Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all 585 articles
Browse latest View live

[FICLET] Nama.

$
0
0

nama

*

– kekurawal –

disclaimer: semua pemilihan nama tokoh dipilih untuk memenuhi kebutuhan pelengkap dan keselarasan cerita.

*

Setia Budi.

Anak perempuan itu tertawa ramai bersama dua puluh dua siswa kelas tiga, di empat detik pertama mereka mendengar nama tersebut. Bukannya bermuka merah padam karena ditertawakan, anak laki-laki yang mengenalkan diri di depan kelas itu justru tersenyum lebar dan menganggap gempuran tawa tersebut adalah sebuah sambutan yang menyenangkan. Budi. Akhirnya mereka bertemu dengan visualisasi nama yang acap kali menjadi tokoh dalam contoh kalimat yang dibuat guru bahasa Indonesia mereka.

“Bud, nama ayahmu siapa?”

“Bukan Setia kan? Ayah yang setia mengikuti kemanapun Budi pergi? Hahahaha.”

“Bud, kalau ibumu pergi ke pasar, kasih tahu ya, aku mau nitip kue lapis sama kucur. Ibumu biasanya pergi ke pasar jam berapa?”

“Teman-teman, aku udah tahu nama ayah Budi. Sugiman!”

“Bu guru, mulai sekarang kalau buat contoh kalimat soal ayah Budi, ganti tulisan ‘ayah Budi’ jadi ‘Sugiman’ ya!”

Mereka tertawa. Dia ikut tertawa, lebih terbahak dan nyaring dari semua.

“Eh, si Wati jadi punya pasangan, dong. Namanya kan juga sering ada di buku pelajaran. Lalu Budi dan Wati hidup bahagia selamanya.”

Teman-temannya mengarang bahagia. Anak laki-laki itu bengong. Anak perempuan itu berhenti tertawa. Sejak hari itu, dia mulai membencinya.

__

Setia Budi.

Gadis itu terperangah dalam tunduk mendengar nama tersebut. Mengangkat kepala dan melihat sesosok tegap dengan kemeja abu berpola kotak yang seluruh kancingnya dibiarkan tak terpasang, menampilkan kaus hitam bergambar tokoh pejuang HAM dibaliknya. Dia tersenyum lebar. “Selamat datang di kios kami, semoga betah dan bisa saling bekerja sama.” Dia menamai kantor berita nasional ini sebagai kios. Mereka, para wartawan magang, hanya ikut tersenyum selebar mungkin demi menyanggupi kalimatnya.

Di hari pertama, mereka mendapat tugas mengenali seluruh isi kantor dan orang-orang yang mendiami setiap divisi.

“Divisi keredaksian. Pemimpin Redaksinya Satya.”

“Pak Setia?”

Nggak. Kami semua memanggilnya Satya. Biar kedengaran lebih keren. Setia is too ancient. Apalagi Budi. Pemakaian namanya dan keluarganya udah nggak dipake lagi di buku teks bahasa Indonesia jaman sekarang. Semua itu produk orde baru. Ayah Budi nggak lagi ke sawah karena udah jadi juragan tanah, ibunya udah males ke pasar, lebih suka belanja lewat online.”

Dia tertawa di balik bilik kerjanya. Jangan mendogma anak baru dengan cara berpikirmu yang ganjil itu, Dit, katanya. “Terserah manggil saya apa, yang penting jangan ditempeli ‘Pak’. Saya cuma sekian tahun di atas kalian.”

“’Sekian’ yang bisa jadi sepuluh tahun.” Pak Radit tak terima. Dia tertawa lagi.Gadis itu tersenyum. Dia lebih suka modifikasi panggilan itu. Kalau tidak, dia mungkin akan membencinya.

__

Setia Budi,

kunikahkan engkau dengan perempuan bernama Dinarwati Ningsih binti Husni yang walinya mewakilkan padaku dengan maskawin uang lima juta enam ratus dua ribu dua rupiah, tunai.

Dia mengulang sumpah itu dengan mulus, lantas semua orang di ruangan berbarengan mengusap dada syukur seraya menjawab tanya sah dari penghulu. Dia tersenyum lebar, tatapnya tersirat lega pada penghulu, pada sekeliling, lalu pada seorang berkebaya putih dengan ekspresi gugup di sampingnya.

Sah. Ucapnya dalam gerak bibir.

__

Dinarwati Ningsih.

“Kenapa?”

“Kenapa apa?”

“Kenapa dulu benci saya karena nama saya?”

“Karena namaku Wati.”

“Kenapa?”

“Kenapa apa lagi?”

“Kenapa benci saya karena nama saya karena namamu Wati?”

Wanita itu mengubah posisinya dari berbaring menjadi duduk tegak di atas tempat tidur. “Mereka mengolokku sejak kamu datang. Aku tak pernah punya masalah dengan namaku sebelumnya. Tapi sejak kamu mengenalkan diri, mereka selalu menghubungkanku denganmu. Sejak itu, aku membencimu dan membenci namaku sendiri.” Laki-laki itu tersenyum dan ikut mengangkat badan, duduk menghadap istrinya.

“Kenapa?”

“Kenapa apa?”

“Kenapa tak pernah kesal atau marah setiap kali mereka mengolokmu? Kenapa justru ketawa?”

“Karena memang lucu.”

“Apanya?”

“Bagi saya, nama cuma identitas di akta lahir. Tempelan. Saya bisa punya nama Soekarno atau Brad Pitt sekalian, atau Raisa untukmu, atau apapunlah yang menurutmu atau bagi orang terdengar enak, tapi tetap badan dan isi kepala kita sama sejak lahir lalu tumbuh seperti sekarang. Saya nggak pernah berpikir nama merepresentasikan pemiliknya. It’s not his name that makes Brad Pitt big, but his work what brings his name big.

“Dan nama ayah saya bukan Sugiman, juga nggak pernah ke sawah karena dia seorang wartawan. Kamu juga tahu beliau sudah meninggal sejak saya usia setengah tahun.”

“Yang lebih lucu lagi, saya justru menyukaimu sejak kita diolok-olok di SD dulu. Lalu Budi dan Wati hidup bahagia selamanya. Kedengaran romantis, kan?”

Wanita itu tertawa. Kini dia sepenuhnya jatuh cinta.

.

.

.

*fin*

.

.

Gambar dipinjam dari sini


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Nama

Blair Vonderhauf – Prolog

$
0
0

blair

.

.

Aneh. Ajaib. Absurd, atau entah semacamnya. Tristan tidak pernah mempercayainya.

Selama 17 tahun dia menjadi seorang manusia, hidupnya biasa-biasa saja, tidak ada yang terjadi di luar batas normal. Dia tidak memiliki kekuatan super seperti Clark Kent, atau membaca pikiran orang seperti vampir kekinian di film Stephenie Meyer. Dia hanya seorang anak laki-laki biasa, yang sedang beranjak dewasa seperti anak remaja lainnya. Biasa lah, begitu-begitu saja.

Dia tidak percaya dengan hal-hal berbau mistis; hantu, renkarnasi, arwah gentayangan dan semacamnya. Hal-hal itu tidak pernah membuatnya takut, atau bergidik ngeri. Tidak. Malah sebenarnya melihat ibunya mengamuk itu jauh lebih mengerikan.

Jadi ketika dua hal aneh ini terjadi hanya dalam kurun waktu dua puluh empat jam, Tristan tidak bisa menjelaskan fenomena apa yang sedang terjadi dalam hidupnya. Yang pasti bukan puber, karena dia tahu jelas bagaimana ciri-cirinya.

.

Pengalaman pertamanya terjadi saat Tristan menghadiri pemakaman Blair Vonderhauf. Hari yang kelabu untuk Morretson High, karena di penghujung tahun senior mereka ditutup oleh berita kematian sang Prom Queen.

.

She cut her wrist, and drown herself in the bath tub.

.

Bayang-bayang kalimat itu terus terngiang di telinga Tristan. Dia memang tidak dekat dengan gadis itu. Mengobrol saja hanya sekali, itu pun dengan dua kalimat singkat saat Blair meminjam pensilnya suatu hari di kelas aljabar.

Tapi ini Blair. Tristan lebih mengenal dekat kehadiran gadis itu di restoran neneknya ketimbang di sekolah. Dan Blair adalah gadis yang ceria, yang selalu tertawa, juga memiliki banyak teman. Siapa yang akan menyangka Blair Vonderhauf akan pergi dari kisah seindah ini.

Hujan mulai turun. Satu persatu orang-orang membuka payung mereka, melindungi diri dari guyuran deras di musim panas. Ck, bahkan semuanya serempak berpayung hitam, seolah ini telah menjadi kesepakatan bersama yang telah ditetapkan protokol upacara pemakaman.

Poor little Vonderhauf…”

Komentar itu keluar dari mulut Zayd. Sahabatnya itu berdiri di sampingnya, mengenakan blazer hitam yang sengaja tidak dikancing karena kekecilan, sambil memegang ujung payung dengan canggung.

She deserves better. Dia tidak akan ada di sana kalau semua ini tidak terjadi.” Tristan menambahkan.

Blair Vonderhauf akan selalu dikenang meski sudah mati, dia yakin itu. Gadis itu bukan seseorang yang eksistansinya mudah dilupakan. Sayang sekali, Kematian merenggut kehidupannya secepat ini.

“Kau salah menilai kehidupan, My friend.” Zayd kembali berkomentar, seolah anak laki-laki itu bisa mendengar kata-kata yang hanya terucapkan di kepala Tristan saja. “Orang yang sudah ditakdirkan mati, dia akan tetap mati pada detik itu juga bagaimana pun caranya. Entah karena mungkin, tiba-tiba saja dia terserang penyakit mematikan dan tak ada yang tahu sampai segalanya terlambat…”

Zayd menoleh, lalu mengangkat bahunya. “Atau karena bunuh diri. Hari itu sudah saatnya dia mati, sayang saja dia yang harus mengakhirinya sendiri.”

Tristan menoleh pada Zayd begitu temannya itu memalingkan muka, kembali menatap lurus pada pemimpin upacara. Sang pendeta gereja menaikkan volume bicaranya, yang mulai sayup-sayup tertutup suara derasnya air hujan.

Tiba-tiba saja Tristan menangkap sosok asing, yang sepertinya dia kenal, saat tak sengaja memandang jauh keluar kerumunan. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berdiri di bawah pohon ek tak jauh dari sana. Tristan tidak bisa melihat wajahnya. Tidak terlalu jelas dilihat dari jauh, apalagi dengan riuh air hujan menyerbu jarak pandangnya.

Yang bisa dia lihat, orang itu mengenakan mantel panjang berwarna gelap—semacam overcoat yang orang pakai di musim dingin, rambutnya panjang. Dan tidak seperti semua orang di kerumunan ini, dia tidak memakai payung sama sekali.

Selama sepersekian detik Tristan merasa ada yang aneh, seperti ada sesuatu yang seharusnya dia komentari, tapi tidak bisa menemukan titik permasalahnya. Dia berpikir.

Dua detik berlalu, dan dia terkejap begitu menyadari apa yang mengusiknya sekilas ini. Bukan karena orang itu memakai mantel musim dingin di tengah musim panas. Tapi…

Karena orang asing itu tidak basah di tengah hujan ini.

“Zayd, kau pernah melihat laki-laki itu? Sepertinya aku melihatnya kemarin di depan restoran nenekku.” Tristan memberitahu Zayd sambil menunjuk orang yang dia maskud dengan ibu jarinya.

“Siapa?”

“Orang it—“ Tristan menoleh lagi ke tempat yang dia tunjuk. Si tinggi berambut panjang sudah menghilang. Tristan memiringkan kepalanya heran. Makin heran lagi, ketika dia tidak melihat sosok itu di manapun hingga upacara pemakaman berakhir.

.

Saat Tristan terbangun keesokan harinya, dia sudah lupa dengan kejadian aneh ini. Kemunculan dan menghilangnya sosok asing yang familiar itu sempat membuatnya penasaran beberapa saat, tapi karena Zayd banyak bercerita hari itu, Tristan mencoba untuk melupakannya. Toh orang itu juga bukan siapa-siapa.

D1 tanpa Blair Vonderhauf, Tristan memutuskan untuk melabeli hari ini. Mungkin dia satu di antara banyak anak Morettson yang melakukan hal yang sama. Melabeli harinya.

Blair adalah sosok yang fenomenal, selain karena tidak setiap hari kota kecil mereka ditinggali oleh keturunan keluarga legenda se-Amerika Serikat, jika orang harus menganalogikan sebuah kesempurnaan, maka mereka akan menyebut nama Blair Vonderhauf sebagai thesaurus-nya.

D1 tanpa Blair Vonderhauf terasa seperti déjà vu bagi Tristan. Dimulai dari kran air yang tiba-tiba macet saat dia sedang menyikat gigi—dia terpaksa berkumur dengan air es karenanya; lalu ibunya yang—entah sengaja atau tidak, karena ini pernah terjadi sebelumnya—menumpahkan jus jeruk ke kemejanya, padahal sudah waktunya dia berangkat ke sekolah; dan ayahnya yang tiba-tiba saja ingin menemui dokter Finks untuk mencabut gigi gerahamnya yang sudah rusak.

“Bukannya gigi gerahammu sudah dicabut dokter Finks entah kapan dulu itu, Pa?”

“Oh, ya? Tapi kenapa aku melihat masih ada satu gigi geraham bolong yang belum dicabut, ya?” Hanya itu jawaban ayahnya ketika ditanya, sambil membuka mulutnya lebar-lebar di depan kaca spion.

Zayd sudah menunggu tak jauh di depan pintu sekolah begitu Tristan turun dari mobil. Anak laki-laki itu berjalan cepat ke arahnya, dan sambil mengedikkan dagu saling menyapa.

How’s your day, Kafeer?”

Weird.” Tristan menjawab singkat. Dia lalu bercerita tentang kran, juga ulah ibu dan ayahnya pagi ini, yang anehnya, dia seolah merasa pernah melakukan obrolan ini dulu.

“Rasanya seperti déjà vu, you know, aku merasa seperti pernah mengalami hal-hal semacam ini sebelumnya. Penampilanmu hari ini juga aneh, kupikir kau sudah membuang kaos itu.” Tristan menunjuk kaos ‘Change the World’ yang selalu Zayd katakan kampungan desainnya, tapi masih saja dipakai tiap waktu.

Ha! I’m planning to throw it out soon.

You said that ages ago. Déjà vu.” Tristan menggarisbawahi istilah itu sekali lagi.

“Yeah? Bagaimana dengan ini? Mr. Rockefeller ingin kau menemuinya di lab nanti, katanya dia ingin kau menyelesaikan essaimu untuk Harvard besok. Kelihatannya kau akan dapat jawaban beasiswamu dalam waktu dekat ini.”

Ya. Untuk yang satu itu, Zayd berhasil membuat Tristan berhenti melangkah. Dari semua keabsurdan yang terjadi padanya hari ini, yang baru saja Zayd katakan padanya adalah sang juara. Untuk sekarang. Bagaimana mungkin guru kimianya meminta essai yang sudah diselesaikannya sebulan yang lalu? Bercanda dia!

“Ha-ha, Zayd. Kalau ini maksudnya kau memberiku selamat akan beasiswa yang kuterima, you did excellent. Kreatif. Weird.”

