Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all 585 articles
Browse latest View live

Protected: Cutting Veins, Pt. 2 (END)


It Takes Two [1]

$
0
0

ittakestwo

It came out of nowhere, and then they’re gone

Aura tegang di ruangan itu masih menggantung dengan pekat di udara, dan nyatanya dengan jumlah pers ditambah jepretan cahaya flash kamera di sana-sini, yang jumlahnya makin bertambah di luar sana sangat, sangat tidak membantu. Tim khusus yang pagi itu dibentuk secara tiba-tiba―bahkan sebelum cahaya terlemah matahari menyinari jalanan kota New York di luar―kini tengah beradu argumen, dengan seorang lelaki tinggi berpenampilan setengah berantakan sebagai pihak yang paling banyak dimintai pendapat.

“Ini surat ancaman.”

“Bukan. Ini surat tantangan, menurutku.”

“Apa yang kaupikirkan, Yifan? Tiga orang anggota kelompokmu dinyatakan hilang sejak tengah malam dengan hanya selembar kertas ini sebagai petunjuk, dan sekarang kau hanya duduk di sana sembari memijat kepalamu? Kurang didik sekali kau.”

“Hei, jaga omonganmu.”

Wu Yifan―si lelaki tinggi yang kala itu harus memulai paginya dengan cara yang paling buruk, lebih buruk dari mimpi terjeleknya sekalipun, mengangkat wajahnya ketika kalimat terakhir diluncurkan, yang juga membuat ruangan itu sunyi seketika. Ekor matanya menangkap sosok baru yang kelihatannya memang baru hadir di konferensi tiba-tiba ini, dengan kemeja putih yang tak terkancing sempurna, dan rambut gelap yang mencuat ke mana-mana. Senyum kecilnya muncul―antara lega, dan mencibir. Hanya Tuhan yang tahu.

Yifan bangkit, setengah hati menyambut satu-satunya anggota kelompoknya yang tersisa―seperti yang dikatakan tadi, tiga di antaranya menghilang sejak semalam, dan seorang lagi tengah mengambil cuti. Lantas merasa menerima sambutan penuh hormat, Kim Jongin melangkah pelan menuju kursi di ujung meja. Yifan berjengit begitu aroma alkohol yang kuat dicampur wangi pengharum mobil menguar di antara keduanya.

“Kau minum-minum?”

Jongin mengedikkan bahu. “Maaf aku terlambat.”

“Sebaiknya kau kembali ke sini dengan hasil, Jongin.”

“Aku tidak berlarian sepanjang lorong seperti orang kerasukan hantu gorila gila tadi malam menuju mesin fotokopi untuk lelucon,” tuturnya, disangka melucu tapi toh air mukanya datar saja. “Percayalah.”

Helaan napas pendek. “Apakah kita membutuhkan mereka?”

“Siapa?”

Yifan memutar bola matanya. “Bajingan-bajingan ini.”

Sudut mata Jongin bergerak sedikit, menangkap setidaknya ada enam orang selain mereka berdua yang berdiri di ruangan yang sama, masing-masing memiliki ekspresi sarat pertanyaan yang ditujukan pada titik yang sama. Bibirnya membentuk senyum timpang, dan selama tiga detik pikirannya sibuk menimbang.

“Tak perlu.”

“Jadi kau sudah memecahkan maksud suratnya.” Yifan mengambil kesimpulan sepihak―atau setidaknya kesimpulan yang bisa ia gunakan sebagai penenang pikirannya yang kacau selama delapan jam terakhir ini.

Tiga detik yang hening lagi untuk Jongin.

“Belum, sih.”

“Berengs―”

“Tapi setidaknya kau bisa berpikir sedikit lebih tenang tanpa cecunguk-cecunguk ini, kan?”

Kali ini giliran Yifan yang sibuk menimbang. Sedikit-sedikit indera penglihatannya berganti fokus, setidaknya demi membantu perhitungan abstrak yang terjadi di dalam kepalanya saat ini. Cecunguk, Jongin, surat. Cecunguk, Jongin, surat, cecunguk, surat, Jongin―begitu terus sampai ia pikir otaknya sedang jumpalitan di atas trampolin di dalam sana.

Yifan berdeham pada detik kesepuluh, disusul gumaman pelan berisi keputusan.

Ruangan itu hening ketika derap kaki diiringi sumpah serapah yang tak seberapa terdengar mulai keluar ruangan, meninggalkan dua orang lelaki tinggi yang masih berdiri di ujung meja panjang. Jongin menirukan gerakan mengusir halus dengan tangannya, lantas mengambil kursi paling dekat, dan meraih secarik kertas yang menjadi bintang utama pagi itu. Dahinya berkerut, ekspresinya berbeda 180 derajat dibanding saat pertama tadi ia melangkahkan kakinya memasuki ruangan yang sama.

“Menurutmu ini tantangan?” Jongin bertanya pendek.

Yifan mengangguk, kini duduk di kursinya sendiri. “Tak salah lagi.”

Sepasang mata kecokelatan yang menyerupai biji almond milik Jongin melakukan gerakan repetitif dalam orbitnya, memusatkan seluruh perhatiannya pada secarik kertas kumal yang kini berbaring penuh wajah ejekan di depan hidungnya. Semakin lama ia membaca, semakin nyata ia membayangkan setiap huruf yang digores di sana menari-nari bahagia.

Kalimatnya ditulis dengan tulisan tangan yang apik, huruf bersambung, dan memiliki pola seperti puisi:

Tick, tock, look at the clock
ten o’clock, and the sky will be blocked.
An hour short, but another three minutes won’t hurt
watch out Dude, or your friends would be dirt.

471406
592004
350728

Broom, broom there’s a car
would you like a boom! or a little bit of scar?

“Tadinya aku berpikir kombinasi angka-angka itu adalah tanggal. Tapi rasanya mustahil jika kau menilik baris angka terakhir.” Yifan menggumam pelan, menyesap habis kopinya yang kini telah benar-benar dingin akibat didiamkan terlalu lama di ruangan berpendingin itu. “Aku tidak sedang mabuk dan terbangun di era tahun 2030, kan?”

Di sebelahnya, Jongin tersenyum kecil. Keempat jari di tangan kanannya minus ibu jari mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan gerakan mengulang, sesekali memindahkan berat tubuhnya ke sisi lain di kursi putar yang akan mengeluarkan suara mirip kentut saat kau duduk. Ketika ia sampai di kalimat terakhir, Jongin melompat lagi ke huruf pertama, terus begitu selama beberapa menit, sebelum akhirnya ia melakukan gerakan melonjak yang bahkan membuat Yifan hampir melompat.

“Ada apa?” Yifan bertanya, berusaha membuat nada suaranya berwibawa padahal tadi tumpuan di sikunya hampir tergelincir karena ia mati-matian menahan kantuk.

“Mungkinkah…” Jongin sengaja mengulur waktu.

Dengan ekspresi jengkel, Yifan menyela. “Kau tidak bermaksud untuk menyanyi, kan?”

“Pukul berapa sekarang?” Pertanyaan balik, yang artinya si lawan bicara mengabaikan kalimatnya yang baru saja terlontar.

“Sembilan dua puluh.” Si ketua tim menjawab pendek setelah mencuri lihat arloji mengilat di tangan kanannya, dan sempat membuat catatan mental kilat di kepalanya bahwa setidaknya ia harus bercukur, menggosok gigi, dan menambahkan satu, dua semprot parfum mengingat ia berada di ruangan ini semalaman.

“Bangsat kecil.”

“Kau menemukan sesuatu?” Yifan bertanya lagi―dia sudah sangat imun dengan kebiasaan mengumpat yang dimiliki Jongin, entah lelaki itu tengah gusar, ataupun bahagia karena menemukan pemecahan masalah. Namun, ditilik dari air mukanya yang tidak semuram beberapa saat lalu, kemungkinan ada jalan lurus yang mampu mengantar mereka keluar dari masalah ini.

Ten o’clock,” gumam Jongin pelan. “Mungkinkah mereka berbicara tentang waktu?”

Kerutan di dahi Yifan kini lebih terlihat, namun sebuah kilatan di kedua matanya menyatakan bahwa penemuan Jongin ini memberikan pencerahan besar untuk ide yang melompat ke arahnya pukul tiga pagi tadi. “Jadi kalau aku berpendapat ini ada hubungannya dengan peledak atau granat…”

Seolah mengerti ke mana arah pembicaraan Yifan, sang anggota tim menganggukkan kepalanya pelan. “Dia menyandera mereka dengan peledak? Berengsek―dan lihat ini―” Jari penunjuk Jongin menyisiri dua potong kata. “―waktu sebelum bomnya meledak hanya satu jam. An hour short. Masuk akal, ‘kan?”

Three minutes won’t hurt.” Yifan menyuarakan kalimat selanjutnya. “Ya. Kasarannya, ada waktu pinalti tiga menit sebelum bomnya benar-benar meledak. Gabungkan dengan baris kedua, maka artinya: Waktu hitung mundur dimulai pukul sepuluh pagi, satu jam waktu yang diberikan, dan tiga menit waktu pinalti sebelum bomnya benar-benar meledak―”

“―menutupi langit dan mengubah orang-orang di dekatnya menjadi debu.” Jongin menyelesaikan analisa sang ketua tim.

“Persetan dengan tiga baris angka itu, aku hanya menangkap misi ini juga ada kaitannya dengan mobil.”

Tanpa diketahui, Jongin melempar pandangan mencela ke arah si lelaki yang lebih tinggi. “Ya, jika kau langsung melompat ke bagian akhirnya―sial, apakah ini hanya jamku atau sekarang sudah lima belas menit menuju pukul sepuluh?”

Yifan melirik cepat ke arloji. “Jam milikmu sehat-sehat saja,” timpalnya. “Scar―luka. Bomnya tidak meledak, tapi gantinya mereka akan babak belur.”

“Jadi bomnya tidak akan meledak, lalu sebagai gantinya akan ada algojo yang akan menghabisi mereka―ditambah kita berdua, karena kita juga nantinya ada di sana?”

Ruangan diam. Yifan tutup mulut sebagai jawaban positif atas pertanyaan sang anggota tim yang juga termasuk teman dekatnya semenjak ia tiba di departemen ini―walaupun hampir seluruh gedung tidak terlalu percaya akan fakta itu. Mereka bukan tipe yang akan saling berteriak untuk mengucap salam di kafetaria, atau yang banyak bicara ketika tengah mengobrol, namun cukup dengan gestur paling minimal dari masing-masing pihak nyatanya cukup membuat tali pertemanan itu harmonis. Lima tahun berlalu dan semuanya baik-baik saja.

Sekali lagi, untuk kedua kalinya pagi itu, lonjakan tiba-tiba seolah Jongin baru saja disiram air antartika benar-benar membuat jengkel Yifan. Kali ini dengan suara gebrakan meja yang membuat telinga lelaki itu berdenging―namun belum sempat ia menceramahi Jongin soal suasana sunyi yang ia butuhkan untuk berpikir, si terdakwa nyatanya kini telah berdiri di ambang pintu.

“Kau ikut tidak?” tanya Jongin dengan napas memburu, dan kilat kemenangan di wajahnya. “Aku yang menyetir. Tunggu aku di lobi depan.”

Melipat surat tantangan asli itu sembarangan dan menyurukkannya masuk ke dalam kantung celananya, Yifan bangkit―masih linglung atas gerakan Jongin yang tiba-tiba. Oh Tuhan, ternyata kegiatan begadang semalaman di kantor benar-benar membawa efek tidak baik untuk kondisi pikiran serta tubuhnya. Dan sialnya lagi, ia belum melakukan satupun tugas yang ia catatkan dalam kepalanya tadi.

“Kurasa aku tahu apa maksud suratnya. Tunggu sebentar!”

Dan detik berikutnya, Jongin menghilang dari pintu―meninggalkan Yifan yang masih berjalan lambat menuju arah yang sama. Jarum jam di arlojinya baru saja bergeser ke angka sepuluh. Ia menyadarinya, dan hal itulah yang memacu adrenalinnya kala ini, ditambah fakta bahwa ia masih samar akan rencana Jongin berikutnya.

Semoga anak itu tidak melakukan hal yang sembrono.

“Kau mengerti dasar perbedaan ancaman dan tantangan?” Jongin bertanya, membuka pembicaraan setelah lima menit yang hening tanpa suara. Lelaki yang berkulit agak gelap itu terlihat sangat bersemangat ketika menjemput Yifan di lobi tadi, dan kini roda-roda gagah Land Rover itu tengah membelah jalanan kota New York menjelang siang.

Yifan melirik lewat sudut matanya. “Pass.” Ia berkata acuh―dengan nada yang menutupi ketidak-tahuannya sekaligus atensi minimnya pada dua kata yang disebut Jongin.

Ada jeda tawa pelan sebelum Jongin melanjutkan. “Guruku dulu pernah bilang di kelas bahasa, dua kata ini serupa tapi tak sama. Emosi yang kau katakan waktu mengucapkannya mirip, tapi maknanya berbeda,” jelasnya, tidak mendapatkan respon apapun dari Yifan, jadi ia menangkap sinyal itu untuk terus bicara.

“Pada dasarnya tantangan diberikan kepada seseorang dengan kemungkinan minimal untuk berhasil, sedangkan ancaman diberikan agar seseorang melakukan hal paling bodoh, paling mustahil untuk memenuhinya. Ancaman diberikan agar seseorang gagal, atau yah, agar si pemberi ancaman mendapatkan keuntungan besar.”

“Jadi kau berpikir…?”

Seolah menunggu-nunggu agar topik pembicaraan ini diangkat, Jongin melepaskan senyuman lebar. “Ini tantangan, dengan seluruh penjelasan itu. Waktunya satu jam, dan dia memberikan kita rentang waktu minimal ketika sampai di sana untuk mematikan bomnya.”

Di sana… di mana tepatnya?” Yifan mengangkat sebelah alis matanya.

Berbelok di sudut, Jongin melanjutkan lagi. “Nah sekarang saatnya untuk memanfaatkan teknologi, Yifan,” ujarnya. “Buka penunjuk jalan, dan beritahu aku tempat mana di hari Minggu yang memiliki banyak pengunjung, yang jaraknya tak lebih dari satu jam. Atau minimal mendekati.” Dia menyelesaikan kalimatnya seperti seorang guru kalkulus yang dengan baik hati memberi petunjuk pada muridnya untuk menyelesaikan suatu persoalan, diiringi dengan senyum kemenangan, sementara kini keduanya menyusuri jalanan di samping East River yang terlihat muram.

Di kursi sebelah, Yifan mengeluarkan ponsel pintarnya, memasukkan kode berupa bentuk abstrak untuk membuka kunci. Ia menggeser tampilan layar, berhenti pada gambar penunjuk kecil dengan huruf pertama sebuah mesin pencari paling beken. Mengetikkan alamat kantornya lalu menghubungkannya dengan tempat-tempat besar dengan menggunakan prinsip trial, ia berhenti pada tebakannya yang kelima.

Hening sejenak, sebelum akhirnya lelaki tinggi itu menarik kesimpulan.

“Hari Minggu identik dengan mengajak anak-anakmu keluar untuk berwisata, ‘kan?”

Anggukan kepala Jongin memberi kesan bahwa ia tak sabar mendengar kalimat Yifan berikutnya.

“Kita menuju kebun binatang Bronx,” usul Yifan, dan Jongin menjawabnya dengan injakan gas yang kentara kemudian, menyalip sebuah sedan corolla hitam yang sejak tadi bertingkah seolah jalanan ini adalah milik dirinya sendiri. Kendaraan gagah mereka berhasil mencuri tempat di dua lajur sempit sebelum si sedan menukik tajam ke arah kiri lagi, terima kasih pada kemampuan menyetir Jongin hasil dari hobi balapan liar di masa mudanya.

Keramaian tempat yang mereka tuju terasa sangat jelas ketika Jongin membawa mobilnya menyusuri Crotona Parkway yang kala itu hampir dipenuhi para pejalan kaki.

Perjalanan yang menurut Yifan memakan waktu lumayan banyak karena urusan macet, pengguna jalan yang kurang disiplin, dan dua kecelakaan pada jarak yang tidak terlalu jauh. Lelaki tinggi itu bahkan merasakan perutnya melilit ketika menyadari hanya ada lima belas menit (ditambah tiga menit waktu pinalti) sebelum anggota timnya―dan bahkan para pengunjung kebun binatang ini―berubah menjadi debu. Dengan menunjukkan lencana pada petugas yang berjaga di gerbang, ia dan Jongin mengambil langkah lebar-lebar menyatu dengan kerumunan pengunjung.

“Jika kau jadi penjahat dan sedang menculik orang untuk meledakkannya serta menciptakan kegemparan, kau akan berjalan ke arah mana?”

Yifan mengawasi tiap sudut sebisanya, meletakkan kembali lencana berkilaunya ke dalam kantung celana. “Pusatnya, tentu saja. Kau tahu ke mana kau berjalan?”

“Harus,” jawab Jongin, menghela napas. “Waktu kita tidak banyak.”

Pencarian sia-sia selama delapan menit mengamati bagian anak-anak tempat kau bisa memberi makan secara bebas kepada kumpulan burung jinak, mengelus kura-kura, dan berfoto bersama ular piton raksasa berwarna kuning hampir membuat Yifan putus asa. Keduanya tadi sama-sama menyebut tempat itu sebagai tempat yang ideal untuk para penjahat menaruh peledak―menilik dari jumlah keluarga yang berkumpul di sana.

“Mungkin kita yang terlalu psikopat,” dengus Yifan sembari menghela napas jengkel.

Jongin mengangguk setuju, kini berjalan ke arah Zoo Center, tempat di kebun binatang itu yang dibuat menyerupai istana berbatu, yang dibangun sejak tahun 1908, dan merupakan tempat untuk koleksi reptil besar mereka. Yifan setuju tanpa pikir dua kali begitu Jongin menyebutkan tempat ini, setelah membaca deskripsi cepat pada papan lebar penunjuk jalan yang terpampang di samping air mancur indah menuju pintu masuk.

“Di sini lebih mungkin. Kita melupakan suatu tempat yang dibutuhkan bangsat itu untuk menyembunyikan Luhan, Yixing, ataupun Sehun.” Jongin mencerocos sementara mereka berdua berusaha mencari jalan di antara kerumunan ini.

Seolah mengikuti kata hati―dan demi Tuhan, hanya ada delapan menit tersisa dan itupun sudah termasuk waktu pinalti yang dengan sangat rendah hati diberikan oleh si pengirim tantangan, kedua detektif muda itu meniti langkah menuju lantai selanjutnya melewati undakan berbatu. Keadaan yang ramai terlihat jelas dari lantai dua ini, seorang anak yang memekik girang ketika komodo raksasa di dalam penangkaran itu melesat cepat menuju makan siangnya, dan sepasang orangtua muda yang saling memasang tampang khawatir mencari-cari si kecil yang mungkin hilang dalam kerumunan.

Memimpin jalan, Yifan melangkahkan kakinya lebar-lebar menuju sudut koridor. Di atas sini kosong, mereka hanya bertemu dengan seorang petugas bersih-bersih berwajah masam dengan kain pel dan menggeret keranjang sampah berwarna hitam. Seperti biasa, lencana ditunjukkan dan pertanyaan diajukan, namun lelaki yang hampir berumur lima puluh itu melempar ekspresi bingung dan menggelengkan kepalanya begitu Jongin menunjukkan foto tiga rekannya yang hilang.

Yifan meninggalkan keduanya, lantas menuju satu pintu di ujung koridor di antara sekian pintu. Begitu yakin si petugas bersih-bersih tidak lagi tertangkap pandangan, dan didorong kenyataan bahwa waktunya kini benar-benar hanya tertinggal dua menit, suara pintu kayu yang rusak total serta kelentingan besi engsel menjadi jawaban Jongin yang berlari-lari dengan wajah sarat akan pertanyaan menuju ke tempatnya kini berdiri.

“Kita bisa saja dituntut.”

Yifan menjawab kekhawatiran Jongin dengan senyum timpang, sekaligus menghilangkan ekspresi penuh wibawa yang selama ini mati-matian ia pasang.

But we got him.”

Detektif muda asal Beijing itu duduk dengan ekspresi yang sarat akan kelelahan di kursi belakang, tangan kanannya masih menggenggam air mineral yang secara otomatis disambarnya begitu melihat kedai minuman. Jongin harus berlari kecil saat itu, membayar tagihan kepada si pemilik kedai karena rekannya ini benar-benar hanya mengambil tanpa membayar, bahkan menoleh pun tidak. Dasar polisi bejat, begitu ejek Jongin ketika ia menyamakan langkah, dan hanya dibalas cengiran kecil.

Kemeja kotak-kotak dengan dominasi warna merah marun dan kaus oblong di baliknya menunjukkan dengan jelas bahwa si pengirim tantangan beraksi ketika jam kantor telah selesai. Bercak-bercak kemerahan yang sudah mengering pada kaus oblong milik lelaki itu memberi pernyataan tambahan bahwa ia sempat melawan.

“Aku bermaksud untuk bermalam di apartemen Yixing.” Luhan―si korban yang ditemukan pertama kali akhirnya berbicara setelah menenggak habis air mineralnya. “Ada pertandingan Arsenal melawan Manchester United yang ditayangkan ulang di stasiun televisi.”

Di kursi depan, Yifan mendengus. “Kau benar-benar tidak berpikir untuk meningkatkan kewaspadaanmu saat keluar ke jalanan? Seingatku kau meninggalkan kantor pukul sepuluh lebih,” cecarnya, seperti satu setengah jam yang lalu duduk di sebelah Jongin dengan map di ponsel pintarnya. “Kau tak pernah dinasehati orangtuamu memangnya?”

Tawa tertahan dari Jongin. “Kau membuatnya seperti akan dipingit untuk dinikahkan minggu depan,” katanya, makin tertawa ketika Luhan mengulurkan tangan kanannya dan mendaratkan jitakan mulus.

“Omong-omong bagaimana kalian menemukanku?”

Yifan akhirnya melembek. “Ada surat tantangan yang datang ke ruanganku saat tengah malam, tepat ketika aku bermaksud untuk pulang. Tidak ada nama pengirim, petugas bersih-bersih yang mengantarkannya. Kutelepon kalian satu-persatu, hanya Jongin yang mengangkat. Jadi aku berasumsi kalian bertiga minus Jongdae yang juga mengangkat telepon, tapi karena ia sedang cuti jadi kukeluarkan dari daftar,” jelasnya panjang lebar. “Berita meluas dengan cepat. Well, karena saat itu memang ada Junmyeon di ruanganku. Kau tahu dia, ‘kan? Terlalu khawatir.”

“Kami memecahkan kalimat per kalimat yang ada di surat, tentang bom, juga waktu yang mereka berikan untuk menemukanmu sekaligus menjinakkan bomnya. Aku tak habis pikir bomnya mudah sekali dimatikan, tapi baguslah. Tadi hanya tersisa dua menit, dan kalau jenis bomnya seperti yang dulu pernah kuutak-atik dua hari, mungkin sekarang kau sudah menjadi pepes goreng,” kata Jongin, melanjutkan penjelasan Yifan.

Kembali menyenderkan punggungnya yang rasanya sebentar lagi hampir patah karena disekap semalaman, Luhan melempar pandangannya keluar jendela hanya melonjak lagi sepuluh detik kemudian. “Melihat sungguh percaya dirinya kau menyetir, kau tahu di mana mereka menyembunyikan Yixing atau Sehun?”

“Kau tidak tahu ke mana jelasnya kau dibawa?”

Luhan menggeleng, menjawab pertanyaan Yifan. “Entah. Kedua mataku ditutup, hampir tidak bisa lagi bergerak. Sempat melawan penyerang pertama ketika mereka menangkapku di sudut jalan gelap, tapi sepertinya aku melawan empat orang sekaligus setelahnya. Tubuhnya besar, aroma alkohol dan rokok. Seseorang memukul kepala belakangku, dari situ aku ambruk,” tuturnya, lalu seakan teringat akan peristiwa yang semalam terjadi padanya. “Masih pening pula. Oh, ya, sepertinya aku yang pertama kali dikeluarkan dari mobil, aku masih ingat Yixing yang bicara setengah linglung dari sisi kananku.”

“Mereka―penjahat-penjahat itu maksudnya―mencari tempat yang ramai pengunjung, tapi dengan jarak kurang dari satu jam dari titik awal. Jika tadi kita berangkat dari kantor, maka sekarang titik awalnya adalah kebun binatang Bronx, dan di mana itu, Yifan?”

“Museum Brooklyn. Ya, sepertinya itu. Jaraknya kurang dari satu jam.” Yifan menjawab, masih membenamkan hidungnya pada layar ponsel.

“Iya, iya berhenti di sana, sebentar.” Luhan membetulkan posisi duduknya, kini menggeser bokongnya di bagian tengah di kursi panjang yang muat untuk tiga orang itu. Kedua sikunya bertumpu pada masing-masing senderan kursi Jongin dan Yifan, sementara wajahnya menyeruak di antara keduanya. “Itu, angka-angka itu. Maksudnya apa?” Jari telunjuk lelaki itu menuding-nuding tiga baris angka yang tertera pada surat, yang kala itu terbuka lebar di dekat persneling.

Merasa bahwa bagian ini adalah milik Jongin, Yifan memilih diam.

“Lihat baris kedua,” pandu Jongin sambil menyetir, sekaligus menangkap sinyal dari Yifan yang menyilakan dirinya untuk berbicara. “592004. Kau mungkin akan berpikir awalnya ini berhubungan dengan penulisan tanggal: bulan, hari, lalu tahun, tapi nyatanya angka-angka ini menyatakan satuan menit, jarak, dan sisa waktu yang kita miliki sebelum bomnya meledak.

