Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all 585 articles
Browse latest View live

[RESENSI] Rasuk – Sebuah Pesan untuk Diri Sendiri

$
0
0

IMG_9565

.

.

Resensi by Takyuyaki

.

.

Judul                     : Rasuk

Pengarang          : Risa Saraswati

Penerbit              : Bukune

 

Pada dasarnya, semua itu adalah apa yang kita pikirkan.

 

Pernah tidak sih kalian merasa tidak puas dengan hidup kalian? Misalkan setiap kali melihat cermin yang terlintas seperti; kenapa kok aku tidak secantik si A atau mengapa aku aku tidak sepintar si B. Atau dalam kasusku sering kali mengkhayal; gimana rasanya jadi Taeyeon sekali aja jadi bisa merasakan kencan sama Baekhyun.

Nah hal – hal seperti itu pasti sering banget kejadian. Tak terkecuali dengan Langgir Janaka, tokoh utama dalam novel ini. Dikisahkan, Langgir adalah anak tunggal yang ditinggal mati oleh Ayahnya. Kemudian sang Ibu menikah lagi dengan seorang duda yang nyaris gila ditinggal mati oleh anak dan istrinya.

Sejak kelahiran Borneo si adik tiri, Langgir merasa bahwa hidupnya semakin terpinggirkan. Satu –satunya hal yang membuat dia bertahan hidup adalah kecintaannya akan menari. Dan dari sanggar tari itulah Langgir bersahabat dengan Sekar Tanjung.

Selain Sekar Tanjung, Langgir juga bersahabat dengan Lintang Kasih dan Fransisca Inggrid. Keempatnya bertemu di kampus yang sama. Meskipun terlihat akrab, namun sebenarnya keempat orang tersebut mempunyai masalah yang mereka sembunyikan.

Namun di mata Langgir tetap hidupnyalah yang ia rasakan paling menderita. Dan ia seringkali bersumpah serapah kepada sang Pencipta, menyuarakan isi hatinya mengapa hidupnya tidak seberuntung para sahabatnya.

Suatu hari, mereka berempat pergi berekreasi ke suatu desa bernama Karma Rinjani. Dan disitu pula lah Langgir mengalami kecelakaan hingga terseok ke dalam jurang. Namun anehnya saat Langgir membuka mata setelah jatuh dari ketinggian, ia malah berada dalam sebuah kamar.

Kamar asing yang sama sekali tidak ia ketahui. Dan yang paling aneh semua orang memanggilnya Lintang.

Lintang Kasih.

Benar, kini Langgir terjebak di dalam tubuh Lintang Kasih. Merasakan suka duka yang bukan miliknya. Dan ternyata, semua itu jauh dari apa yang ia pikirkan.

Lalu bagaimana nasib Langgir selanjutnya?

Sejujurnya aku menhindari membaca buku bergenre misteri seperti ini. Apalagi ini ditulis oleh Risa Saraswati yang memang spesialis cerita misteri. Kalau kalian pernah membaca salah satu buku berjudul Danur, maka kalian akan paham.

Risa Saraswati ini memang dikenal mempunyai kelebihan bisa melihat makhluk tak kasatmata. Dan ia mencurahkan persahabatannya dengan “kelima anak kecil dari Belanda” dalam bentuk lagu dan buku. Dimana memang semuanya bernuansa mistis.

Tak heran, ketika awal membeli buku ini aku sempat takut untuk membacanya. Bahkan buku ini aku bawa travelling hingga ke Jepang dan Korea. Namun tetap saja aku takut untuk membacanya. Selang sebulan kemudian barulah aku memberanikan diri untuk membacanya.

Lalu mengapa aku nekat membelinya? Dikarenakan sinopis di belakang buku ini menggelitik sekali. Dan ternyata memang benar. Isi dari buku ini ternyata tidak semengerikan itu. Malah yang terjadi kita akan diajak untuk ikut merasakan keterkejutan Langgir ketika ia harus hidup sebagai orang lain.

Bahwa hidup para sahabat yang selama ini ia selalu iri kan ternyata tidak seindah itu. Bahwa selama ini keluarga yang selalu ia keluhkan ternyata benar – benar sudah mencurahkan semua kasih sayang mereka untuknya.

Bahwa memang selama ini semua yang ia pikirkan hanyalah pemikiran sempit satu sisi saja. Dan Langgir benar – benar berdoa agar semuanya tidak menjadi terlambat.

Pada akhirnya dengan membaca buku ini kita seakan diingatkan untuk selalu bersyukur. Bahwa apa yang terlihat belum tentu benar seperti itu adanya. Terpenting, kita juga diingatkan untuk selalu menjaga dan menyanyangi orang – orang terdekat kita.

