begini..,” ravenglasses menarik napas panjang, namun Irene menghentikan temannya itu sebelum telinganya berdengung.

“Intinya, yang kusimpulkan adalah kau mendapatkan pengalaman menyenangkan saat berada disekolah tadi. Ada lagi yang ingin dibicarakan denganku?”

“Sejujurnya, aku ingin membicarakan banyak hal denganmu. Bisa, kan? Toh tidak sampai jam sepuluh malam.”

“a-apa? Oh, oke.”

Irene menanggapi kalimat perkalimat yang diucapkan ravenglasses, begitu juga sebaliknya. Obrolan mereka mengalir deras bagaikan banjir yang meluap. ravenglasses benar-benar menaikkan tingkat moodnya, seperti biasa.

“Masih ingat tidak insiden hearthhandmaiden yang dikurangi poinnya karena salah plotti— OH ASTAGA. Kau bilang tidak akan sampai jam sepuluh malam!” Irene berteriak panik sembari menatap jam dindingnya. Oke, obrolannya dengan ravenglasses di twitter saja selalu berlanjut hingga lewat kemampuan dewi Malam untuk menyinari langit— benar-benar larut malam.

ravenglasses tertawa usil. “Mungkin kau saja yang ingin berlama-lama ditelpon.”

“Apa? Aku? Tolong ya. Aku hanya ingin berlama-lama jika pemuda yang kusukai menelponku—yah, meski hanya ingin menanyakan proyek Teater. Hih.”

“Kau menyebalkan.”

“Kalau iya, kenapa? Akan kututup ya, telponnya. Kau tidurlah, anak kecil tidak baik tidur malam-malam.” Irene tertawa mengejek.

“Sialan, kau benar-benar…” ravenglasses mencibir. “Sebelum itu, boleh aku tahu siapa orang yang kau sukai itu?”

Irene mendadak bungkam. Sangat lama.

Baru kali ini ravenglasses bertanya hal-hal seperti itu. Jika saja ia tak menyebutkan “Aku hanya ingin berlama-lama jika pemuda yang kusukai menelponku,” pasti ravenglasses tak akan bertanya seperti barusan. Ugh! Stupid mouth! Stupid mouth! Irene memaki dirinya sendiri dalam hati.

“…Tidak apa jika kau tak mau cerita. Lagipula, jika aku tahu siapa orang yang kau sukai, aku tak bisa membocorkan hal ini pada teman-temanku. Kita pada dasarnya tak saling mengenal, benar?”

Irene masih terdiam.

Mungkin saja ravenglasses akan menutup telponnya sehabis ini. Ya, daripada terus menerus mendesak orang lain untuk membocorkan rahasia pribadinya, putuskan saja koneksi telponnya. Di sisi lain, Irene merasa bersalah kalau saja ia tak menjelaskan siapa itu Frank dan mengapa ia sangat menyukainya. Ia dan ravenglasses sudah menjalin persahabatan sejak dua tahun lalu, kalau mereka sudah sedekat itu… mana mungkin Irene masih saja menutupinya. Lagipula, memendam terlalu lama juga tidak baik.

“Baiklah kalau begitu, auraivoir. Selamat mala—“

“HEI TUNGGU! Oh, well… Aku memang sedang menyukai seseorang yang bahkan hampir tidak menyadari keberadaanku. Puas sekarang?”

ravenglasses kedengarannya mulai melancarkan strategi kejahilan-tak-berujungnya. “Tak menyadari keberadaanmu. Semenyedihkan itu? Eng, kalau kau ingin curhat padaku, boleh saja.”

“Tidak mau! …eh, sudahlah, toh kau juga tidak akan mengerti keadaannya. Sejak berada di tingkat sebelas, aku menyukai seseorang yang juga teman sekelasku saat itu. Aku tidak mengerti, mengapa aku sangat mengaguminya sampai sekarang, hanya dengan menatapnya dari kejauhan.”

Tak terdengar apapun dari sana, namun Irene yakin ravenglasses belum memutuskan sambungan telponnya.

“Aku tak pernah diberi kesempatan untuk sekedar mengobrol dengannya. Aku sudah tak sekelas lagi dengannya. Dan kau tahu? Mungkin saja dia sedang berpacaran dibelakangku. Eh, memangnya aku ini siapanya… sampai melarang orang lain berpacaran saja. Hahaha.”

Irene menerka, jika ravenglasses ada dihadapannya sekarang, ia pasti akan tersenyum miris kearah gadis itu.

“Aku sangat menginginkan kesempatan-kesempatan itu berdatangan padaku, namun disisi lain aku tidak bisa mengharapkannya.”

“…apa kau tidak bisa langsung saja mendekatinya? Jangan sungkan untuk mengajaknya mengobrol, kalian kan teman.”

“Ya, teman…” Keheningan menguasai percakapan mereka, sebelum akhirnya, “jika diibaratkan, ia bagaikan bintang VY Canis Majoris, dan aku adalah Pluto si kerdil. Pluto, hanya bisa menikmati keindahan Canis Majoris tanpa mempunyai kesempatan berdekatan dengannya.”

Maksudmu?”

“Orang itu—bintang… hanya dapat bermakna jika kita menatapnya dari kejauhan, bukan?

Butuh waktu lama sebelum akhirnya telepon genggam Irene mati kehabisan baterai.

—fin. —


Filed under: one shot, original fiction

Lukewarm

$
0
0

lukewarmG // Ficlet
Author: Harumi

 

“Apa kau selalu tidak tertarik pada apapun?”

Aku membuka blog alumni malam ini, tidak ada postingan terbaru selain reuni akbar bulan depan. Aku baru saja menekan klik pada mailbox, dan mendapat rekap angkatan dari admin. Aku membaca semuanya hingga berada di pertengahan halaman, dan berhenti untuk kembali pada ingatan semasa sekolah dulu seperti ada mesin waktu yang membawaku kesana.

Dia yang duduk di bangku paling ujung kelas, bukan, bukan yang persis di bawah jendela paling belakang tapi agak di depannya sedikit. Kali ini aku tidak membuatnya seperti tokoh utama film. Karena pada kenyataannya, dia bukan.
Aku tidak ingin membicarakannya seperti Raflessia arnoldi, pada kenyataannya ia tidak berbau. Bahkan sehabis olahraga. Ia memang berpeluh tapi dia tidak seperti Raflessia arnoldi. Tapi ia mirip. Orang-orang bilang ia kadang mirip parasit.

Mereka menyebutnya Luke, tapi nama aslinya Lucas. Perawakannya sangat tidak sehat, ia terlihat lesu tapi arogan bukan main. Tidak heran, ia tak punya teman. Ia jarang berbicara dan ia terlihat selalu tak tertarik hampir pada semua hal. Cara jalannya pelan sekali, tungkai kakinya seperti menghitung kotak ubin.

Aku tidak berteman dengannya, kami bahkan belum pernah bicara sama sekali.

Jadi, aku ada di kelas melukis yang sama dengannya. Aku baru bergabung di kelas ini kira-kira dua minggu yang lalu, ketika ia sudah diperhitungkan sebagai sesepuh. Dia tidak bicara pada siapapun, ia hanya berkutat dengan kuas-kuas, cat vermillion dan cairan minyak tanah di samping kakinya. Dia berlagak sok Picasso.

Sebenenarnya aku tidak bergabung di kelas ini untuk menjadi stalker-nya. Aku juga tak menganggapnya sebagai objek foto yang bagus tapi dia benar-benar murid yang um—ya sedikit kurang ajar. Setiap pertemuan, ia membuat sketsa yang banyak sekali. Di antaranya skestsa komikal Guru Jill, seorang guru lukis yang sangat tidak produktif untuk ukuran seorang tutor. Kemarin ia membuat sketsa Guru Jill dengan bokong yang besar sekali dan dua tanduk di atas kepalanya persis seperti iblis ambeien.

Sialnya, aku selalu tertarik memotret apapun yang kulihat.

Belakangan, murid-murid kelas melukis terlihat lebih giat dari klub manapun. Guru Jill bilang, kami akan mengadakan pameran terbesar abad ini. Padahal aku berani taruhan, hanya akan ada guru lain yang disuap Guru Jill dengan roti kelapa dan klub jurnalis sekolah. Kalau begitu, tugasku ada dua. Menyelesaikan satu lukisan dan menangkap tiap momen pameran dibalik lensa. Mungkin, aku termasuk orang yang cukup aktif bahkan sebagai anak yang kurang populer.

Aku menduduki kursi paling kiri di kelas melukis sore ini tidak seperti biasanya, tepat di belakang Luke. Karena jumlah anggota kelas ini genap, semua dibagi menjadi tim. Satu tim dua orang, semacam kolaborasi.

Luke dan aku ada di tim yang sama.

Seperti yang sudah kukatakan, aku dan Luke tidak berteman. Kami tidak saling bicara–tidak saling menyapa. Hari ini adalah penghancur harga diriku. Aku harus bicara pada Luke demi pameran pertamaku.

“Apa kau selalu tidak tertarik pada apapun?”

Luke hanya menatapku dengan wajah yang–aku tidak tahu. Seperti campuran antara mengantuk dan sudah bosan dengan bau cat minyak. Ia tidak menggerutu, tidak mengeluh tapi juga tidak melakukan apapun. Jemari Luke dengan tiba-tiba meraih pensil di atas palet. Ia menyentuh kanvas, menarik garis dari berbagai sudut. Ia meracik sebuah sketsa.

“Warnailah, anggap saja seperti buku mewarnai taman kanak-kanak. Kini tugasku sudah selesai.”

Aku melongo, Luke keluar ruangan tanpa berniat kembali lagi. Hei, kanvas ini cukup besar untuk kutangani sendiri.
Di sana, di atas kanvas itu. Aku tidak melihat sebuah masterpiece seperti Van Gogh. Luke juga tidak membuat sketsa Guru Jill. Di sana ada seorang gadis menatap jauh pada seorang anak laki-laki.

Aku dan Luke tidak pernah bicara apapun lagi setelah itu, bahkan ketika rumor beredar kalau Guru Jill tidak mengajar lagi. Kabarnya ia kabur dengan uang kas melukis untuk pameran yang ia janjikan. Ketua klub sepertinya sudah melapor tapi pada akhirnya mereka semua menyerah. Aku menyia-nyiakan lima jam dalam hidupku untuk menyelesaikan lukisan itu. Yang pada akhirnya hanya dibuang ke dalam gudang sekolah.

Banyak yang bisa berubah dalam kurun waktu yang tak kau kira. Seperti aku, berdiri di depan gerbang mantan sekolah yang sudah berubah cukup banyak. Seingatku, dulu tak ada tanaman merambat ini di sisi gerbang utama.

Sebagian besar di antara mereka tidak kukenali lagi, bahkan ada yang bilang Freya si itik–semacam julukan seolah ia gadis paling buruk rupa katanya menjadi runner-up di sebuah kontes kecantikan daerah. Asher dulu murid altletik kebanggaan klub sepakbola kabarnya mengalami kelumpuhan. Dan desas-desus lain mulai dari yang sudah diterka hingga yang tak pernah kau prediksi.

Kepala Sekolah yang baru memanfaatkan lukisan-lukisan buangan di gudang. Iya, lukisan gagal ulah Guru Jill di masa lalu. Bau kanvasnya menjadi agak aneh. Seperti lembaran buku tebal perpustakaan yang melembap. Aneh, tapi sangat nostalgik sampai-sampai kau ingin menikmatinya lagi.

Bisa kulihat lukisanku dulu, ya meskipun ada campur tangan Luke juga. Luke, aku hampir melupakannya.

“Kau merusak sketsa-ku, Gabby.”

Aku menengadah ke atas, dan ada dia yang biasa duduk di bangku paling ujung kelas. Sejak kapan berubah menjadi setinggi ini. Setidaknya, dia terlihat lebih sehat tapi kurasa arogansi memang bawaan lahiriyah-nya.

“Oh, jadi kau tahu namaku.”

Luke menunjuk ke dadaku, tidak seperti yang kau pikirkan. Semua tamu reuni mengenakan name tag yang digantung di leher. Mirip perkakas ujian. Aku tidak yakin tapi Luke tampak sedikit ramah sekarang. Dulu rambutnya agak panjang dan dibelah tengah mirip boyband western awal 2000-an. Sekarang penampilannya dandy, dengan sweater rajut dan kemeja denim didalamnya. Ia memotong rambutnya rapi dengan belahan samping dan kacamata khas lelaki kutu buku. Ia mirip Henri, karakter penggila matematika di film Malavita.

Dan Luke mengalungi sebuah kamera.

“Ini, kau merubah sudut pandangnya. Bukan gadis ini yang memperhatikan si laki-laki tapi kebalikannya. Aku jadi menyesal tidak menggambar matanya.”

Aku tidak menjawab, aku sedikit terperangah lantaran mungkin yang tadi itu kalimat terpanjang yang pernah Luke katakan padaku. Aku juga tidak berharap ia akan mengatakan kalimat yang lebih panjang lagi, sih.

“Dan yang dikalungi gadis itu bukan dasi, tapi tali kamera.”

Aku masih tak menjawab, parahnya aku kaku tidak tahu apa yang harus kujawab. Aku sibuk pada duniaku sendiri, memikirkan hal-hal yang mungkin sebelumnya tidak sempat aku sadari. Luke bercakap cukup panjang setelah itu, termasuk profesinya sebagai seorang fotografer. Sepertinya sangat banyak hal yang tidak aku ketahui soal laki-laki ini, termasuk fakta bahwa ia suka memotret.

“Aku tidak begitu tertarik pada kamera atau kertas foto. Aku hanya mendapat motivasi dari seseorang. Kau, apa pekerjaanmu sekarang?”

Kurogoh sling bag yang menggantung di bahu kiriku sejak tadi, aku hanya mengeluarkan beberapa kuas dan palet yang belum dicuci dari dalam kantong bekas belanjaan mini market. Luke memperhatikannya. Mungkin ia memikirkan sesuatu, mungkin juga tidak.

“Sejak kapan kau tertarik tentangku?”

Luke tidak tersenyum, tidak menunjukkan eskpresi keheranan. Luke juga tidak berpindah posisi atau menggaruk kepalanya. Ia tetap si poker face Luke.

“Kali ini aku tertarik.”


Filed under: one shot, original fiction

Overcooked

$
0
0

overcooked

G // Ficlet
Author: Harumi

 

Gigitan kedua setelah ia menelan bungkus pie pertama bulat-bulat. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari sarapan dengan kudapan favorit-mu, di tempat favorit dan alasan yang favorit.

Sengaja bangun terlambat adalah rutinitasnya beberapa hari belakangan. Di blok sebelah ada toko roti yang baru buka, ia rasa tidak salah absen makan nasi goreng buatan bunda. Di sana menjual pie lemon. Ia penyuka aroma citrus dan makanan praktis. Setidaknya kau tidak perlu membawa sendok dan wadah bento untuk sekedar sarapan di bus.

Bunda bilang makan yang asam-asam di pagi hari membuatmu gelisah. Kau tahu, ketika kita belum menelan apapun semalaman dan perut sudah disuguhi shock therapy. Ya, semacam itu. Yang jelas ia hanya ingin pie lemon. Rasanya sangat pantas dinantikan di pagi-pagi berikutnya.