“Aku juga baru menyadarinya tadi, ketika kembali ke mobil setelah mendapatkan Luhan―khususnya untuk dua angka paling belakang, sih. Jadi, mari kita coba. Menurut map, berapa lama waktu yang dibutuhkan dari kebun binatang menuju museum Brooklyn?”

Yifan kembali pada layar. “Kurang lebih 59 menit dengan kondisi jalan macet.”

“Jaraknya?”

“Sembilan belas koma sekian mil.”

Jongin tersenyum lebar kali ini. “Dengan waktu pinalti tiga menit, ada waktu empat menit untuk menemukan sekaligus mematikan bomnya begitu kita sampai di sana,” tuturnya. “Tapi tetap saja, kita tidak boleh menggunakan waktu 59 menit ini seenak jidat. Ayo coba apakah kita bisa tiba di sana dalam waktu setengah jam.”

Dan injakan pedal gas yang tiba-tiba setelahnya hampir membuat Luhan tersedak napasnya sendiri, ditambah Yifan yang hampir menggigit lidahnya―well, setidaknya lebih baik daripada membuat keduanya memekik seperti seorang wanita dikejar bulldog, memang. Mau ditaruh mana wibawamu jika kau mengekspos sisi dirimu yang itu.

Namun yah memang dasar nasib tak bisa kau atur sendiri, yang kadang-kadang kelakuannya bisa lebih jahat dari seorang dosen pecinta ujian dadakan, sebuah truk malang melintang menyambut ketiganya di belokan pertama menuju Boston Road. Oh, ditambah keramaian para pengunjung River Park yang siang itu lumayan membludak benar-benar tidak membantu sama sekali.

Jongin bermaksud memundurkan mobil, menaruh harapan agar bisa melewati jalur lain, namun sebuah van hitam muncul dari antah-berantah tepat di belakangnya, seolah memasang ekspresi mengejek mau-ke mana-kau-bocah-lewati-mayatku-dulu. Menghela napas pelan, ia melempar pandangan gusar. Di sebelahnya, Yifan membuang muka, menghela napas berat.

Not this time.

Dan seolah Jongin dan Luhan sama-sama membaca apa yang tengah melintas di kepala sang ketua tim, masing-masing menganggukkan kepala tanda setuju, dan mengantungkan Beretta dengan isi penuh.

Yixing atau Sehun, siapapun yang kelak mereka akan temukan setelah ini, baik-baiklah dulu. Semoga bomnya cacat kalaupun tiga polisi ini kekurangan waktu.

―tbc


notes: maafkan itu teka-tekinya apa banget :'( will try harder next time. makasih udah bacaa <3


Filed under: fan fiction, series Tagged: Kim Jongin, Kris Wu, Lu Han

[ONESHOT] Ephemeral

$
0
0

aa

Ephemeral.

.

 “Apakah vinil ini boleh aku bawa?”

Jill mengacungkan benda pipih yang masih terbungkus cover itu sejajar dengan bahunya. Wajahnya selurus apa aja yang terlurus di muka Bumi. Ia tidak tersenyum. Entah karena sedang malas atau memang sudah kehilangan kemampuan untuk melakukannya. Masa bodoh, Yifan jengah memikirkannya. Tidak masalah sih jika ia memang berniat untuk tidak tersenyum selamanya, karena yang paling penting sekarang adalah soal kesiapan dirinya untuk menjalani hidup dari awal lagi, benar-benar dari awal, jauh dari titik nol.

“Kalau perlu, bawa saja,” sahut Yifan pura-pura cuek.

Lelaki itu melirik ke arah sofa; di sana ada tas besar berwarna putih yang nyaris penuh. Isinya pakaian-pakaian Jill yang ia yakin belum tersingkirkan semua dari lemari. Ah, sudah pasti perempuan itu perlu satu atau dua tas lagi dengan ukuran yang sama. Yifan menggeleng pelan, serta-merta teringat sesuatu yakni tentang Jill yang nyaris meminta bantuan padanya untuk mengemas pakaian. Tapi, semacam keburu tersadar kalau itu hanya akan mencabik harganya dirinya, jadilah ia menjejalkan semua pakaian-pakaian itu ke dalam tas tanpa menatanya terlebih dahulu.

“Tapi kenapa? Kau ‘kan tahu kalau aku tidak suka King Crimson?”

“Maumu sebenarnya apa? Kalau tidak suka kenapa ingin membawanya?”

Jill membuang tatapannya dari mata Yifan. “Jaga-jaga, siapa tahu aku merindukanmu,” jawabnya enteng. “Yang jelas aku tidak mau menyimpan fotomu, itu terlalu biasa.” Toh pada akhirnya ia tetap membawa vinil King Crimson yang tak disukainya itu, menyimpannya di atas tas sebelum kembali berkeliling mencari barang-barang yang sekiranya tak pantas ia tinggalkan.

“Jangan dirusak atau pun dihilangkan.” Yifan memperingatkan.

“Jangan khawatir,” sahutnya sambil membawa tungkai kakinya ke arah pantry.

Nyaris empat bulan Jill tak menginjakkan kakinya di apartemen ini. Dan, yah, tak ada yang berubah, semua masih tampak sama. Barang-barang masih berada pada tempatnya, termasuk pakaian kotor yang selalu Yifan simpan sembarangan di atas ranjang. Sebenarnya Jill mengharapkan sesuatu yang ekstrem, menemukan pakaian dalam wanita yang bukan miliknya, misalnya? Tapi tidak, nyatanya setiap sudut apartemen ini steril dari benda-benda seperti itu. Tapi tak tahu juga sih, selama ini Jill ‘kan tak tahu kemampuan Yifan yang sesungguhnya dalam menyimpan sesuatu yang ‘berbahaya’.

“Kau benar-benar tak pernah membawa wanita ke mari?” Jill bertanya sembari membuka laci konter. Ia mendapati cangkir merah kesayangannya tersimpan rapi di sana, bersampingan dengan yang berwarna biru tua milik Yifan. Mendadak ia penasaran, apakah Yifan masih sering menggunakan cangkirnya yang ini?

“Kau bertanya seolah-olah aku sekesepian itu.” Suara Yifan terdengar dekat, dan saat Jill menoleh, lelaki itu berada tak jauh di belakangnya. Sosoknya tinggi menjulang seperti biasa, tak lupa dengan kedua lengan terlipat di dada.

“Sebesar itu aku memedulikanmu, Sayang,” katanya sinis sambil mendorong laci sampai tertutup. “Katanya, laki-laki lebih rentan kesepian.”

Yifan mengerling. “Itu berlaku kalau laki-lakinya bukan aku.”

“Arogan.”

“Kau tahu itu sejak dulu.”

Kadang-kadang Jill rindu berdebat seperti ini. Calon suaminya yang sekarang sayangnya lebih kalem, kalau pun berdebat, Jill selalu menang. Tapi anehnya ia tak pernah menikmati kemenangan itu. Tapi sudahlah, sampai detik ini ia yakin jika pria itu jauh lebih baik daripada seorang Wu Yifan.

“Kau takkan bertanya perihal pernikahanku yang akan berlangsung seminggu lagi? Bertanya “Kau akan pakai gaun yang seperti apa?” misalnya?” Jill menggoda sambil membuka laci yang lain, menemukan sisa peppermint tea miliknya di kotak transparan. Ia tidak tahu jumlah teh itu berkurang atau tidak, tapi yang jelas, kalau pun berkurang pasti bukan Yifan yang minum.

“Itu namanya bunuh diri.”

Jill ingin tertawa, tapi entah kenapa rasanya malas sekali. Jangankan tertawa, tersenyum saja ia malas. Ia tidak mau meninggalkan kesan yang terlalu bagus di kunjungan terakhirnya. Bagaimana pun juga, sekarang Yifan adalah orang asing, kalau pun memiliki hubungan, ‘teman’ mungkin sudah status yang paling oke, meskipun rasanya sedikit aneh.

“Tak apa, aku cukup excited untuk melihat bagaimana kau mati di depanku.”

Jika boleh jujur, Jill tak menyangka jika kehidupannya bersama Yifan akan berakhir secepat ini. Well, ia memang selalu percaya bahwa semua hal yang sifatnya indah akan berlangsung sementara. Hanya saja, yah, seingatnya ia selalu berdoa dengan benar setiap malam, meminta jika hal-hal indah yang ada di hidupnya berlangsung sedikit lebih lama termasuk soal pernikahannya dengan Yifan.

“Kau sudah pernah melihatnya.” Yifan bersuara di sampingnya, membuka laci yang sebelumnya ia buka. “Waktu di persidangan,” katanya sambil mengambil cangkir yang merah.

“Maaf, saat itu aku terlalu bahagia. Jadi mana mungkin aku memikirkan keadaanmu?” Jill memandangi lelaki itu. Memerhatikan setiap gerak-gerik yang biasanya ia temukan setiap hari, sejak bangun tidur hingga tidur lagi. Oke, tak bisa dipungkiri bahwa ia sangat merindukan Yifan. Tapi, yah, untungnya hanya sebatas itu sehingga semua tak terasa merepotkan.

“Berengsek.” Bahkan cara lelaki itu mengumpat pun masih menggemaskan seperti biasa, membuat Jill tersenyum tipis sekali. “Cangkir ini tak terpakai, jadi lebih baik dibawa saja. Kesayanganmu, ‘kan?”

“Ya, tapi aku tidak mau membawanya. Biarkan saja di sini.”

“Tapi aku tidak butuh.”

“Tapi tak ada yang tahu kalau suatu hari kau akan butuh.”

“Tapi aku sebal melihatnya, aku terlalu sering melihatmu ngopi pagi menggunakan cangkir ini.” Yifan tampak kesal, ia meletakan barang itu di atas konter dengan kasar.

“Kupikir kau tidak selembek itu?” ejek Jill.

“Apa katamu? Lembek?”

Jill memutuskan pergi sebelum Yifan melakukan perlawanan yang lebih panjang. Entah kenapa ia merasa puas saat mengetahui jika lelaki itu sebenarnya tidak… sekuat kelihatannya. Hal sepele seperti cangkir saja bisa membuatnya kelabakan, dan itu mengejutkan. Mumpung tak kelihatan, ia tersenyum sepuasnya saat berjalan menuju bekas ruang kerjanya. Mengabaikan mantan suaminya merutuk di belakang.

“Pengap sekali,” sahut Jill sembari menyibak tirai berwarna hitam yang biasanya ia sentuh setiap pagi. Cahaya matahari berebut masuk ke dalam, menerangi setiap penjuru ruangan itu. Ia menyapukan pandangan, lagi-lagi sekilas tak ada yang berubah dan barang-barang masih pada tempatnya.

“Aku tak pernah masuk ke daerah yang bukan kekuasaanku.”

Yifan duduk di atas meja kerja yang berdebu, bertukar tatap dengan Jill yang berdiri di depan jendela.

“Untuk sekadar membersihkannya?”

“Kupikir kau akan kembali, jadi aku biarkan saja ruang kerjamu tetap begini. Tapi ternyata kita berpisah dan entah kenapa keinginan untuk bersih-bersih di tempat ini tidak pernah muncul.”

“Tidak, kau memang pemalas. Bahkan kamar tidur ki—ah, sorry—kamar tidurmu sekarang lebih berantakan dari biasanya. Kalau terus-terusan begitu, mana ada wanita yang mau jadi istrimu?”

Yifan hanya merespon dengan senyum timpang lantas menggantung ucapan Jill begitu saja di udara. Baiklah, sebenarnya ia sama sekali tak berniat untuk menikah lagi. Bukan karena ia tak bisa melupakan Jill, tapi karena tak mau dihadapkan lagi pada masalah-masalah yang sama. Masalah yang begitu menguras energi dan pikiran, masalah yang tampak mudah namun ternyata sulit untuk diselesaikan. Ia tak ingin lagi terlibat dalam hubungan yang seserius itu, bahkan, terkadang ia menyesali keputusannya untuk menikahi Jill. Kalau saja mereka tak pernah menikah, mungkin mereka takkan berpisah. Kalau saja mereka tidak pernah menikah, mungkin mereka masih bisa berbagi perasaan sampai detik ini. Pernikahan telah membuatnya kehilangan banyak hal, pernikahan membuat mereka menjadi lebih egois dan alergi terhadap perbedaan. Sangat menyebalkan. Dan seperti biasa, Jill selalu mengejutkannya. Tak lama setelah mereka resmi bercerai, perempuan itu memutuskan untuk menikahi lelaki yang hadir jauh sebelum dirinya datang. Ya, ia menikahi teman masa kecilnya. Seorang lelaki yang mungkin lebih baik tapi ia yakin takkan lebih berkesan dari dirinya.

“Apa kau yakin akan bahagia dengannya, Jill?”

Pertanyaan itu telah mengendap di sudut kepalanya sejak sekian lama, dan ia merasa lega bisa mengutarakannya sekarang. Ia takkan melupakan sore di mana Jill memberitahukan rencana pernikahannya. Perempuan itu tampak sangat bahagia, terlihat dari sorot matanya. Alih-alih mengucapkan selamat, ia memilih untuk meminum kopinya hingga tandas, lantas bertanya kapan Jill akan mengambil barang-barangnya.

Delapan tahun kebersamaan mereka hancur oleh pernikahan yang umurnya hanya dua tahun. Kurang berengsek apa?

“Ya.”

Jill pernah bilang bahwa mereka berdua seperti Yin dan Yang. Berlawanan tapi saling mengisi. Katanya ia sangat menikmati segala perbedaan-perbedaan itu. Tapi sepertinya hanya omong kosong karena pada akhirnya Jill tetap pergi untuk lelaki yang ka-ta-nya memiliki banyak kesamaan dengannya.

“Kau tidak mau kembali padaku?”

“Tidak, terima kasih.”

“Kau pernah bilang kesamaan hanya akan membuat segalanya membosankan. Jadi mending kau kembali saja padaku. Bagaimana?”

Untuk kali pertama setelah sekian lama, akhirnya perempuan itu tersenyum sinis di depannya. “Sekali lagi terima kasih atas tawarannya, tapi sepertinya aku lebih memilih untuk dihadapkan pada sesuatu yang membosankan daripada menyulitkan.”

Yifan mengedikan bahu lantas beralih menuju rak yang dipenuhi buku-buku humaniora. Ah, entah mengapa rasanya mendadak berat membayangkan bahwa ia takkan lagi menemukan wanita itu duduk di balkon sore-sore sambil ditemani buku kesayangannya dan secangkir peppermint tea. Rasanya aneh mendapati kenyataan bahwa takkan ada lagi yang memprotesnya karena menjadi perokok, keseringan bangun siang, memutar musik dengan volume gila-gilaan, atau karena terlalu lama di kamar mandi. Sialan, bukankah selama beberapa bulan ke belakang ia sudah mulai hidup tanpa itu semua dengan baik-baik saja? Lalu kenapa siang ini ia merasa disorientasi?

“Jangan bangun siang, Yifan.”

Dan apakah perempuan itu benar-benar bisa membaca pikiranku? Lucu, pikirnya. “Aku akan tetap bangun siang.”

“Jangan merokok.”

“Aku akan tetap merokok.”

“Jangan berlama-lama di kamar mandi.”

“Aku akan tetap berlama-lama di kamar mandi.”

Percakapan ini selalu ada setiap hari; setiap malam ketika mereka hendak tidur. Yifan menoleh ke arah Jill, tampak perempuan itu tengah menatap ke luar jendela. Entah apa yang sedang dipikirkannya, ia berusaha untuk tak mau tahu. Biarkan saja. Toh semuanya sudah benar-benar berakhir. Apa lagi yang harus diharapkan? Tidak ada.

-fin

A/N: cuma kangen aja. kali-kali lah. hehe.


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Kris Wu

[DRABBLE] Homecoming

$
0
0

joy

Homecoming

by theboleroo

From: S

Sebentar lagi aku pulang. Tapi, sepertinya namaku akan sampai lebih dulu.

Pesan yang sampai dua jam lalu itu diabaikan Soo Young. Yah, ia tahu pacarnya akan pulang sore ini. Ia juga tahu harus menjemputnya ke bandara sekitar ti—ah, satu jam lagi.

Mendadak ia malas beranjak dari sofa. Rupanya ia ketiduran cukup lama, buktinya reality show yang ditontonnya sudah selesai. Di tengah-tengah usahanya dalam mengumpulkan nyawa yang berserak di ruang tengah, ia meraih remot dan mengganti saluran televisi dengan asal-asalan.

Ah, semuanya menampilkan berita tentang jatuhnya pesawat. Benar-benar bukan tontonan yang pas untuk orang yang baru bangun tidur.

-fin.


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Joy, Red Velvet

[FICLET] Shal

$
0
0

shal

Shal

by theboleroo

edited: 27/8//15

Saat aku mengunjungi laman yang diklaim sebagai play ground-nya, aku seperti menemukan sesuatu yang berbenturan dengan prinsip, tapi entah mengapa di saat bersamaan terasa familier dalam sudut pandangku yang lain. Saat itu aku tidak berpikir terlalu serius, kubiarkan jemariku bergerak mengikuti insting abal yang entah kupunya sejak kapan.

Well, sekarang laman aneh itu sudah tersimpan di bookmark usang yang sudah lama tak kuisi.

Di satu celah waktu, aku kembali membukanya. Membaca sekilas, sebelum akhirnya kuresapi, dan benar-benar kurenungkan. Memang, tak ada jaminan jika semua yang ada di dalam hidup kita akan selalu masuk akal. Termasuk ketika, kau merasa telah menemukan bagian pemikiran dari kepalamu tersangkut di kepala orang lain yang sumpah mati tak pernah kaukenal sebelumnya.

Dia memakai nama ‘S’.

Iya, ‘S’ saja. Tanpa foto ataupun keterangan berbau narsistik yang biasanya tertulis ketika kau mengarahkan kursor ke petak yang seharusnya berisi identitas. Visitor yang tak sampai dua ratus orang, tampilan yang kepalang monoton, pula jumlah posting-an yang tidak lebih dari enam buah.

Aneh, kenapa atmosfernya seperti baru mendapat kabar kalau aku memenangkan lotre? Oke, kurasa aku akan… mencoba menjadikannya teman ‘betulan’.

Satu jam berlalu.

Aku sudah di sini. Nggak peduli kamu bakal datang atau nggak, karena aku sudah punya secangkir dolce latte dan… mood yang cukup bagus, untuk sendirian.

Aku nggak semenyebalkan yang kamu pikir.

Oke. Kalau gitu cepetan.

Tapi, S tetap datang. Dengan setelan biasa dan sama seperti orang kebanyakan. Ia jauh dari kata eksentrik, artistik, atau penampilan yang sarat akan ketidaklumrahan yang tak perlu. S berjalan pelan ke arahku. Lagaknya seperti orang paling malas sedunia. Matanya berkantung, bibirnya terkatup rapat seakan-akan lupa bagaimana caranya bicara. Aku suka bentuk alisnya. Juga irisnya yang cokelat kentara, padahal jelas-jelas tak ada sinar Matahari menyorot wajah tirusnya secara berlebihan.

“Kamu manis,” kataku tanpa motif. Dan S diam, tak memberi respon.

Dengan manner yang seperti ini ia berani berkata bahwa ia tidak menyebalkan? Menurutku sih, ini sangat menyebalkan. Tak ada yang salah dengan pujian, semestinya dia menanggapi meski sedikit. Dengan tersenyum misalnya?

Ah, jika terus-terusan begini sebaiknya ia cepat minggat, sebelum aku menumpahkan minumanku, dan melempar meja ke arah wajahnya yang, baiklah, yang susah untuk dilupakan paling tidak sampai seminggu ke depan.

“Lupa caranya duduk?”

“Tidak, aku cuma lupa caranya berhadapan dengan orang asing.”

“Orang atau orang asing?”

“Orang asing. Kalau orang saja, aku masih bisa handle. Tapi jika sudah diimbuhi kata asing, rasa-rasanya aku ingin buang air.” Dia duduk. “Apa kabar?” tanyanya, seolah kami adalah sepasang manusia yang telah berteman ribuan tahun dan tak bertemu jutaan tahun.

S for Shal.

Apa yang kau harapkan dari pertemuan pertama? Sparks? Bangunlah, karena demi Tuhan kau hidup di negeri penuh huru-hara, bukan di negeri dongeng.

Katakanlah ekspektasiku terhadapnya ketinggian, namun bukan berarti aku menyesal. Aku menyukai S. Tidak banyak, tapi lebih dari sedikit. Sudut pandang tak lazim miliknya ternyata bukan hal yang paling kusukai, jadi aku menganggap jika malam itu adalah malam penuh toleransi. Aku mendengar, mengangguk, dan kadang menimpali. Lucu, karena biasanya aku tak begitu. Maklum, aku adalah seorang egois yang agak alergi menjadi pendengar. Apalagi jika lawan bicaraku orang macam S yang mana ucapannya selalu mengandung aroma sarkasme.

Jika diibaratkan lingkaran yang memiliki sudut yang tak terhingga, rupanya pemikiran yang ia tumpahkan di laman monoton itu hanyalah sepersekian dari keseluruhan sudut pemikiran yang ia punya. Kebetulan yang lucu; sudut yang diperlihatkannya membuatku seperti kehilangan sesuatu, padahal tidak.

Dan… baiklah, sampai pagi ini aku tak tahu nama aslinya siapa. Tapi dia sempat bertanya siapa namaku dan tentu saja aku menjawab. Sejurus bibirnya membulat; seolah tak peduli, seolah namaku cuma embusan angin yang berlalu tanpa sempat terasa.

Tara?

Pesan enigmatik itu sampai dari sebuah nomor yang tidak kusimpan. Tapi aku tahu, itu dari S. Atau Shal. Oh, aku suka nama itu sebetulnya.

Ya. Ada apa?

Senang bertemu dengan kamu. Keberatan nggak kalau di waktu yang lain kita melakukannya lagi?

Aku diam memandangi layar, diam-diam menilik kesan yang kupunya terhadap lelaki yang sebetulnya cukup atraktif namun serupa misantrop ini.

Nggak.

 

Thanks.

Btw, S for Shalen. Namaku Shalen.

Oke, Shalen. See you next time.

-fin.


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Shal

It Takes Two [2]

$
0
0

ittakestwo

Real friend gives you bonfire when you ask for a candle

Melacak target yang kedua rasanya seperti mencoba mencari sepotong jerami dalam gunungan jarum, di tengah hari badai, dan petir menyambar―lalu ditambah kau harus mengenakan jubah tidur nenekmu waktu melakukannya. Sulit? Iya. Siapa sih yang mau mengenakan jubah tidur ketika hujan turun dan petir meraung seperti suara tangisan Fluffy, anjing berkepala tiga piaraan Hagrid dalam serial Harry Potter.

Untuk tebakan yang ini, analisa Jongin meleset sedikit, di bagian bahwa museum ini adalah salah satu tempat yang akan dipenuhi banyak manusia di penghujung minggu. Nyatanya, setelah melihat jumlah mobil yang diparkir dan hitungan kasar jumlah kepala yang mengantre di loket, Yifan adalah orang pertama yang mengusulkan untuk mencari tempat lain. Dia bisa saja langsung berbalik dan pergi apabila Luhan tidak datang semenit kemudian dengan brosur kumal di tangannya.

“Mereka menutup salah satu pamerannya. Sedang renovasi.”

Yifan mengangkat alis. “Darimana kau―”

Sebelum Yifan sempat menyelesaikan kalimatnya, Luhan sudah lebih dulu menunjuk sekitar tiga orang dengan polo shirt bergambar dan berwarna identik di dekat loket, di tangan masing-masing terdapat tumpukan selebaran seperti yang dimiliki Luhan. Namun begitu, Yifan tetap menatap rekannya.

“Iya, iya, aku memungutnya di jalan.”

Dan seolah Luhan baru saja menyeduh kopinya dengan garam, Yifan memunculkan ekspresi aneh lagi.

“Dari sini ke sana jauh. Kita tidak punya waktu banyak.” Luhan akhirnya angkat suara.

Jongin setuju, dan tanpa membawa tiket selembar pun, ketiganya bertolak menuju pintu masuk museum berupa dua buah pintu dorong yang beratnya kemungkinan berbelas-belas ton. Yifan dengan otomatis mengangkat lencananya di pintu masuk, menunjukkan benda berkilat itu pada dua orang penjaga yang berdiri berseberangan memeriksa tiket. Mereka diizinkan masuk dalam hitungan detik―tentu saja―sambil diiringi beberapa tatapan mencela dari pengunjung.

“Hah, cuma benda bodoh mengilat saja.”

“Kalau aku membawa lencana pamanku.”

Tujuh langkah dari pintu, Luhan mendengus. “Makanya, milikilah cita-cita jadi polisi.”

Papan penunjuk terhampar di hadapan ketiganya, sementara koridor luas yang mereka lewati selama beberapa meter kini berakhir di sebuah ruang terbuka yang besar dan berbau lemon sintetis. Di belakang papan penunjuk yang dipigura oleh kayu mahogani yang terlihat kuat, terdapat maskot utama museum, berdiri kokoh, dan menyambut setiap pengunjung. Decitan sepatu terdengar di sana-sini, di atas lantai marmer yang berkilau dan terlihat mahal.

Yifan bergabung dengan Jongin, memeriksa tulisan-tulisan kecil di penunjuk lalu mencocokkannya dengan brosur kumal yang didapat Luhan, menunjuk-nunjuk suatu titik di mana mereka membubuhkan tanda silang maupun tanda centang imajiner. Sementara Luhan mengamati keadaan sekitar, Yifan dan Jongin berbarengan menepuk bahunya di masing-masing sisi, mengambil jalan ke utara menuju eskalator ke lantai dua.

“Kau yakin?”