Get over yourself, Kafeer. Kau ini memang hebat, tapi jangan takabur. Selalu bersiaplah dengan yang terburuk, karena kau tidak akan tahu…”

Suara Zayd memudar seperti radio yang volumenya dikecilkan, ketika refleks Tristan berpaling ke arah lain. Ada yang tidak biasa begitu mereka melewati lorong loker para siswa. Sejak beberapa hari yang lalu loker milik Blair dipenuhi dengan buket bunga, foto-foto dan lilin-lilin yang menyala untuk montase kenangan gadis itu, tapi hari ini semua atribut itu telah dibersihkan.

Biasanya bila seorang siswa meninggal, persembahan montase kenangan untuk sang mendiang akan tetap berada di sekitar lokernya hingga hampir sebulan. Tapi ini tidak ada seminggu, dan orang-orang tampaknya memutuskan untuk melupakan Blair begitu saja dan melanjutkan hari mereka tanpanya?

Hari ini adalah hari terakhir sekolah. Besok para senior akan diwisuda, dan Blair tidak akan berada di sana. Begitu juga dengan memorinya.

Sayang sekali.

Dan puncak dari seluruh keabnormalan harinya, yang membuat Tristan bertanya-tanya apakah dia sudah gila selama seperempat detik itu…

Adalah ketika sosok yang dipikirkannya selama dua hari ini muncul dari ujung koridor. Dengan rambut panjang yang hitam legam terurai cantik ke belakang bahu, dengan rok dan kemeja tipis berwarna pastel yang selalu menjadi favorit, senyum yang merekah lebar, kehadiran yang selalu menarik perhatian tiap pasang mata.

Mulut Tristan menganga tidak percaya saat Blair Vonderhauf berjalan bersama dua temannya memasuki sekolah. Tidak mungkin.

BLAIR VONDERHAUF MUNCUL DI SEKOLAH.

Bagaimana mungkin??

“Blair, dia bukannya…” Tristan tidak bisa bicara. Dia bahkan tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi. Mendadak kepalanya pusing, dahinya berkerut dalam. Dia harus bersandar.

“Hei, kau baik-baik saja?” Zayd bertanya ketika Tristan tiba-tiba berdiri kaku menghadapnya, gemetaran.

Dude, you’re being weird. Aku tahu kau naksir Blair, dan sebentar lagi kita lulus, dan kau terancam akan meninggalkan sekolah tanpa pernah membiarkan dia tahu kau menyukainya. Tapi tidak seperti ini juga, kau membuatku cemas. Apa kita perlu ke klinik dan menyembunyikanmu di sana?”

Dalam keadaan normal, bila Zayd bicara seperti itu di depannya, anak itu tidak akan lolos dia hajar. Tapi Tristan seolah tidak mendengar kicauan itu, dia tidak bisa berpikir.

Bagaimana bisa Blair berada di sini?

Semua ini aneh. Semua sejak awal. Entah ini matanya yang mengelabuhinya, atau selama ini dia bermimpi.

“Tapi aku melihat dia dikubur.” Tristan mulai meracau. Kedua tangannya bersandar pada loker di dekatnya.

Tidak mungkin.

“Siapa yang dibukur? Dude, apa aku perlu benar-benar cemas sekarang?”

Aneh. Absurd. Impossible.

Tristan tidak bisa menjelaskan kejadian apa ini. Dia tidak mungkin gila hanya karena Blair Vonderhauf. Tapi kalau dia tidak gila, orang yang sudah mati seharusnya tidak kembali.

Iya, kan?

.

.

.

.

 * * *

A year of no-posting show.

My hands got a little bit itchy, awkward prolog. Yet, I hope you’d like my new fiction series. :)

Comments would be much appreciated ~love love~

.

credit image: pinterest


Filed under: original fiction, series Tagged: Blair Vonderhauf

Something About Distance

$
0
0

Because distance won’t separate us.
That’s all I believe.



“Kamu kok belum tidur sih?”
Natya melirik sudut kanan atas layar laptopnya dan mendapati ternyata saat ini sudah lewat setengah jam dari pukul satu, pantas saja Juno melontarkan pertanyaan tadi.
“Masih ngerjain paper nih. Besok deadline-nya,” gadis itu menjawab seraya menggigit bibir dan merapikan cepolan rambutnya yang mulai tak teratur di atas kepalanya.
“Kamu sendiri tumben telepon jam segini? Lagian kan ini baru hari Jumat, Bi …”
“Terus kenapa? Emang ada larangan tertulisnya gitu?”
“Ya nggak gitu … Maksud aku kan besok juga kita ketemu …”
Yang dimaksud Natya dengan bertemu adalah; dia duduk di hadapan laptop di dalam kamarnya dan Juno menghadapi laptopnya juga, mengobrol, ‘bertatap muka’ lewat webcam masing-masing. Ya, hubungan semacam itulah yang sedang mereka jalani selama nyaris tiga tahun belakangan ini. Hubungan yang bisa dibilang cukup menantang, sebab belum tentu setiap orang akan mampu menjalaninya, mengingat sejumlah resiko yang cukup riskan dalam hubungan macam ini.
“Aku kangen kamu, Nat …” Juno menyahut pendek dari ujung ponselnya.
Natya menelan ludah. Getir rasanya. Dia paling tidak tahan bila lelaki itu bersikap begini, membuatnya mellow tanpa tahu waktu. Seharusnya Juno tahu dan bisa merasa bahwa di sini dia juga merasakan hal yang sama. Natya bahkan berani bertaruh bila rasa rindu yang dipendamnya untuk lelaki itu jauh lebih besar daripada yang Juno miliki.
“Emangnya aku enggak?”
Hanya terdengar kekehan pelan dan hambar dari bibir lelaki itu, dia yakin benar bila gadis itu saat ini tengah menahan diri untuk tidak menangis, tapi Juno dengan jelas mendengar bahwa suara Natya mulai parau dan bergetar di ujung sana.
“Jangan nangis dong, Bunny …”
Terlambat. Sebelah mata Natya baru saja meluncurkan cairan hangat yang sebenarnya sudah ditahannya. Gadis itu mengusap pelan pipinya sebelum kemudian menarik napas panjang, mencoba menata emosinya yang mendadak mellow beberapa saat tadi.
“Abis kamu gitu sih … Suka banget bikin aku sedih …”
Sorry deh. Ya udah, sekarang lanjutin tugas kamu sana. See you tomorrow.”
~
Tak pernah sekalipun terlintas di benak Natya bahwa fase semacam ini akan pernah mampir di dalam kehidupannya.
Tapi, di sinilah kini dia berada. Menghadapi bentangan jarak yang menganga di antara dua benua. Menyiasati perbedaan-perbedaan yang ada seraya terus memupuk asa. Bahwa kelak mereka akan menghabiskan waktu bersama di hari tua.

Semoga…

***

Well… Here goes my post after like ages ago, hehe… Hope you guys enjoy it! ;)

[ditunggu saran dan kritiknya ya, Gaes…]


Filed under: Uncategorized

Dayoungie Story: Coca Cola

$
0
0

NhQ1o

Dayoung menggandeng tangan Luhan dengan erat. Kata Eomma, kalau jalan di pinggir jalan besar harus berpegangan kuat dengan orang dewasa. Walaupun Dayoung tidak mengerti orang dewasa itu seperti apa. Tapi sejak keluar dari apartemennya, Luhan sudah menggandeng tangan Dayoung.

“Lulu, Lulu orang dewasa?” tanya Dayoung dengan muka serius.

Luhan hanya diam. Mau berkata iya, tapi usianya sendiri juga belum menginjak delapan belas tahun, belum masuk kategori orang dewasa.

Mereka sampai di vending machine di dekat toko buku favorit Dayoung karena di sana dipajang boneka unicorn yang besarnya seperti Kris. Bukan seperti Luhan, karena Luhan lebih kecil dari Kris.

“Dayoungie mau apa?”

“Jus timun!”

“Di sini tidak ada jus timun!”

“Eomma suka minum jus timun!” protes Dayoungie.

“Jus jeruk saja ya?” tawar Luhan.

Dayoung mengedikkan bahunya dan berkata “Whatever.” Luhan rasanya ingin menjitak kepala Dayoungie, dari mana dia mendapat kata itu!

Setelah membelikan jus jeruk dalam kaleng untuk Dayoung, Luhan membeli minuman untuk dirinya sendiri.

“Lulu, itu apa?” tanya Dayoungie penasaran.

“Coca Cola.”

“Koka Koka?”

“Kooo-Kaaa-Kooo-Laaa…” Luhan berkata lambat-lambat.

“Koo-Kaa-Koo-Kaaa…” tiru Dayoungie.

Giliran Luhan yang mengedikkan bahu.

“Dayoungie mau coba!”

Tanpa basa-basi Luhan langsung menyodorkan minumannya. Satu detik kemudian, raut wajah Dayoung berubah, mukanya menunjukkan ekspresi aneh dan seperti baru saja makan buah lemon yang asam.

“Lulu mau meracuni Dayoungi ya!” teriak Dayoung.

Luhan benar-benar ingin menjitak kepala Dayoungie. Anak itu terlalu banyak menghabiskan harinya menonton TV. Pasti itu ulah Kris!

-o-

Hiiii Aku rindu Saladbowl <3


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Dayoungie Story, Lu Han, Yoon Dayoung

[FICLET] Hagia

$
0
0

tumblr_np810yMoH81rtxv6ho1_500

credit pict: Rewinda Omar

Seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami

(Hagia, dari Barasuara)

.

Pangku hendak memasuki kamar yang luasnya tak seberapa. Bau pesing dimana-mana, rasa sepi dan keputusasaan menggantung di udara. Entah mengapa ia merasa bahwa siapapun yang masuk ke sana akan merasa dekat dengan kematian. Terlebih ketika melihat sosok itu terkulai nahas di atas ranjang berkasur lepek yang spreinya sudah bau dan kotor. Kasihan, pasti sudah berminggu-minggu tidak diganti. Lagipula, siapa yang mau mengganti? Ia hidup sendirian, sementara para tetangga terlalu sibuk mengobati lukanya sendiri. Kulit di sekujur tubuhnya keriput, ribuan bulu di kepalanya memutih sempurna. Wajahnya tampak mengemis belas kasihan; tulang pipi yang menonjol, sisa-sisa dosa yang mencuat, pula celah di bibir yang menghantarkan napas-napas pendek yang bisa kapan saja terhenti. Sekilas sosok itu terlihat seperti malaikat, yah meski tak tahu juga malaikat apa. Malaikat penjaga pintu neraka, mungkin? Entahlah.

Omong-omong, bulan depan usianya genap tujuh puluh tahun. Usia yang ideal untuk mati, apalagi untuk orang penyakitan seperti dia. Pangku tertawa dalam hati. Sudah mulai percaya bahwa opini-opini durhaka yang menyembul itu memang benar ditujukan untuk ayahnya sendiri. Ia berdiri diambang pintu, membiarkan irisnya melahap figur sang ayah sampai puas.

Suhu udara malam ini 21 derajat celcius dan orang normal pasti tidak mau tidur cuma pakai sarung seperti itu. Ah, sebenarnya ia juga normal seperti yang lain, sayang, selimutnya sudah tipis dan bolong di beberapa bagian, dan bau. Pangku menenggelamkan kedua tangan di saku jaket—oh—ia bisa saja bersikap sok heroik dengan melepas jaket dan menyampirkannya di tubuh sang ayah, tapi tidak, itu menjijikkan. Biarkan saja ia kedinginan, syukur-syukur mati. Tapi tidak mungkin ia mati sebelum sepasang tangannya bergerak sendiri. Ia berdecak sebal, mengkritik kinerja malaikat pencabut nyawa yang lelet dalam menjalankan tugasnya. Tunggu, mungkin memang belum waktunya ayahnya itu mati. Tapi paling tidak, seharusnya para malaikat itu tahu manusia-manusia mana saja yang layak untuk mati duluan, lalu mengusulkannya pada Tuhan. Tentu itu bukan hal yang buruk.

Ah, kalau begini caranya kenapa bukan aku saja yang ditunjuk sebagai malaikat? benaknya merutuk serius.

Pangku berjalan mendekat kepada lelaki yang sudah menyeludupkan dirinya ke Bumi 29 tahun lalu. Sumpah mati, lagi-lagi Tuhan salah memilih perantara. Sebetulnya ia senang bisa transit di dunia yang penuh drama ini, tapi kesenangannya terganjal karena kesalahan yang Tuhan lakukan. Aduh, ini rumit. Ia tidak enak sebenarnya menyalah-nyalahkan Tuhan, tapi jika dikembalikan lagi, itu hanyalah manifestasi dari kinerja otaknya yang masih baik sampai detik ini. Kata ibunya, ia harus kritis terhadap segala sesuatu. Kata ibunya, ia harus mempertanyakan setiap hal tak peduli sekecil apapun itu. Kata ibunya, ia tak boleh ragu mencari tahu hal-hal yang tak ia pahami. Kata ibunya, jangan biarkan dirinya tercemar polusi kemalasan dan kedunguan. Sekeren itukah ibunya? Ya, tapi sayang orang keren itu hidupnya harus berakhir dengan cara yang tidak keren, di tangan seseorang yang tidak lebih keren yaitu, suaminya sendiri.

Dulu, sewaktu tingginya masih sebatas pinggang ayahnya, Pangku pernah melihat orangtuanya bertengkar. Semua berlalu dengan begitu cepat, saking cepatnya ia sampai tidak tahu bagaimana persisnya wanita itu meregang nyawa. Pokoknya saat itu ada gedebuk keras dan suara ibunya tidak terdengar lagi. Laki-laki yang sialnya adalah ayahnya sendiri itu kemudian mengampiri, wajahnya merah dan matanya lebar—menampilkan pandangan terkalut yang pernah ada, Pangku tersedot ke sana; jauh dan dalam sekali.

“Itu kecelakaan, ayah nggak bunuh ibu.” Begitu katanya.

Pangku takut, dan untuk pertama kalinya dalam delapan tahun, ia paham apa itu dendam kesumat. Bagaimana tidak? Ayahnya membual kepada semua orang, merangkai cerita pilu tentang kepergian sang istri dengan tidak sebenarnya, dan ketika dirinya sibuk menyampaikan kebenaran melalui isyarat-isyarat frustrasi dari sepasang tangannya, tak ada yang sudi mempercayai.

Benar. Siapa juga yang mau percaya kepada bocah delapan tahun yang bisu? Pangku tertawa kering mengingatnya.

Sejak saat itu sisa hidupnya dipenuhi oleh kata ‘seandainya’. Ia malas mendikte kalimat-kalimat berawalan kata ‘seandainya’ yang hadir selama kurang lebih dua puluh tahun terakhir. Habis banyaknya melebihi jumlah pelacur yang ada di seluruh dunia, sih. Tapi—yah—ada satu kalimat yang paling ia suka yaitu, seandainya saja aku membunuhnya saat itu juga. Kalaupun masuk penjara palingan cuma berapa lama, sih? Pasti tidak akan lebih lama dari jarak antara pintu neraka yang satu ke neraka yang lain.