Di akhir kata, kita juga akan mengetahui bahwa ternyata buku Rasuk ini sebenarnya adalah persembahan khusus Risa Saraswati untuk adiknya yang kerap kali merasa iri dengan para “sahabat” kakaknya.

Hingga lahirlah nama Langgir Janaka, Sekar Tanjung, Lintang Kasih dan Fransisca Inggrid sebagai wujud inspirasi. Dimana jika karakter mereka semua disatukan akan membentuk satu karakter utuh seseorang bernama Riana Rizki, yang tidak lain adalah adik kandung Risa Saraswati sendiri.

***


Filed under: Book Review

First Snow – Chapter 1

$
0
0

DJ Benji

Sugo haseyo…” Benji membungkukkan badannya berpamitan sebelum akhirnya berjalan bersisian dengan manajernya meninggalkan ruangan tempatnya melakukan siaran radio selama dua jam setiap harinya.

Sudah lebih dari satu setengah tahun ia menjalani profesi sebagai DJ, di samping profesinya sebagai salah satu anggota idol group B.I.G.

Musim dingin kembali tiba, mau tidak mau membawa Benji kembali mengingat kejadian setahun lalu serta membuatnya merutuki setiap kebodohan serta sikap pengecutnya kala itu.

 “Babo…

☆ neys ☆

Music Access~~~

Barangkali kata-kata ini tidak asing jika kita merupakan salah satu pendengar acara radio yang disiarkan oleh Arirang Radio setiap hari mulai pukul dua hingga empat waktu Korea. Nama acara yang selalu mengawali dua jam program radio dengan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar, perpaduan antara lagu-lagu Korea dan Inggris, juga segment-segment yang tentunya menarik dan berkualitas.

Do you guys use a lot of internet on your computer or smartphones? You often bookmark any places you come accross the internet that interest you or will soon visit, and the reason for saving these places is for you to simply find your way all at once. So, I’m curious as to see what type of bookmark is save on your computer or smartphone. If I can tell you first, I know that starting from today I will have a new bookmark save and it is the one and only Music Access homepage. Wooo~ And that’s because starting from today I will be communicating with my MA listeners and you guys will talk to me right? Well before that I got something really important to say…

Benji mengambil jeda sejenak untuk menambah kesan dramatis.

Let me introduce my self. I am the brand new DJ for Music Access and this is… Benji.

Dua puluh april 2015 adalah hari pertama Benji sebagai DJ resmi Music Access. Benji tersenyum saat melihat antusiasme serta dukungan para pendengar terkait dengan sosoknya yang kini menjadi DJ program tersebut.

Keterbatasan waktu tentunya membuat tidak semua pesan terbaca, tapi ia senang meskipun sosoknya belumlah terlalu dikenal masyarakat, tetapi respon yang diberikan oleh pendengar entah itu lama atau pendengar baru yang memutuskan untuk mendengarkan Music Access karena menyukai Benji sebagai idola.

Hampir dua jam berlalu, Benji melihat nama yang tertera di kertas yang baru saja diberikan oleh writer. Pemenang kuis hari itu.

Nama yang manis, batinnya dalam hati.

Lampu on air kembali menyala, pertanda bagi Benji untuk mengumumkan pemenang kuis di hari pertamanya menjadi DJ.

It’s now time to reveal the answer for AA Music Quiz from the first hour. And are you ready for the answer? The answer is… Kim Heechul of Super Junior. Wooo~ he is not in the studio though. So, a lot of people sent us the right answer but we picked just one, and our lucky winner is… Eunbyul from Indonesia. Everybody applause… Wooo~

☆ neys ☆

So, don’t forget to always tune in. Our last song for today is See You Again by Wiz Khalifa featuring Charlie Puth and I will see you guys tomorrow. Bye!

Eunbyul tersenyum simpul. Nice, batinnya.

Sebelumnya ia tidak pernah tahu siapa itu Benji. Siapa saja itu B.I.G. Tapi setelah mendengarkan siaran radio kali ini, Eunbyul yang sebelumnya bukanlah pendengar setia Music Access merasa ingin mendengarkan acara radio itu setiap hari.

Eunbyul memang salah satu pendengar beberapa acara Arirang Radio, meski tidak setiap hari dan setiap waktu, kebanyakan Eunbyul tidak mendengarkan radio di akhir pekan. Bekerja di perusahaan keluarga yang tidak terlalu formal memungkinkannya untuk bekerja sambil mendengarkan radio.