Jongin mendengus. “Mereka tidak mungkin menyekap seseorang dekat papan penunjuk, kan, Lu?”

“Yeah, sebaiknya tebakanmu benar, karena waktunya hanya benar-benar tersisa 10 menit lagi.” Di sisi kanan, Yifan menyeletuk.

Seolah baru saja menangkap lemparan telak dari Yifan dengan tangkapan indah, Jongin memiringkan kepalanya sedikit. “Hei, aku memecahkan kode angka sialan itu. Ingat?”

Yifan menghela napas panjang, lalu memutar kedua bola matanya dengan dibumbui sedikit kesan dramatis, sementara di sisinya yang lain, Luhan mengangkat satu ibu jarinya. Sisa perjalanan di lift―yang bahkan bisa dicapai dengan gerakan lompat kodok ke lantai dua―diselimuti keheningan. Kecuali ada yang iseng buang angin, maka mungkin suara lalat mendengung pun terdengar jelas di telinga.

Pintu lift terbuka dengan suara denting halus. Jongin adalah orang pertama yang menapakkan kakinya ke luar, disusul oleh Yifan dan Luhan di belakangnya, dengan tatapan jelalatan ke segala arah, dan sumpalan Beretta di kantung belakang yang bebannya seolah bertambah beberapa kilo.

Judul ruangan yang menurut brosur Luhan sedang direnovasi kini terpampang jelas di depan ketiganya, kosong dan sunyi, tanpa pekerja, suara berisik alat potong, atau amplas―kecuali berbagai macam tangga lipat dengan ragam tinggi dan beberapa peralatan tersusun rapi di pinggir koridor. Mungkin hari ini seluruh kegiatan renovasi diliburkan dan akan kembali dimulai besok pagi―yeah, dan ruangan ini seolah berteriak: “Ayo kemarilah, aku menyimpan salah satu rekanmu di dalam sini!”

Mereka berjalan beriringan, kecuali Luhan yang kala itu tengah berjongkok di samping lukisan yang disandarkan ke dinding, sementara mesin bor dan beberapa butir paku ulir berserakan di sebelahnya. Ia bukannya ingin membantu pihak museum dengan menyelesaikan pekerjaan itu, namun karena benda mengilat yang menyembul dari balik bayangan lukisan berdominasi oranye itu.

“Hei, Lu.” Yifan memanggil dari jarak beberapa langkah.

Luhan mengulurkan tangannya, mengangkat benda mengilat itu di udara. “Arloji Yixing.”

“Jadi mereka menyembunyikan Yixing di dekat sini?” Jongin menyimpulkan pembicaraan mereka bertiga, lalu dengan sentakan keras di kepalanya, ia kembali bertolak. Langkahnya dipercepat, inderanya dipertajam. Entah sudah berapa menit terbuang hingga saat ini.

Matanya menangkap sekelebatan seragam biru tua di ujung koridor, hendak berbelok ke kanan. Jongin ambil langkah, meninggalkan Yifan dan Luhan yang masing-masing sibuk berbelok ke koridor-koridor lain, atau ruangan-ruangan yang berpintu. Ia mendapatkannya―si penjaga berbaju biru―dan menampik bahunya dengan gerakan terburu.

“Kau berpatroli di sekitar sini?” tanyanya.

Si pria bertopi memberi jawaban berupa anggukan.

Rahang Jongin mengeras. “Kalau begitu, apa kau menemukan sesuatu yang aneh di sini, seperti ruangan yang dibobol kuncinya, atau mungkin kau melihat sekelompok orang menyandera seorang polisi?”

Kali ini gelengan kepala menjadi jawaban untuk Jongin. “Aku tidak bisa memberitahukannya padamu.” Dan sebaris kalimat kekanak-kanakan sebagai tambahan. “Karena kalian menghancurkan pintu di kebun binatang hari ini.”

Andai ia lupa untuk tetap terus waspada dan membiarkan kelengahan dan kecemasan melumuri dirinya seperti margarin yang meleleh di penggorengan, mungkin teriakan lantang Yifan tidak sampai ke telinganya.

“Jongin, belakang!”

Dan untung saja ia menghindar pada waktunya.

Si detektif terjerembab beberapa langkah dengan suara solid keretakan tubuh menghantam lantai marmer, napasnya memburu, dan matanya memancarkan ekspresi ia tengah berpikir keras untuk mempelajari situasi. Ia berkelit untuk kedua kalinya sebelum pemukul bisbol berbahan alumunium itu kembali mengarah padanya, sementara penjaga jadi-jadian yang tadi sempat ia tanyai mulai ambil bagian dengan menyongsong setiap alat geraknya.

“Luhan, temukan Yixing! Ia tak mungkin jauh dari sini!”

Suara Yifan nyaring membahana di koridor kosong, dengan beberapa lukisan yang diturunkan dari dinding dan peralatan serta tangga lipat di mana-mana, sementara si empunya kini berlari kecil menuju gerombolan kecil yang tengah bergulat. Lelaki tinggi itu menjatuhkan tubuhnya, bokong lebih dulu, dan melipat kaki kirinya ke belakang―mirip gerakan seperti kau tengah menyelengkat seseorang dalam permainan sepak bola. Kira-kira mirip gerakan Captain Tsubasa.

Ujung kaki kanannya yang bebas mendarat indah di wajah si penjaga jadi-jadian, sementara si pemegang tongkat bisbol rupanya lebih pengecut dari yang Jongin pikirkan. Melihat hidung rekannya kini berdarah dan sepertinya terdapat tulang lunak yang rusak di beberapa titik, ia memilih menjatuhkan pemukulnya dan terbirit pergi―seolah Jongin baru saja menyodorkan seekor tikus mati di depan hidungnya. Sweter hitam itu berbelok diiringi kelontangan logam alumunium di dekat Jongin.

“Kau juga menontonnya?”

“Apa?” Yifan bertanya balik, mengulurkan sebelah tangannya, dan menarik Jongin bangun.

“Captain Tsubasa.”

Seolah ini adalah pembicaraan paling keren, dan mereka berdua adalah atlet olahraga paling terkenal seantero sekolah, Yifan mengangguk bangga. “Favoritku Genzo Wakabayashi. Kau?”

“Taro Misaki. Dia jenius,” jawab Jongin. “Aku meringis ketika Kojiro Hyuuga menjadikannya sasaran empuk selain Tsubasa untuk dibully.”

“Yeah.” Yifan melontarkan kata persetujuan. “Mungkin kita harus membongkar lagi kaset-kaset lama untuk menontonnya. Untuk sekarang lebih baik kita mencari Yixing dulu.”

Jongin tersentak―kali ini untuk kedua kalinya. Lalu detik berikutnya ia mulai merasa bodoh. “Oh Tuhan. Ya, kau benar.”

Berpacu dengan waktu yang terpasang pada sebuah peledak entah yang ledakannya akan menyebabkan keributan dan kerusakan macam apa bukanlah acara akhir minggu yang diinginkan semua orang. Namun, menemukan salah satu rekan kerjamu yang berjalan sambil dipapah, serta hidung yang berdarah adalah cerita lain.

Yifan berjalan cepat mendahului Jongin, bertanggung jawab pada sisi kiri Yixing yang kala itu hanya dipapah Luhan. Si korban kedua membisikkan kalimat terima kasih yang pendek lalu mencoba menggerakkan kedua tungkainya sedikit lebih cepat sekaligus melemaskannya―bayangkanlah terkunci selama sepuluh jam lebih dengan tali-temali erat mengunci seluruh pergerakanmu. Yifan bahkan bertanya-tanya dalam kepalanya apakah Yixing perlu pergi ke kamar mandi.

“Peledaknya?”

“Sudah kumatikan. Entah apakah yang ini sedikit lebih sulit atau bagaimana.” Luhan angkat bicara ketika pintu lift menutup di depan mereka berempat, membetulkan posisi berdirinya. “Harus memecahkan kode dulu sebelum alat penghitung mundurnya benar-benar berhenti bekerja.”

Baik Yifan maupun Jongin yang kala itu tidak ada di ruangan yang sama dengan dua rekannya yang lain ini sama-sama meminta penjelasan. Jongin bahkan memutar tubuhnya yang kala itu berdiri paling depan.

“Angka-angka lagi?” tanya Jongin.

Yixing menggeleng. “Tidak. Sejenis permainan anak-anak. Luhan memainkannya dalam waktu lima belas detik, menyisakan tiga detik penyelamat di alat penghitung mundurnya,” tuturnya mewakili Luhan. “Kupikir aku akan keluar dari sini dalam bentuk serpihan debu.”

“Penjahat itu tidak meninggalkan mainan kubus rubik untuk kau selesaikan, kan, Lu?” Yifan mengangkat sebelah alisnya.

“Tidak, tidak.” Yang ditanya menggelengkan kepalanya dengan gerakan pelan. “Hanya permainan X dan O. Kau tahu, kan? Yang ada sembilan kotaknya? Yeah, harus bermain melawan komputer yang disambungkan ke sistem peledak. Jika aku kalah, bomnya akan aktif, berapapun sisa waktunya.” Luhan menjelaskan sampai pintu di hadapan mereka terbuka ke dua arah.

“Taruhan. Di tempat selanjutnya pasti akan ada lebih dari sekadar dua orang bersweter gelap dan bersenjata, dan sebuah permainan anak kecil untuk mematikan alat peledak.” Jongin mendengus sementara keempatnya baru saja melewati pintu keluar yang berbeda dari pintu yang mereka lewati tadi. Seolah membaca pikiran Yixing, Yifan membelikannya sebotol air mineral, kali ini dengan cara sopan karena Yixing bahkan mengganti uang receh yang rekannya keluarkan.

Pilihan lain di samping berjalan kaki karena kendaraan mereka ditinggalkan adalah bus atau kereta bawah tanah, dan setidaknya Yifan cukup pintar untuk mencoba mendatangi sebuah mobil patroli di sudut jalan. Opsir bertubuh besar dengan setangkup tinggi hamburger di tangannya hampir membuat Yifan ciut, tapi yang mereka pertaruhkan di sini adalah Sehun, maka dengan langkah yang dibuat santai, lelaki itu tidak buang waktu.

“Dia pernah dilempar hamburger dan disiram cola oleh petugas patroli.” Luhan menjelaskan.

Jongin mengangkat sebelah alisnya. “Atas dasar apa―”

“Kami bertiga sedang mengejar buronan waktu itu, tanpa kendaraan, karena awalnya kami pikir yang ada di klub malam yang kami datangi hanya antek-anteknya saja. Tak tahunya si bos besar juga ada di sana, sedang berdiri di depan meja penari telanjang sambil―um, kau tahu, kan, tangannya ada di bawah meja.” Yixing berkata panjang, merasa canggung. “Aku dan Luhan langsung berlari di belakangnya ketika ia mengetahui ada polisi dari anak buahnya, tapi Yifan berlari menuju mobil patroli.”

“Ya, petugasnya sedang makan hamburger juga, menyender di bagian depan kap mobil. Yifan langsung duduk di kursi kemudi, bilang akan meminjam mobilnya sebentar, dan ya ampun setelah ini adalah bagian terbaiknya.” Luhan memegangi perutnya, menahan tawa. “Kau saja yang ceritakan.”

Yixing tersenyum usil. “Kau tahu karena waktu itu kami menyamar, kami tidak mengenakan pakaian serapi ini. Bahkan bisa dibilang pakaian kami mirip anak remaja penjual narkoba yang kabur dari rumah. Jadi saat si opsir melihat Yifan duduk di mobilnya―tanpa menunjukkan lencana―ditambah karena waktu itu kuncinya tidak menempel―”

“Dia kena marah dan dilempar hamburger?” Jongin menyimpulkan, seringainya mulai melebar.

“Yeah. Kau harus melihat wajahnya yang dipenuhi mustard dan acar.” Yixing menambahkan.

“Dia menyimpan dendam berhari-hari pada tiap mobil patroli yang diparkir di jalanan.” Luhan menyeletuk.

“Sudah selesai ceritanya?”

Ekspresi masam Yifan bahkan menjadi katalis tambahan untuk cerita siang itu. Ketiganya mengangguk, sambil berusaha membuang imaji tampang konyol Yifan dengan acar menempel di wajahnya, dan bau tajam mustard menguar ke mana-mana, namun untuk detik berikutnya tidak ada yang buka mulut tentang bagaimana Yifan menggoyang-goyagkan kunci mobil patroli itu di jari kelingking kanannya.

“Aku tak percaya kau mengarahkan mobil ini ke kantor kita sendiri.”

Yifan mendengus di balik kemudi, tanpa suara meletakkan ponsel pintarnya di tengah-tengah ruangan kecil antara kursi kemudi, batang persneling, dan kursi penumpang depan. Seluruh layarnya menampilkan sebagian kecil kota besar itu, dengan highlight garis melengkung-lengkung berwarna merah terang sebagai penunjuk jalan. Bulatan kecil di tengah-tengahnya adalah penanda lokasi mereka saat ini.

Di kursi pengemudi, Jongin menjentikkan jari. “Kau sudah memecahkan ini sebelumnya?”

“Yeah, dengan berdasar kepada analisamu soal jarak, waktu, dan waktu pinalti itu.” Yifan menjawab, mengambil lajur kanan untuk menyalip di jalan bebas hambatan. Gaya menyetirnya memang tidak sebrutal Jongin, tapi ia pintar mengambil kesempatan untuk memanfaatkan celah kecil di antara dua buah truk raksasa. “Berapa waktu yang tersisa?”

“Sekitar tiga puluh menit.” Yixing menyahut dari bagian kursi belakang, suara seraknya kini terdengar lebih jernih karena sebotol air mineral, dan hidung berdarahnya sudah dibereskan. Beruntung si opsir menaruh kotak P3K sebagai sikap menaati peraturan standar. “Tapi butuh waktu sepuluh menit lagi untuk sampai di sana, dengan begitu waktu bersih kita adalah dua puluh menit untuk mencari Sehun dan mematikan peledaknya.”

“Jangan lupa dengan bagian membereskan cecunguk-cecunguk yang mungkin muncul.” Luhan menambahkan, dan tiga kepala di ruang sempit mobil patroli itu berbarengan mengangguk setuju.

Ketika gedung headquarter berdiri dengan heroik di depan mereka dalam jarak masih sekian meter, alih-alih melambatkan laju mobil, Yifan justru menginjak gas lebih dalam. Alasan pertama adalah ia tidak boleh buang-buang waktu karena di sini mereka mempertaruhkan nyawa salah satu rekan mereka, sedangkan alasan kedua adalah sebagian, oh Tuhan ini sih hampir semuanya pegawai di sana kini tengah menyemut di bagian depan gedung. Bukan untuk demo, karena penyebab utama kekacauan ini ada di bagian atap gedung.

Yifan memarkir mobilnya sembarangan, tidak terlalu peduli apakah nanti mobil patroli ini akan ditempeli kartu denda atau apa, bahkan Jongin sudah membuka pintu sebelum mobilnya benar-benar berhenti. Para pegawai, pejalan kaki, semuanya bergerombol, dengan otomatis memenuhi jalan raya di sekitaran area itu―beberapa pengendara berhenti dan memarkir mobilnya untuk ikut serta di sana, sementara beberapa pengendara lain yang sepertinya terlambat ke suatu acara atau perlu ke kamar mandi menempelkan wajah mereka ke permukaan klakson.

Suara nyaring yang berasal dari pengeras suara jauh di atap gedung saling sikut-menyikut dengan suara klakson. Keadaan ini membuat tangisan seorang bayi yang tengah lapar atau ingin buang air terdengar seperti pengantar tidur.

“Mereka tidak berpikir untuk menyuruh Sehun melompat, kan?”

Mengikuti pandangan Luhan yang kala itu terpancang pada suatu titik di atap gedung, Jongin mendesis. “Jangan bercanda. Mereka ada di atas bersamanya. Ditambah, Sehun sudah dipasangi alat peledak saat ini,” kilahnya. “Kalau bisa cari jalan belakang. Aku yakin beberapa dari mereka sudah berjaga di pintu depan. Mungkin ini cecunguk-cecunguk yang harus kita bereskan, tapi kau tahu itu akan banyak makan waktu.”

“Sebaiknya kita berpencar. Kau dan Yifan ambillah jalan belakang, biar aku dan Luhan yang membereskan bagian depan.” Yixing angkat bicara.

Di sebelahnya, Luhan mengangguk setuju. “Yeah. Kondisiku dan Yixing sudah keburu babak belur. Setelah ini kau harus memberi kami istirahat selama seminggu, Yifan,” katanya dengan nada bercanda. “Janji.”

Entah kala itu Yifan merasa tersentuh atas perkataan Luhan, atau justru meringis karena dianggapnya keadaan ini terlalu menguras emosi, ia tersenyum kecil. Membetulkan posisi Beretta di saku belakangnya, ia mengangguk kecil ke arah Jongin. “Terserahlah,” ucapnya, merespon Luhan. “Berhati-hatilah.”

Yixing dan Luhan bertolak dari posisi itu hampir bersamaan dengan langkah Yifan dan Jongin yang berlari kecil ke arah sebaliknya. Sesuai analisa Jongin, beberapa kepala dengan penutup kepala hitam dan masker menempel wajah terlihat mondar-mandir di lobi depan, sementara pintu-pintu kaca ditutup seluruhnya. Dari tempat keduanya berdiri dan berbaur dengan para penonton dadakan di hadapan gedung, ada sekitar lima belas orang sandera di dalam sana, menyudut ke tembok, dan tidak ada satupun yang berani mengangkat wajah.

Seorang office boy yang sudah dikenal lama oleh para pegawai muncul tiba-tiba di sebelah Yixing. Napasnya memburu, dan lelaki itu bisa mendengar suara nyaring gerendel kunci dari jarak dekat.

“Mereka datang dan menyuruh sebagian besar dari kami keluar gedung.”

Yixing mengangkat alis. “Dan menyuruhmu mengunci pintunya dari luar?”

“Yeah. Mereka mengancam akan menembak kepala salah satu sandera apabila siapapun dari kami mencoba mendekati pintu dengan membawa kunci,” jelasnya lagi, menjawab pertanyaan Yixing. “Itu rekan satu tim-mu yang mereka sandera di atap, kan? Oh, Bung, aku sungguh-sungguh menyesal mendengarnya.”

“Tidak usah. Toh Sehun belum diapa-apakan.” Yixing berusaha bersikap tenang, namun ia tahu sesuatu dalam kepalanya tengah melonjak kesana-kemari mencari jalan keluar. “Kau bisa membantu kami? Maksudku, kau dan beberapa orang di sekitar sini?”

Si office boy terlihat bersemangat. “Yeah, kenapa tidak? Sejak dulu aku ingin sekali terlibat dalam pekerjaan keren begini.”

Yixing mengangguk ke arah Luhan, yang kemudian sama-sama bertolak ke dua arah yang berbeda, mengisiki beberapa orang, dan meminta mereka untuk mengeksekusi rencananya ketika tanda diberikan.

Lobi depan dijaga oleh tiga orang bersenjata, sementara sandera mereka berjumlah lima belas orang, yang secara hitungan kasar dan logika, berarti seorang menjaga lima orang sandera. Walaupun menang jumlah, tetap saja lawan mereka ini bersenjata, dan lagi kondisi psikologis kelima belas orang itu tengah dalam kondisi lemah, maka sisi inilah yang perlu diperkuat. Jika di kepala mereka timbul niat, maka mengangkat seekor gajah pun bukan hal yang mustahil, mirip seperti ketika kau tengah menghadapi ujian―tentunya kau akan berjuang mati-matian, kan.

Dan di sinilah peran orang-orang di luar. Mulanya Luhan memberi tanda dengan lemparan seonggok kecil batu kerikil ke arah pintu kaca, diikuti dengan kerikil milik Yixing yang bobotnya sedikit lebih berat. Milik Luhan terempas begitu saja, tidak berhasil menarik perhatian, namun milik Yixing mendarat di dekat pintu dan menghasilkan suara cukup nyaring. Salah satu pria bersenjata di dalam menyadarinya, dan berjalan dengan langkah besar-besar menuju pintu, memandangi kumpulan orang-orang dengan tatapan curiga.

Luhan dan Yixing sama-sama mengangguk ke kanan dan kiri mereka, dan dimulai dengan lemparan si office boy, ke arah gerendel rantai, maka hujan kerikil yang menyerbu pintu lobi depan pun dimulai. Sebenarnya rencana ini hanya bernilai 50:50, kecuali para pria bersenjata itu sangat pintar dan berhasil membaca situasi, maka tingkat kesuksesannya baru bisa dibilang seratus persen. Namun nyatanya tidak ada ledakan senapan hingga saat ini, malah ketiga pemegang senjata itu menonton di dekat pintu.

“Ayolah para sandera. Kenapa tidak ada yang mau menyergap sekarang?” Luhan menggigiti bibir bawahnya.

“Kenapa tidak minta tolong Yifan dan Jongin untuk mengisiki mereka dulu?”

“Tidak, tidak. Mereka benar dengan memfokuskan tujuan pada Sehun. Ini tugas kita. Ingat?” Yixing mengangguk mengerti atas pernyataan Luhan, ketika di hadapannya sang rekan mengeluarkan Beretta dan berjalan menuju bagian depan barisan. “Mungkin sandera itu butuh sedikit pemicu lagi.”

Dan untunglah kata-kata Luhan ada benarnya. Setelah tiga kali pelurunya menyambar gerendel rantai dalam jeda yang sangat, sangat singkat, seorang wanita dengan setelan merah marun dan sepatu hak tinggi melompat ke punggung salah satu penyandera, membantingnya ke belakang setelah berkelit dari sebuah pukulan mendadak. Dua penyandera lain ikut turun tangan, namun sisa sandera keburu menghentikannya, menjauhkan dua pria itu dari masing-masing senjata mereka.

“Whoa. Mungkin wanita itu berasal dari divisi lain? Tekniknya bagus juga.” Yixing terkagum.

Gerendel rantai sudah terlepas, dan beberapa paramedis mengekor di belakang Yixing dan Luhan, memeriksa keadaan para sandera sementara para opsir berlarian dengan borgol di tangan mereka. Keadaan kembali ditenangkan, karena perseteruan sebenarnya kini tengah terjadi di lantai atap.

“Cobalah untuk tetap tenang, oke? Kita tidak ingin mereka mengira kita berhasil masuk. Beberapa tetaplah berada di luar gedung, setidaknya agar Sehun tidak serta-merta ditembak atau diledakkan karena kita berhasil mengambil alih kembali gedung ini.” Luhan berbicara ketika ruangan kembali sunyi. Beberapa kepala mengangguk, dan sesuai instruksi kembali ke posisi awal mereka.

Di sebelah Luhan, Yixing menyikut. “Bergembiralah. Musuh kita yang ini rupanya tidak terlalu pintar.”

“Yeah, kuharap orang yang menyandera Sehun di atas juga tidak berbeda jauh.”

“Menurutmu Luhan dan Yixing berhasil di bawah sana?”

“Ingin seberapa besar rasa khawatir ini menyelimutiku pun aku masih berharap keadaan tetap membaik, Jongin.” Yifan angkat bicara ketika mencapai tangga darurat, napas memburu, namun keduanya tahu betul mereka tidak boleh membuat kegaduhan di sini. Apabila penyandera di lobi depan tahu keberadaan mereka, bukan saja kepala-kepala sandera itu akan berlubang di tengah, tapi juga tubuh Sehun yang berubah menjadi debu. “Kuharap mereka baik-baik saja. Sehun terutama.”

Walaupun kala itu hatinya juga terasa gentar, Jongin menganggukkan kepalanya mantap. “Ya. Kuharap pendapatmu soal intuisi antara rekan berguna di saat-saat seperti ini,” tuturnya dengan nada yang seolah mengkhianati ekspresi wajahnya kala itu.

Tawa kecil di landasan tingkat dua. “Kita sudah melewatinya berkali-kali. Ingatlah.” Yifan mengambil napas, memberikan jeda sebelum ia bergerak ke kalimat selanjutnya. “Jongdae sakit perut di hari kita akan berangkat ke Boston untuk mengejar buronan penyebab lima kematian dalam sebulan, akibatnya kita tertinggal penerbangan. Kau ingat apa yang terjadi selanjutnya? Pesawat yang harusnya kita tumpangi gagal take-off dan sebagian besar penumpang terluka berat.” Menapak ke anak tangga berikutnya, Yifan berhenti selama beberapa saat, mengambil napas lagi. Kejadian hari ini benar-benar menguras tenaganya.

“Dengar. Kita tidak akan kehilangan seorangpun hanya karena surat tantangan bodoh. Mengerti? Kau sudah memecahkan angka-angka sialan itu, kan. Percaya dirilah.”

“Ya, kau benar. Maafkan aku.”

Yifan tergelak halus. “Omong-omong kita akan sampai di atap dalam beberapa langkah.”

Begitu pintu besi berwarna biru pucat yang menghubungkan akhir landasan di tangga darurat ini dengan area atap terbuka diiringi suara ringkik tertahan, pancuran sinar matahari terik di siang hari menyirami kedua detektif itu tanpa bisa dibendung. Mulanya mereka mengerjap-ngerjap untuk membiasakan indera penglihatan mereka, sedikit pening akibat tamparan cahaya yang tiba-tiba, dan kemudian menyadari ada tiga penyandera lain berpakaian hitam yang berdiri di tiap sisi; membentuk formasi segitiga dalam posisi bertahan.

Artinya, ada dua orang bersenjata di sisi kiri dan kanan area atap dengan moncong senjata mereka teracung sangat berbahaya, dan seorang lagi berdiri seperti kucing hias di toko-toko kelontong tepat di belakang Sehun. Setidaknya kala itu Jongin dan Yifan bisa bernapas lega, karena selain hidung, dahi, dan mata kirinya yang membiru, keadaan rekan mereka yang terakhir ini baik-baik saja. Namun, belum juga napas mereka dihela sampai tuntas, keduanya menyadari apa yang terletak di tangan kanan Sehun yang bebas.