Oh iya. Katanya, di sepertiga malam, malaikat-malaikat turun ke Bumi dan Tuhan akan mengabulkan doa manusia-manusia yang terjaga. Apa benar begitu? Ia terjaga di depan ayahnya sekarang, bersiap untuk memanjatkan bait doa paling adil yang ia pernah dengar. Katanya, Tuhan itu Maha Mengetahui sesuatu melebihi siapapun dan apapun. Lalu bagaimana dengan ini? Tentu saja ia tak perlu merunut kejadian, perasaan, dan pemikiran yang meledak setelah bencana keparat itu menimpa dirinya. Ia Maha Mengetahui, bukan? Jadi untuk apa ia repot-repot ‘memuntahkan monolog’ berisi penjelasan? Buang-buang waktu saja.

Pangku menghela napas berat lantas berpikir. Ah begini saja, ayahnya yang tercinta ini ‘kan sudah tua dan sakit-sakitan; cuma merepotkan mereka yang sehat. Ia yakin sekali kalau ayahnya juga ingin cepat mati dan diam-diam berdoa supaya penjemputannya dipercepat. Kalau saja ayahnya kaya raya, mungkin ia akan meminta salah satu anggota keluarga untuk mengirimkannya ke Dignitas. Pangku yakin sekali.

Hei, sebetulnya ini adalah kesempatan bagus. Mumpung dirinya sedang sukarela, dan… sebentar, jika dipikir lagi sepertinya ini layak disebut simbiosis mutualisme. Ia akan membantu ayahnya mati, sehingga ayahnya tak perlu kesakitan lagi. Sementara dirinya, tentu saja setelah ini beban hidupnya yang sebesar planet Jupiter akan menyusut menjadi sebesar batu kerikil saja. Menyenangkan, bukan? Belum lagi, dirinya akan mengampuni sang ayah yang telah membuatnya merugi akan kepergian ibunya. Ya, ini adalah bentuk pengampunan atas ayahnya. Meskipun pada akhirnya akan melahirkan dosa tapi ia tidak boleh lupa bahwa di sana masih ada Tuhan yang akan mengampuni dosanya juga. Pengampunan berantai? Terdengar menyenangkan.

Jadi, cara seperti apa yang sekiranya pas untuk mengakhiri hidup lelaki itu? Pangku tersenyum memikirkannya, ia sudah tak sabar.

-fin.

A/N:

  • Fiksi ini terinspirasi dari penggalan lirik lagu Hagia dari Barasuara.
  • Um, dan saya baru tahu kalau lirik itu diambil dari Doa Bapa Kami.
  • Maaf kalo saya salah interpretasi, ya. Kalau ada yang merasa kurang berkenan tolong bilang. Nanti tulisannya akan saya tarik lagi. Terimakasih.

Filed under: one shot, original fiction Tagged: Hagia

[FICLET] Bystander

$
0
0

images credit image

 

–aminocte–

 

Kurasa… tidak seharusnya kita seperti ini.

 

Bu Katya telah keluar dari kelas sejak beberapa menit yang lalu. Tidak pernah aku melihat beliau semarah itu. Tanpa ucapan salam, tanpa senyum lebar –yang acapkali terkesan kikuk-, Bu Katya meninggalkan kami tanpa penjelasan.

Barisan siswa rajin yang selalu duduk di deretan paling depan menatap beberapa orang di antara kami dengan sorot mata benci. Dinar, salah seorang dari mereka berkata bahwa ini semua salah penghuni deretan belakang. Ya, bukan salah kita, kata mereka. Mereka sudah melakukan yang terbaik untuk menjadi anak baik:  menyimak, mencatat, mengangguk jika perlu, serta menjawab jika ditanya. Telunjuknya tertuju pada Rian, yang senang berpenampilan dan bertingkah seenak hatinya.

Rian lantas berdiri, tidak terima dituding seperti itu. Ia mengaku tidak menyukai cara mengajar Bu Katya sejak awal. Penyampaian Bu Katya terlalu cepat. Penjelasan beliau sulit dipahami dan sering meloncat-loncat ke sana ke mari.

“Kalian harus minta maaf,” ujar Dinar.

“Tidak bisa. Memangnya hanya kami yang salah?” Rian membalas, tidak terima diperintah seperti itu.

“Tentu saja. Bu Katya pasti marah besar kepada kalian, bukan kepada kami.”

Kita harus minta maaf. Tidak ada kami maupun kalian di kelas ini.

“Anu…,” Aku hendak mengutarakan pendapat, tetapi tenggorokanku mendadak tercekat.

“Kenapa tidak kalian saja yang menemui Bu Katya? Kalian ‘kan, anak emas Bu Katya? Melihat kalian datang dengan wajah memelas, pasti beliau langsung luluh.”

Tidak bisa, kita harus datang bersama-sama.

“Enak saja. Kalian berani berbuat, harus berani pula bertanggung jawab.”

Ah, sial. Kenapa sulit sekali untuk bersuara?

“Percuma. Bu Katya pasti sudah mengecap kami sebagai siswa-siswa yang sulit diatur. Aku mendengar sendiri beliau membicarakan kami di kantor.”

“Sudah tahu dicap jelek, masih saja berulah. Inilah akibatnya.” Dinar bersiap menyandang tasnya. “Kalau pun nantinya kami menemui Bu Katya, kami tidak akan meminta maaf mewakili kelas ini.”

Tunggu, itu egois. Mana bisa…

“Mana bisa seperti itu? Dasar egois!”

“Kau yang egois! Tidak tahu tatakrama di kelas. Bu Katya memang baru di sekolah ini, tetapi kau tidak bisa seenaknya di jam pelajaran!” Suara Dinar menggema untuk yang terakhir kalinya sebelum meninggalkan kelas.

Yang kudengar selanjutnya hanya suara-suara yang saling bersahutan. Sebagian mencemooh mereka yang telah lebih dahulu keluar kelas. Dasar penjilat, sok rajin, tidak solider, cerca mereka. Sebagian lagi dengan suka rela mendukung Rian untuk bertahan menghadapi dominasi pihak lawan. Rian tertawa puas, merasa di atas angin karena dukungan kawan-kawannya.

Sebagian lagi sibuk membela diri, merasa tidak bersalah karena berada di pihak netral. Mereka hanya diam di situasi sulit dan ikut bertepuk tangan di kala senang. Salah satu di antara mereka yang mengaku netral itu duduk di bangku tengah dengan mulut terkatup rapat. Sesekali berdeham membersihkan tenggorokan, yang entah kapan akan digunakan untuk bersuara.

Apakah kalian sudah melihat wajahnya?

Jika sudah, berarti kalian telah mengenaliku.

 

fin

 

 

 

Maaf karena baru kembali setelah sekian lama.


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Bystander

[FICLET] Lorosa’e ― January

$
0
0

lorosae

I met him again, in the south of Lorosa’e


“Kamu … kembali.”

Adalah deru ombak yang saling bertabuh mengiringi alunan suara itu ketika menyapa, mengirimkan sekelejat perasaan familiar seolah baru kemarin ia bercengkerama denganku. Aku tak perlu menebak ataupun menoleh untuk mengetahui siapa yang berdiri di sana, tentu saja, karena detik selanjutnya ia meniti langkah di atas bebatuan terjal ini dan mengambil tempat di sebelahku. Di hamparan laut biru di depan kami, layar-layar perahu nelayan terkembang di sana-sini, beberapa hendak menuju pelabuhan dan beberapa lagi menjauhi; menciptakan titik-titik kecil berwarna yang indah di atas permukaan biasan langit cerah tanpa awan.

Aku menyudahi sesi pengambilan gambar singkat kala itu, menyelempangkan tali kamera ke sekitar bahu. Aku merasakan sentuhan ringannya di lengan kiri, pun sodoran botol air minum yang masih terasa dingin di tangannya. Dia tersenyum waktu memberikannya, dan terlihat luar biasa menarik dengan dua lesungan di masing-masing pipinya―rambutnya yang hitam dan ikal menciptakan bayangan di atas kedua mata sendu itu, yang berubah cerah waktu aku meneguk dari botolnya.

“Saya … pikir, mereka bohong waktu bilang kamu … di sini.”

Pemuda itu berbicara dengan bahasa Indonesia yang terbata, dahinya mengerut setiap kali hendak mengeluarkan kata demi kata. Logat portugisnya yang kental masih menempel, namun di luar itu ia bersikeras menggunakan bahasa ibuku―ya, namun seperti yang kubilang, aku masih belum berhasil menyembunyikan senyum selama ia berbicara. Selalu terlihat bingung dan berbicara cepat sekali.

“Saya tiba tadi malam,”

“Dengan teman-teman … kamu?”

Aku mengangguk sebagai jawaban.

Detik berikutnya, ia menunjuk suatu titik di kejauhan, meneriakkan sesuatu dalam bahasa Portugis yang tidak kumengerti. Ia terlihat bersemangat, hampir melonjak dari duduknya bahkan, dan jika aku tidak refleks memeganginya mungkin ia sudah terombang-ambing beberapa meter di bawah batuan terjal ini.

“Payung. Terbang.”

Tawaku mengalir begitu saja ketika kuikuti arah tunjukan tangannya―orang-orang penerjun payung mungkin maksudnya, menyebar dalam suatu formasi cantik berjumlah enam mengarah ke lapangan terbuka tak jauh dari bibir pantai ini, dan memberikan kesan pemain figuran di samping layar para nelayan di bawahnya. Ia tersenyum, menampilkan deretan giginya yang rapi. Terus begitu hingga aku menghentikan tawaku. Kepalanya meneleng ke satu sisi, namun arah matanya mengikuti setiap gerakanku. Aku menyadarinya, karena ia melakukannya dengan begitu terang-terangan.

Ia menatapku selama beberapa saat yang hening, sementara deburan air di bawah sana masih saling berebut memeluk dinding-dinding batu. Tangan kanannya terulur, pelan dan tak terburu, menyingkirkan anak-anak rambut yang beterbangan ke sana-sini―dan ia terlihat sangat menikmati melakukannya sebandel apapun angin beraroma asin ini menerbangkannya.

Você é linda.”

Aku tidak tahu apa artinya, namun menilik dari bagaimana mimik wajahnya waktu ia membisikkan hal demikian, kuharap artinya bagus dan tidak aneh-aneh. Ia mungkin menyadari raut wajahku yang kebingungan, karena detik berikutnya sudut-sudut bibirnya terangkat lagi, memamerkan lesungan miliknya lagi. Aku bersumpah takkan pernah bosan melihatnya seperti ini.

“Pergi jalan-jalan …? Ada … pesta.”

Aku mengangguk. “Ada di desamu, kan? Saya kembali ke sini untuk meliput acara itu.” Sekaligus menemuimu lagi.

Rambut ikalnya bergoyang waktu ia bangkit dari duduknya, lantas mengulurkan tangan kanannya untuk membantuku. Kemeja putihnya kusut dan bercorak tanah di bagian bawahnya, sementara aroma campuran losion anti-nyamuk dengan air asin mengisi indera penciumanku kala ia membimbingku turun dari bebatuan terjal ini. Di belakang, perairan Timor Leste yang biru menatap kami yang jalan bersisian menuju desa, dengan lengannya melingkar di pinggangku, dan racauan bahasa Indonesianya yang masih terdengar lucu.

Teman-teman satu timku menunggu di salah satu gubuk rotan di tepi pantai, mungkin baru selesai mewawancara penduduk sekitar. Aku menyenggol rusuknya dan ia menunduk menatapku.

“Kita bertemu lagi nanti?”

Ia mengangguk, mengiyakan. “Saya akan menunggu … kamu, ya? Setelah selesai,” katanya.

Lalu ia melepaskan rangkulannya, berlari kecil ke bibir pantai tempat anak-anak desa bermain bola dari gumpalan rotan. Mereka meneriakkan sesuatu dalam bahasa Portugis, dan ia terlihat sangat bersemangat. Sementara aku mempersiapkan segalanya untuk liputan ini, ia melambai dari kejauhan, mengingatkanku akan desiran hangat air pantai dan biru laut Timor Lorosa’e.

//


  • ada yang pernah denger lagu Rita Effendy – Januari di Kota Dili? Ini kebikin gara-gara lagu itu keputer tiba-tiba di laptop, hehe. dan aku yg emang belom pernah ke sana atau ngeliat penampakan kotanya ngebikin setting juga berdasar wikipedia, cerita backpacker dari blog orang, sama video turis aussie. mohon maklum kalau settingan timor leste nya gak kerasa ehe. (mungkin yg pernah ke sana atau tinggal di sana berbagi di sini, sebenernya di sana itu spt apa keadaannya hihi.)
  • Você é linda.itu artinya kamu cantik (hasil google translate) xD
  • terima kasih banyak yg sudah bacaaa. kritik dan saran sangat diapresiasi x)

Filed under: one shot, original fiction Tagged: Lorosa'e ― January

SALADBOWL CONTRIBUTOR PROJECT 2015

$
0
0

Dear Guys,

Masih di bulan (hampir) penghujung tahun ini, Saladbowl balik lagi dengan event baru yang meriaaaaahhh…

Call for fiction bagi para penulis di negara Indonesia, untuk mengirimkan karyanya ke Saladbowl, karena kami menyiapkan 6 paket buku untuk 6 orang pemenang yang berprestasi!

((berprestasi)) ^0^

Oke, caranya begini aja:

  1. Buku yang disediakan adalah novel preloved aka secondhand yang masih terawat dengan rapi, totalnya ada 30 buku yang dibagi menjadi 6 paket. 28 buku bahasa Indonesia, 2 buku bahasa Inggris. What books are they? It’s a surprise! ehe.
  2. Kontes ini terbuka untuk umum (kecuali author saladbowl), tanpa batas minimal umur.
  3. Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
  4. Tema bebas, tanpa mengandung unsur SARA dan menyebar kebencian.
  5. Fiksi yang dikirimkan harus memiliki nilai moral, atau sesuatu yang bisa menjadi inspirasi bagi pembaca. :)
  6. Setiap kontributor mengirimkan 1 naskah, dengan ketentuan font Calibri 11, spasi 1.15, dan maksimal 5 halaman A4.
  7. Naskah dikirim dengan subjek “Saladbowl ContributorProject 2015” ke email saladbowldetrois@gmail.com, paling lambat tanggal 12 Desember 2015.
  8. Masukkan 3 poin dari daftar kata di bawah ini ke dalam fiksi kamu:

Sherlock                              troublemaker               ni hao ma

Gossip Girl                         skripsi                            A bien tout.

Star Wars                           chef                                 Absolutely delicious!

Harry Potter                      selfie                               Wakarimasu.

Legally Blonde                  psikosomatik                 Alay bingits

 

10 naskah terpilih akan diterbitkan sebagai finalis. Akan ada 2 pemenang pilihan tim Saladbowl, dan 4 favorit pembaca dengan jumlah ‘like’ terbanyak.

Ajak teman-teman kamu buat ikutan yaaa, sekalian menambah koleksi buku di rak kamu! It’s super fun!

Silakan tulis pertanyaan kamu di kotak komentar kalau ada yang belum dipahami, kami nggak akan menjawab pertanyaan yang sudah dijelaskan di atas. Kami tunggu naskah kamu!

Ciao, Carina!

.

.

Regards,

Team Saladbowl.


Filed under: editor issue Tagged: Saladbowl Contributor Project 2015


[Oneshot] Deus ex Machina

$
0
0

tumblr_mu4348FLTg1r46ej6o1_400

slovesw, 2015

.

“But we’re gonna start by
Drinking old cheap bottles of wine,
Shit talking up all night,
Saying things we haven’t for a while.”

.

Setting-nya, bertempat di sarang iblis.