Toko roti itu tidak terlalu besar, tapi cukup besar untuk toko roti yang baru buka. Ada empat meja kecil disudut dalam kiri dan kanan toko. Sebuah bangku kayu panjang di luarnya, tepat di kedua sisi pintu. Lalu juga ada payung corak merah dan putih seperti permen payung. Atap depannya dilindungi kanopi berwarna senada. Anggrek hutan di dalam pot tanah liat bergantung di sepanjang kanopi membuat toko itu terlihat asri. Di sela pot ada gantungan nama toko “Cupid Bakery” tertulis di situ dengan ukiran kayu dan cabang daun di huruf i nya. Temboknya dilapisi batu alam warna karamel, bersambung dengan kaca seperti etalase di butik. Ketika kau memasukinya, ada hiasan gantung roti jahe mirip boneka salju di sisi kasir. Dan seorang kasir, tentunya.

“Silakan mau memesan yang mana?”

Si kasir memang terlalu to the point, tidak seperti tempat makan cepat saji yang sempat menawarimu album pernyanyi lokal dengan cuma-cuma. Kau tidak bisa mengambil sendiri rotimu disini, Semua menunya ada di belakang kasir.

Pie lemon, dua.”

Tangan muscular-nya yang pucat menyapit dua bungkus pie ke dalam kantong. Si kasir tidak mengatakan apapun selain mengetik total harga di balik mesinnya. Dia mungkin bukan orang yang cukup asik sebagai teman bicara. Ya memang, orang-orang ke sini untuk sebuah roti.

Ia memandangi si kasir lagi, kali ini dengan dahi yang mengernyit. Ia juga tidak tahu apa yang barusan ia lakukan. Tapi kasir itu mirip seseorang, ia merasa déjà vu. Tidak juga sih, mungkin si kasir memang bertampang sedikit pasaran. Seperti orang-orang yang terkadang mirip selebriti. Tapi memang benar, rasanya si kasir sedikit mirip Ryan Kwanten dan campuran beberapa aktor lainnya. Rambutnya tidak hitam, tapi juga tidak secoklat kantong roti yang ia genggam. Matanya hazel tetapi kelam dengan bulu mata yang jarang-jarang juga lentik. Dan hari ini si kasir mengunyah permen karet, sama seperti hari-hari sebelumnya.

“Selamat menikmati, jangan bosan berkunjung!”

Ya, si kasir selalu mengucapkan kata-kata yang sama. Seperti boneka teddy bear dengan rekaman suara otomatis yang pernah ia dapat di ulangtahunnya yang ketujuh.

Ia baru saja rebahan diatas karpet turki ruang tengah, setelahnya bunda pulang dengan kantong-kantong belanjaan yang tidak lazim. Maksudnya, ia anak tunggal dan kebutuhan bulanan keluarganya tidak sebanyak itu hanya untuk tiga orang. Mungkin dihitung empat–Ia, ayah, bunda dan Tempura, kucing jantan peranakan persia milik keluarga.

“Kau tahu Lea, Bunda lupa membeli muffin.”

Bunda akan mengadakan arisan dadakan sore ini. Dari rautnya, ia sudah tahu kalau bunda sangat butuh bantuan. Usai membantu bunda dengan teko besar untuk cocktail buah, ia bergegas. Kemana lagi kau akan mendapat roti yang cukup banyak untuk disebut grosiran demi tamu-tamu tukang rumpi teman ibumu.

Biasanya kau dapat melihat beberapa koki dan ahli pastry di balik rak roti. Tapi hari ini tokonya sepi seolah hanya ada kasir itu sendirian, padahal craker-nya masih penuh belum ada yang membeli. Ia juga sekilas melihat kue lapis yang masih tersusun pada tempatnya.

“Silahkan mau memesanyang mana? Tapi hari ini menunya hanya ada itu.”

Okay, kasir ini tetaplah bukan teddy bear. Ia bicara agak panjang lebar sekarang.

“Apa kau punya muffin?”

Si kasir berbalik badan dan–oh ia baru tahu kalau namanya Collin. Tidak seperti biasa, ada name tag perak di sisi seragamnya. “Collin R.” agak samar karena peraknya ditimpa sinar matahari dari balik kaca toko.

“Kami punya beberapa. Kebetulan baru dipanggang. Mau mencobanya dulu?”

Kemudian ia duduk di kursi paling ujung dengan secangkir kopi es, ditemani si kasir masih di balik mesin hitungnya. Ia tidak tahu kapan hingga ia sampai pada beberapa gigitan muffin yang terakhir dengan si kasir, di depannya. Dari dekat si kasir tampak sedikit flamboyan. Jika kau penggemar anime, maka ia seperti seorang tokoh tambahan yang sassy dan tidak peduli kata orang.

“Jadi namamu Lea?”

“Iya, Lea Suzuki.”

Si kasir mencondongkan tubuhnya untuk memberi tahu namanya lewat name tag, sesuatu yang sudah Lea perhatikan sejak tadi. Tidak ada obrolan berarti yang mereka ungkap siang itu, hanya obrolan seorang laki-laki pertengahan dua puluh dan gadis sekolahan biasa. Collin bercerita cukup banyak untuk percakapan pertama mereka. Lea hanya mendengarkan dengan seksama sambil menyeruput kopi es yang mulai berembun. Collin bilang, toko itu adalah ekspansi bisnis keluarga. Hari itu sangat sepi karena pie andalan toko sedang tidak diproduksi. Tukang masaknya sepupu Collin, seorang wanita paruh baya gempal yang ada di balik rak roti. Katanya, sepupu Collin sempat sekolah tata boga selama empat tahun. Dan selai lemonnya adalah yang terbaik.

“Aku tidak tahu bagaimana ia bisa mengolah kulit kuning itu jadi sebuah pie.”

Collin bilang, ia tidak hidup untuk berada di belakang mesin kasir. Ia punya semacam cita-cita yang ditentang. Dan ia berakhir menghitung uang koin serta bersikap semanis mungkin pada orang-orang pecinta pastry di depannya setiap hari.

Alih-alih bertanya tentang Collin dan mesin kasirnya, Lea justru penasaran dengan pie lemon. Yang juga merupakan favoritnya.

“Manusia akan mencapai titik terlemahnya. Misalnya, seorang penulis yang kehabisan ide. Ya, aku juga tidak mengerti kenapa wanita gendut itu mogok kerja. Tapi katanya dia butuh sedikit inspirasi padahal yang ia masak hanya itu-itu saja.”

Lea tidak tahu kalau Collin cukup cerewet juga, setidaknya untuk ukuran orang baru. Mereka bahkan bisa membicarakan biji gandum selama setengah jam. Collin mengeluh betapa lelahnya ia harus memegang beberapa tugas sekaligus di toko pada hari itu. Sepupunya mempercayakan banyak hal pada Collin.

“Si gendut itu bilang, aku punya dua hal yang bahkan tidak dimiliki karyawan dapur. Kau mau tahu apa itu? yang pertama adalah papan nama ini dan yang kedua adalah seorang pelanggan tetap,” ucap Collin sarkastik.

Dan Lea, tidak tahu kalau ia bahkan belum sempat menghabiskan muffin di tangannya karena sibuk mendengarkan Collin.

“Eh, bagaimana muffin-nya?”

Kepala Lea tertunduk, ia mengalihkan pandangannya pada muffin di atas piring. Lea menyibak kertas roti dari bagian bawah muffin, warnanya terlalu cokelat dan Lea tahu rasanya pasti agak pahit.

“Ini sedikit–overcooked.”

Collin menyimpul tawa kecil, dia benar-benar mirip Ryan Kwanten ternyata.

Muffin itu, aku yang memanggangnya.”

Ah, Lea jadi tahu kenapa Collin berada di balik kasir.


Filed under: one shot, original fiction

[FICLET] Surat untuk Lelaki Berbaju Merah

$
0
0

Mount Elbrus Russia

.

.

Hai Lelaki Berbaju Merah,

 .

Baru saja aku bertemu denganmu di kelas hari ini, dengan baju merahmu yang biasa.

Hari ini kita duduk berjauhan. Aku di depan, kau jauh di belakang. Tapi, aku tahu kau mencari-cariku. Aku langsung tahu ketika tadi pandangan mata kita bertemu.

Sekilas. Satu detik.

Lalu kau tersenyum padaku.

 .

Ya. Cukup satu detik. Dan jantungku berdebar lebih cepat dari yang seharusnya.

 .

Ah, masih sama. Reaksiku ketika bertemu denganmu dan melihatmu tersenyum padaku, masih tetap sama.

Getaran itu ternyata masih ada.

 .

Aneh ya? Padahal, toh kita tak pernah ada hubungan istimewa.

Beberapa tahun yang lalu, kita sangat dekat. Dekat sekali. Saking dekatnya, dulu itu aku sampai berharap lebih akan kedekatan kita.

 .

Aku masih ingat ketika kita jalan berdua di bawah langit berbintang. Kita mencari pom bensin karena motor tuamu mogok. Kau berjalan menuntun motor tuamu, sementara aku berjalan di sisimu sambil membawakan helmmu.

Aku masih ingat jelas bagaimana raut mukamu di bawah sinar rembulan. Saat itu aku tersadar. Aku jatuh hati padamu.

Bukan. Bukan hanya karena wajahmu yang punya daya tarik khas itu. Tapi juga karena kebaikanmu yang luar biasa padaku.

 .

Aku juga jatuh hati pada mimpi-mimpimu. Kau pria yang penuh impian.

Bicara mengenai impian denganmu, rasanya tak pernah cukup waktu.

Menggebu.

Membuatku sangat bersemangat untuk mencapai impianku juga.

 .

Bisa seharian kita berdua berbagi mimpi. Bercerita tentang impian dan cara mencapainya. Lalu, biasanya pembicaraan akan melantur kemana-mana, dengan canda dan tawa. Sambil menikmati semangkuk es buah paling enak yang pernah kucicipi.

 .

“Nggak ada maybe no dalam mencapai impian. Adanya maybe yes.”

Begitu katamu waktu itu.

 .

Aku kagum pada semangatmu, Lelaki Berbaju Merah.

Aku kagum dengan caramu menyemangatiku dalam mencapai mimpi.

 .

Ya, aku jatuh hati padamu.

.

Tapi itu dulu. Sekarang, aku sudah tak berani berharap lagi padamu.

Meski getaran di dada masih ada.

Selalu ada.

 .

Bahkan masih ada, ketika beberapa waktu lalu iseng-iseng, kau meminta kubuatkan buku. Kau ingin aku menulis tentang pendakianmu.

Hei, sebenarnya, sudah ada cerpen yang kubuat khusus untukmu. Itulah sebabnya, kau tidak kuberi bukuku waktu kau memintanya. Aku malu. Sebab, kau pasti tahu kalau cerpen itu untukmu. Di situ tertulis jelas cerita tentang kita dulu. Hahaha. Seandainya kau tahu, bagaimana ya reaksimu?

 .

Lelaki Barbaju Merah,

Apa kau tahu? Aku masih menjulukimu “ice tea.” Hanya gara-gara rayuan gombalmu beberapa tahun yang lalu, ketika aku marah padamu.

Kau bilang, “Kamu manis banget deh. Kalah deh es teh sama kamu. Jangan marah ya?”

Hahaha. Aku masih tertawa jika mengingatnya.

 .

Lelaki Berbaju Merah,

Beberapa bulan lalu, kau sempat menanyakan statusku. Aku tidak tahu apakah pertanyaanmu itu mempunya tedensi tertentu, atau hanya angin lalu. Tapi, waktu itu aku sempat sedikit berharap, kita bisa sedekat dulu. Apalagi kau masih mengantarkanku pulang, masih mengajakku sekedar mampir ke tempat minum es favoritmu, minum es berdua.

 .

Hmm.. mungkin itu hanya angin lalu ya. Aku benar-benar tidak berani berharap lebih.

 .

Tapi, terkadang aku berpikir, apa mungkin kita berjodoh ya?

Maksudku, selama apapun kita tidak bertemu, pada suatu titik, kita akan kembali bertemu dan kembali dekat, seolah rentang waktu tidak dapat memisahkan kita.

 .

Tapi, aku tidak berani berharap lebih. Aku hanya bisa berdoa. Bila kau memang jodohku, semoga Tuhan segera mempermudah jalan kita.

 .

Namun, Jodohku atau bukan, aku tetap akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu :)

 .

Salam manis,

Penulis

 .

.

***

.

.

.

.

.

*ditulis pada 18 Januari 2011, masuk dalam project #30HariMenulisSuratCinta

dengan sedikit perubahan pada bagian akhir

.

.

Dan bahkan hingga kini, sembilan tahun sejak kita pertama kali dekat dulu,

ketika bertemu kembali denganmu,

ternyata debaran di dada itu masih ada :’)

 


Filed under: one shot, original fiction

[ONESHOT] Stairway to Hell

$
0
0

stairwaytohell

If they knew how misery loves him.

Lana mematut pantulan dirinya di hadapan sebuah cermin seukuran orang dewasa yang menempel di dinding, di ruangan terpencil yang khusus disediakan untuk sekelompok orang-orang yang mengenakan tanda pengenal seperti miliknya.

Blazer hitam, tanda pengenal khusus, sepatu yang tak akan memproduksi bunyi-bunyian tok-tok-tok yang mengganggu ketika ia berjalan, dan rambut cokelatnya yang menggantung dalam ikatan kuncir kuda. Puas dengan penampilannya—yang sebenarnya tidak perlu terlalu rapi juga, sih—gadis itu menoleh cepat ketika namanya dipanggil dari arah pintu.

Wajah Kim Jongin adalah yang ia temukan ketika ia membuka sepenuhnya pintu yang sebelumnya hanya menutup setengah bagian, mengerutkan keningnya atas paparan ekspresi cemas yang menempel lekat di wajah lelaki itu. Jongin berada satu tim dengannya, berjaga di lantai dua bersama dua orang staff lain. Dan setelah berbulan-bulan bekerja bersama, Lana mengenal tiap ekspresi yang hadir dan pergi di wajah lelaki itu—dan untuk kasus yang ini, gadis itu sudah melempar jauh-jauh harapannya agar setidak-tidaknya ia mendengar berita baik.

“Dia marah-marah. Di ruangannya. Kau tahu kenapa? Jumlah penontonnya kurang.” Jongin menghela napas, melepas kancing paling atas, dan melonggarkan dasi merah marun yang bersanding dengan kemeja putihnya. “Dia melihat rekap penjualan tiket pagi ini, memaksa Sehun untuk memberikannya, dan kau lihat akibatnya sekarang? Dia uring-uringan padahal konser akan dimulai dalam setengah jam.”

Satu gerakan singkat, dan Jongin berhasil menyelamatkan Lana dari kemungkinan mati tersedak lalat.

You’re kidding.

“Apakah wajahku terlihat seperti orang yang tengah mengumbar lelucon? Ya Tuhan, Kiddo, seriuslah sedikit.”