“Mereka tidak memaksanya untuk―”

“Jongin, sungguh, aku tidak suka ke mana persoalan ini mengarah.”

Sebelum Jongin sempat merespons kata-kata ketua timnya, si penyandera Satu, yang berdiri di belakang Sehun lebih dulu buka suara; dari balik masker hitam yang hanya menyisakan kedua matanya saja untuk dipandang, suaranya terdengar berat. Barangkali dua kali lebih berat daripada suara seorang laki-laki dewasa. Mungkin ia menggunakan semacam alat untuk mengubah warna suara atau apa, karena sekarang baik Yifan maupun Jongin masih belum bisa menebak kira-kira berapa umur orang ini.

“Delapan menit, Tuan-tuan. Delapan menit tersisa sebelum rekanmu ini melayang-layang seperti debu ke jalanan.” Suaranya mengisi seluruh area atap itu, dengan otomatis menyenggol dinding pertahanan emosi Jongin dengan disengaja―Yifan merasakannya, karena kini napas Jongin saling memburu di sebelahnya, dan tangan kanan lelaki itu mulai bergerak ke arah belakang sakunya.

Yifan menghentikannya dengan satu gerakan singkat. “Tenang, Jongin. Kita tidak ingin Sehun, kau, dan aku pulang dalam wadah abu, kan? Mari hadapi dia dengan kepala dingin, oke?” Dan untunglah dengan kisikan Yifan, tiga detik kemudian emosi Jongin mulai mereda―tangan kanannya tak lagi mencari-cari posisi Beretta di saku belakang, pun cara berdirinya yang kini lebih rileks.

“Yifan, waktunya.” Meski begitu, aura khawatir masih menguar dari arahnya.

Si ketua tim mengangguk mengerti, namun ia mencoba menegakkan tubuh, memasang ekspresi seolah ia mengendalikan keadaan, dan bernapas dengan tenang―walaupun kenyataannya dengan benda hitam mengilat yang kali ini bersarang di tangan kanan Sehun yang bebas sama sekali tidak membantu. Moncong panjangnya terarah tepat ke dahi, di mana sebuah sinar laser merah yang bergerak tak fokus mengarah kali ini―sudah pasti tangan Sehun gemetaran, ditambah jari telunjuknya yang dengan paksa dijejalkan ke arah pelatuk.

“Aku tidak tahu kau, motifmu, dan alasanmu memilih timku untuk dijadikan mainan, Tuan. Apabila kau memiliki dendam pribadi, atau masalah yang ingin kauselesaikan denganku, maka coba kita bicarakan sekarang.” Yifan angkat suara, langsung melompat ke inti permasalahan. Tidak perlu ada kalimat pembuka untuk membujuk target mereka―itu bisa dilakukan jika waktu yang tersisa lumayan banyak, yang artinya, tidak saat ini.

Wajah Yifan yang semula tenang berubah masam begitu kekehan pelan di seberang tempatnya berdiri terlempar, melayang begitu saja ke wajahnya seperti butiran tomat busuk dari para pengkritik.

“Itu gertakan paling kekanak-kanakan yang pernah kudengar, Tuan Detektif―”

“Aku tidak menggertak.”

“―dan tidak. Kita tidak sama-sama mengenal. Kau tak tahu aku, aku tak tahu kau. Ya, kecuali kau sering sekali muncul di koran pagi setelah memecahkan kasus atau tindak kriminal.” Si penyandera Satu melanjutkan kalimatnya, tidak mengindahkan komentar Yifan. “Kau tahu di dunia ini bukan tidak mungkin ada yang menjadikan tindak kejahatan sebagai sebuah hobi.”

Baik Yifan maupun Jongin bertukar pandang, seolah dengan susah payah mencoba untuk meresapi kalimat-kalimat itu. Jika darah bisa benar-benar mendidih dan meleburkan seluruh organ dalammu dalam arti yang sebenar-benarnya, maka bisa dipastikan akan ada asap yang membubung dari ubun-ubun kedua detektif itu saat ini.

“Waktunya lima menit, omong-omong, silakan pilih. Melihat rekan kesayanganmu ini menyembur ke mana-mana seperti kembang api, atau bersedia menyumbangkan pertunjukkan kecil di depanku? Dua temanku dengan senang hati akan membantu.” Untuk sejenak, napas Jongin saling memburu lagi. Dia tidak suka keadaan ini, keadaan di mana bukan dirinya yang memegang kendali.

Mulut Jongin tiba-tiba kering. “Bangsat kotor.” Oh, ya ampun, rasanya lega sedikit bisa menyumpah.

“Tenanglah. Aku tidak main curang. Begini peraturannya. Jika kau bisa menjatuhkan teman-temanku lalu berlari ke sini mematikan peledaknya, maka kalian menang. Tapi jika hingga detik terakhir belum ada pencerahan, maka detektif tampan di sebelahku ini bisa memilih; ingin mati menjadi serpihan atau dengan lubang di dahi.” Jongin menatap lurus ke arah Sehun yang kala itu mulutnya terbungkam rapat oleh sehelai kain hitam, dan dari cara dadanya naik turun ia tahu bagaimana perasaan rekannya saat ini.

Yifan menghela napas, tangan kanannya terulur membetulkan Beretta di saku belakang; mereka berdua tahu, tidak ada gunanya menggunakan senjata. Hanya buang-buang waktu―well, mungkin sekaranglah prinsip milik Luhan harus dijalankan; langsung serang.

Jongin berhasil mengenai pelipis si penyandera Dua, mendorongnya menjauhi senjata berperedam yang semula ia pegang erat―memojokkannya ke tepian atap, namun tidak melindungi tubuh bagian bawahnya. Terjerembab detik berikutnya, dengan posisi wajah menangkup permukaan yang panas. Dahinya lecet, dan sosok heroik si penyandera Dua berdiri tegap―masing-masing kaki lawannya ada di sisi kanan dan kiri kepalanya.

Kedua tangan kekar berbulu kini mulai menghampirinya lagi, mengarah pada kedua kerah kemejanya. Jongin menarik napas dua detik sebelum tangan kekar itu benar-benar memegang kendali penuh atas dirinya, mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi, dan menjepit kepala bertudung itu di antara tungkainya. Ia tidak tahu darimana trik ini berasal, tapi ia sungguh-sungguh berterima kasih karena Luhan atau Yixing selalu rajin meminjaminya film aksi, atau mengajaknya pergi ke bioskop. Dengan sentakan kecil, dibantu tangannya yang kini mencengkeram kerah baju lawan, ia berhasil mengubah keadaan.

Ia berguling ke samping, namun gagal berdiri ketika si penyandera Tiga lebih dulu mengunci seluruh gerakannya. Bagus. Sepertinya Yifan kurang lihai dalam hal ini, dan ditambah lelaki jangkung itu tidak istirahat semalaman. Menyuruhnya menghadapi pria-pria ini satu lawan satu sama saja seperti menyuruh nenekmu mengangkat tubuh The Rock tinggi-tinggi ke udara.

“Dua menit, kawan-kawan, jika aku boleh menyela.”

Jongin melihatnya lewat sudut mata―Yifan yang terkapar dan berbaring di sisi kiri tubuhnya, pandangannya menuju ke arah sebaliknya, jadi kini ia hanya bisa melihat punggung ketua timnya. Ada jejak darah di kepala belakangnya, lewat jalinan rambutnya yang kecokelatan, menjelaskan padanya bahwa si penyandera Tiga menggunakan ujung pistolnya sebagai alat pukul.

Ia merasakan tubuhnya diangkat. Kedua tangan terkunci di belakang, sehingga kini tubuh bagian depan dari ujung kepala hingga ujung kaki terbuka lebar bagi siapapun yang ingin menjadikannya bantalan tinju. Napas menderu, kepalanya pening. Di sisi lain, ia menangkap sosok Sehun yang duduk dengan bahu terkulai, tangan kanannya masih memegang senjata, masih sama―bedanya kini laser merah yang terarah di dahinya tak lagi bergerak-gerak. Stagnan―seperti sebuah pendirian kuat akan keputusan yang akan diambil.

Jongin terlalu fokus pada kedua rekannya, sehingga begitu pukulan pertama mendarat di abdomen kanan, rasanya seperti kau tidur telentang di suatu siang dan seseorang menjatuhkan satu buah semangka berukuran besar tepat ke perutmu. Pukulan kedua datang dan berhasil membuat telinganya berdenging, serta sebuah giginya tanggal. Beruntunglah hantaman ketiga tidak langsung datang, karena pria kekar di hadapannya ini rupanya tengah mengambil napas.

Waktu ini digunakan Jongin untuk memeriksa keadaan lagi. Yifan tidak akan bangun dalam waktu lama, ia tidak menangkap gerakan signifikan dari sosoknya, napasnya terlalu lemah, bahkan ia sampai takut kalau-kalau punggung ketua timnya benar-benar tak bergerak―indikasi darurat apakah lelaki itu masih hidup dan bernapas. Matanya bergulir kepada Sehun, yang kala itu juga menatapnya. Ia tidak tahu apakah Sehun tersenyum, atau tengah menyumpah. Ekspresi datar, atau pasrah. Kain hitam itu benar-benar memblokir semuanya, kecuali matanya―dan sialnya, Jongin bukan tipe pribadi yang pintar membaca seseorang.

“Mari berharap satu menit ini akan menjadi pengalaman berharga kalian, Tuan-tuan.”

Habislah. Jadi begini saja, ya.

Pukulan ketiga datang lagi, tepat di ulu hatinya kali ini, dan Jongin bersumpah mungkin mendengar satu atau dua tulang rusuknya patah di dalam sana. Matanya mulai mengerjap-ngerjap tidak fokus. Ya, habislah. Pukulan keempat sebentar lagi datang dan Sehun―oh Tuhan ia tidak dapat membayangkannya, apakah peledaknya yang turun tangan, atau… oh, terkutuklah!

Pandangan Jongin mulai buram, ayunan tinju yang kini hanya berupa sekelebatan hitam tidak begitu jelas di matanya mulai beraksi, menyiapkan ancang-ancang untuk mengambil kesadaran dari tubuhnya―

Tar!

―Jongin mendengarnya, masih sempat merasakan hatinya mencelos, dan senyuman timpang menyedihkan di wajahnya. Jadi ia berniat mendahuluiku? Baiklah. Kalau begitu aku selanjutnya.

Seperti seorang anak yang patuh, ia menunggu datangnya pukulan keempat sembari memejamkan mata.

Yang dengan jelas akan tertuju pada entah ulu hati lagi, atau tulang rusuknya.

Yang pastinya menyakitkan.

Yang… sepertinya tidak akan pernah datang―karena ketika terdengar letusan kedua, kuncian di tangannya terlepas, dan beban berat di punggungnya menandakan ada bobot berat yang baru saja menjadi sasaran empuk peluru.

“Luhan, urus Sehun! Berengsek ini mencoba kabur!”

Jongin jatuh dalam gerakan limbung, namun masih sempat memutar tubuh dan menjadi saksi pertarungan terakhir. Letusan ketiga terdengar dari pistol milik Yixing, yang pelurunya membelot dengan indah mengenai lengan bagian dalam si penyandera Satu, sehingga kini pistolnya terlempar dan Yixing dengan santai menendangnya menjauh. Borgol bergemerincing, si lelaki Changsha mengunci tangan targetnya tanpa kasih sayang―menjerembabkan lelaki itu sesudahnya.

Sementara Luhan sibuk mengutak-atik bahan peledak, Yixing sibuk memastikan keadaan Yifan, berteriak lantang setelah ia menghela napas lega di kejauhan: “Dia masih bernapas, hanya hidungnya saja sekarang banjir darah.”

Ketika Yixing akhirnya kini berlari ke arah Jongin, Sehun sudah bangkit dari kursi peyot itu, melepaskan penyumpal mulutnya, dan saling menepuk bahu dengan Luhan―yah, kau tahu kan, jabat tangan dan pelukan antar sahabat lelaki. Bukan, bukan dalam konteks yang tidak wajar, bersihkanlah pikiranmu.

“Hei, Jongin, bertahanlah. Paramedis akan segera datang. Bertahanlah, oke?”

Wajah Yixing memenuhi pandangan Jongin, dan ia merasakan ada kelegaan luar biasa yang membuncah di perutnya. Rasanya seperti kau terkunci di dalam lemari pendingin selama tiga jam, lalu ketika kau diselamatkan ada segelas limun jahe hangat mengalir ke perutmu, begitu kira-kira rasanya, dan bahkan Jongin berani bersumpah rasanya lebih menyenangkan. Ya, walaupun masih ada nyeri di sana-sini tentu saja.

Dia berbaring telentang setelahnya, dibantu Yixing, dan begitu paramedis datang lalu menanganinya, pandangannya telah benar-benar gelap. Ia hanya ingat diangkat ke atas tandu dan diberi alat pernapasan bantuan. Baiklah. Mungkin keesokan harinya ia akan bangun dengan perban di sana-sini.

Oh, ya, dan sepertinya yang berhak mendapatkan liburan seminggu adalah keseluruhan anggota tim Wu Yifan, beserta ketua timnya sekalian―ralat, tanpa Jongdae, tentu saja.

*



Filed under: fan fiction, series Tagged: EXO, Kim Jongin, Kris Wu, Lu Han, Zhang Yixing

[RESENSI] Melintas BUMI Sendiri dengan Rasa Terjemahan

$
0
0

raib

.

.

Judul                                     : Bumi

Pengarang                            : Tere Liye

Penerbit                                :  GPU

Harga                                    : Rp 88.000

.

.

“Apapun yang terlihat, boleh jadi tidak seperti yang kita lihat. Apapun yang hilang, tidak selalu lenyap seperti yang kita duga. Ada banyak sekali jawaban dari tempat-tempat yang hilang. Kamu akan memperoleh semua jawaban . Masa lalu, hari ini, juga masa depan.”

Sejujurnya sebelum membaca novel Bumi, aku sudah sempat menaruh pesimis akan karya Tere Liye. Bukan karena tulisannya atau ceritanya yang kurang bagus, hanya saja seperti kurang cocok dengan seleraku. Awalnya aku tau karya Tere Liye diperkenalkan oleh Dista melalui buku Negeri Para Bedebah.

Buku itu bercerita mengenai metafora pemerintahan negeri yang penuh dengan intrik politik dan korupsi yang merajalela. Dan ternyata aku hanya sanggup membacanya hingga lembar kesepuluh, sisanya selalu ketiduran.

Hingga pada akhirnya buku tersebut masih tersimpan rapi tak tersentuh di pojok lemari buku. Sampai pada dua minggu lalu saat tengah asik berjalan – jalan dengan sahabat saya si Hilda, kami terjebak dalam keriuhan diskon buku dari Toko Buku Gramedia.

Di sana ada tumpukan buku berserakan yang dijual dengan harga sepuluh sampai lima belas ribu. Kalap? Tentu saja. Aku menemukan buku Bumi tergeletak di bawah tumpukan beberapa buku psikologi. Ketika kulihat label harganya, tertera angka lima belas ribu. Langsung saja kuambil sembari mengingat bahwa si Hilda rasanya juga pernah merekomendasikan buku ini padaku dulu.

Sesampainya di rumah entah mengapa aku bersemangat sekali ingin membaca buku ini. Seperti ada suatu rasa penasaran yang samar. Padahal biasanya aku baru membaca buku yang aku beli itu berkisar antara satu sampai dua hari setelahnya.

Dan ternyata intuisiku tidak meleset. Novel ini benar – benar memenuhi ekpektasi yang aku inginkan untuk sebuah novel yang bisa membuat siapapun yang membacanya ikut terseret dalam dunia yang diciptakan oleh penulisnya.

“Namaku Raib. Dan aku bisa menghilang.”

Perkenalanku dengan Raib dimulai dengan hilangnya kucing hitam peliharaan Raib secara tiba – tiba. Dari situ mulailah Raib memperkenalkan diri sebagai remaja cukup canggung berusia 15 tahun. Berambut hitam panjang dan memiliki raut muka yang jarang tersenyum.

Sebenarnya kehidupan Raib akan sama dengan remaja lainnya andai kata ia tidak menyadari bahwa ia mempunyai sebuah kekuatan ajaib. Dimana ketika ia menaruh kedua tanganya menutupi wajah maka secara otomatis ia akan menghilang.

Pada awalnya ia menganggap hal tersebut sebagai sebuah kekuatan unik yang tidak ada sangkut pautnya dengan dunia lain. Namun ternyata ia salah. Kekuatan itu justru adalah kunci pembuka petualangan selanjutnya. Ditemani oleh sahabatnya Seli dan Ali teman sekelasnya yang cerdas, maka Raib siap untuk mengetahui sejarah munculnya kekuatan itu dalam dirinya.

Yang paling aku suka dari novel Bumi ini adalah cara penceritaannya yang sederhana. Kita tidak akan terlalu dipusingkan dengan berbagai macam istilah asing namun tetap dapat mengikuti ceritanya dengan mudah.

Cara meyajikan pertarungan dengan munculnya setiap karakter baru juga dengan mudah dapat dipahami, meskipun memang masih banyak yang meninggalkan tanda tanya besar. Penjelasan serta konflik yang dialami oleh setiap karakternya juga tidak terlalu rumit namun tetap menghibur.

Jika kalian suka membaca Harry Potter, Lord of The Ring atau bahkan Narnia, maka kalian akan merasakan suasana yang sama dalam buku ini. Namun percayalah bahwa ketika kalian membaca Bumi, apa yang aku maksud dengan ‘suasana yang sama’ itu benar – benar hanya sekedar suasana.

Mungkin jika ada pertanyaan tentang bagaiamana membuat sebuah cerita yang hanya sekedar terinspirasi namun tidak terkesan meniru, maka novel Bumi ini adalah salah satu contoh terbaiknya.

Selain tata bahasa yang sederhana, alur serta plotnya juga pas dan tidak bertele – tele. Namun karena ini segmennya adalah untuk remaja maka mungkin jadinya sedikit akan terasa setipe satu sama lain. Tidak terlalu berat dan menguras emosi.

“Mungkin saja kan sebenarnya Bumi ini adalah sebuah lapangan besar. Dimana ada beberapa  dunia lain yang bergerak seirama dengan kita namun kita tidak bisa melihatnya. Apalagi merasakan kehadiran mereka. Namun semuanya berjalan secara bersamaan dalam satu waktu.”

Aku menghabiskan waktu kurang dari sehari untuk membaca novel ini. Dan langsung bersemangat mencari kelanjutannya. Sejauh ini masih dua buku yang terbit; Bumi dan Bulan. Tebakanku akan ada empat novel. Sisanya adalah Matahari dan Bintang.

Setelah membaca habis keduanya – untuk Bulan aku tidak meresensi karena secara garis besar sama menariknya. Bulan adalah kisah lanjutan dari trio Raib, Seli, dan Ali dengan suasana seperti Hunger Games serta Golden Compass, dimana terbukti bahwa Seli juga sama ajaibnya dengan Raib, ia bisa mengeluarkan petir dari tangannya – aku jadi bertanya tentang siapa sebenarnya Tere Liye?

Dengan sedikit usaha mengetik nama yang bersangkutan di mesin pencari, maka ada beberapa fakta dari sang penulis  yang bisa kita dapatkan. Yang pertama tentu saja diketahui bahwa Tere Liye itu adalah seorang laki – laki. Bukan perempuan.

Bernama asli Darwis namun menggunakan nama pena Tere. Ia adalah seorang akuntan dan menulis adalah hobi disela kesibukannya. Dan nama Tere Liye itu dalam bahasa India mempunyai arti; Untukmu. Untuk detail artikel dan foto Tere Liye bisa dilihat di sini.

Satu hal lagi yang membuat aku suka banget sama novel ini adalah kalau kalian baca tanpa mengetahui bahwa penulisnya adalah orang asli Indonesia – Tere Liye lahir di Sumatra – maka pasti akan menyangka bahwa ini adalah novel terjemahan!

Sehingga itu membuktikan bahwa ada kok penulis Indonesia yang bisa membuat cerita seperti novel luar negeri dengan sama bagusnya. Tapi kalau boleh jujur selama membaca ini aku selalu membayangkan dengan penggambaran film Hollywood.

Bukan hanya karena ini setting awalnya di Indonesia lalu aku bisa membayangkan penggambarannya seperti film Indonesia. Mungkin ini disebakan banyaknya jenis sinetron alam ghaib aneh di televisi yang belakangan ini menjamur sehingga membuatku menjadi agak malas membayangkannya dengan gambaran seperti itu.

Jadi untuk yang tertarik membaca atau sudah membaca mari kita sharing bersama petualangan kalian di kolom komentar ya.

yopiyoll


Filed under: Book Review Tagged: taKYUyaki

[DRABBLE] The Choice

$
0
0

red-roses-for-my-sweet-love

.

.

“Mawar merah atau Kristal Perak?”

Usagi memandangnya dengan tatapan bertanya. “Mengapa kau bertanya seperti itu?” rambut kuning emasnya berkilauan tertimpa sinar matahari.

“Hanya ingin tahu.”

“Mawar merah. Paling tidak aku tahu jika kau masih peduli padaku Mamoru.”

***


Filed under: fan fiction Tagged: Sailormoon, taKYUyaki

[ONESHOT] Ketika

$
0
0

landscape-photography-tumblr-nature-favim-com-853565

by: xianara

~ Kematian dan kehilangan bermula dari ‘ketika’ ~

.

Zane menelurkan kuap dengan kondisi mulut selebar mulut kuda nil. Matanya yang sayu membayangi temaram lilin yang menemani. Dingin merayapi permukaan perut sampai ke lutut, pada marmer yang dijadikan alas olehnya. Api pada lilin yang tinggal setengah itu bergoyang, tertiup angin. Aliansi nyamuk dengan gamblang mendengungkan soneta, ikut mengisi daftar presensi pada malam kali ini.

Kepada jarum jam yang berdetak secara konstan, hal itu seolah menyadarkan tentang masa yang dipinjam secara cuma-cuma dari Tuhan. Makhluk hidup memiliki persamaan dengan makanan kaleng di supermarket ataupun aspirin yang dijual di warung; sama-sama memiliki masa kadaluwarsa.

Zane mengecek masa aktifnya di dunia pada sebuah notes kecil yang selalu dikantongi. Di sana pun tertulis;

Masa aktifmu berlaku sampai waktu yang cukup panjang. Tenang saja.

 

Zane memasang senyum kecut lantaran intruksi konyol yang tertulis. Apa yang bisa dirasa cukup tenang? Mengetahui masa aktif kehidupan meskipun itu untuk waktu yang cukup lama tidak akan pernah membuatmu merasa lega.

Beban itu akan selalu ada. Kita semua akan mati, tidak peduli bagaimana caranya. Yang jelas, semua makhluk hidup di jagat raya ini memiliki kodrat yang tidak bisa digubah oleh siapapun, takdir itu; born to die.

“Masih belum tidur?”

Interupsi seorang pria terdengar, membuat Zane menoleh ke asal suara. Dia di sana; Ale yang bersender pada kusen pintu kamar sambil membuang kuap. Zane berhenti menengadah, kembali memusatkan titik pada notes di bawah dagunya.

“Belum.” jawabnya.

“Kau pasti kepanasan.”

Zane mengangguk. Gadis itu memang tidak bisa tidur dalam kondisi kipas angin atau pendingin udara yang mati. Kalau pun seperti itu, otomatis keadaan Zane pasti akan bermandikan peluh gara-gara kaos yang basah kuyup karena keringat. Lantas, ia segera beralih dari posisi kura-kura yang dipatenkannya untuk kemudian duduk sambil memeluk lutut.

“Apa mati listriknya masih lama, Al?”

Ale mengangkat bahu. Tahu-tahu, dia pun melesat menuju tempat Zane dan ikut duduk sepertinya.

“Mau kukipasi?” tawar Ale tanpa menatap ke manik Zane yang mengamati api biru pada lilin yang ada di depannya.

“Tidak terima kasih, Al.”

“Zanester?”

Zane menoleh ke samping kirinya, mengikuti panggilan Al kepadanya.

“Apa?”

Ale menjungkitkan kedua ujung bibirnya, dia tersenyum.

“Kenapa aku tidak memiliki notes sepertimu, ya?”

“Maksudmu?”

Al menunjuk notes berwarna kulit pisang yang digenggam oleh Zane sembari tersenyum. Zane melihatnya. Otomatis dia pun mengangkat notes itu, agak sangsi. Apa maksud dari Al menunjuk notes-nya?

“Rasanya pasti melegakan saat mengetahui masa aktif di dunia ini masih panjang.”

Zane mengekori arah pandang pria yang notabenenya lebih tua darinya dua tahun itu. Pandangannya terasa jauh, tak tergapai dan sulit diraih. Arah dari pandangan Ale terlihat hablur. Dalam situasi gelap seperti ini, pun sulit bagi Zane untuk menerka apa sesungguhnya yang diamati oleh kedua mata hitam Ale.

Zane memilih untuk bungkam. Mungkin karena dia tidak begitu mengerti maksud dari pembicaraan Ale. Notes dan masa aktif? Perasaan lega?

Sejujurnya, Zane justru tidak merasa begitu. Yang terasa malah seperti ada beban yang terus-menerus menghimpit dadanya. Setiap waktu, beban itu terasa makin besar. Dan yang lebih parah lagi, ia tidak tahu harus berbuat apa untuk mengurangi beban yang semakin lama semakin melar seperti karet yang terendam oleh ratusan kubik liter minyak tanah.

“Aku tidak mengerti dengan apa yang kaubicarakan.”