Hujan pecah. Mengarungi udara dingin pekat tengah malam, menyelami relung paru para manusia dengan bau tanah mentah. Menjamu mereka si tukang begadang dengan kantuk khas malam ketika titik-titik itu mendera, jatuh dari ketinggian tropopause. Pun menggauli hiruk-pikuk kota dengan rerintikan.

Diam-diam aku menggelendoti langut; bersesakan lantaran tersumpal di sela-sela rusuk. Sudah terlupakan bertahun-tahun yang lalu. Seperti baju-baju di dasar almari yang paling jarang tersentuh, langut itu obrak-abrikan. Tak tertata dengan apik, kendati tidak berbau apak.

Ceritanya sudah kadaluarsa. Dua atau tiga tahun, sudah lupa. Akhirnya pun tidak begitu jelas, tidak begitu kentara. Khalayak awam pun tak banyak yang menahu, jadi sebenarnya tak ada impak yang begitu berarti. Kalau-kalau kejadian ini tidak terjadi, aku pun tidak bakal begitu memikirkannya. Senarai draf dan proposal-proposal itu lebih membuatku meringking ngeri di bawah lampu multiwarna itu ketimbang presensinya.

Tanpa tadang aling-aling, tamu tak diundang itu datang begitu saja.

Berpapasan di tongkrongan kawula muda, lantaran sama-sama memesan satu dari rendeng sampanye yang ditopang almari lapis kaca. Sloki-sloki berdentingan. Asap cerutunya yang pekat, tak ayal membaui penciumanku.

Tangannya yang sawo matang merambah meja bartender, mengelus peliturnya. Remanya dipangkas apik, a la Ryan Reynolds. Kemeja merah darahnya klimis minta ampun; bakteri patut lindang landai di sana.

Tak perlu hitungan di atas lima, visi mengenali figur dirinya. Lelaki yang doyan mampir di kost manakala aku masih menimang status mahasiswi. Pernah nangkring di hati juga, sebagaimana suaranya yang mengubini pekarangan kost di pagi hari. Sayang disayang, yang ditunggu di atas skuter Vario-nya bukan aku—Dea, namun Kartika.

Janggalnya, ia pun mengenaliku. Langsung indera pandang itu membeliak-menyipit ketika melihat aku, seolah matanya baru dijatuhi spotlight.

Aku juga sama beliak-sipit, kendati alasannya ialah isi sloki yang tandas separuh.

“Dea, iya ‘kan?” ia memberedel sapaan halo-hai sejenisnya.

Nyaris terpelanting dari stool, pun tergagap karena citranya dalam retina ada dua. Aku mengusap rambut asal, seolah itu bisa menutupi polahku yang on-the-way mabuk. “Ah, iya. Mas Rio kan, ini?”

“Iyalah, De. Apa mukaku tambah ganteng habis nggak ketemu bertahun-tahun?” selorohnya tanpa ampun. Cerutunya beremigrasi ke sela jari, dan dasi berantakan itu sedikit mendistraksi. Tangan kekarnya lantas menyisipi jemariku, lalu terlepas dengan serta-merta. “Tumben ke Bandung. Denger-denger kamu di luar kota, ya?”

Kepengin pilon, namun jatuhnya malah goblok sungguhan. “Ah, iya, Mas.”

Ia menarik satu stool. Slokinya di tangan kiri. “Haha, iya yang mana dulu, nih?” Tubuhnya terempas begitu saja di atas busa stool. “Mainnya ke sini, lagi. Di luar hujan, lho. Sendirian?”

Hatiku bertemperasan entah ke mana. Tercecer bersama ringkingan musik ritmik jua decap-kecup pencumbu yang lantang mondar-mandir.

“Udah biasa kok, Mas.”

“Mabuk juga, ya? Duh,” tanyanya retoris, memperhatikan polahku yang gual-gail. Setengah membangkitkan hasratku meraih ujung heels. Namun, cengir usil di sudut bibirnya itu, sudah mendampratku terlebih dahulu. “Iya deh iya, yang anak ibukota sekarang.”

Stay The Night di-mashup dengan To Ü mampir di muka rungu—kombinasi yang apik untuk menjebol gendang telinga. Tiba-tiba aku ingin iringan lagu akustik atau folk—kesannya kurang apik saja. Duh, telenovela.

“Kerja di mana, De? Masih di Jakarta?”

Membenarkan letak rok, seolah itu adalah jurus paling ampuh untuk membunuh kikuk. “Enggak, kok. Masih cari-cari, sih. Sekarang di Tangerang, Mas. Ke Bandung cuma mau kunjung ke saudara, eh kebablasan ke sini. Hehe.” Sampanye itu nganggur di atas meja. Menghela napas, “Mas Rio?”

“Aku tetep di Bandung, kok. Wijaya Karya.”

“Waduh, arsitek banyak duit, dong.”

Tawanya berkeriap, mengendal di ujung bibir. “Ah, nggak juga lah, De. Masih gini-gini aja.”

Tangannya terjulur untuk membenarkan petak kacamatanya; membuat wajahnya sedikit melankolis dan sedikit humoristis, alih-alih tipikal wajah serius, kendati penat menghiasi tiap jengkal wajahnya. Kami membicarakan pelbagai hal; mulai dari kerjaannya sebagai konsultan di perusahaan BUMN di Bandung, bergulir ke pekerjaanku di interior design yang sedang menata batu pertama di Tangerang, pun hal-hal lain sambil menyesapi minuman masing-masing.

Kala tahu pembicaraan mulai lindap, aku mengambil inisiatif tergoblok yang pernah terlintas, “Kartika sama kamu gimana, Mas? Aku udah jarang dengar kabarnya. Kita lost contact.”

Rio sesumbar senyum.  Bukan jenis yang menyenangkan. Tatkala itu juga, aku mendapati alasan konkret; mengapa undangan pernikahan Rio dan Kartika, tak kunjung terangsur di kisi-kisi pintu.

*

Rio. Bukan pasal label anggota BEM-nya yang membuatku memilih untuk menaruh hati pada lelaki ini. Bukan pula karena hobinya yang acap mentraktirku dan Kartika dikucingan. Lebih karena ringkingan tawanya di angkringan ketika tengah malam menjelang, ditemani kopi arang Jogja pun suaranya yang asal-asalan bersenandung tembang-tembang lawas; mulai dari lagu dari album The Idiot milik Iggy Pop sampai Ibu-nya Iwan Fals.

Aku jua tahu betul, alasan mengapa ia gandrung sekali mengajakku pergi ke luar, traktiran-traktiran seharga lima belas ribu rupiah itu bukan karena aku; tapi Kartika. Anak Fakultas Ilmu Politik yang dulu satu kasur denganku, dan sekarang ternyata sudah berbeda dunia denganku.

“Kartika kena kanker,” tutur Rio, bak gemuruh di siang bolong. Cerutu menthol-nya kini terisap dalam ritme yang lebih aktif ketimbang tadi, dan aku tak perlu bertanya banyak apa alasannya. Matanya membayang sejemang, dan musik disko bisa diistilahkan bak rinai tidur belaka. “Dia baru ngasih tahu aku sebulan sebelum, well, kematiannya. Duh, miripsick-lit, ya?”

“Kapan?”

“Setahun yang lalu, kira-kira.”

Entah apa yang lebih menyumbang gemap terbesar; berita tentang Kartika yang ternyata sudah angkat kaki dari dunia, atau kenyataan bahwa Rio ternyata tidak pernah menikah dengan Kartika.

“Kita udah putus lama sebelum itu, De.”

Aku termangu selama beberapa jenak.  Kuriositas itu menggantung begitu saja di petak-petak akal di mana bayangan Kartika dan aku pernah mengendap di sana. Sekarang ia melindap perlahan, seperti es karbon. Terurai dengan sendirinya.

“Kenapa nggak ada yang kasih tau aku?”

“Udah kuduga kalau kamu bakal ngomong gitu,” ia menenggak sampanye sekali, “ada beberapa alasan. Mendadak, lah; Kartika yang udah nggak bisa bicara seminggu sebelum kematiannya; dan… yah, alasan-alasan yang lain. Banyak teman kamu yang sama nggak tahunya kaya kamu kok, De.”

“Tapi aku ‘kan deket sama dia, Mas.” Tak kusangka aku berkata dengan tak terima, lalu aku terdiam; mengambil konklusi. Kematian Kartika yang dibungkam lebih mengagetkanku ketimbang yang lain.

Rio mencebikkan bibir, dan aku tahu ia enggan menjawab untuk satu silabelpun. Apa alasannya, aku tak tahu-menahu. Menthol di sudut bibirnya sudah tinggal seperempat. Kepalaku berdenyut, dan aku mulai mempertimbangkan Marlboro di suatu celah kecil di dalam tasku.

Kakiku menggerantak lantai terakota dengan repetitif. Tungkai Rio diangkat di salah satu pijakan stool. Diam-diam aku memperhatikan jungur sepatunya; mengkilap seolah baru digosok dengan batu amril. Aku tahu, di balik senyapnya ia kali ini, ia sedang merenung. Berkontemplasi diiringi figur Kartika yang menari-nari di pelupuknya.

Bagaimanapun juga, itu membuatku sedikit pilu.

“Aku turut berduka cita, Mas.”

Rio menggeragas helai rambutnya. Tak disangka-sangka, ia merespon, “Bukan sama aku ngomongnya, De.”

Aku mengeksplor mata black coal-nya. Redup, namun hangat. “Kan aku bukan pacarnya lagi,” ia menyambung. Wajahnya sendu, pun dramatis.

Aku ingin bahagia, lantaran Rio dan Kartika tak pernah memijak ke pelaminan. Aku ingin senang, karena sejatinya mereka berdua tak pernah bersama. Ironis, saat Kartika bahkan sudah di liang lahat—aku malah lebih mirip antagonis yang tanpa diekspektasikan muncul di eksodos dramanya.

“Kamu nggak pernah pengin tahu, kenapa aku dan Kartika putus?”

Aku mengusap-usap lutut. Tiba-tiba efek sampanye itu menguap dari neuron. Rio, dan pertanyaannya yang sama sekali tidak masuk akal tiba-tiba mendera kesadaranku. Pertanyaan Rio, tak pelak menyinggungku seakan ia sama sekali tak menghargai Kartika. Mentang-mentang Kartika sudah mati.

Kuputuskan untuk bertanya, “Kenapa, emang? Apa karena dia penyakitan?”

“Aku ‘kan udah bilang, kita udah putus lama setelah itu, De. Bahkan lima bulan setelah kalian—Kartika sama kamu—wisuda, terus kamu pergi ke Jakarta, kami udah putus. Meskipun kita masih berhubungan baik-baik setelah itu.”

Rokok menthol-nya diinjak begitu saja di lantai. Rio membasahi bibir, tangannya lantas silih-tindih di meja bartender. Tidak mungkin ia sedang gugup, ‘kan?

“Awalnya kupikir juga ini aneh,” katanya ganjil, “hubungan kami nggak berjalan lama setelah kamu pergi ke Jakarta. Aku sama Kartika awalnya nyaman-nyaman aja, jalanin hubungan. Tapi semakin ke sini, ada yang beda. Kita berdua jadi hambar—intinya aku jadi ngerasa aneh sama dia. Aku pun sempat bingung kenapa dulu aku bisa-bisanya suka sama Kartika. Semakin ke sini, akhirnya aku baru sadar.”

Rio tak kunjung menyambung, dan alisku sudah buru-buru naik satu tingkat sebelum aku menagih, “Sadar gimana?”

Ia mendengus, lantas tertawa. Napas mint-nya kentara, bercampur dengan aroma pekat sampanye. “Lucunya, aku baru sadar kalau sebenernya—sebenernya aku lebih sering ngasih waktu aku ke kamu, De. Bukan sama Kartika. Pantes aku ngerasa ada yang salah, tau-tau, itu kamu.”

Ia mengulum senyum; sementara aku baru sadar bahwa kami berada dalam jalan yang salah. Seakan aku dan Rio berada dalam satu mobil yang sama, lalu kami berbelok di pertigaan yang salah.

Ini salah. Dalam cara yang ganjil, mirip deus ex machina.

Aku mencengkeram pelipir meja bartender yang asimetris, selagi Rio berujar, “Kartika udah tau, De. Kucari kamu dari lama.”

Merenungi black coal yang terbingkai itu selama beberapa jenak; hanya itu yang mampu kulakukan. Kami sama-sama membisu. Sedikit tak adil kalau dipikir-pikir, saat kami sudah lama tak berserobok; lantas kali ini, tiba-tiba kami terjebak dalam satu pertemuan yang kesannya abadi, juga terasa seperti pertemuan yang pertama kali.

Tak bisa dipungkiri, aklamasi Rio itu mengundang rinai air sarat jeri di ekor mata.

.

“We’re smiling but we’re close to tears,
Even after all these years,
We just now got the feeling that we’re meeting for the first time.”

.

-selesai-


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Deus ex Machina

[FICLET] Mom, Please.

$
0
0

momplease

by fikeey

They all come to me when I’m alone―and poured by darkness.

//

Aku takut gelap.

Takut sekali.

Aku takut gelap karena ketika semuanya berwarna hitam, tidak ada seinci barang apapun yang mampu kukenal. Lemari baju hanya terlihat seperti kotak hitam yang menjulang ke langit-langit kamar; meja belajarku mirip seperti kotak harta karun perompak di film Pirates of The Caribbean―besar, misterius, dan tentu saja berwarna hitam pekat.

Mom dan Dad sudah berkali-kali memberitahuku untuk mematikan lampu setiap kali aku hendak pergi tidur. Tapi tetap saja, baru lima detik kegelapan menyelimuti ruangan rasanya napasku tercekat di tenggorokan, aku sulit bernapas. Aku melarikan tanganku lagi ke arah yang sama, sambil berdoa agar aku lebih cepat menuju ke sana sebelum bayangan―entah apakah ini hanya ada di pikiranku atau tidak―itu sempat menyentuh ujung kakiku.

Dan besok paginya, tentu saja aku akan berkilah pada Mom kalau aku lagi-lagi lupa mematikan lampunya.

Aku takut gelap.

Sumpah. Aku takut sekali.

Tapi rupanya Mom datang ke kamarku setelah aku tertidur, membuka pintu kamarku dengan suara derit pelan, dan berjalan menuju tempat tidurku. Ia mengecup dahiku pelan, lalu berbalik lagi hendak keluar. Sayangnya, aku tidak bisa mencegah Mom menyentuh saklar lampu dan mematikannya―membiarkan kegelapan menyelimutiku.

Pada keadaan begini, mustahil aku bisa bergerak cekatan. Bernapas saja sulit, bagaimana berlari ke dekat pintu yang ada di seberang tempat tidur dan menyambar saklar lampunya? Pertahananku satu-satunya kini hanyalah selimut, guling, dan bantal. Siapapun beritahu aku caranya mengubah tiga benda menyedihkan ini menjadi senjata.

Tolonglah.

Aku takut gelap.

Demi Tuhan. Aku takut sekali.

Ada yang bisa memanggilkan Mom dan Dad untukku? Tolonglah. Sebelum jari-jari kurus itu menyentuh ujung kakiku.

Aku bisa merasakannya sekarang, pelan-pelan memanjat ujung tempat tidurku.

Tolonglah.

*


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Mom Please.