Suara adalah salah satu faktor penting bagi Eunbyul untuk menentukan kesan pertama. Melalui suara ia seolah bisa membayangkan seperti apa karakter orang tersebut. Tipe suara serta intonasi akan membuat imajinasinya menyusun sketsa sendiri.

I think I fall for his voice. Yes, Benji’s voice.

☆ neys ☆

Benji menatap keluar melalui jendela mobil, salju tampak turun malu-malu. Salju pertama di Seoul tahun 2016 akhirnya turun juga, membuat kenangan yang selama ini berusaha Benji lupakan meluap kembali. Benji tersenyum miris. Salju pertama di siang itu membuatnya merasa begitu kesepian.

Bagaimana kabarmu?

☆ neys ☆

On this afternoon where the first snow is falling

If only I could call you, I’d be so happy

A year has already passed but I’m still not over you

So I talk to myself, “I’m lonely”

To be continue…

Halooooooo~~~ *lambai lambai tangan ala Miss Universe*

Long time no see reader sekalian…

Yup! Ini comeback FF series dari neys. Masih inget kan sama aku, meskipun udah lama banget nggak muncul. Saya sementara sibuk ke kanan ke kiri, mencari uang, mencari cinta, dan apapun itulah. Hahaha…

Kali ini kembali dengan cerita seputar dunia radio, karena udah hampir setahun ini aku jadi pendengar Arirang Radio dan udah lama pengen nulis tentang ini.

Ada fakta yang aku tulis di sini, tapi tetep aja karena ini fan fiction, tentu aja ada fiksi juga yang aku tulis.

FYI, Benji itu member-nya B.I.G alias Boys In Groove, group kece yang baru comeback bulan lalu. TAOLA~~~ You guys should check it out. *malah promosi*

Then, yes! Dia emang DJ-nya Music Access di Arirang Radio.

Aku bakalan selipin banyak flashback di series kali ini, semoga nggak bingung ya sama cerita ini dan sama penjelasan seputar radionya nanti.

Oh ya itu namanya emang sengaja Eunbyul, nanti dijelasin kenapa kok dari Indonesia di chapter-chapter selanjutnya ya.

Chapter 2-nya belum ditulis, tapi semoga nggak lama munculnya ya soalnya bulan desember berarti bulan sibuk karena ada extra job. Yaaa didoakan aja. Hehehe.

Semoga suka dan seperti biasa, semoga ada hal baik yang didapat dari cerita ini

See you, friends!


Filed under: fan fiction, series Tagged: B.I.G, Bae Jae Wook, Benji, Boys In Groove, First Snow

[RESENSI] Annisa, Kapal yang Berlabuh

$
0
0

JudulAnnisa, Kapal yang Berlabuh (first on Personification)

Annisa Kapal Yang Berlabuh

PenulisJohn Michaelson

PenerbitGramedia Pustaka Utama

Genre: drama kehidupan

Tebal235+ halaman

ISBN : 978-602-03-1883-7

.

Blurb :

Annisa, putri ustaz selebriti yang kerap tampil di televisi, berusaha sebaik mungkin menjadi gadis solehah. Dia tekun belajar, telaten merawat ibunya yang sakit-sakitan dan berencana melanjutkan kuliah di luar negeri. Namun, ketika kenyataan pahit menghancurkan kepercayaan Annisa terhadap orangtuanya, dia melayang semakin dekat ke arah Peter, dosen berusia baya dengan mata seperti batu emerald.

Peter sosok yang cerdas dan misterius. Tampaknya, dialah satu-satunya orang yang memahami Annisa. Bersama Peter, Annisa menemukan dirinya berlayar ke tengah lautan penuh bahaya.

Akankah Annisa memiliki kekuatan dan keberuntungan untuk melintasi lautan berbahaya itu dan berlabuh dengan aman, ataukah dia akan gagal dan tersesat untuk selamanya?

A young Indonesian woman with an ailing mother and a celebrity father whose moon is on the wane.

A pinfully family secret dragged into the open, a subversive Western lecturer, and nowhere else to turn.

A steady drift into dangerous waters, a choice between black and white when everything seems grey.

.

annisa

.

Sinopsis:

Annisa—judul resmi untuk versi buku bahasa Inggris—bercerita tentang kehidupan Annisa, putri ustaz selebriti. Daripada mengulang, lebih baik dikatakan bahwa blurb di belakang buku merupakan pengantar gamblang mengenai isi buku ini. Pengantar artinya hanya merepresentasikan bagian muka cerita, jadi bagi penggemar kejutan, tidak usah kecewa karena mengira sudah mendapat spoiler.