“Tidak apa, Zane. Kau tidak perlu mengerti.”

Ale adalah pemuda yang penuh kerancuan. Eksistensi Ale di dalam hidup Zane terasa utopis. Namun hal-hal itu dapat ditampik dengan uluran tangan Ale yang terasa hangat kepada Zane, di setiap dirinya membutuhkan pertolongan.

Dia adalah pengisi kehampaan dalam hidupnya, yang seingatnya akan menginjak seperempat abad pada tahun ini. Saran yang tak masuk akal, guyonan garing, kekehan menggelikan, serta tatapan yang meneduhkan darinya sungguh memikat sekaligus memilukan.

Ada kalanya, ia merasa bahwa itu semua adalah lintas imaji. Dirinya pernah mengalami itu semua dalam dimensi yang berbeda. Yang pasti, sosok Ale merupakan konseptor dari segala lalu lintas ruang dan waktu dalam hidup Zane di masa kini.

“Aku mengantuk.”

Zane menguap lagi, kali ini seperti kuda nil yang dehidrasi. Kegelapan yang menjerang tak ubahnya selimut hangat bagi sang gadis. Apalagi ketika Ale menawarkan pahanya sebagai bantalan untuk Zane dan ia pun tidak sanggup untuk menolaknya.

***

Kali ini di padang ilalang, goresan pelangi mencuat dari ufuk barat ke ufuk timur. Cahaya sang mentari yang turun di antara titik-titik hujan seperti tangan sang pelukis yang tak terlihat. Awan tipis yang menggantung berbentuk seperti langit yang terbelah. Bulan raya dengan Orion yang sedang bercengkerama nampak mengintip di balik payung langit berwarna jingga.

Di tengah padang rumput yang asri, ia tengah menggigit roti baguette dengan paksa, sekaligus heran mengapa tekstur roti Prancis ini tak ubahnya batu koral yang dipresto. Surai cokelatnya diikat satu. Sneakers pabrikan Jerman dan baju kedodoran serta celana levis melengkapi penampilannya.

Di sampingnya, Ale menikmati seruputan es cokelat. Tangannya yang satu dipakai untuk menopang tubuh sementara yang satu lagi digunakan untuk memegang gelas plastik yang isinya tinggal  setengah.

“Al, mengapa pelangi memiliki kedua ujung yang berjauhan, ya?”

“Kalau berdekatan namanya bukan pelangi tetapi gelang karet yang putus.”

Zane mengangguk, seolah mengerti. Namun rona ketidakpuasan menggenang di atas wajahnya.

“Pelangi merupakan lukisan Sang Pencipta untuk menghibur siapa saja yang merasa muram karena guyuran hujan atau terjangan badai. Warna-warni, elok dipandang, penyambung garis di langit biru, itulah pelangi. Tetapi apa kautahu apa rasa dari pelangi?”

Gelas plastik berisi es cokelat itu dilipat menjadi dua dan dilesatkan oleh Ale ke dalam saku celana kargo miliknya. Dia lantas berdiri dan mengamati panorama sore hari menjelang sang surya terbenam. Pawana membawa anak-anak rambut hitamnya menari dan menyanyi. Ale tersenyum gamang.

Zane melahap abis separuh roti baguette-nya, “Memang pelangi punya rasa?”

Setelah susah payah menelan tiap potong roti sebesar gaban, ia pun ikut berdiri seperti Ale. Tangan pria itu terjulur ke puncak kepala Zane, menepuknya pelan.

“Mau coba?”

Dalam sekejap, Ale membawa Zane ke dalam genggamannya. Tak ada waktu untuk terkesiap, begitupula Zane yang mengalami koma lobus saat kakinya tidak lagi menapakki rerumputan. Angin yang menerpa wajahnya, diikuti kehangatan yang menjalar dari telapak tangan milik Ale mengaktifkan segala kelenjar kebahagian di seluruh tubuhnya.

Kedua insan itu melayang di udara, mengikuti kumpulan kupu-kupu renda yang menari salsa di atas gumpalan kapas yang tipis. Hingga sampailah keduanya di atas spektrum pelangit nan warna-warni. Tanpa tendeng dan aling-aling, Ale meloloskan genggaman pada jemarinya dan membiarkannya meluncur di atas pelangi.

“Kyaaaa! Ale!!!!!”

Ia tidak bisa menahan gempita di dalam dada dan segera berteriak sekencang-kencangnya. Menyalurkan adrenalin yang bercampur dengan rasa penasaran dan luapan kebahagian yang tidak terkira dengan berseru sekuat tenaga sambil mengangkat kedua tangan. Seluruh urat di sekitar mulutnya pun tertarik ke atas karena senyuman yang terkembang terlalu lebar. Zane merentangkan kedua tangannya. Sensasi menggelitik memadati seluruh sel dalam tubuhnya.

Ia baru saja bermain perosotan di atas pelangi, catat itu. Selang beberapa detik, pupil milik Zane mengalami pembesaran karena menemukan ujung dari pelangi yang diseluncuri. Di mana ujung tersebut terdapat sebuah gentong yang besar. Dari kejauhan pun konten dari si gentong cukup menyilaukan mata.

Satu, dua, tiga. . .

Zane mengira dirinya akan jatuh dan terhempas ke dalam gentong. Namun ternyata, dirinya malah terjatuh dengan cantik di atas gumpalan kapas berwarna merah jambu. Diikuti oleh Ale yang menyusulnya selang beberapa detik.

Gumpalan kapas atau lebih tepatnya awan bergerak, perlahan menipis. Ale pun mengulurkan tangannya untuk meraih Zane yang terjerembap di antara kapas merah jambu yang menahannya, seolah tak ingin lepas dari gadis mungil itu.

Tawa yang agak terlambat pun keluar dari labium milik Zane beserta pekikan girang lainnya. Matanya tidak berhenti mengerjap geli serta rahangnya yang terasa mau copot. Juga kedua matanya yang melengkung seperti potongan bulan sabit karena sensasi yang begitu menggelenyar masih tersisa di berbagai sudut syaraf tepi di tubuhnya. Kini, senyuman bak permen kapas itu terkembang di atas wajah Zane yang memerah.

Tangan yang kokoh itu pun memeluk bahunya dan membawanya ke dalam dekapan hangat sembari merajut langkah meninggalkan gentong besar yang disepuh oleh lapisan emas ratusan karat.

“Al, itu, tadi sangat mengagumkan!! Aku dapat merasakan angin yang menggelitik wajahku!! Tungkaiku seperti ada sayapnya, punggungku juga!”

Pria berahang kukuh itu pun dengan santai mendengar celotehannya. Senyum semanis nektar pun terjulur di atas bibirnya yang tipis.

“Pelangi itu terasa lembut dan nampak sangat, ah tidak, sejuta kali lebih indah setelah dilihat dari jarak sedekat tadi!! Dan aku juga bermain seluncuran di atas pelangi, Al! Catat itu!! Ah, ini menyenangkan sekali!!”

“Apa kau bahagia?”

“Tentu saja!!”

Saku celana kargo selutut itu pun dirogoh oleh Ale, kemudian keluarlah sepasang botol minuman berisi jus jeruk dengan bulir-bulir di dalam. Dia memberikan satu botol tersebut kepada Zane.

“Nah sekarang kau sudah tahu ‘kan apa rasa dari pelangi, Zanester.”

“Maksdumu?”

Jus jeruk yang dingin tersebut tidak jadi ditenggak oleh Zane. Ia pun memusatkan titik pada pria jangkung di sebelahnya yang sedari tadi lebih banyak diam dan tersenyum: bukan seperti Ale biasanya. Terlebih, mengenai maksud dari perkataan pria manis barusan.

“Pelangi itu penuh dengan kebahagian, bahagia itu adalah rasanya. Jikalau kau juga merasakan sensasi manis, hangat, dan menyegarkan itu adalah poin tambahan. Tapi kalau kau sudah merasa bahagia, itu adalah rasa sejati dari sebuah pelangi.”

Kebahagiaan itu dianalogikan sebagai pelangi. Berbagai warna yang menyatu adalah komponen yang akan menghasilkan setitik kebahagian nantinya. Sesungguhnya, warna-warni pelangi berasal dari warna semata wayang yang selama ini digunakan oleh para prajurit sebagai simbol untuk menyerah kepada sekutu di medan pertempuran. Putih adalah lambang kesucian. Sesuatu yang baik pasti berasal dari sesuatu yang baik pula; bersih, dan suci. Begitu juga dengan kebahagian yang dialami oleh Zane selama ini.

Kebahagiaan sesungguhnya berasal dari satu orang dan itu adalah dirinya sendiri. Selama ini, Zane selalu mengira bahwa kebahagian tidak bisa dihasilkan dari satu orang saja. Mustahil, katanya. Apalagi, ketika gadis itu menyadari bahwa kebahagian di dalam hidupnya bersumber bukan dari dirinya sendiri melainkan pemuda berahang kukuh dengan sorotan mata yang lembut–Ale.

Ale, pemuda yang selalu ada untuknya. Pemuda yang kerap menghadirkan kejutan manis sehingga membuat hari-hari sang gadis menjadi indah dan luar biasa. Ale adalah kebahagian sejati bagi Zane. Namun ia sendiri terlalu takut untuk mengatakannya langsung kepada Ale.

“Masih banyak hal di dunia ini yang perlu kaujelajahi, Zane.”

Dendangan pemuda itu meruntuhkan lamunan tersier–sekarang mendekati primer–Zane di siang hari bolong kala itu. Sebotol jus jeruk di tangannya sudah habis ditandaskan, Ale pun kembali melipatnya menjadi dua bagian dan menyentakkannya ke dalam kantung belakang celana.

Lengan yang panjang dan kokoh itu kembali merangkul bahu Zane, lalu menuntun sang gadis untuk melangkah lebih jauh lagi. Membiarkan gadis itu melihat apa yang tidak bisa ia lihat di realita yang sebentar lagi akan mengepungnya dari segala penjuru arah.

‘Sebelum terlambat.‘ gumam Ale di dalam hati.

“Aku mau menjelajahi itu semua asalkan bersamamu.”

Zane tersenyum semanis gula batu lantas membebaskan rangkulan Ale, membiarkan dirinya mempersembahkan tarian kepada peri angin yang sedari tadi mengajaknya untuk menari.

Masa bodoh dengan masa aktif yang masih panjang – atau sebali. Tetapi semua hal yang ada di dalam benak gadis itu mulai terasa kontradiktif kecuali sentuhan dan perhatian Ale kepadanya, tentu. Di samping itu semua, Zane mulai merasakan ada bahaya yang mengancam. Namun anehnya bahaya itu tak terlihat sama sekali. Meskipun begitu, ia hanya ingin menikmati hidupnya yang terasa hidup bersama Ale.

“Zane, perjalananmu dimulai sekarang… “

***

Lorong rumahsakit di pusat kota nampak dipenuhi beberapa orang dengan raut wajah yang serupa. Sedih yang tak berkesudahan serta rasa kehilangan kentara sekali terpatri di atas paras mereka. Rentetan kata berisi ucapan belasungkawa dan penguatan pun terdengar santer.

Di depan kamar jenazah, berdirilah seorang wanita paruh baya yang berusaha seribu kali lebih tegar dibandingkan siapa pun di sana. Dia memang kehilangan putrinya akan tetapi ia tidak boleh kehilangan kendali atas emosinya. Meskipun bumi sudah runtuh, wanita bertatus ibu tunggal itu tidak boleh lepas harapan. Toh, mendiang putrinya yang ceria juga tidak akan senang melihatnya bersedih seperti ini. Terlebih lagi, sang ibu bersedih karenanya.

Mum, mulai sekarang jangan pernah bersedih. Ingat saja diriku yang manis ini, kujamin kesedihanmu akan lenyap seketika.”

Namun tetap saja, sang wanita tidak bisa menahan bendungan airmata bersembunyi terlalu lama di pelupuk mata.  Lelehan yang mirip kristal mengucur dengan deras seperti Air Terjun Niagara di Amerika Latin sana.

Nyatanya pun kehilangan itu adalah hal terparah dan tersulit untuk ditangani ketimbang kematian itu sendiri.

***

Lapisan kaca riben pembatas antara kamar jenazah dan ruang tunggu rumahsakit sedikit berembun. Rupanya, ada Ale yang menghembuskan udara ke atasnya. Wajahnya nampak tenang seakan tak pernah ada badai yang menerjang. Rambut panjang hitam sebahunya pun bergerak-gerak, sengaja dimainkan oleh para peri angin yang selalu mengikuti.

“Kau memang benar, semua hal yang kaurasakan saat itu adalah kontradiksi dari kenyataan. Akan tetapi, masih ada hal konkrit yang lain, –“

Senyum saling sapa menyeruak di atas lapisan gelas bening. Siluet seorang gadis manis dengan senyuman lebar di atas wajah pun siap menyambutnya. Dengan segenap kehangatan, kerinduan, pula dengan momen-momen bersama, lebih dari sekali.

“–seperti aku misalnya.”

Bahu pemuda itu tiba-tiba direcoki dengan sensasi dingin yang menenangkan. Saat Ale menoleh, dia pun menemukan Zane mengusap bahunya. Senyuman gula batu yang merindu, kini kembali terpeta di atas wajah manisnya.

“Al, bawa aku ke dunia yang belum pernah kujelajahi sekarang bersamamu.”

Ale menyambut uluran darinya dan membawa raga yang tubuhnya sudah terbujur kaku ke dalam rengkuhannya. Dan dekapan kedua makhluk itu pun memancarkan kehangatan, melebihi sinar mentari pagi yang selalu menyinari dunia.

“Tentu saja, sekarang kau tak perlu cemas. Aku akan selalu bersamamu, selamanya.”

.

TAMAT


Filed under: one shot, original fiction Tagged: ketika

[ONESHOT] Déjà vu

$
0
0

bookshelf1

.

.

.

Pertama kali aku melihatnya adalah ketika aku mengunjungi perpustakaan di pusat kota. Pembawaannya tenang dengan garis wajah berbentuk bulat telur. Cara ia duduk dan membaca juga mencerminkan bukan seperti seorang wanita kebanyakan.

Pada awalnya aku hanya memperhatikannya secara tersembunyi. Entah ada magnet apa yang membuat aku selalu tergerak untuk melihatnya. Perempuan itu selalu duduk sudut area dekat deretan buku berbahasa Belanda.

Perpustakaan kota ini memang lengkap. Gedungnya peninggalan jaman Belanda. Dulunya dipakai sebagai salah satu kantor utama administrasi kota di jaman sebelum kemerdekaan. Sehingga tidak aneh jika masih ada koleksi penginggalannya berupada buku tua.

Aku pernah sesekali menjelajah ke bagian tempat buku – buku itu ditaruh. Namun tidak sampai sepuluh menit aku sudah tidak tahan. Terlalu banyak debu dan aku bisa bersin dengan jeda per lima detik sekali. Lagipula aku juga tidak paham bahasa Belanda jadi kupikir akan buang waktu jika tetap berada di sana.

Seperti layaknya perpustakaan pada umumnya, juga disediakan meja dan kursi panjang untuk pengunjung yang ingin membaca di tempat. Tak terkecuali di sini. Bangunan ini berasitektur kuno. Jika dilihat sepintas akan terlihat seperti Gereja kuno lengkap dengan atap tinggi dan jendela besar mengeliligi semua ruangan.

Sejatinya semua ruangan akan terkena sinar matahari dengan jendela sebesar itu. Namun ternyata area sudut dekat rak buku Belanda itu tetaplah teduh dengan hawa yang sejuk. Aku suka sekali duduk di dekat situ. Dan ternyata perempuan itu juga mempunyai pemikiran yang sama.

Aku selalu ke perpustaan tiga kali dalam seminggu. Kebetulan tugas tesis akhirku membutuhkan banyak riset. Dan perpustakaan ini seakan mengulurkan tangan tak kasat matanya padaku untuk membantu mencari bahan referensi riset tersebut.

Mengapa aku tidak mengandalkan internet di jaman canggih seperti ini? Entahlah aku lebih suka dengan cara manual. Komputerku hanya kugunakan untuk pengetikannya saja. Ada sih yang aku cari melalui internet namun itu hanya sepersekian persen dari total keseluruhan riset.

Hari ini Jum’at dan aku kembali mengunjungi perpustakaan untuk melanjutkan risetku. Aku menuju meja favoritku yang menghadap ke jendela luar. Kusiapkan laptopku kemudian menaruh beberapa buku di sampingnya.

Ketika aku sedang menyalakan laptop, tiba – tiba seseorang menghampiriku. “Boleh aku duduk di sini?” suaranya lembut sekali dengan nada yang sopan namun cenderung kaku. Seperti sangat berhati – hati sebelum bertanya.

“Tentu saja boleh.” Aku menyunggingkan senyum manisku sembari menarikkan kursi untuknya di sebelahku. Kutamati cara ia duduk dan rasa penasaranku semakin bertambah. Ia mengucapkan terima kasih dengan pelan.

Bagaimana cara ia mendudukan diri kemudian bagaimana cara ia duduk seperti seseorang yang berasal dari keluarga ningrat jawa. Aku sedikit banyak tahu karena aku pernah melihat acara keraton yang disiarkan di televisi.

Perempuan itu kemudian menatapku dengan ramah kemudian tersenyum. Jika dari jauh ia sudah terlihat manis dan anggun maka dari jarak dekat ia terlihat sangat menarik. Namun aku seperti familiar dengan wajahnya.

“Aku tahu kamu selalu memperhatikanku. Dan aku jadi penasaran denganmu?” ucapnya membuka percakapan.

“Oh ya? Maafkan aku jika terkesan tidak sopan. Aku hanya penasaran saja mengapa kamu selalu duduk di sudut ruangan temaram itu?” aku merujuk pada kursi di dekat rak buku kuno. Ia hanya tersenyum. kemudian menggeleng kecil.

“Aku hanya tidak suka berada dalam pusat perhatian,” ia mengambil buku yang aku taruh di atas meja, “Kau sedang membaca apa? Aku lihat kamu selalu berkutat dengan buku yang sama.”

“Aku sedang melakukan riset untuk tugas akhir pendidikanku.” Kemudian aku menjelaskan padanya tentang apa yang aku kerjakan, di mana aku kuliah dan segala yang berhubungan dengan riset kecilku.

Dia memandangku dengan takjub. “Kamu hebat sekali. Ceritakan padaku bagaimana rasanya menjadi wanita modern?”

Kali ini aku yang berbalik menatapnya dengan pandangan bertanya. “Modern?”

“Iya di jaman merdeka seperti ini dan dengan alat bantu yang sangat hebat.” Ia menunjuk laptopku.

Aku hanya tertawa menanggapi pertanyaanya. “Memang ini jaman canggih namun bukan berarti semua pemikiran masyarakatnya juga ikut canggih.” Sepertinya ia menangkap nada bicaraku yang sedikit sarkas.

“Lanjutkan,” pintanya. “Jelaskan padaku.”

Kemudian aku bercerita tentang bagaimana orang tuaku menyuruhku untuk segera menikah. Tidak perlu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. “Takut apabila banyak laki – laki yang minder.”

Ia hanya mengangguk menunjukkan pemahaman. “Tidak kusangka ternyata hal seperti itu masih berlaku ya,” ia tersenyum kemudian sedikit membenarkan ikat sanggul kecilnya. Lebih mirip cepol namun ini ditata dengan anggun.

“Yah begitulah. Karena ini Indonesia, Negara demokrasi namun masih banyak dipimpin oleh pikiran dan adat ketimuran yang khas,” jawabku.

“Sebenarnya tidak masalah, aku justru bangga dengan hal itu karena kita tidak seperti kacang lupa kulit, namun menurutku lebih bijak jika tidak semua hal harus dikaitkan atau lebih tepatnya berlandaskan atas dua hal tersebut.” Aku mengakhiri pendapatku dengan sedikit rasa lega. Seperti telah mencurahkan isi hati dengan orang yang tepat.

Perempuan itu menatapku dengan pandangan kagum. “Paling tidak kamu masih bisa menentukan arah hidupmu sendiri. Tidak perlu terlalu terikat adat dan masih bisa untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi tanpa perlu cepat – cepat untuk dinikahkan,” ia mengakhiri kalimatnya dengan pandangan menerawang.

Aku perhatikan memang sepertinya perempuan ini bukan perempuan kebanyakan. Mataku mulai memperhatikan dirinya lebih detail. Pakaian yang dipakainya meskipun sederhana namun terlihat rapi dengan model yang cukup resmi; Blus putih dengan rok batik.

“Apakah kamu suka menulis?” tanyanya.

“Menulis apa?”

“Menulis surat mungkin?”

Menulis surat sepertinya sudah sedikit ketinggalan jaman. Namun melihat rasa ketertarikan yang kuat dalam dirinya akan jawabanku, aku jadi tidak enak jika ingin sedikit bercanda dengannya. “Dulu aku sering melakukannya. Berkirim surat dengan para temanku di luar pulau. Namun karena sekarang teknologi sudah maju aku menjadi jarang melakukannya.” Nyaris tidak pernah seru batinku.

“Oh begitu. Aku sering berkirim surat dengan teman – temanku di Belanda.” Ia lalu bercerita mengenai perkenalannya dengan dengan banyak orang Belanda. Bagaimana ayahnya yang seorang tuan tanah mempunyai banyak koneksi yang luas.

Dan itulah alasan mengapa ia sering sekali ke perpustakaan ini. Ia merasa seperti dekat dengan mereka. “Memangnya kamu berasal dari daerah mana?” aku tidak bisa membendung rasa penasaranku.

Perempuan itu hanya tersenyum namun tidak menjawab. “Sudah sore. Aku harus pergi.” Ia segera berdiri dan mengulurkan tangannya padaku.

“Terima kasih, senang mengobrol denganmu.”

Aku menyambut uluran tangannya. Halus dan hangat. “Ratri. Namaku Ratri.”

“Sampai berjumpa kembali Ratri. Kamu perempuan yang hebat, jangan pernah menyerah. Selalu akan ada cahaya setelah kegelapan.” Ia menggenggam tanganku erat sembari tersenyum.

Kemudian ia bergegas pergi melalui pintu samping perpustakaan. Aroma parfum lembutnya masih menguar di udara. Harum mawar.

Seakan seperti habis terhipnotis,  aku tersentak kembali ke dunia nyata. Dengan posisi masih berdiri kaku seperti orang linglung yang lupa akan kejadian yang baru saja dialaminya, aku segera berlari menuju pintu samping tersebut.

Ketika aku melangkah keluar, sayup – sayup terdengar adzan Maghrib mulai berkumandang. Aku berjalan menuju pos penjagaan di ujung pintu masuk utama.

“Sore Pak, mohon maaf saya mau bertanya, apakah bapak melihat seorang perempuan keluar dari sini kira – kira sepuluh menit yang lalu?” aku menunjuk ke arah pintu samping perpustakaan.

“Perempuan?” tanya Bapak itu. Ia mengenakan seragam sekuriti lengkap berwarna hitam dan putih.

Aku mengangguk. “Perempuan dengan baju putih dan rok batik.”

Bapak itu mengernyitkan dahi ketika melihatku. Kemudian tatapan matanya berangsur paham. “Apakah ia bersanggul kecil dan memakai parfum mawar?”

Sekali lagi aku mengangguk. “Sepertinya mbak telah bertemu dengan Tuan Putri dari Rembang.”

Aku terdiam. Tuan Putri dari Rembang?

Rembang?

Tunggu, apakah itu…

 “Apakah Tuan Putri yang itu?” aku harus meyakinkan pendapatku.

“Benar Tuan Putri yang itu,” Bapak itu mengangguk. “Kita semua mengenalnya, khususnya para perempuan di Indonesia.”

Ya Tuhan apakah gerangan ini pertanda?

Melihat kebingunganku, Bapak itu kemudian memberitahuku bahwa perpustakaan ini dulunya adalah sumbangan dari Tuan Tanah yang merupakan ayah dari perempuan tersebut. Banyak sekali peninggalan dari Tuan Tanah yang kemudian menjadi koleksi istimewa tempat ini.

Pun tak terkecuali salinan teks asli buku yang melegenda tersebut. Buku yang berisikan kumpulan surat berbahasa Belanda yang di tujukan kepada para sahabat di negeri Kincir tersebut. Buku yang meyakinkan bahwa setelah kegelapan akan selalu terbit terang.

“Mbak nya lagi punya masalah ya?” suara bapak itu kembali memasuki kedua gendang telingaku.

“Ya begitulah Pak,” jawabku singkat.

“Beliau memang sukanya mendatangi pengunjung di sini yang lagi punya masalah mbak. Terutama pengunjung wanita,” jelas Bapak tersebut.

“Kenapa ya Pak kok seperti itu?”

Lhah mbak nya tadi gimana to pas ketemu? Apakah ada sesuatu yang menarik?” tanya bapak tersebut sembari  melepaskan sabuk yang berisi pisau dan tongkat khas sekuriti.

Aku mengingat dengan jelas pertemuan kami. Meskipun aku sering melihatnya namun baru hari ini kami berbincang. Kemudian aku tersadar, mungkin ia mendatangiku untuk memberikan semangat. Bahwa apa yang aku alami saat ini tidak seberat apa yang ia alami dulu.

“Terima kasih pak informasinya,” ujarku berpamitan. Bapak sekuriti itu mengangguk dan berjalan meninggalkan pos nya. Sepertinya mau shalat Maghrib di mushola belakang.

Aku melangkahkan kaki ku kembali ke dalam gedung Perpustakaan. Aku kemasi barang – barangku dan segera mungkin untuk pulang setelah shalat Magrib. Entahlah, perasaanku lagi tidak menentu.