[FICLET] Anai dan Kita

$
0
0

anai

Anai dan Kita
Ficlet by ilachan

Aku pernah mendengar kita tak lebih dari sekedar anai yang malang, katanya. Bahkan tak sekali kita juga disamakan dengan butiran debu pula. Semua itu lantas membuatku berpikir, sebegitu hina kah kita?

Satu persatu perumpamaan yang muncul dan disandingkan bersama kita selalu dikaitkan dengan hal yang nyaris sirna. Bahkan ku pikir angin lebih beruntung dari pada kita meski tak berwarna. Adakah hal lain yang menggambarkan diri kita dengan sempurna?

Tak ada?

Ya, setidaknya anai malang tidak dipandang sebelah mata.

Jadi, benarkah kita seperti anai-anai yang menderita? Jika iya, kapankah tiba masanya? Saat itu akan terjadi ketika hari akhir tiba. Kekacauan fatal terjadi di mana-mana. Langit yang agung akan terbelah menjadi dua. Lautan yang tidur akan bangun seolah murka. Dan gunung yang kokoh akan berlarian entah kemana.

Lihat saja bagaimana jadinya. Jika gunung yang perkasa berlarian menyelamatkan diri entah bagaimana caranya, lantas bagaimana dengan kita?

Maka dari itu, janganlah kita sekali-kali berlagak congkak dan membusungkan dada. Karena pada dasarnya kita bukan apa-apa. Gunung hanyalah perbandingan terkecil yang bisa di lihat netra. Masih banyak sesuatu yang jauh lebih besar dan perkasa di luar sana.

Sudahkah kau membayangkan betapa besarnya bumi kita? Sudahkah kau membayangkah betapa besarnya si mentari bola penuh bara? Apakah kau mengira masih ada ribuan bola api yang beratus kali lebih besar dari mentari kita? Jangankah ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan sebenarnya ada milyaran juta bola berapi yang mengambang di semesta.

Sudahkah kau berpikir, bagaimana bisa?

Ya, ada banyak bola api yang tersebar seperti debu di luar sana. Yang di temani planet dan benda asing hidup bersama. Hebatnya, meski mereka tampak berserakan dan kita yang bodoh bahkan berpikir: bagaimana jika mereka saling beradu dan sirna? Rupanya mereka tidak diam begitu saja. Mereka semua yang ada di semesta saling berjalan beriringan di garis edar masing-masing dengan seksama. Mereka akan berjalan dengan tertib dan beriringan bersama. Mereka semua bergerak dan bertasbih seperti irama.

Bukankah itu adalah sebuah bukti dari semesta yang penuh rima? Semuanya telah diatur dan tak mungkin terjadi secara kebetulan belaka.

Seharusnya, bukankah itu semua sudah cukup di tunjukkan sebagai bukti bahwa betapa hebatnya sang Maha Esa? Mulai dari yang kecil seperti anai, hingga yang perkasa di luar sana. Mulai dari yang tampak seperti kita, hingga yang hanya menggelitik saja.

Segala nikmat yang engkau dapatkan, akankah kau terus berdusta? Akankah engkau terus mengelak bahwa tiada yang Maha Kuasa?

Bangunlah saudara. Sampai kapan kau terus hidup di dalam kenikmatan dunia fana. Yang akan sirna ketika nafas kita tinggal satu dua dan dada kita sesak entah mengapa. Sadarlah saudara, bahwa segala sesuatu yang ada di dunia hanya sementara. Percuma saja engkau berusaha mulai pagi hingga matahari hilang di batas cakrawala tanpa iringan do’a.

Wahai saudara, selalu ingatlah tuhan sebelum tanah menelan kita. Masa depan kita bukanlah tentang harapan dan cita-cita. Melainkan kematian mutlak yang akan membawa kita ke kehidupan abadi berikutnya. Teman terdekat kita sebenarnya bukanlah sahabat yang senantiasa menghapus duka, melainkan sesuatu yang berdiri di ambang pintu kayu tua. Ya, dialah malaikat pencabut nyawa.

-fin-

Inspirasi: QS Al-Qariah: 4, QS Ar-Rahman: 13, QS Yasin: 38

a/n:

  • Tulisan ini sudah saya posting dengan disini dengan judul yang sama dan sedikit perubahan.
  • halo saya ila, keluarga baru di saladbowldetrois. Salam kenal untuk pembaca dan penulis di sini. Mari berkawan :)

Salam hangat,
ilachan.


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Anai dan Kita

[FICLET] Tentang Sejuk.

$
0
0

CUWDAITUsAAI2Qx

– kekurawal –

Kali berbicara soal salju. Di musim kemarau panjang yang mereka sebut panas. Dia mungkin mabuk es teh. Mulutnya tak berhenti mengocehi kristal beku itu sejak sejam belakangan seraya menenggak minuman kesukaannya itu. Baru saja dia memintaku menebak apa yang akan dilakukannya jika Bandung dijatuhi salju suatu hari nanti.

“Menadahinya lalu berjualan es serut.” Kujawab sembarangan.

“Di musim salju seperti itu? memang siapa yang mau beli?”

“Kamu sendiri.”

Dia tertawa. Aku tidak. Aku tak butuh hujan salju, cukup pohon-pohon besar yang pernah berjejer memberi sejuk di pinggir jalan di sepanjang Bandung, kembali.

“Akan kukantongi semua kristal es yang jatuh, lalu menyimpannya untuk kugantung di langit-langit kamar saat musim kemarau datang. Akan kubuka juga jasa menggantung es di kamar kepada orang-orang. Biar semua bisa merasakan sejuk.”

Enam tahun sejak percakapan itu, Bandung benar-benar dijatuhi salju. Ukurannya berlipat lebih besar dari yang sering kami lihat di negara-negara empat musim lewat film. Itu bukan salju, tapi hujan es, orang-orang bilang. Luar biasa, keajaiban alam; yang lain menambahkan. Aku tak mengikuti kelompok manapun dalam merespon kejadian itu. Hal yang langsung kuingat adalah kalimat Kali bertahun lalu, berlari ke rumah demi menemuinya membuktikan kalimatnya sendiri.

“Sudah kukantongi ke dalam termos es. Sebenarnya sih, aku ingin memakai kulkas rumah dan meminjam punya tetangga, tapi tak boleh. Hehehehe.” Aku terpana dan takjub luar biasa mendapati Kali berdiri dengan wajah puas dikelilingi termos-termos dengan bongkah es menggunung. Setengah jam kemudian, senyum puasnya lebur bersama es-es yang berserakan di halaman depan rumah. Ibunya marah dan melempar semua termos es-termos es  tersebut dan menghiraukan teriak histerisnya.

Dia menangis. Aku tertawa.

Dua puluh empat tahun sejak kejadian itu, seperti kota-kota yang lain, Bandung diserang kemarau yang sangat panjang. Lebih panjang dari yang terpanjang dalam sejarah. Kota yang dulu pernah sejuk dan nyaman bagiku, ikut-ikutan tak memberi nyaman teduh dan membekap dengan hawa panas. Tiba-tiba aku merindukan Kali dan obsesinya akan salju. Aku butuh salju, atau cukup dirinya membicarakan salju, setidaknya aku akan merasa sedikit sejuk mendengar segala deskripsinya tentang benda dingin itu.

Kupanggil dia. Tak ada sahut meski telah kuulang namanya hampir sepuluh kali. Salju. Kali. Salju. Kali. Aku menyerah. Tengkorokanku sepertinya akan hancur kalau terus kupaksa mengeluarkan suara. Ia sudah terlalu kerontang untuk kembali kuminta bekerja.

Kuputuskan untuk mengangkat badanku yang semakin ringkih oleh usia. Memperjuangkan tulang punggungku untuk menyangga semua beban agar aku bisa duduk. Kuraih gelas tinggi dengan cairan cokelat pekat kemerahan yang tersisa setengah di meja. Masih terlihat bekas bulir embun di dinding luarnya. Kubikel es yang baru bermenit lalu membuatnya dingin, kini telah mencair dan menguap. Begitu cepat.

Kupaksa kedua ujung bibirku untuk tersenyum, memandangi es teh dalam gelas yang tak bisa lagi disebut demikian karena telah berubah menjadi hangat. Sedikit terkejut, kudapati sesosok laki-laki muda tiba-tiba hadir di depanku. Aku yang lain, empat puluh tahun lalu.

Dia mulai berbicara soal salju. Di musim kemarau terpanjang yang pernah ada yang mereka sebut neraka. Dia tak mau mabuk teh hangat. Mulutnya terlihat kehausan seraya merapal tentang betapa nikmatnya bisa menenggak minuman dingin saat ini. Baru saja dia memintaku menebak apa yang akan dilakukannya jika Bandung kembali dijatuhi salju suatu hari nanti.

“Akan kukantongi semua kristal es yang jatuh, menyimpannya dan kucairkan menjadi berliter air, lalu kuminta orang-orang kelak menyiramkannya pada pohon-pohon di atas kuburku, juga kubur-kubur orang lain. Biar semua bisa merasakan sejuk. Dan, tak akan kubiarkan kau punya jatah walau sedikit.”

Kujawab demikian lantas tersenyum. Dia tidak.

 

-selesai-

 

Seperti Ila, saya juga ingin mengenalkan diri, hehe. Saya Kekurawal, author baru di Saladbowl, salam kenal semuanyaa! :D

 

 

 


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Tentang Sejuk

[Ficlet] Ketika Kau Merasa Rindu

$
0
0

by dhamalashobita

.

“Lalu, di mana aku bisa menemuimu, ayah?”

*

Rasanya ini seperti pintu surga. Semua serba putih. Jernih dan bersih, jelas-jelas berbeda dengan gubuk yang kutinggali berbelas-belas tahun lamanya. Berantakan, reyot, dan kotor penuh debu.

Hanya dengan berdiri di ambangnya, aku bisa merasakan rasa sejuk yang mungkin hanya bisa kudapatkan di lereng-lereng gunung yang letaknya pastilah tidak dekat dengan rumahku. Padahal, bisa kupastikan juga di sini tidak ada pendingin ruangan. Alat ciptaan manusia itu tidak akan berfungsi dengan baik di sini, di ruangan yang luasnya tidak terhingga, yang aku sendiri pun sangsi jika ruangan ini memiliki ujung.

Semua orang berpakaian sederhana, tanpa perhiasan. Hanya celana pendek putih, dengan kaus putih polos tanpa corak atupun tulisan. Mereka tidak mengenakan sandal, apalagi sepatu pantofel kulit yang mengilap karena terlalu sering dipoles, ataupun sepatu-sepatu berhak tinggi yang membuat tumit para wanita sakit. Semua orang berjalan penuh senyuman. Tidak ada wajah merengut karena lelah, tidak ada juga wajah-wajah penuh amarah.

Dan dari sekian banyak orang yang berlalu-lalang di hadapanku, aku melihat Ayah.

“Ayah.” Aku memanggil lirih, nyaris tidak terdengar. Tetapi semua orang yang kulihat dari ambang pintu itu menoleh, seolah aku memanggil dengan teriakan yang sangat keras. Semua orang memang menoleh, termasuk ayah.

Ayah tersenyum, melangkah pelan ke arahku sementara orang-orang lainnya kembali melanjutkan perjalanan. Kemudian dia berdiri tepat di depanku, berbataskan pintu yang kedua daunnya terbuka lebar. Kuulurkan tanganku perlahan untuk menyentuhnya, tapi percuma. Tidak ada tekstur kasar kulitnya yang gelap, tidak ada pelukan hangat yang biasa kudapatkan ketika aku rindu. Yang ada hanya sebuah selaput bening yang membatasi kami untuk saling menyentuhkan tangan.

Aku berhenti berusaha untuk menggapai tangannya. Eksistensinya memang terasa begitu nyata, tetapi rasa-rasanya aku tidak akan bisa merasakan bagaimana tangannya mengelus rambutku penuh kasih sayang. Menyebalkan memang, tetapi bagiku melihat senyumannya sudah lebih dari cukup. Pun besok-besok aku mungkin tidak bisa bertemu dengannya lagi. Jadi ini sudah lebih dari cukup.

Kuputuskan untuk berbalik. Rasa sejuknya ruang tadi semakin lama semakin terasa jauh. Hangat mulai menjalari tubuhku, hingga bulir-bulir cairan mulai membasahi pelipisku. Dominasi warna putih kebiruan yang baru saja kutinggalkan berganti merah dengan sedikit gradasi kuning. Panas itu kian menjalari tubuhku, hingga kurasa aku tidak sanggup lagi untuk melangkah. Tubuhku mungkin sudah kehilangan hampir setengah cairannya. Tidak ada air untuk melepas dahaga, bahkan ketika tenggorokanku terasa nyaris terbakar. Berhentilah aku di depan satu pintu lagi, pintu yang mungkin membawaku ke ruangan lain.

Banyak orang melakukan visualisasi pada tempat menyeramkan ini. Mereka menyebutnya neraka. Dari ambang pintu, lagi-lagi mataku melihat ke dalam. Di dalam, warna merah mendominasi. Ada bunyi bara api, juga suara jeritan dan lenguhan orang-orang yang menyakitkan jika kaudengar dan hayati lebih dalam lagi. Semua orang seperti sangat kesakitan. Orang-orang berlalu lalang dengan langkah lambat karena kaki mereka terikat oleh rantai besi. Semua menunduk, sambil menangis tersedu-sedu. Dan setiap air mata yang menetes ke lantai akan menimbulkan bunyi seperti bara yang baru terbakar, menyala, membara dalam gelap. Ya, gelap. Satu-satunya penerangan di ruangan itu adalah api-api tersebut.

Dan lagi-lagi, aku melihat ayah dari kejauhan.

“Ayah,” ujarku lirih. Alih-alih berhenti, ayah malah tetap berjalan. Mengabaikanku. Jadi kuputuskan untuk memanggilnya lebih keras.

“Ayah!”

Ia menoleh, sontak menyeret beban entah berapa kilogram yang menjerat kakinya itu untuk menemuiku di ambang pintu. Kami berdiri berseberangan, seperti cermin yang memantulkan bayang-bayang. Aku menangis. Wajah ayah penuh luka sementara aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ayah bahkan tidak dapat mengusap air matanya karena kedua tangannya diikat oleh rantai besi lainnya.

Belum sampai rinduku terbayar, dua orang algojo menarik tangannya menjauh. Seolah menemuiku adalah kesalahan besar yang dilakukan ayah. Mereka menyeretnya, menendangnya hingga jatuh berlutut kemudian memukulinya. Aku menangis. Dan ketika itu, ayah berbalik menatapku sambil tanpa suara menyuruhku segera pergi.

“Kembalilah ke tempatmu.”

Isyarat itu keluar dari mulutnya, sesaat sebelum aku kembali.

*

“Jangan macam-macam!”

Satu bisikan itu membuat lamunanku buyar. Aku melangkah mundur. Kakiku gemetar hebat ketika kuintip sedikit apa yang ada di hadapanku. Bukan visualisasi pintu surga yang menenangkan, pun neraka yang menyeramkan. Hanya ada tebing-tebing curam yang dilapisi rumput-rumput di puncaknya, kemudian tanaman-tanaman parasit liar di beberapa dinding tebing di seberang.

Potongan-potongan gambar melintas di benakku, menjadi sebuah putaran ulang film yang membuatku melangkah mundur lebih jauh. Kaki yang mungkin akan membawaku jatuh tergelincir dari tepian tebing, diriku yang berjalan tanpa henti di sebuah savana luas, rumahku yang sunyi tanpa suara gitar tua ayah, hingga kepergian ayah yang terjadi tiba-tiba.