Alih-alih memberikan sederet kalimat penenang yang memang diharapkan besar oleh Jongin ketika ia memutar langkahnya kemari, Lana justru menghela napasnya keras-keras.

Gadis itu melarikan tangannya, menyisiri anak-anak rambut yang jatuh membingkai wajahnya. Communicator yang terpasang di telinganya ia lepaskan, lalu ia kaitkan di sisi kanan gesper khusus yang dibuatkan Kim Junmyeon ketika dua tahun yang lalu ia memulai pekerjaannya.

“Ada berapa bangku kosong yang harus kita isi?” Lana bertanya sembari menyenderkan punggungnya di permukaan dinding berwarna kelabu itu, yang penuh dengan corak-corak abstrak karena tahun yang panjang telah menggerogotinya. “Maksudku… jika hanya butuh sedikit setidaknya kita bisa mengerahkan orang-orang terdekat kita untuk membantu.”

Jongin menggeleng pelan—dan itulah jawaban yang paling tidak ingin Lana saksikan.

It’s impossible, I tell you,” ujar lelaki itu, kini berkacak pinggang. “Jumlahnya ratusan. Satu-satunya cara… yah, aku tak ingin melakukannya lagi, jika boleh jujur. Aku masih ingat tatapan mereka ketika keluar dari ruang konser pribadinya, dan—ya Tuhan, tidak adakah cara lain?”

Kerutan di kening Lana kian mendalam. “Apa kata Junmyeon tentang ini?” tanyanya hati-hati, menyebutkan nama pimpinan mereka dengan suara rendah.

“Junmyeon juga tak bisa berbuat apa-apa. Kyungsoo sudah menawarkan untuk menelepon semua kenalannya, tapi ingin digabung dengan seluruh squad juga tak akan menambah apa-apa.” Jongin  melenguh. “Tidakkah kau ingin mencoba bicaranya dengannya?” tanya lelaki itu hati-hati dengan nada rendah.

Sebenarnya Jongin sudah bisa memprediksikan reaksi gadis itu bilamana ia menyuarakan pikiran dalam kepalanya ini, namun ia sudah lama tidak adu mulut dengan Lana, dan setidaknya tak ada salahnya mencoba, kan? Lana kini memerhatikannya lamat-lamat, seolah gadis itu baru saja menangkap basah Jongin mengenakan pakaian dalam di atas seragam lengkapnya. Iya, untuk pandangan macam begitu dari Lana, ia sudah hapal di luar kepala.

Oh ya, dan seolah malaikat langsung mengamini apa yang ada di pikiran Jongin, kepala Chanyeol tiba-tiba menyembul dari sudut tikungan lorong—yang kala itu agak sepi karena semua sibuk akan persiapan konser.

“Oi, Kiddo, Tuan Muda Byun yang diagungkan ingin bertemu denganmu.”

Ya. Walaupun Chanyeol menyampaikan pesan itu dengan nada mencemooh, Lana tetap tak dapat menyembunyikan degup ketakutan di dadanya. Setidaknya, tepukan pelan di bahu dari Jongin, ditambah Chanyeol yang merangkulnya hingga di depan pintu utama sedikit membantu—hanya sedikit tapi.

Apa benda yang dilemparkan lelaki mungil berwajah psikopat itu ketika terakhir kali ia ingin bertemu dengannya? Asbak dari marmer? Oh Tuhan, semoga kali ini lelaki itu tidak menyimpan granat atau bangkai babi kali ini di ruangannya.

Byun Baekhyun bukanlah tipe seseorang yang akan membuatmu nyaman bekerja dengannya, bukan tipe seorang Tuan Muda yang akan tersenyum balik padamu ketika kau menyambutnya ramah setiap kali ia sampai di rumah kebanggaannya. Lana toh sudah merekam baik-baik semua ini di hari pertama ia bertemu Junmyeon, yang mengajaknya duduk di sebuah kedai kopi dan menceritakan seluruh tugasnya, kebiasaan Tuan mereka, bahkan sebuah rahasia kelamnya. Dan Lana tidak menerima pekerjaan ini hanya dengan sekali pikir, tentu saja.

Namun toh, lelaki muda itu berhak-berhak saja melakukan itu—mengintimidasi pengawal-pengawalnya, memecat siapapun tergantung kepada mood yang melingkupi dirinya hari itu, melemparkan apapun yang ada di dekatnya apabila keinginannya tak terpenuhi. Dan ya, ia memiliki kekuasaan itu. Ia memang bukan seorang penyanyi yang kini tengah naik daun, namun selama ia memiliki gelimangan uang di tangannya, semuanya sah-sah saja ternyata.

Menaiki tangga marmer yang berkilauan terkena siraman cahaya lampu kristal yang menggantung, Lana berusaha mengendalikan degup jantungnya. Ya ampun, bahkan rasanya gendang telinganya hanya dipenuhi dengan suara genderang itu sekarang. Ia sampai pening karenanya.

Berdiri di hadapan dua orang lelaki bertubuh tegap lain yang memiliki tanda pengenal sepertinya, Lana mengangguk. Ia melangkahkan kakinya sepelan dan sehati-hati mungkin ketika salah satu dari lelaki itu berbisik di telinganya, “Mood-nya seperti haus akan darah. Berhati-hatilah.”

Ya, bagus. Lana mencemooh. Itu sangat-sangat tidak membantu.

Pintu tertutup di belakangnya, dan Lana disambut oleh sebuah ruangan mewah dengan corak cokelat muda di mana-mana. Ia tidak sering berkunjung kemari—oh, ya terima kasih banyak untuk tawaran itu—untungnya, karena terakhir kali Lana menginjakkan kakinya di ruangan ini, lelaki itu hampir membuatnya tengkoraknya pecah karena diadu marmer.

“Chanyeol bilang… anda memanggil.” Lana berkata—sesopan mungkin—kepada sosok mungil yang duduk membelakanginya di sebuah sofa panjang.

Gadis itu melarikan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, mendapati pakaian-pakaian berserakan di mana-mana—di lantai, di kursi, menggantung menutupi jam dinding, dan bahkan dari tempatnya berdiri, Lana baru sadar kloset pribadi lelaki itu tengah terbuka lebar menampilkan keadaan yang membuatmu berkata kandang babi mungkin lebih terlihat nyaman dibandingkan kekacauan ini.

Byun Baekhyun memiringkan kepalanya sedikit, mungkin mengintip dari balik bahunya ketika Lana menjelaskan maksud kedatangannya kemari. Lesakan di sofa menghilang ketika lelaki itu mengangkat tubuhnya, kini berjalan dengan langkah lambat-lambat menuju dirinya.

Here we go. Rasa sakitnya akan sebentar, Lana, percayalah. Tidak akan sehoror yang kaupikirkan.

“Dan? Kau tahu kewajibanmu sebelum kau dipanggil kemari?” Baekhyun bertanya lambat-lambat, menyenderkan dirinya pada bagian belakang sofa panjang yang semula ia duduki. Pertanyaannya bernada halus, Lana sadari, namun arti di belakang tatapannya yang akan lebih menjelaskan.

Mengatur emosinya agar tetap stabil, gadis itu mengangguk. “Kami kekurangan—“

Kalimat Lana dipatahkan tiba-tiba oleh kekehan lelaki itu. Keras, karena kini keringat dingin rasanya menjalari sekujur tubuh gadis itu.

“Aku tidak bertanya soal yang itu, Lana….” Baekhyun melanjutkan, meredakan tawa bengisnya yang dibuat-buat. “Aku bertanya soal tugasmu. Mengerti?”

“Menyebarluaskan berita konser Anda, Sir, dan memastikan seluruh bangkunya terisi penuh.”

“Apakah sudah kaukerjakan dengan baik?” Baekhyun bertanya lagi, menggunakan nada seorang guru yang tengah bertanya ‘apa ibukota negara Argentina’ kepada sekelompok murid ajarnya.

“Sudah, Sir.

“Bagaimana hasilnya?”

Lana menelan bulat-bulat air liurnya. Ini dia. Pertanyaan sakral sebagai penentuan akan dilempar oleh apa dirinya nanti.

“Kami kekurangan beberapa bangku, Sir.” Gadis itu menjelaskan. “Mungkin karena jadwal yang telah ditentukan bertepatan dengan hari nasiona—“

“Kau tahu aku benci ketika ruang konsernya tidak penuh saat aku menyanyi, kan, Lana?” Gadis itu bungkam, tahu jika nasibnya keluar dari ruangan ini nanti akan bergantung pada suasana hati tuannya sekarang—yang kini tengah berjalan lambat ke arahnya, dengan kedua tangan di dalam saku, dan ekspresi wajah keseluruhan yang sulit ia baca. Lana menurunkan pandangannya sehingga kini menatap ujung-ujung sepatunya yang tak memiliki urusan apapun dalam masalah ini, baru saja menyadari bahwa lelaki itu kini berdiri di belakangnya. “Kutanya sekali lagi. Apakah aku senang menyanyi di ruangan kosong, Lana?”

Oh ya Tuhan, bahkan suaranya saja mampu mengintimidasi seperti ini—ketika kau tidak sedang berhadap-hadapan dengannya, ketika kau tidak sedang ditatap dalam-dalam olehnya. Well, memang kekuatan menjatuhkan lawan sudah dimiliki nenek moyang keluarganya, mungkin.

“Tidak, Sir. Sama sekali tidak.” Lana mendecit waktu menjawab.

Baekhyun terkekeh lagi, kini seraya menghela napas. Aroma mint dan sedikit percikan alkohol di dalamnya, Lana mengenali itu, tapi di luar itu semua ia justru mengerutkan kening. Ia ingat tak pernah mendapati tuannya berteman baik dengan lintingan batang terbakar itu.

“Kau tahu prinsipku, Lana. Kau tahu apa yang membuat konserku berhasil, aku tahu kau sudah merekam seluruhnya dalam ingatanmu—Junmyeon tidak terlalu bodoh sehingga lupa memberitahu hal ini pada hari pertama kau bekerja, kan?” Lana mendapati kedua bahunya dibebani, direngkuh oleh jemari-jemari lentik lelaki itu di masing-masing sisi, pun dengan bagian belakang kepalanya yang berkontak ketika lelaki itu menyenderkan dahinya di sana. “Kau mengerti aku, Lana, kau yang selalu kutugaskan berada di lantai dua setiap konserku berlangsung.”

“…”

Gadis itu bergidik ketika pegangan Baekhyun yang tiba-tiba kini merosot ke sisi kanan-kiri lengan atasnya, mempertahankan posisinya di sana—terlalu lembut, namun Lana tahu bomnya bisa meledak sewaktu-waktu.

“Kau akan membuat ruangan konsernya penuh dengan tepukan tangan, kan, Lana?” Baekhyun bertanya lagi, merendahkan tubuhnya hingga kini ia menopangkan dagunya di bahu kanan gadis itu, mengisi udara di sekitarnya dengan aroma mint yang kentara—“You did well on previous days. Keep working. Keadaanku setelah konser ini berlangsung akan bergantung pada jalannya konser, Lana.”—dan mengakhirinya dengan sebuah kecupan singkat di pipi gadis itu, sebelum melangkah pergi.

Junmyeon memberikan perintah dadakan lima belas menit sebelum konser tunggal sore itu, menghubungi pimpinan semua tim, dan mengadakan pertemuan singkat di lobi utama. Mereka akhirnya menjalankan ide Kyungsoo, mengerahkan seluruh personel untuk menghubungi semua orang dekat mereka, kenalan, bahkan seseorang yang baru saja mereka temui ketika sedang bertugas atau apapun.

Sadar bahwa bagaimanapun hasilnya tak akan sepadan, Junmyeon mengerahkan personel lain yang tak bertugas selama konser berlangsung. Kyungsoo, misalnya, dan beberapa koki lain—siapa sih yang akan mereka hidangkan makanan ketika sang tuan besar sedang mengadakan konser?

Lana dan Jongin mengawal tuan mereka secara privasi, menurunkannya di belakang gedung konser—yang lagi-lagi kepemilikan pribadi tuan muda Byun yang diagungkan—lalu mengawalnya sampai ke ruang ganti. Mereka meninggalkannya di sana untuk kembali ke posisi masing-masing di lantai dua setelahnya, dan Lana masih sempat menangkap pandangan mata Baekhyun ketika ia hendak bergegas.

Mau tak mau, Lana merasa iba juga. Well, entah mengapa, namun ambisi lelaki muda itu selalu lebih besar, bahkan lebih besar dari ukuran tubuhnya. Yah, setidaknya ia dan para personel lain telah melakukan semampu mereka.

“Junmyeon memberitahuku taktiknya berhasil. Yah, masih tersisa beberapa puluh di barisan paling belakang, sih, tapi setidaknya seluruh bangku dalam jarak pandang Baekhyun sudah terisi penuh. Sehun sudah mengetesnya tadi.” Jongin berkata panjang lebar di telinga Lana, ketika ruangan itu kini digelapkan dan lampu sorot tengah menyinari bagian tengah panggung. Tirai belum diangkat. Baekhyun punya dua menit untuk menenangkan dirinya dulu.

Lana mengangguk, merasa lega. “Setidaknya kita bisa membuatnya senang untuk hari ini, Jongin,” katanya, dengan nada pelan namun ada campuran rasa getir di air liurnya.

Tanpa Lana ketahui, dahi Jongin mengerut kian dalam. “Belum selesai, Lana. Tirai belum dibuka, ia belum bernyanyi. Konser tunggalnya bulan-bulan lalu diisi dengan ia yang berteriak kalap di atas panggung karena dering telepon di tengah jeda lagu,” katanya.

“Chanyeol memastikan seluruh audiens mematikan ponsel mereka, pager—itupun jika masih ada yang memakai—, video game, benda apapun yang akan mengeluarkan suara berisik, pokoknya.” Lana meyakinkan Jongin. “Kita hanya tinggal berharap tak ada yang luput dari peringatan Chanyeol.”

“Yah. Semoga saja.” Jongin berkata setelah tirai mulai diangkat dan alunan intro lembut dari sebuah lagu yang dipopulerkan oleh penyanyi Celine Dion dikumandangkan ke seluruh penjuru ruangan. Lana tersenyum kecil. Baekhyun menyukai lagu ini, sangat. Ia mendengarnya menyanyikan to Love You More berkali-kali.

Lana mendengar suara gemerisik dari communicator miliknya, mungkin pesan dari Junmyeon yang mengharuskan seluruh bagian bersiap pada posisi masing-masing. Suaranya terengah, yah pimpinan itu mungkin juga berlarian di sepanjang gedung konser, memastikan tidak ada yang salah.

Copy that.” Jongin berkata, mewakili dirinya dan Lana kepada Junmyeon.

Baekhyun mengeluarkan suaranya tanpa cela ketika mencapai refrain, menyihir seluruh penonton di ruangan itu untuk tetap menancapkan pandangannya ke tengah-tengah panggung, bahkan memaksa beberapa untuk menahan napas mereka. Jongin, yang biasanya hanya akan menangkup kedua tangannya di depan dada dan menonton dengan raut wajah bosan, kali ini bahkan membiarkan mulutnya setengah terbuka.