Semenjak saat itu aku tidak pernah lagi melihatnya duduk di sudut area buku Belanda. Dan masalahku pun berangsur membaik. Tesisku selesai dan hingga aku mendapat gelar Sarjana pun aku tidak pernah berjumpa dengannya lagi.

Mungkin ia sedang mendatangi perempuan lain yang sedang dirundung masalah sepertiku. mendengarkan keluhan mereka dan menguatkan mereka. Meyakinkan bahwa kita sebagai perempuan juga harus tegar dan percaya bahwa selalu akan ada cahaya setelah kegelapan menghadang.

.

.

.

*** Inspired from “Minum Teh Bersama Kartini” by Suryatini N. Ganie ***


Filed under: one shot, original fiction Tagged: taKYUyaki

[Oneshot] Bima di Sabtu Malam

$
0
0

bima

“Karena definisi bahagia itu berbeda bagi setiap insan…”

Sasphire, 2015

Kamu merenung diri setiap Sabtu malam, di beranda rumahmu. Lampu teras sengaja kamu matikan. Biar cahaya bintang terlihat terang, katamu. Polusi cahaya membuat kamu begah, kangen dengan cahaya bintang yang saat kamu kecil selalu menemanimu menguap karena kantuk. Sekarang kamu tujuh belas tahun—oh, dua hari lagi delapan belas tahun ‘kan?—tapi masih keranjingan dengan cahaya bintang. Mengherankan bagiku, karena kamu laki-laki.

“Kangen ibu.” Kamu mengatakannya tepat setelah aku duduk di sampingmu. Sepertinya kamu mencegahku mengomel lagi karena keegoisanmu untuk membiarkan seisi rumah gelap gulita.

“Apa hubungannya bintang dengan ibu?” Ha! Aku masih berkomentar ‘kan?

“Tidak ada,” jawabmu pasrah, yakin kalau pertanyaanku memang tak mungkin memiliki jawaban yang masuk akal. “Hanya kangen.”

Aku mengangguk, lalu mengikuti gestur tubuhmu untuk menatap langit. Memang sih, melihat cahaya bintang membuatku sedikit tentram. Aku juga ingat, dulu waktu masih kecil, aku juga suka melihat langit. Hanya saja, langit sudah tak sehitam dulu. Bintang juga tak seterang dulu. Bangunan-bangunan pencakar langit banyak yang memancarkan cahaya lampu menyilaukan. Aku jadi tahu kenapa kamu begitu jengah. Begitu bosan.

Tapi bukan hanya itu sih. Belakangan ini, entah kenapa, kamu terlihat enggan hidup.

“Bima,” Panggilku padamu setelah sekian lama terperangkap hening. Aku ingat sesuatu.

“Apa?”

Aku menyerahkan semangkuk lodeh tewel padamu. Masih hangat. Dari ibuku. “Malam ini lodeh tewel.”

Kamu mengangguk, lalu tersenyum. Kamu terlihat menimang-nimang sesaat setelah mangkuk itu ada di tanganmu, baru berkata, “Terima kasih.”

Kamu yang awalnya kocak nan humoris jadi begitu melankolis sejak ibumu meninggal. Dua hari lagi tepat peringatan kematian ibumu. Tahun ke lima dan kamu makin kurang eksis. Hidup tapi tak hidup. Wajar. Dulu kamu pernah bilang padaku, kebahagiaan kamu adalah ibumu. Tak apa kalau kamu harus melarat, hidup di antara tumpukan sampah, bahkan makan bangkai tikus. Asal ada ibu, kamu kuat.

Kalian berdua sosok yang selalu aku kagumi. Tapi sekarang tidak terlalu.

Kalau saja kamu bisa lebih tegar saat ibumu meninggal, mungkin aku akan tetap kagum padamu. Sekarang aku hanya kagum pada ibumu.

“Mbak Wulan.”

“Hm?” Pandangan mataku kini beralih ke kucing liar yang berlari mengejar kunang-kunang, tepat di depan kita. Aku tersenyum kecil. Bahkan kucing tahu bagaimana berbahagia tanpa bergantung orang lain. Kamu begitu dangkal.

“Ibu meninggal dibunuh Ayah.”

Senyuman di wajahku memudar. Aku tahu kamu menatapku sendu, tapi aku tak mau balik menatapmu. Aku masih kaget atas kalimat yang kamu ucapkan.

“Yang aku ingat dulu, aku baru pulang sekolah dengan rapor di tangan kanan. Aku juara umum saat itu. Lalu aku masuk. Ayah menendang tubuh ibu di lantai, minta uang. Katanya untuk bayar uang judi. Ibu menangis sambil mendekap satu tas berisi uang, terus-menerus bilang, ‘uang ini untuk sekolah Bima’.”

Suaramu datar dan tenang ketika menceritakannya, benar-benar tegar. Aku yang jadi pendengar malah menangis.

“Saat itu aku lari ke luar rumah. Cari bantuan. Tapi saat aku kembali, Ayah sudah tak ada. Tas di dekapan ibu juga hilang.”

Perlahan aku menatapmu. Kamu tersenyum saat tahu aku benar-benar menyimak ceritamu.

“Ibu juga pergi…”

Matamu berkaca-kaca meskipun lengkungan di bibirmu masih ada.

“Tapi, aku baik-baik saja.” Kamu menepis tanganku yang hendak menggenggam tanganmu, bermaksud memberikan kekuatan. Kamu menggerakkan punggung tanganmu untuk menghapus air matamu. Memperlihatkan padaku bahwa kamu bisa menghapus air matamu sendiri.

“Toh, hidup harus terus berjalan ‘kan? Kita tidak bisa terperangkap hanya di satu tempat ‘kan? Kita harus maju ‘kan? Semakin kita menjalani hidup, kita harus semakin dewasa ‘kan, Mbak?”

Aku hanya sanggup mengangguk, enggan merusak kata-kata penegar yang sengaja kamu rangkai sendiri. Sekarang kamu membuka tutup mangkuk, lalu melahap lodeh tewel buatan ibuku sambil tersenyum. Kamu nampak kelaparan dengan cara makanmu yang begitu tergesa-gesa.

Tapi, kalau dari pengalamanku, mungkin kamu hanya menghangatkan tenggorokanmu yang sakit karena menahan tangis. Kamu susah payah tegar selama ini. Kamu sudah terlalu lama menahan air mata. Itu semua sakit.

“Enak, Mbak.” Kamu masih tersenyum sementara air matamu mengalir lebih deras lagi. Aku menepuk-nepuk punggungmu, tak tahu harus berbuat apa. kehidupanmu tak lebih baik dariku. Aku juga tak tahu harus bagaimana.

“Mbak tahu, dulu, sebelum ibu pergi, ibu pernah bilang begini…” Kamu mengangkat wajahmu lagi, menatapku. “Bima, anakku yang paling tampan, hiduplah bahagia. Jangan biarkan air mata turun, karena air mata itu simbol kesedihan.”

Aku tersenyum. Ah, bisakah kamu berhenti membuat dua ekspresi bertolak belakang di wajahmu? Aku harus bagaimana? Menghiburmu terlalu sulit. Toh kamu sudah pintar menghibur diri sendiri… ah, mungkin kamu butuh lebih?

Aku melihatmu terlalu sering menyendok kuah santan yang menurutku terlalu pedas, tapi kamu sama sekali tak berkomentar tentang itu. Setelah meneguk 2-3 sendok, kamu baru memakan nasi beserta tewel dan kacang panjangnya.

“Saat itu aku bertanya pada ibu, kalau aku sedih, bagaimana? Ibu berpikir sebentar, lalu menjawab ringan. Mbak tahu apa jawabannya?”

Aku menggeleng sambil tetap menepuk pundakmu. “Apa?”

“Ya menangis saja.” tangan kananmu kini mengelap ingus di hidungmu, lalu mengelap air matamu. “Karena setelah kita menangis, ada ketegaran yang muncul, semakin lama semakin membuat kita tegar, semakin lama membuat kita bahagia. Membuat kita tak akan menangisi hal yang sama di lain waktu.”

Aku mengangguk mengiyakan.

“Ibu juga meralat ucapannya sebelumnya. Air mata itu simbol kesedihan, di sisi lain simbol kekuatan. Dia juga memperbolehkanku menangis. Kunci utama untuk terus hidup itu kesedihan, kekuatan, lalu kebahagiaan.”

“Iya…” aku mengacak rambutmu. Aku benar-benar bingung harus bagaimana. Kamu kembali menangis, tapi kamu juga masih memakan lodeh yang tinggal setengah.

Beberapa saat hening. Kamu menerawang jauh ke langit dan menyantap tewel yang selalu menutupi nasi di sendokmu. Selera makanmu masih sama ternyata. Lauk yang melebihi nasi hingga nasinya tak terlihat.

“Saat itu Sabtu malam… di beranda rumah,” lanjutmu. Kamu menghela napas, seolah seluruh bebanmu selama ini terangkat begitu saja. Kamu menyodorkan mangkuk yang kini kosong kepadaku, lalu menutup wajahmu dengan kedua tanganmu. Bukan malu, aku rasa. Hanya ingin menenangkan diri dengan menangis sepuasnya.

Menangis ketika ada seseorang di sampingmu lebih menenangkan daripada menangis sendirian, kan?

“Aku bosan karena setiap Sabtu malam, dekat dengan hari ulang tahunku, aku selalu ingat ibu. Aku bosan karena aku selalu sendirian saat Sabtu malam…” ucapanmu terhenti sejenak, beralih dengan terdengarnya isak tangis.

“Padahal, kata ibu, hidup harus terus berjalan. Kita manusia biasa tidak boleh lancang merusak garis kehidupan dengan bunuh diri. Tapi aku bosan, Mbak…”

Aku ikut menghela napas. “Tapi, selama ini kamu bahagia ‘kan, jadi anak yang penurut?”

Tangisanmu sedikit mereda. Kamu mendengar ucapanku dengan baik.

“Kamu menangis sendirian setiap Sabtu malam dekat ulang tahunmu, mengingat ibumu, lalu tegar dan bahagia. Iya ‘kan? Kamu sudah jadi Bima yang terbaik bagi ibumu.”

Kamu mengangguk setelah memikirkan ucapanku cukup lama. Beberapa saat kemudian kamu kembali tersenyum. Kamu menyetujui ucapanku.

“Kamu bahagia, jadi dirimu sendiri. Menjalani hidup dengan pilihanmu sendiri. Jadi, menurutku, tak ada alasan bagi seorang Bima untuk bosan. Bima yang kukenal sejak kecil selalu tahu cara berbahagia… bagaimanapun caranya.”

Kamu sedikit terhibur.

“Aku pernah dengar dari orang-orang…” aku meneguk saliva—sisa-sisa isak tangis bersamamu tadi—lalu kembali berkata, “orang yang sudah meninggal tak pernah benar-benar pergi. Ada saat tertentu kamu bisa bertemu dengan mereka…”

Kamu menagih aku meneruskan kalimatku dengan binar matamu yang kini memancarkan harapan.

“Di kenangan antara kamu dan orang yang kamu sayangi.”

Kamu menghela napas. Kamu mulai bisa menerima kenyataan. Kemudian, kamu kembali menatap langit, melihat bintang-bintang. Lampu kota juga mulai meredup, membuat cahaya bintang semakin terlihat.

Sabtu malammu jadi berarti ‘kan?

.

.

.

– selesai –


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Bima di Sabtu Malam

[FICLET] Satu Lagi Memori

$
0
0

SR-Sekolah-Rakyat-

Sekonyong-konyong Musinah berlari. Langit tampak lebih cerah dari sebelumnya. Kecipakan menjadi iringan di setiap langkahnya. Pun dengan matahari yang mulai menampakkan batang hidungnya di sana.

Kcipak.

Kcipak.

Kcipak.

Tepat suara ketiga, air mencuat membasahi baju lusuhnya. Ia tertawa kencang bersama cowok seumurannya yang berada di sampingnya. Saking lebarnya, gigi gerahamnya terlihat. Juga dengan gigi seri bagian bawahnya yang terlihat ompong.

“Ingat lho, perjanjiannya! Yang terakhir sampai harus membakarkan singkongnya!” Cowok berlesung pipi di sampingnya berteriak seiring dengusan Musinah.

“Bahrul jahat!” Musinah memeletkan lidahnya. Alih-alih membalas, Bahrul malah terperosok ke dalam kubangan air. Gelegar tawa kembali terdengar.

“Awas saja kau! Jika aku tidak mau membantumu lagi, baru tahu rasa!” Bahrul berteriak mengejek. Seringainya tak lantas meluluh lantahkan Musinah yang masih berlari. Dua meter lagi sampai di sebuah bangunan yang biasa disebut sekolah.

Satu pukulan telak lagi bagi Bahrul. Ia dipermalukan oleh Musinah–si cewek jadi-jadian. Musinah bergoyang di depan Bahrul. Sedikit ngos-ngosan akibat udara yang menumpuk di paru-parunya. Bahrul mendengus dan berjalan melewati Musinah.

“Ingat ya, aku tunggu singkong bakarnya! Oh, aku telat!” Musinah berlari menyusul Bahrul yang telah siap di ujung jendela yang tak tersibak tirai. Ia mengendap dan memukul pundak Bahrul. Sementara cowok berambut lepek itu berjengit hendak berteriak. Suaranya kembali teredam oleh dengusan ketika sudut matanya melihat cengiran Musinah.

Bahrul menjongkokkan diri. Perlahan, Musinah menaiki bahu Bahrul. Mereka sama mempertahankan keseimbangan. Ya, salah satu kegiatan Musinah di pagi hari, mengintip sebuah sekolah. Sebuah ruang kelas tepatnya. Ia sempat merayu-rayu pamannya untuk menyekolahkannya. Apa daya, jaman penjajahan belum lama berakhir, sedangkan pengkotak-kotakan rakyat masih melalang buana. Terang saja, masyarakat kalangan bawah seperti Musinah, apalagi seorang perempuan harus rela tidak bersekolah dan bekerja. Sebagian besar bertani atau sekedar mencari kayu bakar di hutan untuk dijual.

Hanya Bahrul lah satu-satunya teman yang mau membantunya. Teman-teman sedesa Musinah bukannya tidak mau membantu, hanya saja berjalan sejauh dua kilometer hanya untuk membantu Musinah mengintip suatu ruangan lumayan cukup membuang waktu. Kebanyakan dari mereka sibuk membantu keluarganya bekerja.

Tak terasa waktu ‘bersekolah’ bagi Musinah telah selesai. Bahrul dengan tampang meringisnya memijat bahu yang barusaja menjadi pijakan Musinah.

“Kau berat juga. Makan apa sih? Jangan-jangan beratmu mengalahkan sapi Pak Suro lagi!” Bahrul tertawa puas. Tapi maaf saja, Musinah telah lama kebal dengan ejekan membosankan yang selalu dilontarkan Bahrul. Sepertinya cowok itu telah kehabisan akal. Musinah jadi teringat ketika Bahrul tanpa sengaja menemukan sepasang sepatu butut bertali ketika sedang berenang di sungai. Ia berlari terbirit-birit mendatangi gubuknya untuk membantunya mengesol sepatu itu dan mengajarinya cara mengaitkan talinya. Tentu saja Musinah belum tahu cara mengkaitkan dua tali putih kusam itu. Jadi, ia mengaitkan secara asal yang tanpa disangka cukup membuat Bahrul berteriak heboh.

“Gila.” Musinah menarik telinga lebar Bahrul.

Suara desisan-desisan ejekan kembali terdengar. Ah, kuping Musinah panas dibuatnya. Cewek pendek itu masih ingat ketika anak-anak kalangan atas itu melempari mereka tanah disertai ejekan-ejekan. Selanjutnya, Bahrul memukul telak mereka semua. Kecuali cowok cakep dengan rambut kepirang-pirangan. Masih teringat di memori Musinah, kala cowok itulah yang mengajarinya berhitung. Bahkan terkadang cowok itu tak sungkan berbagi pelajaran untuknya.

“Udah selesai kan? Ayo pulang!” Bahrul menarik lengan Musinah. Musinah yang kesal menjawil tangan Bahrul. Bersamaan dengan cowok yang sepertinya blasteran itu menghampiri Musinah dengan selembar kertas di tangannya.

“Ini soal yang diberikan guru hari ini.” Musinah sempat terpukau. Hingga suara teriakan Bahrul kembali membahana.

“YANG KALAH SAMPAI DI SUNGAI DIA YANG MEMIJATI MBAH ING!” Oh, tidak. Jangan mbah Ing!

“Terima kasih. Lain kali kita ngobrol.” Musinah lantas menyambar kertas itu dan berlari kencang menyusul Bahrul di depannya.

Jangan bayangkan apa yang dilakukan Bahrul saat ini. Tentu saja ia menyeringai menang ke arah cowok blasteran itu.

-Fin.


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Satu Lagi Memori

[FICLET] Lima Belas Abjad

$
0
0

tumblr_lsxtfrdEZd1r2lk5vo1_500

Lima Belas Abjad

by Tiarachikmamu

.

~.-‘-.~

.

Dulu, aku begitu khawatir untuk kehilangan. Kelewat takut kalau-kalau aku harus melepaskan.

Detik-detik yang tak pernah aku sadar, lalu semua jadi kelewat terlambat saat pahamku tak lagi buyar. Tiba-tiba saja aku sudah bersimpuh, jatuh tanpa mampu bersikukuh. Tahu-tahu saja aku telah luka, bersimbah darah tanpa sempat merasakan perihnya.

Aku tertawa.

Rasanya seperti belajar naik sepeda roda dua. Kelewat senang saat mampu bertahan dalam seimbang, kemudian ambruk menatap aspal jalan tanpa sempat sadar apa yang baru saja terlewatkan. Dulu, sekon-sekon selanjutnya selalu berakhir dengan tangisku yang pecah di jalanan. Menyita perhatian banyak orang yang pada akhirnya mengabai begitu yang ditemunya hanya bocah kecil bercelana cekak dengan sepeda Spiderman yang tergeletak.

Aku tertawa.

Ternyata rasanya benar-benar sama. Kamu baru saja mengakhirinya. Lewat satu kalimat tiga kata lima belas abjad padat makna bertajuk “Kita berhenti saja.”. Yang dengan pamungkasnya meruntuhkanku pada detik-detik yang kelewat terlambat. Yang dengan angkuhnya kuiyakan tanpa sempat memberi waktu bagi jeda untuk sekedar lewat. Lalu semua jadi hanya bisa disesalkan, tak dapat lagi diselamatkan. Dan punggungmu jadi pengantar jatuhnya tungkaiku ke atas aspal. Pengganti air mata yang dulu tumpah saat aku jatuh dari sepeda.

Dulu, aku begitu khawatir untuk kehilangan. Kelewat takut kalau-kalau aku harus melepaskan.

Namun sekarang semua akan terlewatkan. Lewat satu langkah di atas malam pada puncak gedung penghias temaram. Aku maju, selangkah lebih dekat, lantas terjun bebas. Membiarkan hembus angin jadi satu-satunya lagu pengantar. Yang kerap kali membisikkan “Selamat tinggal.” Dalam balut senyap dan hitamnya gelap.

.

~.-‘-.~

TAMAT

~.-‘-.~

.

pict by onairapps.tumblr.com


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Lima Belas Abjad

[Oneshot] Suatu Malam di Kota Dublin

$
0
0

tumblr_mrailc9iIc1qaprpdo1_1280 (1)

xianara, 2015

Sudah seminggu lebih terhitung dia tidak bercengkerama denganku. Kai, pemuda manis dan berkulit eksotis itu seperti mengabaikanku. Menganggap eksistensiku di antara ada dan tiada. Dirinya pun seperti menjauhkanku yang dekat dengannya, dengan sengaja.

Uap putih yang berasal dari cerutu yang membungbung dengan bebasnya di dalam sebuah bar juga tidak berhasil menggodanya lagi. Justru, dia malah sibuk berkontemplasi dengan gitar Cord-nya yang semakin hari semakin tua namun performa tetap terjaga.

Tangannya yang panjang-panjang dan lentik terus memetik dawai gitar hingga menghasilkan buaian melodi yang cukup indah. Oh, setelah menyelesaikan bagian chorus dari lagu John Legend tepuk tangan para pengunjung bar langsung mengisi akustik. Diikuti pula dengan beberapa siulan yang cukup nyaring, terlebih dengan tatapan memuja para wanita kepadanya.

Oh, temanku yang satu itu memang top sebagai pusat perhatian khalayak. Ketampanannya yang begitu membahana serta kepiawaiannya dalam mengatur berbagai malai nada memang tidak usah diragukan lagi. Akan tetapi di balik semua itu aku masih mengaggapnya sebagai poin minus. Toh, sikap abai yang berlaku selama sepekan belakangan ini padaku, berhasil membuatku untuk yang pertama kalinya, merasa tak dinginkan olehnya.

Biasanya, dia akan menjamahku jika dia sedang suntuk dalam menghadapi masalah. Menemaninya di kala sedang kongkow bareng rekanannya. Atau hanya sekedar membakar sepi menjadi abu. Serta mengonsumsiku sebagai pencuci mulut kala dirinya telah selesai bersantap ria. Pemantik berlogo elang yang biasanya selalu dimainkan olehnya juga sama nasibnya denganku. Diabaikan. Persegi logam tersebut diberikan oleh sahabatnya saat sedang berkunjung ke Rotterdam. Dia juga teman baikku dan Kai. Kalau tidak ada dia, mungkin Kai akan mengantongi dua buah batu besar jika ia ingin menyalakanku. Mungkinkah di zaman yang sudah 4G seperti ini? Uh, itu tidak keren!

Setelah selesai berbasa-basi dengan pemilik bar malam di salah sudut kota Dublin, Kai pun segera memasukkan Senorita–gitar Cord kesayangannya–ke dalam selternya. Topi fedora berwarna cokelat gelap yang dikenakan olehnya diangkat; memberi salut kepada para teman-teman yang masih stay di dalam bar, sebelum menghilang di balik pintu yang membatasi pengapnya suasana bar dengan jalanan berbentuk gang sempit di luar.

.

.

.

Sisa-sisa gerimis yang mengguyur ibukota Irlandia masih membekas. Kubangan air hujan yang menyebar di sekitar gang-gang sempit itu pun berkali-kali dihindari oleh Kai. Mencegah supaya tidak terciprat hingga tidak mengotori selter milik Senorita.

Batuk-batuk tidak berdahak kembali bersoneta dari bibir Kai. Aku pun sebenarnya cukup bersimpatik terhadap batuk yang kerap bertamu kepada temanku di kala hawa dingin menerjang. Apalagi, sudah seminggu ini batuk-batuk temanku sering terdengar meski frekuensinya masih terlalu jarang.

Di dalam jaket leather milik Kai, aku bersemayam. Sepeninggal itu pula, aku dapat mencium bau alkohol dan wewangian bangsaku yang kian menyerbak. Asap yang menari dengan eloknya nampak berasal dari cangklong yang dihisap oleh seorang pak tua, yang tengah ongkang-ongkang kaki di atas sebuah kerat minuman yang tak terpakai.

Seketika, iri itu muncul tatkala aku melihat saudara buyutku bisa memenuhi paru-paru si pak tua dan keluar dengan gaya akrobatik dari mulutnya. Sudah seminggu lebih aku tidak merasakan sensasi menjelajahi tiap inci saluran pernapasan milik temanku yang terpaksa tercemari olehku. Nikotin yang menumpang di dalam diriku pun sebenarnya sudah mencak-mencak karena tidak bisa terbumbung ke udara seperti milyaran saudara kembarnya, yang juga dihisap oleh para perokok.

Arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya pun dilirik penuh selidik. Lantas, temanku tersenyum. Aku pun dapat mendengar dirinya yang tahu-tahu berceloteh dalam volume suara yang cukup kecil.

“Ternyata pulang lebih awal itu cukup menyenangkan.”

Yah, itu bagimu tapi tidak bagiku Kai. Semenjak seminggu ini kau pulang lebih awal dari bar tempatmu biasa mengamen, kau justru tidak menyentuhku tanpa pemberitahuan apapun. Ayolah, Kai! Mengapa kau jadi seperti ini kepadaku?

Apakah kau sudah melupakan bagaimana awal pertemuan kita?

Saat itu kau masih berseragam SMU tingkat dua. Karena ejekan tolol seniormu, kau menerima tantangan mereka untuk menghisap satu batang rokok. Satu-dua tidak masalah hingga akhirnya kau menjadi ketagihan. Canduku rupanya kuat juga. Saat itu kau baru mampu menghabiskan sebungkus Marlboro Red isi 12 batang dalam empat hari. Kemudian, beralih menuju Marlboro masih Red isi 16 batang yang habis dalam dua hari. Hingga, kau beralih menuju Camel Black yang mampu raib dalam waktu sehari bahkan kurang.

Zat adiktifku memang candu bagimu. Pendistorsi segala masalahmu. Terkadang, aku juga sering dipertemukan dengan beberapa tenggak minuman berkarbonat ataupun wine dan vodka yang menjejali lemari khusus di salah satu sudut apartemu.

Namun mengapa kini kau berubah Kai?

Malam di kota Dublin terasa begitu dingin. Sepersekian detik kemudian, temanku mulai mengatupkan rahangnya. Menahan gigil yang mulai menusuk-nusuk tulang. Nah, bukankah lebih baik jika kau menghangatkan badan dengan mengeksploitasi nikotin dan tar dariku? Seketika, girang aku.

Aku pun mendesak Kai supaya segera membebaskanku dan segera memantikkan api dengan ujung tembakau kepunyaanku. Akan tetapi persuasiku pun kembali harus menelan penolakkan meski dia sendiri tidak menyuarakannya.