Aku ambruk. Jatuh di kakiku sendiri, kemudian hanya bisa memeluk lututku kaku sambil menangis. Aku pikir aku hanya ingin menemui ayah.

“Seyakin apa kau dapat menemuiku? Apa kau yakin kau sudah cukup baik untuk dapat menemuiku di surga?”

Suara ayah. Ada kudengar sebuah bisik dengan kalimat tanya. Lalu, bagaimana cara menjawabnya? Apakah aku yakin aku sudah cukup baik untuk dapat menemuinya di surga?

“Kau belum cukup baik. Tidak akan pernah ada orang yang cukup baik untuk pergi ke surga. Pun aku. Maka, belum tentu kau dapat menemuiku di sana.”

Benar. Aku belum cukup baik, begitu juga dengan ayah.

“Kau akan menemuiku di neraka? Apa kau pikir kau bisa dengan mudah menemuiku di sana? Bahkan kau sekarang sudah hidup dalam nerakamu sendiri, dan kau masih belum bisa menemuiku. Orang-orang keji, orang-orang yang hatinya dipenuhi dengki, iri hati, orang-orang yang selalu memfitnah, juga orang-orang yang hanya bisa berpikiran pendek apalagi berniat mengakhiri hidupnya. Jika kau termasuk salah satu di antara mereka, kau juga tidak akan bisa menemuiku, meskipun jika kau dan aku sama-sama berada di neraka.”

“Lalu, di mana aku bisa menemuimu, Ayah?”

“Dalam tiap untaian do’a yang kau panjatkan. Dalam kasih yang kau berikan kepada sesama di sekitarmu. Dalam tiap kebajikan yang kau lakukan di setiap napas kehidupan yang kau jalani. Lewat sana aku akan selalu mendampingimu, anakku. Lewat sana, meskipun kau tidak bisa melihatku, akan selalu berada di sisimu, juga merasa bahagia lewat semua kebajikan yang kau jalani sebagai lakumu.

Ketika kau merasa rindu, jangan buang air matamu. Jangan pernah berpikir untuk menyusulku. Ketika kau merasa rindu, ingat bahwa kau bisa mengirimiku pesan lewat do’amu. Atau jika kau masih juga merasakan rindu itu, cukup pulang dan peluk ibumu. Mungkin kau lupa, ada napasku yang masih tersisa dalam hati, jiwa, dan raga ibu. Ingat, kau tidak pernah sendiri ketika kau merasa rindu.”

fin.

a/n :

  • Tulisan pernah di-posting di sini dengan judul dan isi yang sama
  • Halo! Saya keluarga baru saladbowldetrois, dhamalashobita. Cukup panggil Mala saja dan salam kenal untuk pembaca dan penulis semua! :)

Love,

dhamalashobita


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Ketika Kau Merasa Rindu

[FICLET] Selera Humor

$
0
0

large (7)

Selera Humor

by theboleroo

.

Pacarku usianya dua puluh enam tahun, pendiam, dan memiliki selera humor yang buruk. Dia jarang tertawa, sekalinya tertawa suaranya seperti orang terserang asma, dan aku tidak suka.

Suatu hari sepulang bekerja, aku mengajaknya ngopi sore. Aku capek dan stres. Bosku yang baru sangat menyebalkan dan aku ingin menendang bokongnya sampai rata.

Pacarku—seperti biasa—hanya diam dan tampak kebingungan untuk menghiburku. Sampai akhirnya, ia pun bersuara dengan sok ceria, dan mengajakku bercerita.

“Tahu, nggak?” tanyanya, mendadak sok enigmatik.

“Apa?”

“Aku punya rahasia.”

“Apaan?”

Jujur saja, sebenarnya aku tidak mau tahu dan sama sekali tidak penasaran. Bagaimana pun juga, dia tidak bisa dipercaya soal beginian.

“Aku pernah macarin anak SMP.”

Satu detik. Lima detik. Tujuh detik. Wah, di luar dugaan. Kami bertukar tatap, wajahku terlihat cukup shock sementara wajahnya biasa-biasa saja.

“Serius?”

“Iya, serius,” jawabnya sambil menyesap ristretto-nya. “Aku pernah macarin anak SMP. Dulu, waktu aku SMP.”

Tuhan, sumpah mati aku tidak ingin tertawa. Tolong jangan masukan aku ke neraka.

-fin.


Filed under: one shot, original fiction, Uncategorized Tagged: Selera Humor

[FICLET] Love Smell

$
0
0

love-poison-1920x1440

by Takyuyaki

.

.

.

Sehun mengaduk pelan kualinya. Ini sudah memasuki menit ke empat puluh tujuh dari pelajaran ramuan dan kilau mutiara yang ia harapkan dari dalam kualinya belum menampakan tanda tanda akan muncul. Yang ada saat ini cairan berwarna jingga tengah menggelegak seakan mencemooh lelaki itu dengan gelembung kecilnya.

“Oh, yuck,” serunya pelan sembari mengernyit. Ia mulai membuka lembaran diktat Ramuan tingkat lanjutnya. Mengecek siapa tau ada yang salah.

Semuanya sudah benar; satu telur Ashwinder, tujuh duri mawar, sejumput peppermint kering, bubuk Batu Bulan dan kelopak bunga Belladona. Jemari Sehun mengurut cara pembuatan pada buku diktat dan ia merasa sudah melakukan semuanya. Apa yang salah?

“Mungkin kau kurang menambahkan kelopak bunga Belladona,” ujar Kris Wu sembari memamerkan deretan gigi putihnya. Ia senang hasil kerja Sehun tidak sebagus biasanya. Karena cairan dalam kualinya pun kini tengah berubah dari warna merah menuju jingga.

“Diamlah,” Sehun mendelik kesal. Seharusnya saat ini ia sudah bisa mencium aroma favoritnya. Vanilla dengan sedikit aroma bunga dan tambahan aroma hujan. Tapi yang ada hasil ramuannya malah mengeluarkan aroma pakaian apak.

Diambang keputusasaan, Sehun mencium aroma favoritnya sekelebat melewati indra penciumannya. Ia mengendus kedalam kualinya namun bukan dari situ aroma itu menguar. Ia menoleh ke seberang tempat asrama sebelah sedang melakukan hal yang sama dengan apa yang ia lakukan sekarang; membuat Amortentia atau yang biasa disebut dengan Ramuan Cinta.

“Tuan Kim, anda membuat ramuan yang bagus sekali,” Profesor Slughorn mengambil sedikit cairan berkilau dari dalam kuali dan dalam hitungan detik seluruh kelas terdiam. Meresapi aroma favorit masing – masing.

“Aku mencium aroma permen nenas favoritku disini,” dengan sekali lambaian tongkat, seluruh botol kecil sudah terisi sendiri dengan ramuan ajaib itu. Asap berbentuk spiral sudah membumbung tinggi tanda bahwa ramuan sudah siap. “Terima kasih Tuan Kim, lima puluh angka untuk Gryffindor.”

Si pemilik kuali yang bernama lengkap Kim Kai itu hanya bisa tersenyum lebar disertai tepukan kagum seisi kelas. Sehun yang melihat itu hanya mencibir dan secara tak sengaja tatapan matanya bertemu dengan sosok yang sedang dielukan itu.

“Itu hanya suatu kebetulan,” Chanyeol menepuk bahu Sehun. “Lebih baik kita bergegas, si Longbottom itu tidak akan segan memberi kita detensi,” ujarnya sembari membersihkan meja dengan sekali ayunan tongkat.

Sehun hanya mengangkat bahu lalu berniat mengikuti langkah sahabatnya keluar kelas sebelum telinganya menangkap suatu percakapan.

“Memangnya kau mencium aroma apa Kai jika dekat dengan ramuan mematikan itu,” suara Baekhyun mengiringi langkah Kai keluar kelas. Sehun berpura- pura merapikan tas nya dan mengikuti mereka berdua dengan jarak yang cukup jauh.

“Vanilla. Aku selalu mencium aroma itu.”

Sehun terhenyak. Ia menggelengkan kepalanya berusaha untuk tidak percaya pada pendengarannya.

Aku masih normal. Tolong.

Sementara itu, Luhan yang masih tertinggal di dalam kelas sedang berusaha memantrai jubahnya.

“Sial, bagaimana cara menghilangkan bau ini.” Ia mencoba berbagai mantra namun tetap saja jubahnya mengeluarkan aroma Vanilla. Ia tidak suka.

Terlalu perempuan.

Dan tepat dibalik pintu kelas Ramuan, Lay dan Chen terkikik geli. “Sepertinya rencana kita berhasil.” Chen mengangguk.

Kemudian ia mengeluarkan sebotol kecil ramuan tidak berwarna dari dalam saku jubahnya, “Tidak salah aku mencuri ini,” ujarnya sambil mencium botol tersebut.

“Ramuan keberuntungan memang tidak pernah salah,” ujar Lay pelan.

***

Cast:

Slytherin

EXO Sehun as Oh Sehun

EXO Chanyeol as Park Chanyeol

Wu Yi Fan as Kris Wu

.

.

Gryffindor

Lu Han as Luhan

EXO Kai as Kim Kai

EXO Baekhyun as Byun Baekhyun

.

.

Ravenclaw

EXO Chen as Kim Chen

.

.

Hufflepuff

EXO Lay as Lay

.

.

Harry Potter OC:

Prof.Slughorn as Guru Ramuan

Prof. Neville Longbottom as Guru Herbologi

.

.

.

FIN

.

.

.

cieeehh sekai ciieehh kailu hahaha

aku belum siap liat Jedi sekai huhu

bye.


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Byun Baekhyun, EXO, Kim Jongin, Kris Wu, Lu Han, Oh Sehun, Park Chanyeol, taKYUyaki

[FICLET] Her Teddy Bear

$
0
0

SONY DSC

by fikeey

She’s got one hell of a knight.

//

Emma terbangun dalam keadaan yang sama; lelah, dan berbaring tanpa arah di sebelah boneka Teddy Bear pemberian orangtuanya.

Sementara cahaya matahari pagi itu merangsek masuk lewat celah-celah sempit di antara dua jalinan kurdin biru laut yang saling mengimpit, Emma tengah meratapi keadaan boneka kesayangannya―yang kini terbaring seolah tak berdaya, berantakan, dan sisa-sisa bulu cokelat yang beterbangan. Gadis kecil itu hendak bangkit dan seperti biasa, merajuk pada ibunya untuk memperbaiki Teddy lagi, ketika pintu kamarnya berderik dan sosok langsing ibunya melengang memasuki ruangan.

“Sarapan, Sayang?”

Emma menyambut ibunya yang lantas duduk dan meraih putri kecil pirangnya itu ke dalam pelukan ringan, menggeser Teddy ke sudut jauh tempat tidur supaya mereka bisa muat berdua di ranjang mungil itu. Ayah dan kakaknya pasti sudah berangkat sejak pagi tadi, karena Emma bisa membaui aroma sabun peach menguar dari tubuh ibunya, serta surai kecokelatan miliknya yang masih setengah kering. Ibunya pasti baru selesai membereskan ruang tengah, lalu menyiapkan sarapan kecil untuk Emma.

“Mom, Teddy rusak lagi.”

Ibunya terkikik, lalu menunduk memandang Emma. “Apa lagi kali ini? Kau menendangnya dalam tidur?”

“Tidak, Mom, mana mungkin?” protes Emma dengan dahi ditekuk. “Alex bilang aku selalu tidur nyenyak sekali. Bagaimana aku bisa menendang dan memukul Teddy? Lagipula, aku kan sayang Teddy.”

“Baiklah, baiklah, Pumpkin. Sekarang pergi ke kamar mandi, lalu turun untuk sarapan,” perintah ibunya sembari menghela napas sebelum mengecup dahinya. “Mom akan bawa Teddy ke bawah untuk diperbaiki. Bagaimana?”

Emma tak perlu disuruh dua kali apabila ibunya sudah mengeluarkan kalimat nego yang ini, maka ia langsung bangkit dengan satu gerakan, dan menyerang pipi ibunya dengan ciuman singkat disertai cengiran lebar. Pintu kamar mandi tertutup di belakang tubuh mungilnya, dan keran air hangat dinyalakan. Satu hal yang pasti, Teddy akan telah dalam keadaan baik waktu ia pergi tidur malam nanti.

Emma selalu sulit tidur.

Mulanya, ayah dan ibunya berpikir bahwa hal itu adalah bentuk protes diam gadis kecil mereka lantaran kepindahan mereka dari kota metropolitan Manhattan. Emma tentu harus berpisah dengan teman-teman mainnya di taman bermain, kehilangan kedai es krim favorit tempat ia dan ayahnya menghabiskan sore di akhir minggu, serta dengung lalu lintas di kala malam. Memang, tempat tinggal mereka di Manhattan hanya sebatas sebuah ruang apartemen sederhana, namun nyaman dan beraroma kekeluargaan―tapi sungguh Emma lebih menyukai tempat itu daripada rumah bertingkat dua yang luas namun sepi dan terkesan tak mudah ditinggali ini.

Well, kemudian pikiran itu terhapus begitu saja, mengingat Emma tidak pernah bisa tidur dalam keadaan gelap gulita dan kelewat sunyi―ya, aneh memang, sementara anak-anak di luar sana membutuhkan suasana hening untuk tidur, Emma justru sebaliknya. Ayah ibunya akan mendapati Emma berteriak ketakutan di tengah malam apabila salah satu dari mereka mematikan lampu kamar gadis kecil itu, bermaksud untuk membuatnya tidur lebih nyaman. Belajar dari pengalaman, Emma selalu tidur dalam keadaan terang-benderang.

Tapi nyatanya Emma menjadi sedikit lebih tenang sejak ulang tahunnya yang keenam. Ketika ayahnya menghadiahkan boneka Teddy Bear; berukuran cukup gigantis, karena sering sekali Emma jatuh tertidur sedang memeluk boneka itu dan hampir satu rumah mencari-cari di mana gerangan gadis termuda ini berada.

Dan sejak kedatangan Teddy Bear pula, Emma jarang membangunkan orang tuanya di tengah malam. Ia tidur cukup pulas, dan begitu saja, masalah selesai.

“Ingin Dad membacakan cerita?”

Emma menggeleng.

“Baiklah. Ayo sini, Dad selimuti.”

“Jangan lupa Teddy.”

Sang ayah terkekeh. “Ya, ya, bersama dengan Teddy. Tentu.”

Dan begitu selimut Emma ditarik hingga menyentuh bawa dagunya, lalu ayahnya mengecup ringan kening putrinya, ritual menidurkan Emma selesai sudah. Suasana kamarnya tidak seterang-benderang sebelumnya, karena Emma mengijinkan lampu utama dipadamkan sementara lampu tidur berhias tokoh kartun yang berbentuk kotak dan berwarna kuning di nakas menjadi sumber cahaya pengganti.

Emma jatuh terlelap lumayan cepat.

Namun nyatanya khusus malam ini ia terbangun lagi kurang lebih empat jam setelahnya―merasa kedinginan, dan butuh ke kamar mandi.