Nada tingginya sempurna, pembawaannya tenang, pun dengan ekspresi wajah lelaki itu di atas panggung yang seolah menekankan pada Lana bahwa kegelisahannya tadi di ruangannya adalah akting belaka. Yah, dan kabar baiknya juga, Lana tidak ingat ia menangkap pandangan mata Baekhyun menyipit ketika menyapu tempat duduk penonton di bagian belakang—ia toh pasti akan mengenal segelintir bawahannya yang kini menyamar di tengah-tengah penonton.

Sisa konser berjalan baik. Gemuruh tepuk tangan yang selalu diidamkan Baekhyun selalu menggedor-gedor rungunya setiap ia menyelesaikan sebuah lagu, pekik kekaguman di mana-mana, dan setidaknya wajah Baekhyun cerah sepanjang malam itu—dan Lana sempat menangkap acungan jempol dari Kyungsoo yang seolah mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

Namun tentu, seolah tidak menginginkan separuh akhir konser malam itu selesai dengan sempurna, takdir membiarkan sisi kanan depan panggung yang semula mengilat di bawah spotlight dibasahi oleh seonggok kecil balon air yang berasal dari sisi kanan panggung.  Lana tertegun, pun dengan Baekhyun yang langsung menghentikan nyanyiannya di tengah-tengah.

“Apa-apaan—“

Baekhyun tak dapat menyelesaikan kalimatnya, sekonyong-konyong ketika hujan balon air menyerang lelaki itu dari berbagai penjuru. Lana tersentak, dengan tangan gemetaran menekan tombol mungil pada communicator, mengganti frekuensi pada barisan penjaga di luar yang dipimpin oleh Chanyeol. Dari sudut matanya, Kyungsoo menggiring beberapa anggota lain untuk mengamankan.

“Chanyeol, ada apa ini? Adakah penyusup di daftar penonton?” Lana bertanya sembari terengah, menuruni undakan tangga berkarpet, menuju pintu keluar ruangan, meninggalkan urusan di dalam kepada Jongin.

“Tak mungkin, Lana. Aku dan Sehun sudah memeriksa daftar itu puluhan kali. Tidak ada nama-nama yang berhubungan dengan pihak yang menjadi saingan Baekhyun. Tidak ada sama sekali. Di mana kau sekarang?”

Lana menggelengkan kapalanya, merasa sedikit tidak setuju dengan pernyataan Chanyeol. “Menuju ke tempatmu,” jawabnya. “Kau yakin mereka tidak menggunakan nama samaran? Kalian sudah melihat kartu tanda pengenal penonton sebelum memasuki gedung, kan?”

“Tentu saja. Semuanya sah. Aku yakin. Kau bisa menghubungi Sehun juga untuk bertanya padanya.”

“Baiklah kala—“

“Junmyeon ada bersamaku. Pertemuan singkat di depan, Lana, ia sudah mengirimkan Sehun dan beberapa orang untuk membantu Jongin mengamankan situasi di dalam. Kyungsoo yang akan mengawal Baekhyun kembali ke mansion. Bergegaslah, Kiddo.”

“I will.”

Junmyeon mengadakan rapat dadakan, menyuruh seluruh tim untuk berjaga di empat pintu keluar berbeda pada gedung konser, memastikan semuanya mengecek ulang tanda pengenal yang dibawa masing-masing pengunjung. Kejadian seperti ini sudah biasa. Dunia hiburan memang diciptakan juga untuk bersaing satu sama lain, bukan? Seseorang tak akan tinggal diam apabila lawannya mulai mengambil hati penonton lebih banyak daripada yang ia pernah lakukan.

Lana ingat mereka berhasil menangkap basah beberapa di konser tunggal Baekhyun bulan-bulan dulu, menggunakan nama dan tanda pengenal palsu, dan mengotori panggung dengan puluhan tomat busuk dan bom udara berbau tak enak. Tapi itu hanya segelintir, bukan menyerangnya dari segala arah seperti tadi—dan Lana tak akan berbohong jika ia mengatakan bahwa pandangan terluka Baekhyun tadi adalah yang pertama kali dilihatnya.

well, pada konsernya yang dulu, Baekhyun akan memandang bengis dan seolah akan menguliti siapapun yang berani menghancurkan konsernya. Tapi yang ini, yah, berbeda saja.

Pimpinannya baru akan menyelesaikan rapat dadakan tiga menit itu ketika sosok Oh Sehun berlari terengah menuju padanya. Lana membiarkan Sehun bertumpu pada lututnya sejenak untuk mengambil napas, sebelum ikut-ikutan membelalak seperti beberapa orang yang kala itu berdiri di sana bersamanya.

“Baekhyun menghilang. Ia mengambil mobil di parkiran belakang, dan sepertinya menuju mansion.”

Lana tak ingat jarak dari pintu depan menuju ruang pribadi tuannya bisa sejauh ini, melewati lorong kayu dengan pigura berisi puluhan lukisan yang menutupi setiap inci dinding membuatnya seolah berada di sebuah hall of fame tersendiri. Rumah mewah ini dalam keadaan sepi—Junmyeon mengarahkan seluruh personelnya untuk bertugas di gedung konser. Bukan salahnya, ini memang acara besar-besaran yang diinginkan tuan mereka.

Menapak pada anak tangga pertama yang akan mengantarkannya pada urutan lantai kedua dengan bentuk tangga spiral dari batu pualam, Lana mencoba untuk mengontrol emosinya. Ia takut, jelas, tuan mereka  bukan hanya akan marah besar saja kali ini. Mungkin akan ada hukuman pancung di lapangan belakang semata-mata untuk menghapuskan kesedihannya, atau kemungkinan paling baik dan diharapkan semua orang hanyalah pemberhentian tiba-tiba. Ya, pemberhentian kerja yang dapat kau samakan dengan hadiah menang lotere.

Kakinya kebas, pikirannya kacau. Kata-kata Baekhyun tadi sore berdenging di telinganya, lagi, seolah tak mau keluar, dan menghantui setiap langkahnya. Lana membanting pintu ruangan itu terbuka, berniat akan bersujud dalam-dalam pada Tuhan apabila kali ini ia mendapati Byun Baekhyun dengan wajah merah yang menahan marah dan siap melemparinya dengan benda apapun.

Ruangannya kosong, namun Lana tidak salah mengenali jas hitam beludru yang basah di satu sisi tergeletak sembarangan di dekat pintu yang menjeblak terbuka. Mengendalikan napasnya yang berburu, gadis itu mencoba untuk menenangkan dirinya.

Sir?” Gadis itu memelankan langkahnya. “Apakah Anda baik-baik saja?”

Langkah kecilnya membawanya melewati sofa panjang yang tadi sore diduduki Baekhyun, setengah berharap bahwa lelaki itu ada di sana, namun nyatanya hanya bekas lesakan tadi sore yang tertinggal. Kloset yang terbuka masih bertahan pada posisinya, namun Lana tak salah menangkap pintu ruangan lain yang menuju ke kamar lelaki itu dalam keadaan setengah terbuka.

Mengerutkan dahi, Lana memacu langkahnya, tetap stabil pada kecepatan lambat—dia tak ingin menyulut ulang kemarahan lelaki itu dengan menyiraminya dengan bensin setelah ia terbakar karena konser tadi.

Sir?

Mengayun pintu agar terbuka, Lana mendapati kondisi kamar ini pun tak kalah berseni dengan kloset pribadi lelaki itu. Sebuah ranjang berukuran double terletak di tengah-tengah ruangan berkarpet beludru itu, dengan bagian kepala menempel di dinding. Lampu temaram menyinari sebagian ruangan dengan corak cokelat muda yang sama, menyajikan bayangan muram di dindingnya ketika Lana berjingkat memasuki ruangan itu.

Terakhir kali ia dipanggil kemari, Baekhyun tengah bersandar pada teralis di balkonnya, menyesap segelas kecil wine mahal yang selalu khusus dipesan untuknya. Lana hanya bisa membuat asumsi-asumsi kecil kali ini, mengira bahwa mungkin tuannya tengah diredam amarah sehingga tak menyadari dirinya ada di dalam sini.

Keadaanku setelah konser ini berlangsung akan bergantung pada jalannya konser, Lana.

Gadis itu menggeleng kuat-kuat, mencoba untuk mengenyahkan suara lelaki itu dari pikirannya, ya ampun bahkan ketika saat seperti ini, Baekhyun masih bisa mengintimidasi seseorang melewati pikiran.

Kaca menuju balkon terbuka lebar, dan kali ini, Lana mengenali botol wine serta retakan gelas tinggi yang sering digunakan lelaki itu. Pikirannya yang semula tenang mulai bergemuruh lagi, pun ketika ia mendapati tuannya dalam keadaan tak biasa di sudut balkon. Mata gadis itu membelalak dan pikirannya mulai kacau kala ia berusaha meraih tombol mungil di communicator miliknya dan menghubungi Jongin.

“Jongin… hubungi rumah sakit.”

*

.

picture credit source: tumblr.


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Byun Baekhyun, EXO

[ONESHOT] a Coffee Latte Love Story

$
0
0

tumblr_mr7y58rW0F1r21j16o3_1280

Karena definisi bahagia setiap manusia berbeda.

Plantage Muidergracht 31-35.”

Sebuah taksi melaju dengan kecepatan sedang, membelah lalu lintas kota Amsterdam yang tidak terlalu padat pagi itu, membawa sang penumpang ke alamat yang baru saja disebutkan.

Uap panas masih mengepul dari gelas kopi yang sepertinya masih enggan untuk dinikmati oleh pemiliknya. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Hingga tiga puluh detik berlalu, isi gelas itu masih bertahan di tempatnya. Bukankah kopi akan terasa lebih nikmat jika masih hangat? Tapi bahkan sang pemilik hanya menggenggam sekenanya, seolah tidak memiliki niat sedikitpun untuk sekedar mencicipinya.

Ray, penumpang yang sedari tadi diam itu memberikan sejumlah uang sesuai dengan angka yang tertera di argo lalu keluar setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih dalam bahasa Belanda yang dibalas dengan senyum ramah sang supir. Pria itu berjalan perlahan, lengkap dengan raut wajah yang tak terbaca – campuran antara cemas dan mendamba, tidak seperti biasanya karena Ray terkenal dengan sikap cerianya kapanpun dan di manapun.

Ray memutar kenop pintu ragu, sekali ini dalam hidupnya ia merasa tidak ingin bertemu dengan seseorang yang saat ini tengah menunggunya di dalam. Ia sungguh kaget saat tadi menerima telepon dari Kangjun, teman berbagi apartemennya itu.

“Pulanglah, ada seorang gadis yang mencarimu,” ucap Kangjun begitu Ray menjawab panggilannya.

“Seorang gadis? Siapa?” tanya Ray di seberang. Heran, seingatnya dia tidak pernah memberitahu tempat tinggalnya pada teman-temannya, terutama seorang gadis.

“Hyun-ah…,” panggil gadis itu, yang sebelumnya memberi isyarat pada Kangjun untuk mengoper ponsel itu padanya.

Hanya ada satu orang yang memanggilnya seperti itu. Hanya gadis itu…

Ray bersyukur tidak harus disuguhi dengan pemandangan wajah gadis itu saat ia membuka pintu. Karena ia memang harus naik tangga terlebih dahulu agar sampai di ruang tamunya. Ray melangkah dengan gontai, menyusuri setiap anak tangga dengan enggan. Saat akhirnya Ray berdiri di anak tangga terakhir, gadis itu menoleh. Ray berusaha tersenyum saat melihat gadis itu bangkit berdiri dan berjalan mendekat ke arahnya. Gadis itu menghambur ke dalam pelukannya lalu berkata, “Aku merindukanmu, Hyun-ah. Sangat merindukanmu.”

Ray memalingkan wajahnya, berusaha menahan air mata yang hendak menyeruak. Ia memang merindukan gadis yang sekarang tengah memeluknya dengan begitu erat ini tapi, tidak. Tidak karena ia belum siap bertemu dengannya, belum dengan kondisi hatinya yang masih terluka.

Seberapapun kuat Ray menahan diri, pada akhirnya ia menyerah. Ia membalas pelukan gadis itu dengan sebelah tangannya yang bebas, mengusap punggung gadis itu lembut, berusaha menyalurkan rasa rindu yang selama ini selalu ia tahan seorang diri.

“Kau tak pernah bilang kau tinggal di sini bersama orang lain. Aku kaget sekali tadi saat melihat orang lain yang membukakan pintu untukku.” Gadis itu memprotes kebisuan Ray selama ini. Ray hanya pernah menghubunginya sekali, beberapa hari setelah ia menempati apartemennya sekarang. Ia menginformasikan alamatnya pada gadis itu, sekedar basa-basi sebenarnya karena Ray yakin gadis itu tidak mungkin mengunjunginya di Amsterdam.

“Maaf. Aku tidak menyangka kau akan datang ke sini.”

Gadis itu melepaskan pelukannya lalu merebut gelas kopi dari genggaman Ray. Ia menyipitkan matanya lalu mencubit gemas pipi Ray. “Kau selalu seperti itu dan…sejak kapan namamu berubah menjadi Ray?”

Ray mengendikkan bahunya lalu berjalan melalui gadis itu, lantas menghempaskan tubuhnya ke sofa. “Ini Belanda, aku hanya memudahkan orang lain untuk memanggilku. Nama Hyun-il terlalu susah untuk lidah mereka, Noona.”

“Kau sendiri, ada perlu apa di Belanda?” tanya Ray setelah beberapa saat kebisuan melanda mereka. Gadis itu – Song Min Ra yang sudah mengikuti jejak Ray untuk duduk di sofa, menghentikan aktifitas minum kopinya lalu mengatupkan kedua bibirnya, tampak berpikir. “Entahlah, aku sendiri tidak begitu yakin dengan alasanku tapi yang pasti aku merindukanmu, aku ingin menemukan kembali Hyun-ku yang menghilang dua bulan ini.”

“Berhentilah mengklaim diriku sebagai milikmu, kau lupa pada kekasihmu yang super tampan itu hah?”

Min Ra tercenung saat mendengar kata-kata Ray. Kekasihnya yang super tampan? Kekasihnya yang mana? Kekasih yang ternyata hanya menjadikan dirinya pelarian tapi ternyata tidak pernah melupakan mantan kekasihnya yang berkhianat? Kekasih yang setengah mati ia cintai tapi ternyata tidak pernah benar-benar mencintainya itu? Kekasih yang itu maksudnya?

“Jangan mengalihkan pembicaraan, bocah manis. Bagaimana kehidupanmu selama dua bulan ini? Kau tidak merindukan noona-mu yang cantik ini?”

Ray mendengus lalu tersenyum mengejek. Apa dia gila sampai-sampai dia tidak merindukan gadis yang ia cintai? Kalau ia memiliki sedikit, ya sedikit saja keberanian tentu saja ia akan mengatakan bahwa sebenarnya ia sangat merindukan Min Ra.