Setelah beberapa meter dari pintu bar tempatnya bekerja, kami mesti melewati jalanan yang dipenuhi oleh para wanita penghibur. Kekehan dan kerlingan nakal ditujukan kepada pemuda yang baru genap berusia seperempat abad sebulan yang lalu itu. Meski aku disesaki di dalam kantong jaket leather pabrikan Armani miliknya, aku masih dapat melihat wanita-wanita semampai itu yang mulai memberanikan diri menghampiri Kai. Namun dengan respect yang masih di ambang batas, temanku menolak dengan halus. Bergegas meninggalkan para penghibur tanpa jejak sembari menebar senyum tipis.

Lampu neon warna-warni berpendar di atas sebuah lawang bar yang cukup tua. Helaan napas temanku itu pun kini terdengar. Begitu juga dengan uap akibat suhu tubuhnya yang menurun drastis. Sehangat-hangatnya kota Dublin di siang hari, kau tetap tidak bisa mencegah udara dingin yang esktrim saat gelap tiba, yang siap menghantui siapa saja. Terlebih di musim gugur seperti sekarang.

Aku masih setia memikirkan bagaimana kiat untuk membuat Kai kembali peduli padaku. Namun setelah memikirkannya kembali, aku pesimis apakah cara itu akan berhasil. Toh, aku tetap tidak bisa memaksakan temanku itu untuk terus selalu bersamaku. Sewindu berkelana denganya, justru membuatku jatuh kepada pesona tersembunyi seorang Kai. Aku jadi peduli kepadanya, hingga sampai pada tahap aku tidak ingin merusak kesehatan paru-parunya. Akan tetapi, pada akhirnya aku belum mampu mencegahnya untuk berhenti. Kemudian, tatkala dirinya yang tiba-tiba mengabaikanku selama sepekan ini tak pelak membuatku merasa hampa.

“Hei, Bung! Punya rokok, tidak?”

Seperti hantu, suara yang tidak kuketahui berasal dari siapa itu tiba-tiba menginterupsi langkah statis temanku. Sontak membuat Kai berbalik hingga membuatku sedikit terguncang ke saku terdalam tanpa sempat protes.

Seorang gadis yang menyandang ransel lusuh dengan mantel gelap yang menyelimuti tubuhnya, menatap Kai penuh selidik. Matanya pun bergerak melihat penampilan temanku dari atas sampai bawah. Kemudian, ia pun kembali bersuara.

“Ada atau tidak?” tanyanya dengan intonasi yang menurun namun bernada mendesak.

Tiba-tiba, telapak tangan milik Kai yang super dingin itu merogoh saku tempatku bersembunyi. Aku bingung, apa yang akan dia lakukan padaku? Apakah dia akan…

 “Wow, terimakasih. Hm, maaf apa kau juga membawa pemantik? Kurasa punyaku tertinggal saat aku di bus tadi.”

…memberikanku kepada gadis itu. Dan, ternyata tepat sekali. Sang gadis yang belum kami ketahui namanya itu pun mengulurkan tangannya dan menyambarku.

Temanku mengangguk sejenak, kemudian menggasak pemantik api alias karibku dari kantong celananya dan memberikannya kepada si gadis. Oh, bagus sekali, Kai. Mudah sekali bagimu ya, memindahtangankan diriku pada gadis yang tidak kaukenal ini. Padahal, kau ini terkenal pelit, tidak mau berbagi sebatang pun diriku kepada teman-temanmu yang lain. Sekiranya, meski pun begitu aku malah mencium jejak-jejak diskriminasi.

Gadis itu lantas mengeluarkanku dari kotak persegi berwarna sepekat langit kota Dublin, sebelum mengetukkan ujung selterku pada tangannya. Fungsinya tentu saja untuk memaksimalkan nikmat yang akan diantarkan oleh setiap hisapanku untuknya.

Dia pun menyelipkanku di sela-sela bibirnya yang tipis dan berwarna agak hitam. Efek terlalu banyak merokok, tentunya. Kai pun menyodorkan seujung api guna memantik tembakau yang sudah mengering selama sepekan. Sepersekian detik kemudian, api-api kecil merayap. Sensasi berkobar itu kembali kurasakan meski bukan diciptakan oleh kawanku.

Si gadis tanpa nama lantas menghirup dalam-dalam nikotin beserta zat adiktif yang kukandung lalu menghembuskannya melalui mulutnya. Temanku pun melihatnya dengan tatapan yang biasa-biasa saja. Bahkan di matanya pun tidak nampak envious yang biasanya dia tujukan kala asthma-nya tengah kambuh hingga ia mesti absen untuk menyentuhku.

“Terimakasih, omong-omong apa kau seorang musisi?” tanya gadis itu kepada Kai sambil menunjuk Senorita dengan dagunya.

“Sama-sama. Well, aku hanya pengamen bar. Lagipula, mana ada musisi yang berkeliaran di gang-gang sempit pada waktu yang larut seperti ini?”

Sang gadis meringis kemudian mengangguk dan menyodorkan sebelah tangannya, “Suez, siapa namamu?”

Oh, jadi namanya Suez. Apa dia seorang keturunan dari yang menemukan Terusan Suez di dekat Laut Merah sana?

“Kai, “ ucapnya sembari menjabat telapak tangan Si Gadis Terusan Suez. “maaf, kalau boleh tahu mengapa seorang gadis sepertimu berkeliaran di tengah kota Dublin seorang diri?”

Ditanya seperti itu, Suez pun membebaskanku dari sela-sela bibirnya. Menyentil sedikit bagian ujungku, mengusir abu yang mulai berkoloni. Sambil tersenyum, ia pun berkata, “aku pelancong yang kehabisan uang. Sedang mencari tempat yang bisa ditumpangi. Ya, tidak berbeda jauh dengan istilah gelandangan.”

Koinsidensi yang cukup menarik. Seorang musisi jalanan, sebatang nikotin, dan seorang pelancong. Menghirup aroma sisa gerimis di kota Dublin. Apa yang sekiranya mampu dirisaukan, kuharap tak ada.

“Apa kau mempunyai tempat untuk beristirahat malam ini?”

“Eh, tidak ada.”

Tiba-tiba, temanku mengulurkan sebuah kartu nama dan sedikit mengejutkan gadis tersebut. Sontak, aku memicing. Hei, bukankah itu kartu nama milik Kai? Oh ya, meski dia hanya seorang pemusik di kalangan bar-bar kecil, kartu nama tentu dia punya. Tetapi, dia

“Apa ini?”

“Ini kartu nama. Kau bisa pergi ke alamat yang tertera, kemudian tunjukkan kartu ini dan katakan kepada mereka bahwa kaubutuh tempat untuk menumpang sementara. Mereka pasti akan menerimamu.”

“Lalu bagaimana kalau mereka tidak percaya?”

Kai menaikkan seujung bibirnya, kemudian melanjutkan, “mereka pasti percaya. Toh, aku tidak memberikan kartu nama kepada sembarang orang.”

tidak pernah memberikan kartu namanya kepada orang secara acak. Ya, meskipun statusnya hanya setingkat di atas buruh, Kai segan untuk membagikan informasi personalnya melalui selembar kartu tersebut kepada orang banyak. Tetapi kepada gadis ini, ia justru begitu mudahnya memberikannya sebagai jaminan. Oh, Kai, benar deh. Apa sih yang sedang terjadi kepadamu?

“Hm, terimakasih.” Kemudian, Suez pun mengembalikan bungkusan berukuran yang tidak lebih dari 6 inci tersebut kepada Kai. Namun, sejurus kemudian, temanku itu malah menahannya. Amboi, apa lagi yang akan kau perbuat, Kai?

“Untukmu saja. Lagipula kau lebih membutuhkan ini daripada diriku, omong-omong.”

Suez pun tergagap, “t-tapi –  “

“Santai saja, Sue. Aku sudah berhenti merokok.”

Duar!

Daya kejut menara sutet berkekuatan milyaran volt seketika menghantamku. Apa baru saja Kai bilang dia sudah berhenti merokok? Sejak kapan? Apa sejak seminggu belakangan ini, yeah, pasti begitu.

“Benarkah? Oh, tapi mengapa kau masih mengantungi benda ini?”

Surai hitam yang dipangkas bondol itu pun diusak oleh Kai sejenak, “itu aku juga tidak tahu. Mengantongi sebungkus rokok sudah menjadi kebiasanku, mungkin. Tetapi saat aku sudah memutuskan untuk berhenti merokok, meninggalkannya sendirian di atas meja aku tidak bisa. Aneh.”

“Setuju, kau memang agak, aneh.”

Kai, aku sungguh tidak bisa berkata apa-apa lagi. Jadi, selama sepekan terakhir ini kau berpolah abai padaku alasannya adalah kau yang memutuskan untuk berhenti merokok. Tetapi mengapa kau masih dengan setia mengajakku ke mana pun kau berada, bolehkah kutahu apa alasannya? Juga, motivasi mengapa kau bisa memutuskan untuk berhenti menghirup racun batangan sepertiku?

Oh, mungkin tanyaku terlalu banyak. Juga terlalu enggan untuk kaujawab selanjutnya. Tetapi, setelah mengetahui kau yang dalam keadaan sadar mengatakan bahwa kau tidak bisa berpisah dariku, membuatku sedikit galau. Kau sungguh pemuda yang baik hati, Kai.

“Mungkin kau bosan mendengarnya karena aku sudah mengucapkan ini sebanyak tiga kali dalam kurun waktu yang begitu singkat. Tetapi, terimakasih banyak Kai atas kebaikanmu. Semoga Tuhan memberkati.”

Senyuman temanku pun kini justru sejuta kali terlihat lebih manis. Untuk yang terakhir kali, aku ikut tersenyum kepadanya. Ikut menyalurkan betapa senang, bahagia, sekaligus sedihnya hatiku karena mau bagaimanapun juga aku akan berpisah dari kawanku itu. Kai, aku akan merindukanmu!

“Simpan terimakasihmu untuk orang yang lebih pantas menerimanya, Sue.” Ucap belahan jiwaku sambil menaikkan tali Senorita yang melorot di atas bahunya. “Baik, sampai berjumpa lain waktu.”

Bye!

.

.

Anjuran Dokter Glen untuk berhenti mengonsumsi rokok akhirnya ditekuni oleh Kai. Setelah mendapati hasil rontgen dari salah satu unit radiologi di rumahsakit pusat kota, dua pekan yang lalu pemuda itu terkejut bukan main. Sepasang paru-parunya mengalami infeksi. Bronkitis-nya semakin parah.

“Bagaimana, Kai? Masih mau merokok lagi?”

Hening sejenak. Pemuda itu lantas menjengit sebelum menggeleng mantap. “Aku akan berhenti, toh, aku masih bisa sembuh meskipun persentasenya kutahu, sangat tipis, bukan?”

.

.

.

TAMAT.


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Suatu Malam di Kota Dublin

[ONESHOT] Alana

$
0
0

transisi

Salah satu babak drama yang tidak akan Eli lupakan selama hidupnya adalah hari di mana dia berdiri di ambang pintu sebuah transisi. Sebuah batas perubahan yang menariknya dari kehidupan anak-anak yang lugu, pada sebuah dunia baru yang membentuk jati dirinya hingga saat ini. Dia hidup bersama Lim sejak dirinya masih sangat kecil, sejak dia menemukan sosok asing yang tampak depresi di awal kedatangan gadis cilik itu di panti.

Sesuatu dalam diri gadis itu membuatnya tertarik untuk mendekatkan diri. Umur gadis itu setahun lebih muda, dan saat itu dia masih tidak bernama, tidak pernah menyebutkan namanya—atau mungkin tidak ingat—ketika ditanya mengenai jati dirinya. Ibu panti memberinya nama “Alana,” berarti gadis cantik dalam bahasa Irlandia.

Alana bukan gadis yang banyak bicara di awal kedatangannya. Lebih banyak diam dan bermain dengan dirinya sendiri, hingga tidak banyak anak yang berusaha mendekatinya. Tapi Eli memandangnya dengan cara yang berbeda. Bahkan saat masih kecil pun dia bisa melihat kedukaan yang dalam pada diri gadis itu, raut wajahnya yang muram, dengan mata yang seringkali merah basah seperti ingin menangis tiap waktu menunjukkan besarnya trauma yang telah gadis itu alami, apapun itu sebelum dia datang ke panti.

Mungkin karena dia telah tinggal di panti sejak entah kapan, kehadiran sosok dengan raut wajah yang berbeda dari teman-temannya membuat gadis itu menarik dengan caranya sendiri. Seolah Eli bisa merasakan kepedihan yang gadis itu rasakan. Dalam kasus yang berbeda, penampilan dirinya yang tidak menarik membuatnya sedikit tersingkirkan dari pergaulan teman-teman di panti. Sosok Alana membuatnya penasaran, dan dengan berbagai cara Eli mendekati gadis itu. Awalnya Eli hanya mengajak Alana untuk duduk di sampingnya saat anak-anak panti menikmati menu makanan mereka bersama di aula makan. Dia kemudian menawarkan diri menjadi kakak asuh Alana.

Seiring berjalannya waktu, dari yang tidak bicara sama sekali, Alana mulai menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan sepatah dua patah kata, hingga memberinya jawaban kalimat lengkap. Tiga bulan usaha Eli berteman, Alana mulai membuka diri dan bermain dengannya. Mungkin karena tubuhnya cenderung lebih pendek dibanding anak-anak sebayanya, dan saat itu Alana adalah satu-satunya yang masih berumur di bawah lima tahun. Tinggi tubuh mereka yang terpaut tidak terlalu jauh mungkin yang membuat Eli tampak seperti teman sebaya yang paling mengerti akan keinginannya.

Mereka mengobrol banyak hal, tentang buku yang mereka baca bersama, juga tentang acara TV yang mereka tonton. Eli membantu Alana belajar berhitung, dan juga beberapa hal lain yang tertinggal dalam masa kebisuannya. Alana berubah dari gadis yang tidak bisa bicara, menjadi anak perempuan yang tidak bisa berhenti bercerita. Gadis itu memberitahu Eli segalanya, kecuali satu hal: apapun yang berkaitan dengan keluarga maupun bagaimana dia bisa berakhir sana. Terlalu dini mungkin. Eli tidak pernah bertanya, dan gadis itu baru memberitahunya bertahun-tahun kemudian setelah mereka remaja.

Selama dua tahun itu mereka menjadi teman karib. Bermain bersama, belajar bersama, bersembunyi bersama, hingga melakukan hal-hal yang melanggar aturan tanpa para penghuni panti pernah tahu apa yang terjadi. Mereka tidak terpisahkan, tertawa dan menangis bersama, dan saling mengajarkan bagaimana caranya bertahan hidup dan tetap bersinar di antara puluhan anak lain yang tinggal bersama mereka di panti itu.

Alana memukul korban pertamanya saat mereka berumur enam tahun. Hal itu terjadi pada suatu siang selepas pulang sekolah, yang mana biasanya anak-anak panti akan berjalan pulang bersama. Hari itu Eli kedapatan jadwal bersih-bersih kelas, hingga dia harus tinggal di sekolah selepas kelas selesai bersama beberapa temannya yang lain. Anak-anak panti pulang lebih dulu meninggalkannya, kecuali Alana yang sengaja tinggal untuk membantu dan menunggunya agar mereka bisa pulang bersama.

Seperti di manapun dalam lingkungan kehidupan anak-anak, pasti ada salah satu di antara mereka yang berperan sebagai yang paling kuat, si bandel yang gemar mengganggu teman-temannya, tapi tak ada satupun di antara mereka yang berani melawannya. Panti mereka pun memilikinya. Seorang anak laki-laki bernama Genta, salah satu yang tertua di antara anak-anak panti. Umurnya sebelas tahun, tubuhnya paling besar di antara anak-anak sebayanya dengan wajah yang entah bagaimana sudah terlihat bengis dari sananya. Seperti anak jahil yang kelewat bengal, Genta pun memiliki korban favoritnya untuk dibuli tiap waktu, Eli. Saat itu Eli adalah anak laki-laki berperawakan kecil, kurus seperti anak kekurangan gizi. Meski Eli tidak kalah bengal dalam urusan membangkang aturan, tapi soal kekuatannya dalam berkelahi, dia tidak ada apa-apanya dibanding Genta.

Eli masih mengingat jelas tiap detil adegan yang terjadi siang itu, sejelas dia menatap seluruh perabotan di sekelilingnya saat ini. Bertahun-tahun yang lalu, di sebuah siang pada hari yang tidak istimewa, dia berjalan pulang dari sekolahnya bersama Alana. Jarak antara sekolah dan panti sekitar lima belas menit bila ditempuh dengan jalan kaki. Mereka harus melewati jalan setapak menembus hutan kecil yang ditumbuhi pohon mahoni dari jalan utama tidak beraspal, satu-satunya jalan masuk menuju panti.

Satu hal tentang Alana yang kadangkala membuat Eli terperangah adalah kepekaan gadis itu terhadap situasi genting. Semacam premonisi. Kepekaan ini yang seringkali membuat mereka hampir tidak pernah tertangkap saat tengah menyelinap keluar dari panti saat malam hari, atau tengah bersembunyi di suatu tempat dari pencarian ibu asuh. Gadis itu seperti memiliki sensor yang mampu mendeteksi kehadiran sesuatu atau seseorang yang akan mengganggu kenyamanannya. Eli memanggilnya cenayang karena kemampuannya ini, hal yang sangat tidak biasa.

Siang itu, tiba-tiba saja tawa menghilang dari wajah Alana. Langkahnya terhenti di tengah jalan mereka. Gadis itu menoleh menatap Eli, tidak berkata apa-apa. Tanpa bersuara dia menyebut nama ‘Genta’ dengan bibirnya.

Celaka!

Eli menggenggam tangannya, dengan sedikit takut-takut mereka kembali berjalan. Dan benar saja, ketika mereka sudah di ujung jalan setapak dari hutan mahoni, mereka menemukan Genta berdiri di pinggir jalan, menunggu. Badannya yang kekar bersandar pada satu pohon, kancing-kacing baju seragamnya dibiarkan terbuka, memperlihatkan kaos Ultraman favorit yang selalu dia pakai kembali tiap kali selesai dicuci.

Genta selalu menyebut dirinya sebagai titisan tokoh raksasa kebanggaannya itu, mengumbar-umbar kekuatannya sebagai sosok pahlawan yang membasmi kejahatan—sementara yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka tahu bila Genta sudah muncul dengan cara seperti ini, maka konfrontasi di antara keduanya tidak akan terelakkan lagi. Anak bertubuh tambun itu selalu punya alasan untuk memukulnya, dan kali itu alasannya adalah ‘karena kamu kurus dan jelek’.

Eli ingat dia berusaha untuk melawan sekuat tenaganya, menampik pukulan, berusaha menendang, meski seluruh usaha itu tidak ada yang berhasil. Dia harus melakukan sesuatu, karena tidak seperti hari-hari lainnya, ada Alana bersama mereka di sana, dan Eli tidak ingin gadis itu ikut menjadi korban keisengan Genta juga. Sayangnya dia dibuat tidak berdaya hanya dalam beberapa pitingan.

Saat itulah kemudian dilihatnya keadaan berbalik. Ketika dari belakang Genta tiba-tiba saja Alana muncul dan memukul anak laki-laki itu dengan batang kayu hingga jatuh tersungkur. Alana tidak berhenti di sana, gadis itu masih memukuli Genta dengan batang kayu yang dia temukan entah di mana. Alana kemudian menendangnya berkali-kali dengan keras, memukul lagi dengan batang kayu, teriakan minta ampun Genta sama sekali tidak dihiraukannya.

Untuk beberapa saat Eli tidak mengenal gadis itu. Dia tidak pernah tahu Alana memiliki kekuatan sebesar itu untuk melumpuhkan Genta, hingga membuat anak laki-laki itu menangis tidak berdaya. Eli ngeri. Alana tidak berteriak saat memukuli Genta, tidak ada suara yang keluar dari bibirnya, erangan, atau sumpah serapah. Wajah gadis cilik itu datar, tapi sorot matanya membunuh, penuh kebencian dan rasa jijik.

Eli tidak pernah melihat sosok itu dalam diri Alana, gadis itu tampak seperti seorang monster di dalam tubuh seorang gadis yang selalu bersikap manis sebelumnya. Keluguan gadis itu menghilang di balik amarah yang menguasai bagian lain dari dirinya.

Untuk pertama kalinya Eli gemetar berada di dekat gadis itu.

Satu hal yang membuatnya gugup hingga sangat ketakutan saat itu adalah ketika melihat sebuah mobil mendekat dari jauh. Mobil itu memperlambat lajunya, seperti tengah menonton apa yang mereka bertiga lakukan, tapi siapapun yang berada di dalamnya tampak tidak berniat untuk berhenti dan melakukan sesuatu untuk melerai mereka. Menghentikan Alana. Eli yakin Alana akan membunuh Genta bila gadis itu tidak dihentikan.

Anak laki-laki itu terlihat parah. Tubuhnya meringkuk tidak berdaya, mukanya babak belur, kepalanya pun mungkin bocor. Warna putih seragamnya dipenuhi dengan bercak darah yang kemerahan dan bekas tanah, kancing-kancingnya putus dan berceceran di mana-mana. Kaos Ultraman-nya yang baru dicuci tampak lecek mengenaskan. Sandal jepit Batman yang dipakainya putus sebelah, sebelahnya lagi terlempar entah ke mana. Perut buncitnya bergetar penuh rasa sakit dan ketakutan, menegang tiap kali sepatu gadis itu mendarat di atasnya.

Eli menarik Alana menjauh dari tubuh Genta, menyuruh gadis itu berhenti memukul dan menendangi bocah malang itu.

Alana tidak memberontak saat itu. Gadis itu hanya menatapnya, lalu menoleh ke arah mobil yang masih berjalan lambat, seolah baru menyadari kehadiran orang lain selain mereka, kemudian membuang batang kayunya tanpa berkata apa-apa.

“Dia nggak akan gangguin kamu lagi,” adalah satu-satunya kalimat yang Alana lontarkan setelah insiden itu terjadi.

Mereka dihukum berat siang itu. Eli memapah Genta yang babak belur pulang ke panti. Ibu asuh mereka luar biasa terkejut dan marah besar atas apa yang dilihatnya. Pertama kalinya terjadi dalam sejarah kepimpinannya di panti, anak-anak asuhnya berkelahi hingga berdarah-darah separah itu. Sebelum Alana mengakui perbuatannya, Eli cepat-cepat menutupi kebenaran dengan menjadikan dirinya yang bertanggungjawab akan insiden ini. Ibu asuh memukul tangan dan kakinya dengan tongkat rotan sepuluh kali, lalu menyuruhnya berlutut di dalam gereja sepanjang sore untuk memohon ampun.

Eli marah sekali pada Tuhan sore itu. Mereka bilang Bapa penuh kasih yang akan selalu menolong mereka yang membutuhkan kapan saja, mereka bilang Bapa adalah yang Maha Adil, tapi di mana keadilan saat dia membutuhkannya? Tuhan Bapa adalah satu-satunya yang tahu kejadian sesungguhnya yang terjadi di antara mereka bertiga, Dia tahu Genta yang menganggu mereka terlebih dulu. Alana hanya membela dirinya, dia hanya melindungi Alana, tapi kenapa tidak ada yang mengerti?

Kenapa ibu panti menyalahkannya, memukulinya dan menghukumnya berlutut untuk memohon ampun. Ampunan semacam apa yang harus dia minta kalau dia tidak melakukan kesalahan apa pun?

Dalam berlututnya Eli berulang kali menoleh mencari sosok lain di sekitarnya. Alana mengikutinya ke dia manapun dibawa, menunggu di luar pintu gereja tanpa mengeluh. Gadis itu diam saja saat kedua mata mereka bertemu. Ada rasa bersalah yang sangat dalam Alana pendam saat menatapnya, Eli hanya tersenyum simpul dan menyuruh gadis itu pergi. Tapi Alana tidak pernah meninggalkannya, dengan sabar gadis itu menunggunya, seperti saat menungguinya melakukan hal-hal lain seperti biasanya.

Mereka hanya diam di sana, dalam posisi mereka masing-masing, hingga seseorang datang menghampiri.

Thomas Adili, si penumpang mobil yang sebelumnya memergoki insiden pemukulan itu, ternyata mengawasi mereka sepanjang siang, sejak kembali ke panti hingga seluruh proses hukuman yang diterimanya. Tampaknya Thomas sangat tertarik dengan Alana, dari apapun yang dia saksikan di pinggir hutan siang itu.

Thomas Adili meminta ibu asuh agar mengijinkan dia membawa Alana bersamanya. Alana bersikeras untuk membawa Eli serta bila dia harus pergi, dan tanpa pertimbangan, tidak perlu waktu lama untuk Thomas memutuskan dan menandatangi surat-surat adopsi.

Sore itu mereka meninggalkan panti, tidak pernah kembali lagi. Sebelumnya saat itu bukanlah hari yang istimewa bagi Eli maupun Alana, tapi sebuah insiden mengubah hidup mereka selamanya. Hari itu dia melihat sisi lain dari diri Alana yang tidak pernah muncul sebelumnya. Hari itu untuk pertama kalinya Eli mendengar Alana memperkenalkan dirinya pada Thomas dengan nama yang tidak pernah dia dengar.

Alana menyebut dirinya dengan nama Lim. Nama keluarganya.

Hari itu, dan untuk selamanya, Alana mengubah nasib hidup mereka. Saat itu pula Eli bersumpah pada dirinya sendiri. Dia akan tumbuh sebagai lelaki yang kuat, agar dia bisa menjadi pelindung Alana kapanpun saudara perempuannya itu membutuhkan. Apa pun yang terjadi.

.

.

.

* * *

.

.