Gadis mungil itu meraba-raba tempat Teddy biasanya didudukkan, namun alih-alih menemukan bulu-bulu tebal Teddy, ia justru mendapati permukaan seprai yang kosong dan berangsur dingin. Emma berguling ke sisi lain, dan masih tidak menemukan apapun. Ia hendak menjerit―memanggil ayahnya untuk meyakinkan dirinya bahwa semua baik-baik saja atau ini hanya mimpi―ketika didengarnya suara ribut dari sudut tergelap dan terjauh di kamarnya.

Emma bangkit, bersandar pada tumpukan bantal, dan mengerjapkan matanya berkali-kali.

Di satu sisi ia sulit melihat dalam keadaan gelap, namun di sisi lain kehadiran cahaya temaram dari lampu tidur di nakas membuatnya sulit beradaptasi dengan sumber terang yang tiba-tiba.

Gadis itu baru benar-benar mendapat jawabannya setelah beberapa saat, ketika cuping telinga milik Teddy-nya muncul di bawah hujaman sinar lampu terlemah, lalu bentuk kepala besarnya serta hiasan dasi kupu-kupu merah yang terlihat cantik melingkar di lehernya. Semula, Emma mengira ia hanya berfantasi, karena telah jelas Teddy tengah menghampirinya dengan langkah diseret yang amat pelan―dan kini Teddy telah berdiri tepat di ujung tempat tidurnya.

Emma hendak menjerit, namun ketika belakangan mengetahui apa gerangan yang baru saja Teddy kalahkan di ujung tergelap ruangan itu, Emma serta-merta merangkak di atas kasur, lalu menarik Teddy ke dalam pelukannya.

Sekarang Emma tahu, siapa yang melindunginya dari makhluk-makhluk berkuku panjang dan langsing yang acapkali mengganggu tidurnya.

*


  • ada yang udah baca Mom, Please? basically ini lanjutannya hehe.
  • btw itu Teddy yang di gambar kecil emang, tapi aslinya gede. ga nemu gambar pas anak kecil meluk boneka beruang gede sih haha xD
  • makasi yang udah bacaaa!

Filed under: one shot, original fiction Tagged: Her Teddy Bear

[ONESHOT] Lelucon

$
0
0

1,639w : Segala sesuatu ada tempatnya, ada masanya. Kesiapan hati membuat segalanya sedikit lebih baik. Mungkin. : bee : first published in aineino

.

Helga menatap jam tangannya.Pukul 7. Matahari mulai terasa panas, tapi bukan berarti tubuhnya baru mulai panas. Rasanya seperti paru-parunya hampir meledak dengan panas tubuh hampir membuatnya melepas kaos saat ini juga. Dia memutuskan menyelesaikan putaran ini lalu menyudahi larinya. Lagipula, Senayan semakin dipenuhi orang, mengingat ini hari Minggu, dia semakin susah berlari tanpa halangan.

Di dekat garis finis, segerombolan remaja baru masuk. Semakin lama percakapan mereka semakin jelas terdengar. “Terus bukunya diumpetin, dikira Pak Juki nggak tahu. Abis itu Pak Juki jalan ke mejanya, terus nyuruh ngambil buku di balik meja. Begitu diliat ternyata buku Matematika! Langsung deh dimarahin si Otong. Orang lagi pelajaran Bahasa, kerajinan amat belajar Matematika, gitu kata Pak Juki.” Salah seorang di antara mereka berkata hampir tanpa bernapas.

“Dasar Otong emang gitu. Waktu kelas satu juga dia konyol banget sekelas sama gue,” yang lain menambahi sambil tertawa.

“Tunggu. Yang lucu banget bukan itu. Waktu bukunya mau dibawa ama Pak Juki… Hahaha!” si anak yang bercerita pertama tadi mendadak meledak dalam tawa. Yang lain memprotes agar dia segera melanjutkan ceritanya dan menunda tawanya. Perlu beberapa saat baginya melakukan itu. Akhirnya, “Dari dalem bukunya ada yang jatoh. Ternyata gambar Pak Juki lagi ke pasar pake selendang!”

Garis finis seolah baru saja diledakkan oleh bom suara kecil karena sekitar lima orang remaja perempuan yang sangat bersemangat mendadak meledak tertawa. Helga mengernyit dan menyukuri keputusannya menyudahi sesi olah raga hari ini.

.

Kelemahan menggunakan transportasi umum adalah banyaknya waktu terbuang. Sekarang hampir pukul setengah sembilan dan Helga belum sampai di rumah. Transjakarta berjalan santai seolah mengolok-olok rencana penumpangnya untuk pagi ini.

Setelah melewati Monas, penumpang tidak lagi terlalu banyak, seolah semua orang di Jakarta di hari Minggu hanya punya dua tiga tempat tujuan utama dalam bepergian: Senayan, Bundaran HI dan Monas. Di dekat Helga duduk tiga remaja perempuan yang sibuk bergosip. Mendadak teringat remaja-remaja di Senayan tadi, Helga tanpa berpikir langsung menghela napas.

Helga mulai mendengar ketiga remaja terkikik. Suara mereka bergumam, jadi Helga tidak mengerti bagaimana mereka bisa mengerti apa yang dikatakan satu sama lain. “Kuuus… Kuuuusss…” hanya itu yang ditangkap telinga Helga beberapa kali sebelum mereka lagi-lagi terkikik.

“Kuus..Kuus.. Terus dia marah: Emang gue kucing!” salah seorang di antara mereka bicara yang berakhir dengan ketiganya terbahak selama setengah menit sebelum yang lain, “Ssst.. sstt… eh, eh…” Seolah itu adalah isyarat, kepala ketiganya kembali mengumpul berdesakan. Aura rumpi kuat mengelilingi mereka.

Helga tidak mengerti apanya yang begiu lucu dari sebuah rumpian. Kus, kus? Sesuatu yang tidak berarti bagi Helga. Dia berharap mereka bisa terus sadar bahwa sikap sopan untuk tidak ribut di tempat umum adalah hal yang memiliki arti bagi sebagian besar penumpang lain.

.

“Pagi, Bu Prima.”

Helga menoleh dan melihat Pak Tandi, tetangganya hanya mengenakan kaos singlet, menggendong Yusuf, anak terakhirnya yang baru berusia empat tahun. Dia tersenyum, “Pagi, Pak. Sedang berolah raga?” tanyanya basa-basi.

“Ayah, lagi! Lagi!” Yusuf merengek sembari merentangkan kedua tangan ke arah ayahnya minta digendong.

Seolah melupakan Helga, Pak Tandi berkata teatrikal pada Yusuf, “Lagi? Lagi? Lagi? Sini kamoooohhh… Ngeeeeenggg…” ucapnya sambil mengangkat Yusuf ke udara, memutar-mutarnya saat sang anak merentangkan kedua tangan.

“Pesawaaaatttt!!!!” Yusuf memekik kesenangan.

Pak Tandi menoleh lagi pada Helga. “Lagi momong anak aja,” ujar lelaki itu lantang agak terengah.

“Pesawaaaaaattt!!!” Yusuf memekik lagi dan Pak Tandi kembali mengangkatnya ke udara.

Helga mengangguk pamit dan melangkah. Dia ragu Pak Tandi menyadarinya. Berjalan ke rumah, gelak tawa Yusuf kecil terus mengikutinya sampai dia menutup pintu depan.

.

Denting piring meningkahi udara. Gedung terasa panas meski blower sudah menyedot daya listrik yang demikian besar. “Prima mana?” pertanyaan Mestika mengembalikan fokus Helga.

Dia menggeleng. “Entah. Biasalah, bertualang mencari makanan. Namanya juga di tempat undangan.”

“Atau sedang merencanakan sesuatu dengan Jason,” Mestika menyipitkan mata pada Helga setelah menyuap sepotong semangka. Helga tersenyum. Sebagai orang asing, Jason, suami Mestika seolah tidak pernah bosan membuat rencana untuk jalan-jalan. “Anggi-anggi belum datang, ya?”

“Ah, iya. Aku belum melihat mereka dari tadi.” Helga memandang berkeliling mencari temannya Anggi dan Anggi. Pasangan yang secara lucu memiliki nama panggilan sama persis: Anggi.

“Mungkin anak mereka diare dan mereka tidak jadi datang,” Mestika menyeletuk sekenanya, mengundang pelototan Helga.

“Jahat, ih,” Helga menegur tapi terbenam oleh seruan Mestika.

“Itu mereka!”

Dari jauh, sepasang suami-istri datang mendorong kereta bayi. Pemnadangan aneh di tempat undangan. Begitu tiba di depan mereka, Anggi sang istri langsung meracau meminta maaf disambung meminta tolong dan sebelum Helga dan Mestika sempat mengatakan apa-apa, pasangan itu sudah melangkah menjauh untuk menyalami pengantin di pelaminan. Mestika menyeletuk lagi, “Nanny satu, Nanny dua,” ucapnya sambil menunjuk dirinya sendiri dan Helga.

Di dalam kereta bayi, sebuntal gelembung kecil menggeliat-geliat. Tangannya mengepal-ngepal ke atas dan wajahnya merah jambu. Helga berpendapat anak ini lucu sekali. Mestika tidak punya pendapat, tapi dia sibuk bertanya apakah Helga ingat nama anak ini. Sejujurnya, Helga sama sekali tidak ingat. Mestika bertanya lagi dengan panik yang ditekan, “Bagaimana kalau dia menangis? Aku harap Anggi-anggi itu tidak terlalu lama.”

Tapi antrian sangat panjang dan si bayi sepertinya merasa gerah di dalam kereta. Mestika semakin tidak bisa menekan kepanikannya. “Kau tahu cara menenangkan bayi?” Helga menjawab tidak. “Bagaimana kalau anak ini mengamuk?” Helga bilang ingin menggendongnya. “Astaga! Kau mau membunuhnya?” Mestika memulai dramanya.

Helga menggendong anak itu dan si bayi menatapnya diiringi suara cempreng tak berkosakata. “Mesti, lihat.”

“Tidak, jangan tarik aku untuk bertanggung jawab. Kau yang mela—“

“Dia tidak menangis. Lihat. Dia tersenyum.” Mestika berhenti mengoceh dan mulai terpekik-pekik senang. Beberapa orang mulai tertarik dan mereka mulai mengelilingi Helga. Seorang bapak-bapak agak tambun mendekat dengan senyum lebar dan mulai membuat wajah-wajah lucu sambil menyuarakan cilukba. Si bayi terkekeh.

Seketika, semua orang ber-“Aaaaah…” Lalu semua orang berlomba melakukan cilukba dan membuat si bayi tertawa-tawa senang.

Menurut Helga, semua bayi adalah makhluk ajaib. Asal mereka tertawa, otomatis semua orang di sekitar mereka ikut tertawa. Senang rasanya bersenang-senang bersama si bayi.

.

“Hari ini semua orang yang kutemui sedang bahagia,” Helga berkata di dalam mobil. Setelah tempat undangan, dia dan Prima, Mestika dan Jason, serta Anggi-anggi sepakat untuk berkumpul bersama untuk bersosialisasi. Awalnya Helga dan Anggi suami adalah teman kuliah. Lalu mereka mengenal Anggi istri yang mengenalkan Mestika, rekan tempat kerja yang asyik. Mestika membawa Jason, Helga mengenalkan Prima. Setelah beberapa tahun, mereka semua bersahabat dekat. Lingkaran kecil yang menyenangkan.

“Oya?” Prima menyahut. Mereka sedang pulang ke rumah sekarang. Hari sudah gelap, sudah hampir pukul setengah sembilan malam. Terima kasih pada Jakarta dan hobi macetnya di akhir pekan.

“Ya. Banyak orang tertawa hari ini. Tapi lucu.”

“Apanya?”

“Hari ini aku mendengar anak SMP menceritakan teman mereka yang dimarahi guru karena bertingkah di kelas. Menurutku itu memprihatinkan, bukan lucu.  Tapi mereka tertawa keras sekali sampai-sampai rasanya aku ingin ikut tertawa.” Prima menyalakan lampu sinyal untuk berbelok. “Lalu ada anak SMA, mereka terbahak-bahak hanya karena menemukan nama panggilan untuk teman mereka.”

“Memang apa panggilannya?”

“Kuskus.” Prima terkekeh. “Oke, itu lumayan lucu, tapi tidak selucu itu. Sampai mereka mengguncang bus.” Prima menatapnya. Helga menggigit bibir. “Ya, itu berlebihan, tapi mereka tertawa sangat keras.” Prima terkekeh lagi.

“Semua orang tertawa untuk alasan yang berbeda-beda. Aku menganggap bayi Anggi-anggi lucu aku tidak bisa berhenti tersenyum melihatnya. Dia luar biasa.” Prima diam. “Tapi buat bayi itu, yang lucu adalah saat orang bilang cilukba. Kau lihat tawanya tadi, kan?” Prima hanya tersenyum.

“Aku jadi teringat dulu. Sebelum menikah, rasanya lelucon tentang suami yang mengorok dan istri yang teledor lucu sekali. Sekarang kalau mendengarnya rasanya aku ingin membentak mereka yang mengatakannya dan menyuruh mereka tidur di sampingmu.” Helga bicara.

“Dan aku akan menyuruh mereka tinggal denganmu seminggu, lihat apa mereka tahan dengan pakaian dalam tercecer di mana-mana,” balas Prima.

“Tidak lucu.” Helga bersungut.

Prima lagi-lagi hanya tersenyum. “Aku ingat dulu sewaktu kuliah, kau tertawa lepas sekali setiap pulang dari konser-konser yang kau sukai,” kali ini pria itu yang memulai.

“Mungkin sekarang masih.” Helga berkata pelan.

Prima mendengus.

Helga mendesah. Prima tidak pernah suka konser. Tidak pernah suka musik. Tidak pernah suka seni. Helga adalah semuanya yang berbau seni. Dia berkata pelan, “Sekarang yang kau tertawakan adalah nilai dolar yang tiba-tiba melejit, pendapat politisi tentang pemilu, kecelakaan di pintu kereta.”

Selama beberapa saat tak ada yang bicara di antara mereka berdua. Sampai akhirnya Prima bicara, “Menurutmu itu tidak lucu? Orang-orang terus bicara. Mereka seolah tuli dan buta dari kecacatan mereka sendiri.” Helga menggeleng, tapi dia tak bersuara. Entah Prima tahu atau tidak, lelaki itu justru bicara lagi, “Negara kita sudah kacau. Kita sudah kacau. Kalau dilihat-lihat, itu lucu, tahu?”

Helga menggeleng lagi. Lebih tidak peduli apakah kali ini Prima tahu atau tidak.

.

Jam digital di samping tempat tidur berkedip mengganti menit. Pukul 01.13. Hari sudah berganti, namun Helga ingin tetap seperti kemarin, seperti saat semua orang tertawa bahagia. Dengkuran Prima terdengar keras, pada satu momen, dengkuran itu mencapai puncaknya dan Prima tersedak. Dulu Helga pernah menganggap itu lucu. Bagaimana Prima terlihat sangat konyol karena tersedak air liurnya sendiri. Sekarang tidak lagi.

Begitu banyak hal yang sudah berubah. Ada hal-hal yang dulu tak dia mengerti kini menjadi jelas dan lucu. Ada yang dulu begitu menggelikan namun kini terasa tawar. Setelah keguguran, misalnya. Helga bisa tertawa bersama Prima saat mereka kehilangan janin di dalam perut Helga. Prima selalu memandang semuanya dengan positif, membuatnya menjadi lelucon. Namun pada satu titik, Helga menyadari bahwa Prima hanya sedang bersikap pahit. Leluconnya selalu getir dan pada akhirnya Helga tak lagi mengerti apa yang ditertawakan pria itu.