Min Ra memutar tubuhnya, mengamati apartemen yang Ray tempati. Tadi ia merasa tidak leluasa untuk terang-terangan menjelajah setiap inchi apartemen itu mengingat Kangjun masih berada di ruangan yang sama dengannya sebelum akhirnya memilih untuk pergi beberapa menit sebelum Ray datang.

Ada tiga jendela besar di sisi kiri sofa tempatnya duduk, memperlihatkan pemandangan kota Amsterdam yang hari itu tampak cerah. Sementara di sisi kanannya terdapat sebuah dapur kecil yang berdampingan dengan meja makan. Ada sesuatu yang membuat Min Ra menatap dapur itu lama-lama. Ia beranjak dari tempat duduknya, menghampiri sesuatu yang menarik minatnya.

“Kau bilang kau akan berhenti membuat dan minum kopi, tapi apa yang kutemukan di sini?” tanya Min Ra sambil menunjuk sebuah coffee machine yang terletak di salah satu sudut rak.

“Aku memang sudah berhenti menjadi pecinta kopi. Itu milik Kangjun, jadi kau jangan senang dulu. Aku masih pada pendirianku.”

Min Ra memicingkan matanya, menatap Ray intens. Ia ingat betul bagaimana dua bulan lalu tiba-tiba Ray mengatakan akan pergi ke Belanda untuk melanjutkan kuliahnya dan mengatakan jika ia akan berhenti dari seluruh aktifitasnya sebagai barista. Tentu saja Min Ra kecewa, Ray bukan hanya sekedar seseorang yang sudah ia anggap sebagai barista pribadinya tapi juga sebagai seseorang yang memiliki tempat khusus di hatinya. Mereka bukan baru satu atau dua tahun saling mengenal, lebih dari itu tentu saja. Ray adalah tetangganya, resmi menjadi tetangganya saat Ray lahir dan Min Ra berusia tiga tahun. Min Ra yang saat itu merupakan anak tunggal merasa sangat senang, seolah mendapatkan seorang adik yang memang sudah ia dambakan.

Sembilan belas tahun hidup berdampingan sebagai tetangga tentu bukan waktu yang sebentar. Tumbuh besar bersama, melakukan banyak hal bersama hingga akhirnya sama-sama menemukan mimpi mereka bersama, menjadi seorang barista handal.

Ray dan Min Ra belajar bagaimana membuat kopi dengan benar, bagaimana membuat kopi dengan hati sebagaimana mereka mencintai cita rasa kopi itu sendiri. Perlahan-lahan langkah mereka untuk menjadi seorang barista mulai maju. Ray beberapa kali menjuarai kompetisi antar barista yang di adakan di Korea Selatan sementara Min Ra kebanyakan lebih memilih untuk mendukung Ray. Ia memang mencintai profesinya sebagai seorang barista tapi ia merasa jauh lebih nikmat hanya dengan menjadi seorang penikmat kopi, terlebih buatan Ray.

Hingga saat dimana mereka mulai mengenal sesuatu yang bernama cinta, semua mimpi dan kebersamaan yang mereka bangun selama ini menjadi seolah kasat mata. Tidak ada lagi Min Ra yang menjadi penikmat pertama kopi racikan baru yang Ray buat dan tidak ada lagi gairah bagi Ray untuk melanjutkan semua usahanya.

Bohong jika Ray mengatakan ia menjadi seorang barista semata-mata karena Min Ra tapi, pun bohong juga jika Ray mengatakan Min Ra tidak berperan. Min Ra dan barista adalah dua hal yang sama-sama ia cintai hingga  akhirnya di suatu waktu hatinya lebih memilih untuk berhenti. Sesuatu yang membuatnya merasa kalah bahkan sebelum sempat memperjuangkan cintanya. Ia ingin berhenti mencintai Min Ra sekaligus berhenti mencintai profesinya sebagai barista karena mengingat kopi sama artinya dengan mengingat gadis itu.

“Aku benar-benar tidak mengerti, kau melepaskan cita-citamu begitu saja. Aku tahu betapa kau sangat menyukai profesimu itu.”

“Kau sendiri, kenapa berhenti?” Ray balik bertanya. Ia memang tidak pernah tahu apa alasan di balik hengkangnya Min Ra dari setiap kompetisi antar barista yang sebelumnya kerap ia ikuti.

Min Ra tersenyum. “Aku hanya menemukan sebuah fakta di mana aku lebih menyukai menjadi seorang penikmat bukan peracik. Aku bisa merasakan lidahku bereaksi puas setiap kali mencicipi kopi buatanmu. Sementara saat aku membuat kopi, aku hanya merasa bahwa aktifitas itu adalah sesuatu yang menantang. Sementara untukmu, aku jelas tahu makna kopi untukmu tidak sedangkal itu kan?”

Ray mendengus, tapi hatinya mengatakan yang sebaliknya. “Jangan sok tahu.”

= n = e = y = s =

Noona-ya, menurutmu bahagia itu apa?”

Min Ra tersenyum lalu mengeratkan gandengan tangannya dengan Ray. Sore itu, masih di hari yang sama, mereka tengah menikmati sore hari dengan berjalan kaki di sekitar jalan Damrak, tentunya setelah sebelumnya puas melihat-lihat isi dari Madame Tussaud Museum serta mencicipi beragam makanan yang di jual di sepanjang kios yang berjajar di sana.

“Bahagia itu…secangkir kopi buatanmu di pagi hari.”

Ray tersenyum mendengar jawaban Min Ra. “Maaf.”

“Tidak apa-apa, mungkin aku harus belajar memulai hariku tanpa kopimu. Mungkin aku harus mulai mencari-cari kebahagiaanku yang lain.”

Ray menghentikan langkahnya lalu menghadap Min Ra. “Apa maksudmu, Noona? Joongki hyung… Dia… Kau bahagia kan dengannya?”

Min Ra mengedipkan sebelah matanya lalu menepuk pelan pipi Ray. “Aigo~ uri Hyun-ah mengkhawatirkanku rupanya.”

Min Ra memutar kembali tubuhnya, mengajak Ray untuk kembali berjalan. Mereka berdua terdiam, hanyut dalam pikiran masing-masing. Min Ra tentu saja ingin menjawab pertanyaan Ray barusan dengan sebuah anggukan kepala yang meyakinkan tapi bagaimana jika ia sendiri ragu dengan kebahagiaannya bersama seorang pria yang saat ini masih berstatus sebagai kekasihnya itu?

Joong-ah… Aku bahkan tidak tahu apa aku benar-benar bahagia saat bersamamu.

Aku harap dia benar-benar bisa membahagiakanmu, Noona.

“Maaf.” Suara Min Ra terdengar memecah keheningan. “Maafkan aku karena mengabaikanmu demi Joong. Aku benar-benar menyesal karena tidak lagi selalu ada saat kau meracik kopi baru.”

“Kembalilah ke Seoul, Hyun. Kau bisa melanjutkan kuliahmu di sana kan? Kau bisa kembali mengejar mimpimu sebagai barista bersamaku.”

“Aku tidak bisa, Noona. Aku ingin kembali tapi, aku tidak bisa. Maaf.”

“Yang perlu kau lakukan hanyalah kembali mencoba. Aku tidak memintanya untuk diriku. Aku memintanya demi dirimu sendiri, Hyun.”

“Maafkan aku, Noona.”

= n = e = y = s =

“Kau ini pura-pura lupa atau bagaimana sih?” tanya Min Ra setengah menyindir pada Ray yang saat ini berkutat dengan coffee machine di hadapannya.

Min Ra mengetuk kepala Ray pelan yang reflek membuat pria itu mengaduh ketika ia kembali menambahkan kopi ke dalam campuran kopi yang hendak dibuat. “Kau pikir kita sedang membuat kopi apa, Hyun? Latte. Mau kau tambah kopi berapa banyak lagi?”

Ray menoleh sekilas sebelum akhirnya mengembalikan kopi yang baru saja ia tuang ke dalam tempatnya. Bukan, bukannya ia lupa kalau saat ini ia hendak membuat secangkir coffee latte untuk Min Ra. Bukan juga lupa bahwa coffee latte berarti campuran susu dan kopi dengan perbandingan 3:1. Ia hanya ingin mengatakan pada Min Ra betapa pahitnya hatinya kini lewat cita rasa kopi yang ia buat untuk Min Ra.

Coffee latte adalah kopi favorit Min Ra sekaligus kopi pertama yang Ray buat untuk Min Ra. Ia tentu tidak akan lupa bagaimana cara membuat kopi satu itu jika setengah dari kwantitas kopi yang pernah ia buat merupakan coffe latte yang ia buat secara khusus untuk gadis itu. Coffee latte, menu wajib gadis itu di setiap paginya.

Ray menghembuskan nafas, perwakilan dari keengganannya untuk menyentuh kopi lebih lama lagi. Ia bergegas membuat kopi itu dengan takaran biasanya lalu menyerahkannya pada Min Ra. Min Ra yang menerima uluran tangan Ray itu mengaduh saat tangannya beradu dengan cangkir kopi yang masih panas.

“Aw!”

Ray menarik tangan Min Ra lalu membimbingnya menuju wastafel untuk menyiramnya dengan air dingin lalu mengeringkannya dengan lap yang tersampir di rak susun sebelahnya. Tanpa segan ia kembali mengamati kedua telapak tangan gadis itu, berusaha memastikan jika suhu panas kopi tadi masih dalam taraf wajar.

Min Ra berusaha menarik tangannya, menghindari kontak fisik yang terlalu lama dan intens dengan lelaki lain, setidaknya begitulah pesan kekasihnya dulu. Dulu, saat Min Ra masih yakin bahwa kekasihnya itu tulus mencintainya seorang. Tapi sepertinya Ray belum berniat melepaskannya, ia menahan kedua tangan Min Ra lalu menggenggamnya.

“Kau benar-benar ingin aku kembali ke Seoul?” tanya Ray. Min Ra mengerjapkan kedua matanya. Benarkah Hyun-nya baru saja bertanya mengenai keinginannya agar dia kembali? Benarkah? Gadis itu mengangguk cepat sambil tersenyum lebar.

Ray memamerkan senyumnya lalu tangannya beralih untuk menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Ia mengecup puncak kepala Min Ra lalu berkata, “Noona… Tidak bisakah kau tinggal lebih lama di sini? Tiga hari akan berlalu begitu cepat, sekarang sudah hari kedua.”

Min ra menggeleng, masih dalam pelukan Ray.

Noona, ucapanku kemarin padamu itu sungguh-sungguh.” Ray tiba-tiba saja mengganti topik pembicaraannya. Kemarin, saat Ray berkata bahwa rasa sayangnya pada Min Ra tidaklah semurni yang gadis itu duga sebelumnya.

Min Ra menggigit bibirnya, kehilangan kata-kata untuk sekedar membalas kata-kata Ray yang tiba-tiba itu. Atau lebih tepatnya, ia tidak ingin menjawabnya. Tidak.

= n = e = y = s =

“Demi Tuhan, Joong aku tidak mengerti apa maksudmu!” pekik Min Ra pada Joongki yang saat ini tersambung melalui panggilan telepon.

“Aku hanya mengunjungi Hyun, tidak lebih. Kenapa kau mencurigaiku macam-macam? Bukankah seharusnya aku yang meragukan apakah dirimu pergi menemui mantan kekasihmu atau tidak. Berhentilah bertingkah konyol seperti ini, Joong. Aku lelah.”

Min Ra mengusap air matanya, ia tidak pernah bertengkar sampai seperti ini sebelumnya. Tidak pernah Joongki mengucapkan kata-kata kasar padanya meskipun intensitas pertengkaran mereka terbilang banyak, terkecuali hari ini.

Derit pintu di lantai bawah membuat Min Ra sadar jika ia harus segera menutup teleponnya jika tidak ingin membuat Ray khawatir. Min Ra dan Ray baru saja hendak berangkat ke mini market bersama kalau saja Joongki tidak meneleponnya tadi. Pembicaraan yang awalnya menanyakan kabar menjadi pertengkaran saat akhirnya Joongki mengetahui jika semalam Min Ra menginap di apartemen Ray. Bukan sengaja sebenarnya karena semalam Ray, Min Ra dan Kangjun menghabiskan malam bersama dengan menonton film bersama. Ritual perpisahan ala Kangjun sebelum Min Ra pulang ke Seoul siang ini.

Min Ra beranjak dari duduknya, sedikit tergesa masuk ke dalam kamar mandi lalu beringsut masuk ke dalam shower box.

 “Kau menginap di apartemen Ray? Kau ingin aku percaya padamu tapi kau bertingkah murahan seperti itu di belakangku? Kau gila, nona Song.”

Kata-kata itu seolah memiliki fasilitas replay otomatis di dalam otak Min Ra membuat gadis itu menangis semakin tersedu. Disebut murahan oleh kekasih sendiri, tidakkah itu keterlaluan? Hati wanita mana yang tidak akan tersakiti saat seseorang yang ia harapkan untuk melimpahinya dengan cinta tapi malah menuduhnya dengan kata-kata kasar seperti itu.

“Oh c’mon nona Song, kau sengaja mengungkit-ungkit tentang mantan kekasihku hanya untuk menutupi kesalahanmu sendiri kan? Picik sekali pikiranmu?”

Min Ra menggigit kukunya, masih sambil menangis di bawah guyuran air yang sesungguhnya sangat menyesakkan karena membuatnya susah bernafas. Sayup-sayup ia dapat mendengar Ray memanggilnya. Min Ra duduk di salah satu sudut, membasahi tubuhnya dengan air shower yang sengaja ia nyalakan besar-besar. Ia tahu cepat atau lambat Ray akan menyadari kejanggalannya tapi ia tidak peduli, ia ingin berhenti menangis tapi air matanya terus-terusan mengkhianati kehendaknya.

Noona? Apa kau ada di dalam?”

Noona?”

Noona?”

Noona?”

Min Ra membekap mulutnya, berusaha meredam suara tangisannya.

Noona? Aku  tahu kau ada di dalam.”

“Aku…aku baik-baik saja, Hyun,” jawab Min Ra yang tentu saja sangat kentara jika ia tengah dalam keadaan yang tidak pantas jika disebut baik-baik saja.

Ray memutar kenop pintu kamar mandi yang rupanya terlewatkan oleh Min Ra. Begitu pintu terbuka Ray langsung disuguhi pemandangan yang tidak ia duga-duga. Ia berjalan cepat, menghampiri Min Ra. Ia mematikan air shower lalu merapikan rambut Min Ra yang menutupi wajahnya. Pria itu menghapus air mata yang masih terus menetes dari kedua mata Min Ra.

Noona…”

Ray merengkuh Min Ra ke dalam pelukan posesifnya. Pelukannya begitu erat seakan tidak rela untuk melepasnya. Tubuh basah Min Ra menempel sempurna dengan tubuh Ray, membuat pakaian Ray mau tidak mau ikut basah karenanya.

Noona… Apa yang terjadi?”

Mengetahui Min Ra yang Nampak enggan untuk menjawab pertanyaannya, Ray lebih memilih untuk menenangkan gadis itu. Ia mengusap punggung Min Ra perlahan sambil sesekali mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

Cukup lama Min Ra menangis di pelukan Ray. Sebuah pelukan yang membuatnya begitu aman. Ia mengangkat wajahnya lalu berkata dengan lirih, “Terima kasih.”