.

credit image by: pinterest


Filed under: one shot, original fiction Tagged: the Sinner's Vow, Transisi

[ONESHOT] Pill n’ Poison

$
0
0

pillnpoison

By. Kimchisauce

****
Hurt Me then Treat me

Burn me then Cold me

Broke me then Fix me

Don’t go

Don’t leave

Kill me then Love Me

*****

Don’t cry, I beg you.”

Suara itu menjalari pendengaran. Nyaris lirih namun tegas memerintah. Entah lelah. Entah lemah. Tak jelas pun artinya antara bosan maupun bimbang. Namun suara itu tetap bersikukuh melenyapkan tangis yang mampu mengoyak tembok pertahanannya untuk kuat. Berharap susunan abjad sederhana yang terucap dapat mengeringkan luka. Entah seperempat bagian. Entah semuanya.

 

Ia jenuh.

Tidak. Ia pilu.

Ia pilu ketika isak kecil dari bibir delima itu menyeruak masuk ke gendang telinga. Ia pilu ketika kelopak mata bulat itu terkatup rapat dan banjir bandang. Ia pilu ketika tubuh ringkih tak bergizi itu bergetar hebat.

Uljima. Jebal.”

Lagi-lagi suara itu gamang. Kalut namun memegang kendali dengan erat. Intonasinya pun terdengar mengambang. Tidak tinggi tapi tidak juga memilukan hati.

Suara itu mendesah kasar. Menghempaskan beban beserta remah roti dan bau napas yang menyengat. Pemiliknya bergerak. Melangkah pelan dan perlahan menuju sumber sakitnya di sudut ruangan pengap.

Ia perlahan duduk dan secepat kecepatan cahaya mulai merengkuh tubuh kurus itu hati-hati kedalam dekapannya yang tak sehangat matahari. Ah, ia lupa. Ia matahari telanjang tanpa atmosfer yang menahan panas. Ia membakar. Ia menghanguskan apapun yang dilaluinya, tak terkecuali mahluk bumi sepolos bayi dalam pelukannya.

Ia Lucifer yang menjelma bagai domba tak berdosa. Begitu lugu dan ragu-ragu. Hingga pujaan hati datang mengulurkan tangan untuk meyakinkan. Dan senyum pretensi pun muncul tanpa bisa ditahan-tahan.

Si pujaan hati medamba. Merasa terlengkapi dan melengkapi. Tanpa tahu ratusan pisau siap mengoyak-ngoyak hatinya tanpa ampun, ia melangkah mantap. Mengucap janji di hadapan Pencipta Semesta untuk tetap setia dalam keadaan paling baik hingga keadaan paling buruk.

Belum selustrum hubungan itu tercipta, si Lucifer menunjukan bengis. Si pujaan hatipun terluka. Ia tak lagi mendapati sosok anak dandelion ringan yang hilang sekejap ditiup angin. Yang ia lihat sekarang adalah pohon Ek berusia ratusan tahun berakar kuat. Tak akan mungkin tumbang meskipun datang angin topan. Sosok itu pun juga mampu membuat bulu kuduknya meremang, kelenjar air matanya lembur, hingga pemompa darahnya lemah. Sosok kasar, sekasar material pasir dan gravel membentuk aspal.

Namun setelah satu dasawarsa menguap bagai awan berubah bentuk, si pujaan hati tetap tak ingin beranjak. Entah mengapa dan bagaimana, ia merapuh dengan sukarela. Ia memilih mati untuk dihidupkan. Ia memilih terbakar untuk kembali didinginkan. Ia memilih patah kemudian diperbaiki.

Ia memilih racun sekaligus penawarnya yang paling ampuh. Kim Jong In. Si Lucifer yang bergerak ponggah namun merangkap menjadi si penakut kelas kakap. Karena sosok itupun tanpa sadar tak bisa berhenti menjadi parasit yang mematikan sekaligus mengobati di saat bersamaan.

Dan mereka berdua adalah cinta. Cinta dalam berbagai bentuk. Kekuasaan. Transformasi. Pengorbanan. Kesetiaan. Waras. Gila. Sakit. Bahagia.

Cinta berubah menjadi definisi personal.

.

.

Sorry. Don’t leave me.”

Suara itu kembali terdengar. Kali ini tidak lirih apalagi pilu. Tidak juga tegas dan dominan. Mengambang tanpa arahpun tidak. Suara itu meluncur yakin. Seakan menggambarkan penyelesaian dan kalimat ‘baik-baik saja’.

Cinta kembali memegang peranannya. Keduanya dapat menjadi racun dan penawar bagi satu sama lain. Tak ada lagi Lucifer. Domba tak berdosa. Anak Dandelion. Pohon Ek. Pujaan Hati. Matahari. Yang ada hanya mereka berdua dan cinta itu sendiri. Barangkali cuma itu.

Dan Mereka tak butuh siapapun lagi. Bahkan untuk mengerti.

Never, Jong In.”

~0O0~


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Kim Jongin

Lauren’s Diary: Unta #1

$
0
0

lauren5

Minggu siang.

Mommy dan daddy pergi sejak pagi, entah ke mana. Tadi daddy memberitahu sih, cuma namanya susah, jadinya Lauren tidak ingat. Jadi hari ini, Lauren bermain di rumah Dayoungie.

Dayoung punya buku cerita baru. Bukunya baguuuuus, besar dan tebal. Di bukunya ada banyak gambar berwarna-warni, yang kadang binatangnya bisa berdiri, keluar dari buku. Hebat deh pokoknya! Lauren tidak bosan memandang dan memainkan binatang-binatangnya, lalu meminta Lulu menceritakan isi bukunya begitu datang.

Ceritanya tentang unta yang tinggal di gurun. 

“Dayoungie pernah lihat unta, tiga kali! Appa ajak ke kebun binatang, lalu lihat banyak unta.” Dayoung bercerita, Lauren mengangguk-angguk mengiyakan, lalu menambahkan.

“Warnanya koclat, Lulu!”

“Warnanya coklat, Lauren.” Lulu tertawa sebentar, sebenarnya  Lauren tidak paham apa yang lucu. “Coklat. Coba ulangi.”

“Koclat.” Lauren mengulangi.

“Bukan koclat, tapi coklat. Ayo coba lagi.”

“Koclat!”

Lulu menggerak-gerakkan jari telunjuknya ke kiri dan ke kanan, dia mengulangi katanya lagi, “Co-co-co-co-co-co-cooooooo-klat. Coklat.”

“Ko-ko-ko-ko-ko-ko-koooooo-clat. Koclat.”

“Koclat!” Dayoung ikut mengulagi.

Begitu terus sampai kiamat.

.

.

.

* * *

 

 


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Lauren Lunde, Lauren's Diary, Lu Han, Yoon Dayoung

[Oneshot] Deus ex Machina

$
0
0

tumblr_mu4348FLTg1r46ej6o1_400

slovesw, 2015

.

“But we’re gonna start by
Drinking old cheap bottles of wine,
Shit talking up all night,
Saying things we haven’t for a while.”

.

Setting-nya, bertempat di sarang iblis.

Hujan pecah. Mengarungi udara dingin pekat tengah malam, menyelami relung paru para manusia dengan bau tanah mentah. Menjamu mereka si tukang begadang dengan kantuk khas malam ketika titik-titik itu mendera, jatuh dari ketinggian tropopause. Pun menggauli hiruk-pikuk kota dengan rerintikan.

Diam-diam aku menggelendoti langut; bersesakan lantaran tersumpal di sela-sela rusuk. Sudah terlupakan bertahun-tahun yang lalu. Seperti baju-baju di dasar almari yang paling jarang tersentuh, langut itu obrak-abrikan. Tak tertata dengan apik, kendati tidak berbau apak.

Ceritanya sudah kadaluarsa. Dua atau tiga tahun, sudah lupa. Akhirnya pun tidak begitu jelas, tidak begitu kentara. Khalayak awam pun tak banyak yang menahu, jadi sebenarnya tak ada impak yang begitu berarti. Kalau-kalau kejadian ini tidak terjadi, aku pun tidak bakal begitu memikirkannya. Senarai draf dan proposal-proposal itu lebih membuatku meringking ngeri di bawah lampu multiwarna itu ketimbang presensinya.

Tanpa tadang aling-aling, tamu tak diundang itu datang begitu saja.

Berpapasan di tongkrongan kawula muda, lantaran sama-sama memesan satu dari rendeng sampanye yang ditopang almari lapis kaca. Sloki-sloki berdentingan. Asap cerutunya yang pekat, tak ayal membaui penciumanku.

Tangannya yang sawo matang merambah meja bartender, mengelus peliturnya. Remanya dipangkas apik, a la Ryan Reynolds. Kemeja merah darahnya klimis minta ampun; bakteri patut lindang landai di sana.

Tak perlu hitungan di atas lima, visi mengenali figur dirinya. Lelaki yang doyan mampir di kost manakala aku masih menimang status mahasiswi. Pernah nangkring di hati juga, sebagaimana suaranya yang mengubini pekarangan kost di pagi hari. Sayang disayang, yang ditunggu di atas skuter Vario-nya bukan aku—Dea, namun Kartika.

Janggalnya, ia pun mengenaliku. Langsung indera pandang itu membeliak-menyipit ketika melihat aku, seolah matanya baru dijatuhi spotlight.

Aku juga sama beliak-sipit, kendati alasannya ialah isi sloki yang tandas separuh.

“Dea, iya ‘kan?” ia memberedel sapaan halo-hai sejenisnya.

Nyaris terpelanting dari stool, pun tergagap karena citranya dalam retina ada dua. Aku mengusap rambut asal, seolah itu bisa menutupi polahku yang on-the-way mabuk. “Ah, iya. Mas Rio kan, ini?”

“Iyalah, De. Apa mukaku tambah ganteng habis nggak ketemu bertahun-tahun?” selorohnya tanpa ampun. Cerutunya beremigrasi ke sela jari, dan dasi berantakan itu sedikit mendistraksi. Tangan kekarnya lantas menyisipi jemariku, lalu terlepas dengan serta-merta. “Tumben ke Bandung. Denger-denger kamu di luar kota, ya?”

Kepengin pilon, namun jatuhnya malah goblok sungguhan. “Ah, iya, Mas.”

Ia menarik satu stool. Slokinya di tangan kiri. “Haha, iya yang mana dulu, nih?” Tubuhnya terempas begitu saja di atas busa stool. “Mainnya ke sini, lagi. Di luar hujan, lho. Sendirian?”

Hatiku bertemperasan entah ke mana. Tercecer bersama ringkingan musik ritmik jua decap-kecup pencumbu yang lantang mondar-mandir.

“Udah biasa kok, Mas.”

“Mabuk juga, ya? Duh,” tanyanya retoris, memperhatikan polahku yang gual-gail. Setengah membangkitkan hasratku meraih ujung heels. Namun, cengir usil di sudut bibirnya itu, sudah mendampratku terlebih dahulu. “Iya deh iya, yang anak ibukota sekarang.”

Stay The Night di-mashup dengan To Ü mampir di muka rungu—kombinasi yang apik untuk menjebol gendang telinga. Tiba-tiba aku ingin iringan lagu akustik atau folk—kesannya kurang apik saja. Duh, telenovela.

“Kerja di mana, De? Masih di Jakarta?”

Membenarkan letak rok, seolah itu adalah jurus paling ampuh untuk membunuh kikuk. “Enggak, kok. Masih cari-cari, sih. Sekarang di Tangerang, Mas. Ke Bandung cuma mau kunjung ke saudara, eh kebablasan ke sini. Hehe.” Sampanye itu nganggur di atas meja. Menghela napas, “Mas Rio?”

“Aku tetep di Bandung, kok. Wijaya Karya.”

“Waduh, arsitek banyak duit, dong.”

Tawanya berkeriap, mengendal di ujung bibir. “Ah, nggak juga lah, De. Masih gini-gini aja.”

Tangannya terjulur untuk membenarkan petak kacamatanya; membuat wajahnya sedikit melankolis dan sedikit humoristis, alih-alih tipikal wajah serius, kendati penat menghiasi tiap jengkal wajahnya. Kami membicarakan pelbagai hal; mulai dari kerjaannya sebagai konsultan di perusahaan BUMN di Bandung, bergulir ke pekerjaanku di interior design yang sedang menata batu pertama di Tangerang, pun hal-hal lain sambil menyesapi minuman masing-masing.

Kala tahu pembicaraan mulai lindap, aku mengambil inisiatif tergoblok yang pernah terlintas, “Kartika sama kamu gimana, Mas? Aku udah jarang dengar kabarnya. Kita lost contact.”

Rio sesumbar senyum.  Bukan jenis yang menyenangkan. Tatkala itu juga, aku mendapati alasan konkret; mengapa undangan pernikahan Rio dan Kartika, tak kunjung terangsur di kisi-kisi pintu.

*

Rio. Bukan pasal label anggota BEM-nya yang membuatku memilih untuk menaruh hati pada lelaki ini. Bukan pula karena hobinya yang acap mentraktirku dan Kartika dikucingan. Lebih karena ringkingan tawanya di angkringan ketika tengah malam menjelang, ditemani kopi arang Jogja pun suaranya yang asal-asalan bersenandung tembang-tembang lawas; mulai dari lagu dari album The Idiot milik Iggy Pop sampai Ibu-nya Iwan Fals.

Aku jua tahu betul, alasan mengapa ia gandrung sekali mengajakku pergi ke luar, traktiran-traktiran seharga lima belas ribu rupiah itu bukan karena aku; tapi Kartika. Anak Fakultas Ilmu Politik yang dulu satu kasur denganku, dan sekarang ternyata sudah berbeda dunia denganku.

“Kartika kena kanker,” tutur Rio, bak gemuruh di siang bolong. Cerutu menthol-nya kini terisap dalam ritme yang lebih aktif ketimbang tadi, dan aku tak perlu bertanya banyak apa alasannya. Matanya membayang sejemang, dan musik disko bisa diistilahkan bak rinai tidur belaka. “Dia baru ngasih tahu aku sebulan sebelum, well, kematiannya. Duh, miripsick-lit, ya?”

“Kapan?”

“Setahun yang lalu, kira-kira.”

Entah apa yang lebih menyumbang gemap terbesar; berita tentang Kartika yang ternyata sudah angkat kaki dari dunia, atau kenyataan bahwa Rio ternyata tidak pernah menikah dengan Kartika.

“Kita udah putus lama sebelum itu, De.”

Aku termangu selama beberapa jenak.  Kuriositas itu menggantung begitu saja di petak-petak akal di mana bayangan Kartika dan aku pernah mengendap di sana. Sekarang ia melindap perlahan, seperti es karbon. Terurai dengan sendirinya.

“Kenapa nggak ada yang kasih tau aku?”

“Udah kuduga kalau kamu bakal ngomong gitu,” ia menenggak sampanye sekali, “ada beberapa alasan. Mendadak, lah; Kartika yang udah nggak bisa bicara seminggu sebelum kematiannya; dan… yah, alasan-alasan yang lain. Banyak teman kamu yang sama nggak tahunya kaya kamu kok, De.”

“Tapi aku ‘kan deket sama dia, Mas.” Tak kusangka aku berkata dengan tak terima, lalu aku terdiam; mengambil konklusi. Kematian Kartika yang dibungkam lebih mengagetkanku ketimbang yang lain.

Rio mencebikkan bibir, dan aku tahu ia enggan menjawab untuk satu silabelpun. Apa alasannya, aku tak tahu-menahu. Menthol di sudut bibirnya sudah tinggal seperempat. Kepalaku berdenyut, dan aku mulai mempertimbangkan Marlboro di suatu celah kecil di dalam tasku.

Kakiku menggerantak lantai terakota dengan repetitif. Tungkai Rio diangkat di salah satu pijakan stool. Diam-diam aku memperhatikan jungur sepatunya; mengkilap seolah baru digosok dengan batu amril. Aku tahu, di balik senyapnya ia kali ini, ia sedang merenung. Berkontemplasi diiringi figur Kartika yang menari-nari di pelupuknya.

Bagaimanapun juga, itu membuatku sedikit pilu.

“Aku turut berduka cita, Mas.”

Rio menggeragas helai rambutnya. Tak disangka-sangka, ia merespon, “Bukan sama aku ngomongnya, De.”

Aku mengeksplor mata black coal-nya. Redup, namun hangat. “Kan aku bukan pacarnya lagi,” ia menyambung. Wajahnya sendu, pun dramatis.

Aku ingin bahagia, lantaran Rio dan Kartika tak pernah memijak ke pelaminan. Aku ingin senang, karena sejatinya mereka berdua tak pernah bersama. Ironis, saat Kartika bahkan sudah di liang lahat—aku malah lebih mirip antagonis yang tanpa diekspektasikan muncul di eksodos dramanya.

“Kamu nggak pernah pengin tahu, kenapa aku dan Kartika putus?”

Aku mengusap-usap lutut. Tiba-tiba efek sampanye itu menguap dari neuron. Rio, dan pertanyaannya yang sama sekali tidak masuk akal tiba-tiba mendera kesadaranku. Pertanyaan Rio, tak pelak menyinggungku seakan ia sama sekali tak menghargai Kartika. Mentang-mentang Kartika sudah mati.

Kuputuskan untuk bertanya, “Kenapa, emang? Apa karena dia penyakitan?”

“Aku ‘kan udah bilang, kita udah putus lama setelah itu, De. Bahkan lima bulan setelah kalian—Kartika sama kamu—wisuda, terus kamu pergi ke Jakarta, kami udah putus. Meskipun kita masih berhubungan baik-baik setelah itu.”

Rokok menthol-nya diinjak begitu saja di lantai. Rio membasahi bibir, tangannya lantas silih-tindih di meja bartender. Tidak mungkin ia sedang gugup, ‘kan?

“Awalnya kupikir juga ini aneh,” katanya ganjil, “hubungan kami nggak berjalan lama setelah kamu pergi ke Jakarta. Aku sama Kartika awalnya nyaman-nyaman aja, jalanin hubungan. Tapi semakin ke sini, ada yang beda. Kita berdua jadi hambar—intinya aku jadi ngerasa aneh sama dia. Aku pun sempat bingung kenapa dulu aku bisa-bisanya suka sama Kartika. Semakin ke sini, akhirnya aku baru sadar.”

Rio tak kunjung menyambung, dan alisku sudah buru-buru naik satu tingkat sebelum aku menagih, “Sadar gimana?”

Ia mendengus, lantas tertawa. Napas mint-nya kentara, bercampur dengan aroma pekat sampanye. “Lucunya, aku baru sadar kalau sebenernya—sebenernya aku lebih sering ngasih waktu aku ke kamu, De. Bukan sama Kartika. Pantes aku ngerasa ada yang salah, tau-tau, itu kamu.”

Ia mengulum senyum; sementara aku baru sadar bahwa kami berada dalam jalan yang salah. Seakan aku dan Rio berada dalam satu mobil yang sama, lalu kami berbelok di pertigaan yang salah.

Ini salah. Dalam cara yang ganjil, mirip deus ex machina.

Aku mencengkeram pelipir meja bartender yang asimetris, selagi Rio berujar, “Kartika udah tau, De. Kucari kamu dari lama.”

Merenungi black coal yang terbingkai itu selama beberapa jenak; hanya itu yang mampu kulakukan. Kami sama-sama membisu. Sedikit tak adil kalau dipikir-pikir, saat kami sudah lama tak berserobok; lantas kali ini, tiba-tiba kami terjebak dalam satu pertemuan yang kesannya abadi, juga terasa seperti pertemuan yang pertama kali.

Tak bisa dipungkiri, aklamasi Rio itu mengundang rinai air sarat jeri di ekor mata.

.

“We’re smiling but we’re close to tears,
Even after all these years,
We just now got the feeling that we’re meeting for the first time.”

.

-selesai-


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Deus ex Machina

Lauren’s Diary: Unta #2

$
0
0

lauren1-ff

Ada sebuah pertanyaan yang Lulu tanyakan ketika selesai membaca cerita untuk Lauren dan Dayoung. Katanya,

“Kalian tahu tidak, punuk unta itu buat apa?”

Lauren dan Dayoung saling bertatapan sekilas sebelum Lauren berseru, “Itu bisul ya, Lulu?” dia bertanya.

Dan Dayoung sepertinya tidak setuju, karena tidak sampai sedetik kemudian dia mendebatnya, “Bukan Loren, punuk itu buat sandaran, tahu?”

“Buat sandaran? Saat duduk, ya?”

“Bukan, Girls. Punuk unta itu buat menyimpan air.” Lulu menyambar obrolan dadakan Lauren dan Dayoung. Lulu kemudian membuka kembali buku cerita yang baru saja dia bacakan, dan memperlihatkan gambar unta pada mereka.

Lauren dan Dayoung seketika mendekat untuk melihatnya.

“Lihat nih,” Lulu mulai menjelaskan. “Unta itu hewan yang kuat. Dia hidup di padang pasir—“

“Padang pasir itu apa?” Lauren bertanya.

“Padang pasir itu dataran yang isinya pasiiiiiiir semua, tidak ada sungai, tidak ada pohon. Seperti di Nevada itu.”

“Nevada itu di mana?”

“Umm…” Lulu menggaruk sisi kepalanya, “Nevada itu di sebelah barat Amerika, nanti kuperlihatkan di peta kalau kalian ke rumahku.”

“Peta itu apa?” kini Dayoung yang bertanya.

“Peta itu….” Lulu berdehem, lalu menjawab setelah dua detik. Tepat. “Nanti kuberitahu, sekarang lihat unta ini dulu, deh. Tadi kubilang, dia hidup di padang pasir kan? Jadi, karena di sana tidak ada sungai, kalau sedang berjalan  jauh, unta bisa tidak makan dan tidak minum sampai berhari-hari….”

“Tidak haus ya untanya?” Lauren dan Dayoung berkomentar bersamaan, “Huebaaaaaatt….”

“Iya, unta itu kuat. Sekali minum dia bisa sampai 5 ember. Lalu airnya itu disimpan di punuknya ini, dan bisa bertahan sampai berminggu-minggu. Keren, kan?”

Lauren dan Dayoung saling berpandangan lagi, kini sedikit lebih lama. Lalu mereka sama-sama memandangi kembali gambar unta di dalam buku sebelum membombardir Lulu dengan pertanyaan-pertanyaan.

“Untanya besar ya, bisa minum banyak sekali?” Lauren bertanya.

Dayoung tidak mau kalah, masih bersikeras punuk unta buat sandaran. “Punuknya bukan buat sandaran? Harusnya buat sandaran, Lulu.” katanya bersikukuh.

“Lalu bagaimana caranya air minum unta bisa sampai ke punuknya, Lulu? Ada sedotannya, ya?”

“Mana mungkin ada sedotannya, Loren. Punuk unta untuk sandaran, kan?”

Lulu menggaruk kepalanya lagi, dan akhirnya dia mengangguk-angguk.

“Iya deh, punuk unta bisa buat sandaran juga sih.”

Lalu tamat.

.

.

.

* * *

*based on true story*


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Lauren Lunde, Lauren's Diary, Yoon Dayoung

Announcement: Open Recruitment for New Authors

$
0
0

img1446466130262Hala hooo~

Happy November, nggak terasa kita sudah sampai di (hampir) penghujung tahun. Satu tahun yang cepat sekali berlalu, buat kami, dan rasanya pasti juga kamu! ehe…

Untuk menyambut tahun 2016, kami punya kabar baik buat kamu para penulis yang karyanya ingin lebih dikenal dan dibaca banyak orang! Saladbowl membuka slot untuk 2 author tetap bagi kalian yang sudah punya KTP :D *trink!*

Pasti ada yang bertanya, apa sih bedanya kontributor sama author tetap di saladbowl?

  1. Kamu punya hak penuh untuk menerbitkan naskah yang kamu tulis di blog ini tanpa proses editing dari tim reviewer.
  2. Kamu punya akses all-in ke seluruh blog ini, karena sebagai author tetap, status kamu menjadi administrator. Ya kali kamu pengen intip-intip ke naskah yang belum terbit, mau terbit, atau naskah yang udah pernah terbit dan ditarik lagi karena berbagai macam alasan… kalo masih di draft, silakan berseluncur wihiiii~ #iyagakpenting
  3. Kamu punya hak untuk ikut mereview dan menyeleksi naskah-naskah yang akan terbit, jadi sambil belajar dan bertukar pengetahuan sama penulis lainnya kan?
  4. Kamu adalah bagian dari keluarga besar kami :)

Persyaratannya nggak sulit kok, ini dia:

  1. Umur minimal 18 tahun.
  2. Berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
  3. Bersedia menulis di saladbowl dengan sukarela, tanpa meminta bayaran, dan minimal 1 naskah dalam sebulan.
  4. Tidak berasal dari partai/sekte terlarang yang akan memicu tulisan berbau SARA dan menyebar kebencian. #inipentingbanget
  5. Mengirimkan naskah fiksi (originalfic/fanfic) paling banyak 3 naskah, yang belum pernah diterbitkan di saladbowl (bagi kamu para kontributor) tapi boleh bila di media lain, ke email saladbowldetrois@gmail.com dengan subjek saladbowl author hunt.
  6. Tuliskan biodata, alamat twitter juga blog kamu (bila ada) di body email.

Bila ada persyaratan yang belum jelas atau ada yang tidak kamu pahami, silakan tulis di kotak komentar. Kami tidak akan membalas pertanyaan yang jawabannya sudah tertera di sini. Jadi, budayakan membaca dengan baik yaaa…

Lowongan akan ditutup setelah 2 slot terpenuhi, sebarkan dan beritakan ke teman-teman kamu yaa bagi yang berminat. Kami tunggu naskahnya! :D

Sampai bergabung dengan Saladbowl, see you when we see you. Tata~

.

.

.

.

Regards,

Team Saladbowl


Filed under: editor issue Tagged: Saladbowl Author Hunt
Viewing all 585 articles
Browse latest View live