Kepahitan terus bergulir bersama perasaan yang tertekan dan kemarahan yang ditutup-tutupi. Konflik-konflik berlalu tanpa pernah ada solusi. Orang tua yang merindukan cucu, pekerjaan yang dijadikan pelarian, meregangnya jalur komunikasi, semuanya dibuang ke belakang. Pura-pura buta, semua itu disisihkan dengan tawa palsu.

Kenapa semua orang bahagia dan lepas tertawa sementara dirinya tidak? Helga bertanya. Langit-langit sama sekali mengacuhkannya. Dengkuran Prima mengoloknya—menertawainya.

Helga ingin tertawa lepas. Ingin menemui dirinya yang dulu. Menjadi dia yang dulu. Matanya tertutup namun benaknya membuka laci nakas di samping tempat tidur. Formulir perceraian ada di sana. Menjomblo menunggu dijamah. Kapan Helga berani melamarnya? Padahal jelas-jelas saat ini kebahagiaan sudah memberinya talak tiga.

.

crack marriage

.

.kkeut.

 

#saya bee. salam halo.


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Lelucon

[FLASH FICTION] IBU PERI

$
0
0

 

“Jangan menangis lagi, anak manis.. Aku sangat menyayangimu..”
Sebuah kecupan mendarat di atas dahi gadis kecil yang sejak tadi terisak di sudut ruangan kecil serupa ruang tamu.

Beberapa detik setelah wanita berambut panjang dengan mahkota bunga di kepalanya itu mengecup gadis kecil tadi, seketika ruangan itu berubah layaknya tempat yang tak pernah terjamah manusia.
Gadis kecil berambut cokelat itupun kembali menuju kamarnya sambil sesekali masih menyeka pipinya yg basah oleh air mata.
Dia berjalan pelan, nyaris tanpa suara. Gadis itu harus mengendap-endap atau dia akan mendapat masalah bila sampai terpergok berkeliaran di koridor asrama oleh salah satu suster yang ada.
Hanya tinggal melewati satu lorong lagi, maka gadis kecil itu akan sampai di kamarnya.
Tapi…
“Dulce Maria..”
Seketika napas gadis itu tercekat. Dia kaget setengah mati.
“Suster Ceci..” sahutnya seraya menoleh ke arah suara yang memanggilnya tadi.
“Kenapa belum tidur, Sayang? Kau akan dihukum bila Suster Kepala tahu..”
“Tidak. Tolong jangan beritahu dia. Kumohon..” Gadis itu memohon dengan nada memelas.
“Sekarang pergilah tidur. Aku tidak akan memberi tahu siapapun,” jawab sang suster.
Gadis kecil itu mengangguk dan berlalu menuju kamar asramanya.
Sebelum tidur, Dulce Maria berdoa seperti biasa.
Berlutut di sisi tempat tidurnya, gadis itu kemudian merapalkan permohonannya.
“Tuhan, aku memang ingin punya ibu baru, tapi bukan nenek sihir yang pagi ini Ayah kenalkan padaku. Aku hanya ingin satu wanita yang jadi pengganti ibuku, Tuhan; Suster Ceci.”

                                     -♡-

*dalam episode: kangen nonton telenovela, terutama ‘Carita de Angel’ 😅*


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Dulce Maria, Telenovela

[ONESHOT] Citra Mencipta Citra

$
0
0

large (1)

credit pict: we heart it

by theboleroo

Aku sedang menceritakan kebenaran yang bahkan dipercaya oleh ujung kepala sampai ujung kakiku.

 .

“Tapi aku nggak sakit,” kataku tanpa sedikit pun merasa tersinggung.

Taura—lelaki yang kini sedang memasang raut tak menentu di sampingku—hanya mendesah keras dan memalingkan wajah tanpa berminat untuk menimpali pernyataanku. Sudah kubilang ratusan kali jika aku tidak sakit, tapi dia tak percaya. Itu menyebalkan, bagaimana tidak? Dulu dia adalah orang yang selalu mempercayaiku. Tapi sekarang ia tak jauh berbeda dengan mereka yang memutuskan untuk pergi satu per satu.

“Kemarin aku didatangi orang-orang itu. Mereka marah-marah, bilang kalau aku ini tukang fitnah.” Aku menjeda ceritaku, menahan rasa ngilu di dada. Aku sakit setiap mengingat ini, sumpah. “Athala yang kalian kenal itu palsu, dia nggak sesuci yang kalian pikir. Relijius, apanya? Dia tuh penjahat.”

Taura membenahi posisi duduknya, kembali mencari sepasang mataku sebelum akhirnya menatapku lama sekali. “Cit, please.”

Cuma itu yang diucapkannya dan aku pun tertawa pelan. Apanya yang ‘please’? Aku sedang menceritakan kebenaran yang bahkan dipercaya oleh ujung kepala sampai ujung kakiku. Kenapa mereka masih menganggapku mengada-ada? Sudah jelas aku diperkosa oleh Athala yang katanya pandai mengaji dan memiliki suara yang merdu saat mengumandangkan adzan. Iya, Athala yang itu. Athala yang bisa langsung merasa hina hanya dengan menatap mata perempuan. Ah bullshit, buktinya ia melakukannya sampai tiga kali. Aku bersumpah masih menyimpan kondom yang ia gunakan di dalam laci excel, bersampingan dengan stok peralatan mandiku. “Terserah kalau kamu nggak percaya, aku udah biasa nggak dipercaya orang lain, kok.”

“Oke,” katanya dengan suara rendah. “Aku percaya kamu. Tapi, please, kamu juga harus percaya sama aku.”

Taura, Taura. Kenapa sekarang kamu jadi tolol, sih? Aku menghela napas panjang, tak habis pikir.

Sederhananya begini, kalau selama ini aku tidak mempercayainya lalu untuk apa aku menceritakan segala hal yang kualami padanya? Aku mempercayainya lebih dari mereka-mereka yang sialan itu. Taura adalah orang yang baik dan aku sudah menyukainya sejak pertama kami bertemu. Dia adalah pendengar yang baik, selalu mendengar setiap ceritaku tanpa menghakimi dan mempertanyakannya lagi. Matanya memantulkan rasa percaya yang membuatku nyaman setiap kali berada di dekatnya.

Ya, seistimewa itu Taura untukku. Tapi, maaf, itu dulu.

“Taura, kamu tuh tolol, ya?”

“Apa?” tanyanya dengan nada tak percaya.

Bagaimana bisa dia percaya aku kalau untuk mempercayai telinganya sendiri saja dia tidak bisa? Jadi yang sebenarnya sakit itu aku atau dia, sih? Sialan.

“Kamu minta aku percaya sama kamu. Terus yang selama ini aku lakukan apa? Aku cerita ini dan itu, dari hal kecil sampai hal besar. Bukankah itu tandanya aku percaya sama kamu?” Aku tersenyum tipis. “Terus, barusan kamu minta hal yang jelas-jelas udah aku kasih sejak dulu? Bukannya itu tolol, ya, Ra?”

Taura membalas ucapanku dengan keheningan yang panjang. Dari gesturnya, jelas-jelas terbaca jika dia ingin cepat pergi dari kamarku. Membiarkanku kembali menyelami potongan-potongan penderitaan yang sudah biasa aku terima sejak kecil.

“Aku peduli sama kamu, Cit.” Ia menunduk sejenak. “Aku sangat peduli sama kamu, bahkan aku berani jamin kalau aku adalah salah satu dari mereka yang paling memedulikan kamu.”

Kami terdiam, tepi tempat tidur yang kami duduki mendadak seperti kursi panas yang bisa kapan saja membakar kami. Soal dia yang peduli padaku, sejujurnya aku percaya. Aku sudah merasakan kepeduliannya sejak lama, tapi aku tidak boleh lupa kalau semuanya sudah berakhir. Taura yang sekarang bukan Taura yang dulu. Kepedulian sebesar apapun tidak ada  artinya jika dia tidak lagi percaya padaku.

“Makasih. Tapi aku nggak butuh rasa peduli kamu,” kataku. “Buat aku rasa percaya itu kayak napas, makanya aku kesakitan saat tahu kalau kalian nggak bisa memberikan hal itu sama aku. Sejak kecil, orang-orang yang kukenal—termasuk orangtuaku—nggak pernah memberikan itu. Sesusah apa sih percaya sama aku? Aku nggak mengada-ada, Ra. Aku nggak pernah berbohong. Semua yang aku ceritakan itu benar, kok. Aku mengalami, karena kalau nggak mana mungkin aku mengingat setiap detailnya.”

“Citra, aku—“

“—kamu masih ingat cerita aku tentang ibuku yang psikopat? Aku nggak bohong, Ra. Aku pernah lihat dia menyekap orang di kamarnya, membunuh, dan mengulitinya sebelum dikubur tepat di bawah tempat tidurnya. Dia melakukan itu sewaktu ayah pergi ke luar kota. Aku nggak boleh cerita sama siapa-siapa, aku diancam. Aku menderita sejak saat itu, Ra.”

Berengsek. Benar-benar berengsek. Seharusnya memori itu tidak usah mendesak keluar di saat seperti ini. Tapi aku tak bisa menahannya, kejadian itu secara tiba-tiba selalu terputar di dalam kepalaku. Membuatku ingin muntah seumur hidup. Kenapa aku harus dilahirkan oleh seorang wanita yang biadab?

“Kamu juga pasti berpikir kalau aku bohong sewaktu aku bilang kalau kakak perempuanku yang udah mati jatuh cinta sama kamu? Aku bisa lihat dia, Ra. Aku bisa berkomunikasi dengannya. Aku mungkin nggak bisa membuktikan ini, tapi kalau kamu ingat, dulu aku sempat menjauh tanpa alasan dari kamu. Itu semua aku lakuin semata-mata untuk menjaga perasaan kakakku.”

Kulihat kedua alis Taura beradu di tengah. Lagi-lagi dia menggeleng. Biar saja, biar saja dia mati karena terus-menerus mendengar semua kebenaran yang kupunya.

“Udah, cukup.” Taura beranjak, lalu berdiri di hadapanku dengan ekspresi yang belum juga membaik dari sebelumnya. “Aku percaya sama kamu. Iya, Athala itu pemerkosa. Iya, ibu kamu itu psikopat. Iya, teman-teman sekelas pernah menyiksa kamu di gymnasium. Iya, kakak perempuan kamu jatuh cinta sama aku. Iya, teman-teman kemarin mendatangimu ke sini dan mengataimu tukang fitnah.”

“Taura—“

“—aku percaya sama kamu, maka dari itu aku peduli. Please, ikut aku untuk ketemu ibuku besok. Setelah itu aku janji, aku janji nggak akan meragukan kamu seperti yang lain.”

“Tapi aku nggak sakit.”

“Iya, kamu nggak sakit, Cit.” Tangan kanan Taura membelai puncak kepalaku, lembut sekali. Aku terdiam, kulihat Taura mengambil ranselnya, bersiap untuk pergi. “Aku harus ke kampus dulu. Besok aku jemput kamu, bye.”

Lelaki itu melangkah lesu menjauhiku menuju pintu. Aku tahu pernyataannya yang tadi itu bohong. Jelas dia tidak mempercayaiku dan kekeuh mengajakku menemui psikiater adalah buktinya.

“Kalau aku bilang aku sayang banget sama kamu, apa kamu juga nggak bakal percaya, Ra?” tanyaku tanpa bermaksud apa-apa saat Taura memutar kenop.

Ia berbalik sejenak, tersenyum ambigu sebelum akhirnya menghilang dari balik pintu.

Ha. Aku sendirian lagi. Menghadapi kondisi yang tak jauh beda dengan dulu; dijauhi dan dianggap sakit hanya karena aku menceritakan kebenaran yang tak terbantahkan oleh pikiranku sendiri. Aku lelah begini terus, demi Tuhan aku lelah dianggap sebagai pembohong. Aku mendesah pelan, tiba-tiba teringat ucapan Taura ketika mulai mengutarakan maksud kedatangannya tadi.

“Cit, kamu mengidap mythomania. Kamu harus ketemu ibuku.”

Haha, sudah kubilang aku baik-baik saja. Bukan aku yang pembohong, tapi merekanya saja yang sulit percaya. Dan apa itu mythomania? Aku ini normal, tidak mengidap penyakit jiwa jenis apapun. Aku sudah pernah memeriksakan diriku, kok. Berengsek.

-fin.


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Keep on Lying, Orific

SALADBOWL “EXO SING FOR YOU” GIVEAWAY

$
0
0

12301

Ladies!

Siap-siap nih para penggemar EXO yang suka banget nulis, masih di penghujung tahun 2015 yang meriah ini, SALADBOWL akan membagikan satu hadiah lagi buat 1 pemenang yang beruntung!!

Kali ini, hadiahnya adalah winter album EXO “Sing For You” cover JONGIN yang dibawa langsung dari Korea buat kamu. Yahuuu!~

Oke, untuk mendapatkan album ini, kamu hanya perlu nulis fanfiction tentang Jongin lalu mempromosikan event-event giveaway Saladbowl di media sosial kamu. Lengkapnya sebagai berikut :

  1. Fanfiction tokoh utama Kim Jongin.
  2. Tema “friendship” pairing Jongin dengan 11 member dan ex-member EXO. (lebih prefer #Kailu sih, LOL. Oke. Ini bias. Lupakan.) Tanpa ada unsur romansa / slash / boyxboy / yaoi atau kawan-kawannya, jadi pure friendship. Kalau mau masukin semua member EXO atau member band lain juga nggak papa, tapi fokus utama ada pada Jongin dan lawan pair-nya.
  3. Topik cerita bebas.
  4. Fanfiction ditulis di MS Word maksimal 5 halaman sekali habis (oneshot), dengan font Calibri, size 11, spasi 1.15. Kirimkan ke email saladbowldetrois@gmail.com dengan subjek SALADBOWL EXO GIVEAWAY.
  5. Di body email, tuliskan biodata kamu; seperti nama, TTL, twitter/facebook/blog, alamat korespondensi, lalu pairing tokoh utama (ex. Sekai, Kailu Kaibaek, Kaiyeol, dll).
  6. Setelah mengirim naskah, kamu promosikan event Giveaway album Sing For You dan Contributor Project (post bisa dilihat di sticky-post sebelumnya) dengan share link 2 post di atas di media sosial kamu.
  7. Pengiriman naskah ditunggu sampai tanggal 30 Desember 2015 pukul 21.00 WIB. Kami akan memilih 5 naskah finalis untuk dipublish di blog Saladbowl.
  8. Kalau naskah kamu terpilih jadi finalis, kamu punya 2 minggu untuk mempromosikan naskah di manapun. Pengumuman pemenang tanggal 14 Januari, naskah dengan jumlah komentar (tidak termasuk reply author pemilik naskah) dan like terbanyak akan mendapatkan giveaway album ini.

Silakan tulis pertanyaan kamu di kotak komentar kalau ada yang belum dipahami, kami nggak akan menjawab pertanyaan yang sudah dijelaskan di atas yaaa. Kami tunggu naskah kamu!

 

Ciao,

EXO-L!!

 


Filed under: editor issue Tagged: EXO, EXO album giveaway, Sing For You album giveaway
Viewing all 585 articles
Browse latest View live