Mereka sama-sama terdiam beberapa saat. Ray meraih kedua pipi Min Ra dengan kedua tangannya lembut, mengusapnya perlahan sebelum akhirnya mendekatkan wajahnya. Min Ra memejamkan matanya saat bibir Ray menyentuh bibirnya. Hangat. Ciuman yang membuat hatinya tenang seketika. Detik berikutnya, bibir Min Ra bergerak membalas ciuman Ray.

Ray memperdalam ciumannya saat mendapati Min Ra membalas ciumannya. Min Ra mengalungkan tangannya ke leher Ray, mempersempit jarak di antara mereka. Min Ra tersenyum di sela-sela ciuman mereka, merasa ciumannya kali ini terasa berbeda dengan ciuman-ciuman yang pernah ia rasakan sebelumnya, begitu memabukkan tapi membuatnya enggan berhenti. Ciuman ini begitu berbeda dengan ciuman Joongki yang biasanya.

Joongki.

Ada sejumput rasa dingin yang tiba-tiba mencuat di tengah ciuman mereka ketika nama itu muncul di pikiran Min Ra, mengembalikan kesadaran Min Ra. Ia melepaskan tautan bibirnya dengan Ray, sedikit mendorong dada Ray supaya menjauh darinya. Ia mengusap wajahnya frustrasi sebelum berseru, “Damn! Apa yang baru saja kita lakukan? Demi Tuhan, aku baru saja mengkhianati Joong!”

Noona…,” panggil Ray lirih.

= n = e = y = s =

Min Ra mengeratkan genggamannya pada sebuah mp4 yang baru saja Ray berikan untuknya, sesaat sebelum ia check in di bandara tadi. Ray memberikannya dan hanya menyuruhnya untuk mendengarkan sebuah lagu yang sudah sengaja ia masukkan di sana.

Far away.

In case you go far away, in case you might dislike me
I wanted to tell you but my lips
Would not move
 

Without knowing, I call your name
When I see you, my heart trembles
From the start, I was attracted to your eyes
It’s been a while since I started liking you

Honestly, I know you’re too good for me
If it’s not you, I don’t need any other girl, baby

Do you really like that person?
That guy doesn’t know how to love you
I would be a better fit than that guy next to you

Do you really like that love?
I’ll wipe away your tears for you
Don’t cry and come to me, but I know

In case you go far away, in case you might dislike me
I wanted to tell you but my lips
Would not move

In case you go far away, I am scared
What if our relationship gets really awkward
And we grow far apart?

Move now, just disappear because it’s too hard to see you
If I let you go like this, I’ll regret it forever
Anyone can see that guy is a bad boy who will make you struggle
I’ll treat you better baby
My heart is bruised at the thought of you getting far away
But in your eyes, there’s another guy
I wanna break down, I wanna break down, I’m sorry

Do you really like that love?
You don’t look happy
I want you to be happy even just for a moment

Do you really like that person?
I’ll wipe away your tears for you
Don’t cry and come to me, but I know

In case you go far away, in case you might dislike me
I wanted to tell you but my lips
Would not move

In case you go far away, I am scared
What if our relationship gets really awkward
And we grow far apart?

I don’t know I I don’t know
I don’t know what I’m feeling
I don’t know I I don’t know
I don’t know what I’m doing

I only know you alone
If it’s not you, I really might go crazy

Today, I want to tell you
(I want to tell you but it’s not easy)
Today, I want to tell you
I want to just say it but I know I can’t do it

I’m so frustrated, I can see that you’re lost
At the thought of being alone with you
I get happy – but actually I was surprised
I didn’t know that you weren’t there by my side
(I want to be by your side every day
Every day, I want to hear your voice)
Without anyone knowing, come to me and hold my hand

In case you go far away, in case you might dislike me
I wanted to tell you but my lips
Would not move

In case you go far away, I am scared
What if our relationship gets really awkward
And we grow far apart?

“Hubungan kita tidak pernah sesederhana itu, Noona.”

Lagi. Tiga hari berada di Amsterdam rupanya berhasil membuat Min Ra seolah memiliki fasilitas replay di otaknya yang kerap kali memutar ulang kejadian ataupun kata-kata yang sebenarnya tidak ingin ia ingat kembali.

Lagu itu. Kata-kata itu. Itu pasti bukan tanpa maksud kan? itu pasti bukan hanya faktor kebetulan atau iseng semata bukan? Min Ra tentu saja tidak sebodoh itu sampai tidak menangkap arti dari semua rentetan kejadian antara dirinya dan Ray tiga hari ini.

Min Ra menyentuh dadanya, merasakan jantungnya yang berdegup kencang. Adakah rasa hatinya kian selaras dengan milik Ray?

= n = e = y = s =

Min Ra menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, berusaha mengusir dingin yang masih hinggap di tubuhnya sembari menunggu pesanan kopinya diantar. Caffee latte milik Coffee Cojjee adalah yang citarasanya ia anggap paling mendekati dengan yang biasa Ray buat untuknya.

Salju di luar masih turun lebat, menambah lapisan putih yang sudah cukup tebal tapi, tidak pernah seharipun Min Ra melewatkan harinya tanpa secangkir coffee latte café itu.

Lima bulan berlalu, tidak banyak yang berubah dengan kebiasaan Min Ra. Ia masih mengunjungi Coffee Cojjee setiap pagi dan masih berkutat dengan skripsinya. Satu hal yang berbeda adalah perasaannya.

Tiga bulan berlalu sejak ia memutuskan untuk tidak lagi menjadi kekasih dari seorang Song Joongki, ia ingin percaya jika lelaki itu mencintai tapi kenyataan selalu berkata lain, kenyataan selalu mematahkan segala asa dan harapannya sebagai seorang wanita. Kenyataan melumpuhkan cita-citanya untuk bisa membangun rumah tangga bersama dengan pria yang ia cintai itu.

Tiga bulan pula berlalu sejak Ray menawarkan diri untuk menjadi seseorang yang menggantikan setiap kenangan buruk gadis itu dengan kenangan baru yang indah. Tawaran yang justru membuatnya membangun dinding pembatas.

Bukannya ia tidak ingin belajar membuka hati untuk pria itu, hanya saja setiap kali mengingat Ray maka setiap kali itu pula ia merasa bersalah atas kejadian lalu saat dirinya berada di Amsterdam. Merasa bersalah atas hatinya yang selalu menerima setiap perhatian dari Ray. Merasa bersalah atas rasa nyaman dan hati yang terkadang meletup-letup setiap berdekatan dengan Ray. Merasa bersalah atas selingkuh yang telah hatinya lakukan tanpa ia rencanakan sebelumnya.

Min Ra menyesap kopinya seteguk tanpa menoleh pada seseorang yang baru saja meletakkannya di mejanya.

Rasa kopi ini.

Min Ra segera menoleh, tertegun saat mendapati seseorang yang baru saja ia pikirkan kini tengah berdiri di hadapannya.

Ray-nya. Hyun-nya.

Noona…

“Hyun? Kau…kau… Benarkah itu kau?” tanya Min Ra. Ia bangkit berdiri, masih menatap Ray tidak percaya.

Ray mengangguk sekilas sambil tersenyum. Senyum yang sejujurnya begitu Min Ra rindukan. Tiga bulan menghindari semua kontak dari Ray bukan perkara mudah. Ia hanya bisa membalas senyuman itu dengan kikuk, tidak bisa ia pungkiri ada sebagian dari hatinya yang menyuruhnya untuk menghambur ke dalam pelukan pria itu.

 “Hyun-ah…”

Min Ra tidak lagi dapat menahan kerinduannya, ia menghambur ke dalam pelukan Ray saat pria itu membuka lebar kedua tangannya.

Bogoshipoyo, Hyun.”

Na ddo. Na ddo, Noona.

Ray membelai rambut Min Ra lembut lalu mengecup puncak kepalanya. “Noona-ya… Kau pernah bilang bahwa bahagia untukmu adalah secangkir kopi buatanku di pagi hari. Sebegitu cintanyakah kau pada kopi buatanku?”

Ray memejamkan matanya sebelum mengeratkan pelukannya pada Min Ra lalu berkata dengan lirih – sarat akan nada permohonan, “Noona… Tidak bisakah kau belajar mencintaiku seperti kau mencintai kopi?”

Noona… Satu hal yang tidak pernah kau tahu, hal yang menjadi alasanku kembali adalah dirimu. Karena aku begitu mencintaimu, Noona. Aku ingin membuatmu bahagia, aku ingin membuatmu kembali tersenyum. Karena… Melihatmu bahagia, itulah definisi bahagia untukku.

Hi semua!!! Udah lama banget kayaknya nggak menyapa di sini. Hehehe. Ini juga bukan tulisan baru sih sebenernya, udah lama banget malah, hampir 2 tahun lalu. Ini FF project bareng temen-temen nulis yang lain aslinya cuma karena belum di-post di sini ya aku post aja deh.

Bagaimana ceritanya? Sebenernya sangat disarankan kalau aja mau baca sambil dengerin lagunya C-Clown yang Far away. Entah kenapa semakin ditulis ini FF ceritanya nyambung sama lirik lagu itu jadi ya akhirnya aku masukin sekalian. Hehehe.

Oh ya, btw… Buat gambaran gimana lebih jelasnya apartemen si Ray, cek link ini ya?

Ray’s Apartment

Terima kasih untuk kalian yang udah baca cerita ini. Seperti biasa semoga kalian suka dan ada hal baik yang kalian dapat setelahnya.

Sampai jumpa,

neys-

ask me anything here,

@neys_jc


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Kim Hyun-il

[FICLET] Dia, yang Lupa Caranya Menulis Fiksi.

$
0
0

large (1)

credit pict: we heart it

Dia, yang Lupa Caranya Menulis Fiksi.

by theboleroo

.

Vakum selama dua bulan membuat Widuri tampak tolol saat berhadapan denganku. Seperti biasa, kemarin dia uringan-uringan hanya karena gagal menulis satu cerita utuh. Belum sempat menyentuh lima ratus kata, isi kepala dan jari-jarinya sudah tak mau berkompromi. Sebetulnya adegan per adegan sudah tervisualisasi dengan baik di depan wajahnya, tapi dia kesulitan menemukan kata yang cocok dan jalinan kalimat yang oke untuk dibaca.

Ketik, hapus, ketik, hapus. Semakin sering aktivitas itu dilakukan, semakin dalam pula luka yang ditorehkan. Hiperbola, tapi benar adanya. Persetan dengan istilah writer’s block. Aku yakin seratus persen ini adalah akibat dari perbuatannya sendiri. Ya, kalau ada ide dia selalu menunda untuk menuliskannya. Sampai akhirnya ide itu hilang tak berjejak lantaran dilenyapkan waktu, membuatnya lupa total.

Belum lagi pekerjaan yang belakangan memadat telah merampas jatah waktu yang sudah ia alokasikan untuk membaca, serta playlist lagu yang sudah lama tak di-update. Oh, walau bagaimana pun juga tak ada yang lebih berharga dari referensi jika sudah bersinggungan dengan hobinya. Salah seorang teman menganjurkan untuk menonton film banyak-banyak, namun Widuri cuma tertawa kering sambil tak menggubris karena tahu jika hal itu tak akan berguna. Well, ia tidak terlalu suka menonton film. Belum lagi anggapan jika adegan di film hanya akan menjadi bayang-bayang dalam imajinasinya.

Ia memutuskan mendatangi teman dekatnya satu per satu, bertukar obrolan seperti biasa sambil berharap apa yang mereka ceritakan bisa menumbuhkan ide barang sedikit saja. Tapi usahanya gagal dan kembali berakhir dengan acara uring-uringan.

Kulihat ia terlentang di atas tempat tidur, sepasang matanya menatap langit-langit kamar yang catnya mulai terkelupas. Ia menggumamkan sesuatu. Tentang apa, aku tak mau tahu. Secangkir kopi mendingin di sampingku, kusimpulkan begitu karena kepulan asap tipis sudah tak lagi menampakan diri. Lagu Blush milik Mr. Twin Sister menari di udara untuk ke sekian belas kalinya, entah karena ia lupa mematikan tombolrepeat atau memang sedang mengagungkan lagu itu. Tapi yang jelas, aku muak mendengarnya.

“Ya? Ke mana? Boleh, aku juga sedang ingin keluar.” Sambungan telepon yang entah kapan masuknya tahu-tahu terputus. Widuri beranjak malas dari tempat tidur setelah mengikat rambut singanya yang tergerai sampai bahu.

Ia menghampiriku, lantas menggelapkan semuanya.

.

Cahaya perlahan-lahan muncul, mengaburkan pandanganku sejenak dan menyisakan satu profil wajah yang sudah kukenal baik; Dru. Dia sedang menghisap sebatang Dunhill Fine Cut Filter yang terselip di ruas jemarinya yang kurus. Matanya intens melahap isi buku bertajuk Madilog dengan serius. Aku tidak tahu apa-apa tentang buku itu, selain nama penulisnya, Tan… Tan Malaka atau siapalah. Bukan jenis bacaan yang disukai Widuri, atau mungkin, belum disukai karena sejauh ini ia selalu ogah-ogahan keluar dari zona nyamannya—dalam konteks apapun sebenarnya, tidak hanya bacaan.

Tak ada konversasi baik secara verbal maupun atensi yang menyatakan bahwa mereka saling mengakui keberadaan masing-masing. Dru sibuk dengan Madilog dan Americano-nya, sementara Widuri dengan People of the Book karangan Geraldine Brooks yang tak tersentuh nyaris enam minggu. Oh, tak lupa secangkir Darjeeling Tea seperti biasa. Teh yang pernah disemburkan Dru dua tahun lalu, “Rasanya super aneh,” dengusnya kala itu.

Widuri mendongak, menatap tampang polosku sambil menggigit bibirnya yang kering dan terkelupas di beberapa bagian. Entah apa yang dipikirkan perempuan itu. Tentang Haggadah Sarajevo kah? Tentang Dru kah? Tentang suasana kafe yang kepalang sepi dan dingin kah? Atau… tentang teh pesanannya yang terasa sedikit lain?

Dia menutup buku dan menyimpannya sembarangan di dekat cangkir. Siku kanannya bertumpu di permukaan meja, sementara telapak tangannya menyentuh pipi dan dagu. Keningnya berkerut-kerut, matanya tak beralih meski sebentar.

Oh, barangkali ia sudah berhasil membujuk sebuah ide untuk bertandang, dan sekarang, ia tengah menilik dan mengolahnya dengan cermat di sudut kepala.

“Sudah tahu mau nulis apa?” Dru bersuara tanpa menjeda aktivitasnya.

“Ya, begitulah.”

“Menulis tentang aku?”

Nggak, aku bosan,” jawabnya dengan nada monoton.

Jari-jarinya mulai bergerak di atas keyboard, tampang polosku perlahan ternoda oleh huruf-huruf yang terajut. Ah, rasanya sudah lama sekali. Aku melihat ke dalam mata Widuri, ada sesuatu yang menyala di sana. Tidak lebih terang dari Matahari, pun tak lebih redup dari lampu taman. Sedetik kemudian aku menyadari jika cahaya itu adalah semangat.

“Lalu, tentang apa?” akhirnya lelaki itu menyingkirkan pandangan dari halaman buku yang dipegangnya.

Widuri menoleh seraya berkata, “Tentang aku, yang lupa caranya menulis fiksi.”

Aku terkekeh. Meresapi paragraf pertama yang berhasil ia selesaikan….

Vakum selama dua bulan membuatku tampak tolol saat berhadapan dengannya. Seperti biasa, kemarin aku uringan-uringan hanya karena gagal menulis satu cerita utuh. Belum sempat menyentuh lima ratus kata, isi kepala dan jari-jariku sudah tak mau berkompromi. Sebetulnya adegan per adegan sudah tervisualisasi dengan baik di depan wajahku, tapi aku kesulitan menemukan kata yang cocok dan jalinan kalimat yang oke untuk dibaca.

-fin.

  • Dru dan Widuri adalah nama anak-anaknya Dwi Sasono. Gada ide sih.
  • Kaku seperti biasa.
  • Alhamdulillah. Ceritanya gajelas.

Filed under: one shot, original fiction Tagged: Dia yang Lupa Caranya Menulis, Orific

Cutting Veins, Pt. 1

$
0
0

CUTTING VEINS

-azureveur

© 2015

.

.

“Aku memilih untuk tidak memilih hidup. Aku memilih hal yang lain. Dan alasannya? Nyatanya, tidak ada alasan saat kau memiliki heroin.”Irvine Welsh

.

.

Sudah gelap ketika ponsel Earl meringking untuk ketiga kali. Mau tak mau tangan besarnya melintasi wajahku untuk sekadar terperanjat ingin tahu. Mungkin itu telepon iseng; bisa jadi Brent—pacarnya dari Cambridge; atau bisa juga ibunya tahu perihal Fullers yang raib dari lemari pendingin. Aku tak benar-benar mendengar. Alih-alih, menarik otot, tak sengaja menyenggol kaleng-kaleng kosong yang beronggok di kolong sofa. Pinggangku nyaris rontok. Dua kali mengerjap, aku masih mencium sengit tembakau yang bertemperasan di lantai, di bawah teve yang masih menyala. Earl baru saja menyapu bersih trofi untuk level keempatbelas dari Rainbow Six. Memborong komplotan mafia. Serta merampok gudang senjata. Bagus.

Bibirku tak benar-benar tersungging sementara pikiranku masih melayap menerka angka di meja nakas. Biasanya ganjil. 01:33 atau mungkin 09:13 lantas kakiku gegas bersijengket ke kamar mandi. Tapi malam itu aku terbangun tepat di tengah malam, 00:00, digit sempurna di atas nakas, sebelum Earl berpakaian dan menendang bokongku keras-keras.

Shite, Mate. Apa yang kaulakukan?” aku mencoba protes, tapi Earl sudah berlari. Ia tidak benar-benar berpakaian, sesungguhnya, hanya membuka pintu kamar dengan kesetanan. Menjejalkan jemari kakinya ke dalam sneakers hitam. Dan menarik jins kebangsaannya tinggi-tinggi agar bokong hebat itu tak jadi tontonan.

“Earl!” pekikku; buru-buru menuruni tangga.

“Cepat, Banci. Kau tidak mau ketinggalan pesta terbaik di Edinburgh ‘kan?” Ia sempat berbalik menatapku. Tertawa-tawa. Dan seketika aku tahu ke mana kami akan mengarah.

Aku buru-buru mengunci pintu, menyelipkan kuncinya di bawah babut. Berharap Dad tidak pulang malam ini dan menemukan ampas Irn-Bru dan Fullers yang diselundupkan secara ilegal lewat jendela lantai dua.

Earl berada dua meter di hadapanku dan bertelanjang dada. Berlarian empat blok jauhnya. Napasku mulai terenggah. Kami berbelok di rumah kelima, bercat krem tua dengan fasad mewah dan Volkswagen yang baru saja terparkir miring di carport depannya.

“Rex! Rex!” Earl berteriak kegirangan sembari terenggah-enggah. O, god. Dan temanku yang homo itu serta-merta masuk lantas memukul-mukul kaca jendela untuk orang yang sama linglungnya. “Kau mendapatkan pesan itu?” tanyanya.

Sebaliknya Rex dengan mata sayu, menurunkan kaca yang separuh terbuka. “Er?” Mungkin ia menyapa, mungkin bergumam. Kala itu Jumat malam dan Earl seolah tak khatam kebiasaan Rex mengunjungi Studio 24[1].

Dua sesap martini tentu tidak jadi masalah. Tapi, bagaimana dengan satu botol ia yang curi dan peluk seorang diri?

Earl mendengus frustasi.

Aku mengintip ke jok samping. Syukurlah. Ini termasuk beruntung. Tidak ada si Pirang Menyebalkan seperti minggu lalu.

“Aku membawa Tip juga. Kau tidak mendapatkan pesan Chip?!”  Earl berusaha menepuk pipi Rex beberapa kali.

“Mmm? Hentikan! Shite, siapa kau?” Masih dengan terpejam, Rex mengumpan tinjuan kosong.

“Seperti ini percuma saja,” ujarku, melipat tangan di depan dada.

“Jangan menyerah, Banci. Kita akan pergi menjemput Enzo dan pergi ke tempat hebat itu,” bisik Earl, merogoh lewat partisi jendela. Dan klik. Selak otomatis itu terbuka. Tangannya menggapai anak kunci, memutarnya hingga bunyi mesin berderum.

“Melompatlah ke belakang,” suruh Earl. Ia mendorong Rex ke jok penumpang dan gegas memasukkan presneling ke gigi mundur.

.

Earl masih mengetuk-ngetuk pinggiran kemudi untuk senarai lagu Iggy Pop yang ia sambungkan lewat kabel ponsel. Rex tertidur pulas bersama igau-igau tololnya mengenai Ramona—si pirang sialan itu, yang mengataiku ‘banci’. Maaf, banci hanya untuk Earl dan Enzo, Rex dan Chip bahkan memanggilku Tip. Tip untuk Tipton. Tipton Hastings yang baru saja dipanggil untuk mengisi kuisioner di ruang konseling tadi siang.

Bergelung di kursi belakang. Lantas, jemariku mencengkeram sandaran jok depan.

Perjalanan menuju rumah Enzo seyogianya tak lebih dari beberapa quid. Tapi, malam sudah turun. Dan aku hanya dapat membiarkan Earl melanjutkan mimpinya sebagai pembalap amatiran; menginjak pedal rem; memindahkan presneling dengan bunyi memekakkan telinga.

Sementara aku masih memikirkan kuisioner tolol itu di tengah malam, yang bertajuk Opsi Kariermu di Masa Depan: (a) fisikawan, (b) akuntan, (c) insinyur.

“Kau baik-baik saja, Mate?” Earl melirikku lewat spion muka.

Bahuku mengedik.

Earl tersenyum. Baginya, mungkin kuisioner itu tak lebih dari tisu toilet belaka. Kariernya sudah di depan mata. Ingin jadi apa Earl? Tentu saja Iggy Pop. Ia bahkan sudah memperlakukan dirinya sebagai utusan yang diselundupkan lewat rahim Mrs. Cummings sedari umur lima. Membeli jins pertama, melupakan perihal atasan yang padan untuk sneakers hitam bututnya. Dan lengkap sudah, ia mengecat rambut cokelat gelap itu jadi pirang terang mirip bintang rock tahun delapan puluhan.

“Setidaknya kau harus berhenti memikirkan ide tentang mencumbui guru konseling payah itu dan menyusun strategi untuk untuk mengencani Janet,” sahut Earl, terkikik geli.

Janet, tetanggaku, hanya Earl yang tahu aku naksir padanya sedari kelas satu.

“Tutup mulutmu, Homo!” peikik Rex sekonyong-konyong; aku meringis. Rasakan, Earl!

“Sialan, kukira ia baru saja kehilangan nyawa setengah jam lalu,” umpat Earl, mengambil jalan memutar. Rex masih disorientasi. Tapi, agaknya ia tahu mengenai pesta yang katanya hebat itu.

“Tidak akan ada yang kehilangan nyawa untuk pesta hebat di minggu ini, asal kautahu.”Ia mengacungkan botol Vernon itu ke luar jendela, menenggaknya banyak-banyak, mengangsurkannya pada Earl, lantas padaku untuk estafet seputaran menyambut pesta yang-katanya-hebat itu.

Aku mendengus geli, tapi tidak untuk satu injakan pedal rem yang membuat kami bertiga nyaris memagut dasbor. Rex nyaris mengeluarkan isi abdomen; Earl memberhentikan Volkswagen tak sempat melewati tikungan di pojok jalan. Sirine polisi sejurus membuat kami tercekat. Dan begitu saja Iggy Pop seakan-akan membisu, sebelum aku memberanikan diri berjengit pertama kali. Ada yang tidak beres. Ada yang tidak beres dengan Enzo.

“Tip?!”

Aku tak memedulikan pertanyaan Earl, alih-alih, membuka paksa selak pintu dan melompat turun. Berlari dengan berdengih-dengih, melewati ruas jalan di pukul satu dini hari. Dan menemukan mobil patroli ayahku terparkir di depan rumah Enzo.

Shite, shite, shite.”

Entah berapa lama aku mengumpat, meremas tinju tanpa bisa melayangkannya. Earl melandaskan langkah di depan pagar. Dan Rex yang masih separuh pengar, berjalan limbung.

Shite, Mate.” Earl menambahkan yang terakhir, sebelum kami berjibaku menembus patio. Tepat ketika ayahku menerobos keluar dan menarik lenganku dengan paksa. Dadaku mencelus.

“Lepaskan aku, Dad. Apa yang terjadi pada Enzo?”

Ini bukan pertanda yang baik. Dad menarik napas panjang. Earl memasukkan kedua tangan di saku belakang. “Sir?” panggilnya.

“Kalian tidak bisa masuk ke dalam,” ujarnya, “Tunggu saja di luar. Kami perlu membereskan jasadnya dan mengumpulkan barang bukti.”

Omong kosong. “Jangan bohong, Dad. Enzo—” kata-kata itu raib begitu saja, aku berusaha mendorong, terus mendorong. Berteriak kesetanan.

Mungkinkah?

Kami bertiga begitu mengenal ruang tamu itu, masih dijajari lemari-lemari pajang khas era tujuh puluh. Dengan rangka kayu eboni tua berbau dupa. Tapi, Enzo tak ada di sana. Aku melihat bubuk putih yang beronggok di meja kopinya, tempat biasa kami melempar satu kemungkinan dari 52 kartu yang ada. Kursi ottoman-nya yang dinodai ceceran darah. Dan lebih banyak noda merah yang merembes di sela linoleum.

“Ia bunuh diri,” pungkas Dad, menepuk bahuku sekali.

Earl yang paling pertama ambruk. Ia membiarkan jins itu menggosok-gosok birai patio. Dan Rex hanya memeluk botol Vernon-nya tanpa suara.

“Tidak mungkin, Dad!” raungku. Aku masih berusaha menerebos. Menarik kuat-kuat lini polisi yang memagari pintu depan; Dad menahan tanganku bersama Officer Bishop. Mempertanyakan keputusan Enzo untuk tergeletak di balik sana. Apa ia sempat menyuntikkan benda jahanam itu lewat nadinya?

Aku harus tahu.

“Hentikan, Banci!” Earl yang menegurku, sampai-sampai para petugas forensik menatap ke arah kami.

“Tutup mulut, Earl!” Suaraku tak kalah meninggi. Aku berbalik ke arahnya. “Aku bukan banci. Aku bukan—keparat, Enzo!” Satu tinjuan. Earl terhuyung, nyaris terjungkal ke pekarangan muka. Aku tak begitu ingat mengenai serangan balasan itu. Yang kutahu, hidungku berderak cukup parah.

Rex menarik Earl menjauh. Officer Bishop memasung tanganku ke belakang. Itu adalah ruang hampa yang panjang, seolah sebuah ledakan masif meletup di sisi telingaku. Aku masih mempertanyakan Enzo yang kukenal dengan tatapan-tapanan yang kini menatap jasadnya terbujur kaku di kantung mayat. Menelisik masuk ke dalam labirin otaknya dan bertanya, apakah ini caranya untuk menghukumku?

****

Cukup dua episode hidup Earl yang sanggup membuatku bergidik: ketika ia berbisik padaku tentang orientasi seksualnya yang timpang, kurasa ada beberapa jenak saat ia tertarik padaku sebelum akhirnya menemukan Brent lewat jejaring sosial; lalu, ketika Earl bilang ia memiliki bisnis bersama Enzo.

Seseorang pasti tengah berkelakar kalau ia mengaku tidak mengenal Enzo. Tak perlu nama belakang untuk membedakan, kami hanya perlu memanggilnya Enzo. Rambutnya cokelat gelap, seringnya kedapatan sengkarut dan lupa bersisir. Tatonya mengular di pergelangan bawah, lantaran dari itu ia mengganjur ke mana-mana lumberjack lusuh berwarna merah tua.

Dan kenalkan diriku, Tipton Hastings. Tidak terlalu populer kecuali menjadi bahan bulan-bulanan di kelas Sejarah Dunia. Duduk di deret paling belakang. Dan gemar menghitung sisa hari menuju kelas terakhir di penghujung tahun. Pekan-pekan pendek yang mana aku dapat terbebas dari artileri limpasan kloset George Richardson.

Menolak untuk terlibat, kala itu hanya satu hal yang berkelebat di benakku: membereskan berkas-berkas pra-kalkulus Mrs. Jones dan bergegas pulang. Alih-alih, Enzo mengambil kursi yang seharusnya milik Earl di sampingku.

“Ingin bergabung dengan tim hebat? Tidak ada Richardson, tidak ada olok-olokan bodoh itu lagi,” ajaknya, serta-merta merebut botol Irn-Brn dari mejaku. Kuperhatikan jemarinya yang menguning lantaran terlalu sering merokok. Sebelah kakinya yang terangkat, menindih tumpukan kertas.

Aku menggeleng. Satu gelengan pendek sembari berharap ia akan meninggalkanku sendiri.

“O, ayolah, Mate. Kau takkan membiarkan mereka menginjak-injak harga dirimu, ‘kan?”

Thanks. A-aku rasa, aku akan meninggalkan itu untukmu.” Kutunjuk botol Irn-Brn di tangannya, menjejalkan lebih banyak kertas ke dalam tas, bergegas untuk raib.

“Tunggu. O, tunggu dulu, Tip. Mau ke mana kau?” Ia menarik tubuhku dengan amat mudah, menjumput lapel kemeja dari arah belakang. Ini tidak baik, sungguh buruk, tepatnya. Aku mulai membayangkan hari-hari pertama itu. Air limpasan toilet yang mirip rasa susu basi.

“Perpustakaan,” aku berdusta kecil, sesungguhnya aku ingin pulang.

Keparat, Earl. Ia baru saja memasukkanku ke senarai nama tim busuknya.

“Baiklah kalau itu maumu, belajar dengan tenang di perpustakaan, tapi jangan lewatkan pertemuan esok hari. Pukul satu.” Ia mengangsurkan kertas lisut itu dari sakunya. Terlipat-lipat seperti nyaris sobek. Dengan tulisan carut-marut dan menandak-nandak.

Kami berlima menyebutnya Citadel. Beberapa blok lewat  jalan belakang Leith Academy. Menyusuri gang paling bau di Edinburgh. Dan di sanalah Citadel berdiri. Tajuk yang elok, bersanding terbalik dengan konturnya yang nyaris ambruk. Sekilas ditilik, bentuknya lebih mirip griya tawang milik koloni tikus.

Earl yang menyambutku sangat meriah. Dengan stereo bekas yang entah ia pungut dari mana. Lust for Life dari Iggy Pop berdentam-dentam keras di belakangnya. “Selamat datang di Citadel, Mate!”

“Kau menemukan seseorang di sana, Earl?” tanya seseorang dari dalam. Pemabuk itu bernama Rex. Berjalan-jalan dengan kemejanya yang lusuh, dasi biru dongker yang melingkar seenaknya, tak lupa sebotol Carlsberg di tangan kiri.

“Ah, ini Banci alias Tip,” ujar Earl.

Citadel punya ventilasi raksasa, setinggi tubuhku dikali dua. Tirai minimalis sintetis, semi-transparan dengan menghibridakan kelir kamar mandi dan tirai elegan gaya Victoria abad kedelapan belas.

Masuk ke dalam. “Itu Porno!” pekik Earl, masih kegirangan; Rex baru memilih kursi beanbag, melesakkan tubuh dengan keadaan separuh teler. Porno, seperti namanya yang menjijikkan itu—aku lebih memilih nama Chip untuk memanggilnya—mengenakan celana super pendek, duduk gaya duyung, mempertontonkan lemaknya yang menggelambir dan atasan kemerjas mandi. Kompleks. Atraktif. Tapi, tidak cukup poin untuk naik ke pergelaran fesyen Edinburgh.

Bukan tim super, seperti liga fantasi yang beranggotakan empat manusia mutan. Peraturan itu singkat, empat orang duduk silih hadap. Tidak termasuk Enzo. Aku enggan bertanya, apa yang kerap ia lakukan di terali jendela. Menyundut lebih banyak Berkeley? Tapi, yang perlu kauketahui adalah barang bagus di hari Rabu dan Jumat.

Shite, umpatan yang tepat. “Ingin coba?”

Aku bergidik. “Jangan! Banci takut,” Earl tertawa. Tapi, sesungguhnya aku memang takut. Merinding hingga ke tengkuk, malamnya aku kena insomnia akut. Ingin memberitahu Dad, aku berpikir soal Enzo. Tapi, barang gila itu—kata-kataku tandas.

Enzo membawa heroin tiap hari Rabu—dan terkadang Jumat. Earl langsung menyenggolku, meminta pinjaman beberapa lembar quid. Kadang ia mencuri. Merogoh sedikit dalam, sangat dalam, lama-lama ia berani menggadaikan semuanya. Kecuali koleksi piringan vinil Iggy Pop, ia rela.

Senja itu tak ubahnya kerja paruh-waktu pertama, duduk di ruang kelas Mrs. Jones rasanya seperti terkena wasir seminggu. Earl dan Rex mengetuk jendela kelas dari pekarangan belakang. Ikut kami, artikulasinya jelas, tapi aku pura-pura tak lihat. Mrs. Jones berdeham, Rex mempertontonkan tinjunya padaku. Mau tak mau aku mengangkat tangan, mangkir ke bilik kencing. Sebagai bulan-bulanan yang tidak terlalu populer, tanganku malah menjadi gunjingan Rex dan Earl sebagai aparatur magis. Takaran tepat, pembakaran sempurna di atas sendok. Dan satu suntikan hebat yang setara dengan seribu orgasme.

Sedikit demi sedikit aku tidak takut tepung keparat itu menyelinap ke mimpiku. Tak sampai menyelinap di dalam pembuluh darah. Enzo mengajariku menyesap Berkeley miliknya, kadang Marlboro milik Rex. Terbatuk sekali. “Ini tidak buruk, ‘kan?” ujarnya.

“Sedikit pahit,” kilahku, meludah ke gelas kopi.

“Bukankah begitu hidup?” Alis Enzo berjungkit. “Sedikit pahit. Sedikit asam. Tapi, membuat orang tetap terjaga untuk siap bertarung.” Ia menjelaskan moto hidupnya yang tak ubahnya Koloseum; terus bertarung dan bertarung, seolah ia enggan untuk minggat.

Sepotong dari kejadian yang kuingat, Banci bisa jadi topik panas di Citadel, tapi tak lagi di koridor Leith Academy. Entah apa yang Enzo jampi-jampikan kepada George. Kupikir, aku kepalang menyukai pseudonim Banci ketimbang Tipton; Banci bisa berdiam diri dan berbohong; Tipton harus melakukan sesuatu.

.

Sebelum menjadi sebuah antalogi berita yang hebat, kabar itu sudah menjadi mimpi buruk dua malam lalu. Tidurku gelisah. Earl masih anfal di bawah efek suntikan heroin keempat. Rex minum-minum semalam suntuk, minta disuntik dua kali. Chip tidak menonton malam itu; ia menyambut kami dengan satu seringai besar, sebelum dadanya menggeligis diam-diam, menangis di pojok, tempatnya berfantasi.

Aku mengabaikan telepon Dad entah untuk keberapa kalinya. Ia meninggalkan pesan suara, yang enggan kutengok. Hanya menyundut lebih banyak batang Pal Mal, menyesap asapnya tanpa suara, mengembuskannya. Dan begitu saja, aku menghabiskan pak ketiga. Aku tak pernah merokok sebanyak itu, paru-paruku protes, tapi aku hanya membuka satu per satu botol Barney’s persediaan Enzo dan menenggaknya banyak-banyak.

Tak ada cara lain selain menyelinap malam itu, berpura-pura tidur, kendati tak benar-benar bisa terpejam. Aku hanya menerawang para-para. Seyogianya tidak sesulit itu, ‘kan? Enzo bukan teman yang kepalang akrab, ia hanya menyerahkan Bic-nya, satu pak Brekeley, dan ia akan berbagi cerita tentang kedua orangtuanya serta rumah yang menjadi kudeta para pamannya.

“Tipton?” Dad memanggil ketika matahari sudah sepenggalah.

Pagi membuatku makin pengar. Bergelung di antara selimut, aku enggan masuk sekolah. Melompat pelajaran sepertinya lebih terdengar asyik. Tapi, niat itu urung lantaran Dad tidak mengungkit telepon-telepon keparat itu, ia hanya menyuruhku duduk di meja makan. Seperti kencan berdua di malam bisu.

“Kau baik-baik saja, Tip?” tanyanya.

Aku mengangguk, sengaja mengudap sarapan ala kontinental itu dengan begitu serius, hingga melewatkan adat silih tatap. Memotong petak-petak kecil untuk irisan bacon dan telur mata sapi.

“Mereka akan menggelar pemakaman di hari Kamis. Enzo. Pemuda itu, teman baikmu?”

“Tidak terlalu,” ujarku sembari mengunyah pelan-pelan. “Ia teman baik Earl, dan Rex, yang malam itu datang.” Terpaksa aku harus memasukkan nama-nama lain lantaran tak ingin Dad berpikiran kalau Tip, yang ia kenal, bercengkerama dengan pecandu.

“Kami tidak menemukan bukti lain selain kecurigaan pertama.” Ia menghela napas.

“Maksudmu bunuh diri?”

Dad mengangguk. Mengangsurkan gelas, aku bangkit, mengambil air dari keran di bak cuci. “Apa kalian menemukan bukti lain dari tim forensik?”

“Heroin, alat suntik, sendok, pemantik, dan pisau untuk menggurat nadi. Hanya dengan sidik jarinya. Ada keterangan lain, Nak?”

“Semacam kesaksian terpisah?” Seketika perutku mulas. Aku meletakkan pisau itu berkelontang di atas piring.

“Mungkin dengan begitu bisa membantu tim forensik. Kami menduganya, ia telah meninggal beberapa jam sebelum ditemukan. Tetangganya yang pertama kali menelepon.”

“Entahlah.” Aku terduduk dengan perasaan tercampur aduk, dengan kata-kata paling tenang, tapi dengan sejuta pemikiran, Enzo tak mungkin bunuh diri. Tidak semudah itu. “Kami pikir akan menjemputnya untuk bermain game di rumah Rex.”

“Bagaimana dengan orangtuanya?” Ia mengunyah potongan bacon terakhir, sementara jantungku tak mau berhenti melompat.

“Ayahnya meninggal ketika ia masih bayi, kalau aku tak salah dengar. Ibunya?” Bahuku mengedik.

“Boleh aku ke sekolah sekarang?”

Kali itu aku tak ingin berbohong terlalu banyak.

.

Hipotesis Earl berkeras pada teknik pemotongan nadi yang dilakukan di luar nalar Enzo, agaknya ia terbang ke petala langit ketujuh setelah menyuntikkan banyak-banyak dosis heronin di pembuluh; Rex menangkisnya dengan dengusan. Aku sependapat dengannya. Enzo bukan mati bunuh diri. Lantaran apa? Kami masih bersirobok di koridor kelas. Bersandar pada loker 176, loker yang harusnya dikunjungi Enzo di pagi pekan pertama, yang mana ia akan datang pagi hari, duduk dengan mata terpejam di kelas Mr. Humperdink, kelas Pertukangan kegemarannya. Berpikir tentang mengatur investigasi pribadi sepulang sekolah nanti, hingga Jim penghuni loker 177 menerobos kerumunan.

“Kalian harus ke auditorium sekarang,” ujarnya, menatap kami dalam fase berkabung.

Setelah pengumuman yang dikumandangkan lewat speaker pengeras, semua orang berkumpul memasuki ruang auditorium bertingkat. Aku datang belakangan, mengekori Earl dan Rex. Chip mengangkat tangan, memanggil kami untuk duduk berendeng.

Kepala sekolah kami menyampaikan eulogi dengan terbata-bata di atas podium. “Enzo sempat membuat para guru kewalahan. Dengan tingkah membolosnya. Dan pelanggaran-pelanggarannya hingga menjadi langganan di ruang detensi. Tapi, ia seorang murid yang hebat, satu di antara sejuta yang sulit kami lupakan.”

Omong kosong. Enzo tak pernah seterkenal itu. Si gaek Turman seharusnya memanggilnya dengan nama belakang kalau ia berbangga soal Enzo di sekolahnya.

Kerumunan dibubarkan setelah acara sesumbar selama setengah jam. Satu per satu, Mrs. Jones, Mr. Humperdink, dan para guru senior mengungkapkan belasungkawanya lewat mikrofon. Tengkukku kian meremang. Hanya semudah itu, dalam dua malam dan Enzo takkan ada lagi di kursi ottoman kebesarannya. Boleh aku merindukannya. Aku masih membayangkan malam-malam terakhirku dengannya. Dan sibuk membeberkan kalau kami sekadar berbagi cerita.

Aku memperhatikan para murid perempuan yang berdesakkan menuju pintu keluar.

Lantas, Janet terperenyak begitu saja di sisiku. Matanya begitu biru dengan rambut pirang sebahu. Sebagaimana kami berpakaian di sekolah, Janet berpakaian paling rapi tanpa cat kuku.

“Kau baik-baik saja, Tip?” Ia menepuk bahuku sekali; aku mengangguk kecil, separuh yakin dan tak yakin. “Aku sungguh prihatin,” lanjutnya.

Kedatangan Janet cukup membuatku terkejut, dengan kata-katanya, mungkin dengan kecantikannya yang terbiasa kuintip lewat kelir jendela, tapi tidak dengan ungkapan itu. Tidak begitu banyak yang tahu soal Enzo, tapi Janet tahu.

Aku berusaha tidak berteriak. Jatungku sesungguhnya berkebit, tapi aku berkata, “Aku tidak mengerti maksudmu.” Lagi-lagi aku berbohong.

“Aku tahu, kau sering main dengan Enzo. Pemuda itu. Yang berambut cokelat.” Ia memandang lurus ke bawah, tepat ke layar putih besar, yang memproyeksikan foto terakhir Enzo, berkardigan biru tua.

Janet sukses menangkap basah diriku.

Earl dan yang lain sudah meninggalkan kami berdua. “Aku melihatnya minggu lalu. Nyaris tiap malam,” lanjutnya.

“Apa maksudmu?” Aku perlu tahu, apa yang tengah Enzo lakukan di depan rumahku. Dan apakah orang itu memang Enzo? Aku menghela napas dan berusaha tenang.

“Aku tidak tahu apa yang ia lakukan. Sejujurnya, aku baru tahu, ia bernama Enzo. Ia memarkir mobilnya di depan rumahmu, tak melakukan apa-apa. Aku sempat ingin mengatakannya padamu. Tapi, kurasa, kalian memang kerap menghabiskan waktu bersama.”

“Semacam itu, kami bermain game sampai larut malam,” aku terpaksa bercericip kecil.

“Baiklah. Aku sedikit curiga dengan perangainya.”

“Ia orang yang baik.”

“Seperti yang dikatakan para guru.”

“Terlepas dari kesalahan-kesalahan konyolnya. Kau tak perlu khawatir.”

“Tentu saja. Sampai bertemu nanti, Tip.”

Aku menatap lurus-lurus, memperhatikan Enzo yang tersenyum bahagia; Janet menutup pintu ruang auditorium.

Luar biasa, Enzo. Ia sukses menghukumku dengan sekelumit barang bukti.

Hari itu aku urung membolos. Kendari Earl melompat pelajaran bersama Rex; Chip agaknya tidak benar-benar peduli. Tapi, kelas Mrs. Jones adalah sebuah petaka. Aku tak hentinya memikirkan kata-kata Janet. Ada dua hipotesis baru: orang yang dimaksud Janet adalah Enzo atau orang itu adalah seseorang yang dikenal Enzo.

Nilai partisipasiku nol besar dan Mrs. Jones memergokiku mencatat materi pra-kalkulusnya dengan kotak-kotak peluang. Sebuah fraktal ‘x’, yang kucoret berulang kali di kertas. Ada minggu yang mana Enzo memang bersamaku dan aku akan berhenti berkata, kami sekadar berbagi cerita. Aku kepalang ngeri jika Janet akan buka suara. Apa ia akan mengatakannya ke semua orang? Ke teman baiknya si penggosip itu, lalu Earl, lantas ayahku.

Tapi, nyatanya Enzo pun tidak mengatakan apa-apa tentang rencana malam kami minggu lalu.
   
___________________
[1] diskotek ternama di Edinburgh, tepatnya di Calton Road
   

P.S. Cutting Veins, Pt. 2: http://saladbowldetrois.com/2015/07/31/cutting-veins-pt-2-end/
Password bisa didapatkan via Twitter (@frostbitiggy); LINE (ID: azureveur)


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Cutting Veins
Viewing all 585 articles
Browse latest View live