Meski bercerita tentang hidup Annisa, sebenarnya yang diceritakan dalam buku ini hanya pada bagian tertentu di mana hidup Annisa beriak cukup keras. Ceritanya sederhana dan singkat, walau agak berat. Jelas, ditujukan bagi pembaca dewasa.

Warning: buku ini memuat deskripsi yang cukup gamblang tentang alkoholisme, ideologi kebaratan dan penurunan kualitas insani (dari sudut pandang Islam), pembaca diharapkan kebijaksanaannya karena buku ini tidak lebih dari kisah fiksi.

.

Review:

Bahasa. Membaca kedua versi novel ini membuat saya mampu membandingkan penceritaan keduanya. Versi Bahasa Indonesianya cukup canggung dibaca. Seperti yang sudah saya sebutkan sebelum saya merevisi review ini, gaya bahasa John sangat Inggris, membuatnya tidak tepat ketika disandingkan dengan konsep cerita yang sangat Indonesia. Lalu saya baca versi Bahasa Inggrisnya, kecanggungan itu lumayan terhapuskan. Harus saya akui, rasanya memang menjadi berbeda, meski isi ceritanya sama. Saya lebih menikmati versi Bahasa Inggrisnya.

Opini saya mengenai penggunaan bahasa yang canggung sangat panjang di review awal. Habis-habisan saya memprotes karena kegerahan saya saat membaca versi Bahasa Indonesianya. Setelah beberapa minggu kemudian saya menerima versi Bahasa Inggrisnya, saya mengubah sudut pandang saya dan menjadikan review ini lebih berisi perbandingan antara kedua versi. Saya lebih bisa menerima meski—still—menurut saya, sebenarnya kecanggungan semacam ini bisa diminimalisir dengan penerjemahan yang lebih luwes.

Novel ini diceritakan dengan gaya penulisan khas John: pahit-pahit skeptis. Dari awal saja cerita sudah dimulai dengan kondisi sakit-sakitan ibu Annisa: Ria. Sekalipun diceritakan bahwa Annisa dan ibunya saling menguatkan dalam kondisi rumah tangga yang dingin, namun kepahitan tokoh-tokohnya tergambar jelas.

Setting cerita berkutat antara Jakarta dan Singapura, dengan cerita terfokus pada rumah tangga orang Indonesia.

Penulisan. Selanjutnya tentang kesalahan penulisan. Ada beberapa pengetikan di versi Indonesianya yang membuat saya bertanya-tanya. Sampai saat ini ditulis saya tetap berpikiran bahwa penggunaan imbuhan itu salah, namun just cmiiw, alright?

  • Mengkritik ⇒ mengritik (hal.25 par.2)
  • Becermin ⇒ bercermin (hal.127 par.10)
  • Mengkontribusikan ⇒ mengontribusikan (hal.158 par.8)
  • Bewarna ⇒ berwarna (hal.193 par.6)

Untuk versi Bahasa Inggrisnya saya tidak menemukan any typo tapi mungkin juga saya kurang teliti. Mohon masukannya jika terlewat oleh saya.

Cerita. Seperti sudah saya sebutkan sebelumnya, Annisa adalah cerita sederhana tentang satu babak dalam kehidupan Annisa. Hanya sekeping cerita namun intens. Cerita berjalan cepat dan tanpa basa-basi. Tidak bisa dibilang membosankan karena akan selalu ada pertanyaan tentang bagaimana interaksi selanjutnya antara Annisa dan Peter. Terbagi menjadi tiga bagian besar, buku ini berisi dua puluh enam bagian yang lebih pendek (bab).

Dari keseluruhan cerita, ada satu hal yang menurut John adalah gaya penulisannya (quite minimalist – good or bad) sedangkan menurut saya adalah poin lemah John dalam membangun cerita (dalam standar seorang pembaca). Sama seperti dalam Muallaf, perkembangan cerita terjadi dengan elevasi yang terlalu tiba-tiba. Kalau dosen pembimbing saya (dia dan hanya dia satu-satunya yang) bilang, “Abruptly elevated.

Seperti pada bagian-bagian ini:

  • Peter tiba-tiba memiliki janji temu dengan Annisa untuk membahas skripsinya. Bagaimana Annisa mendadak berkonsultasi dengan Peter? Dibaca semakin ke belakang, semakin teraba (tidak secara jelas) bahwa Peter bukan dosen pembimbing, melainkan hanya dosen tempat mahasiswa berkonsultasi. Untuk ini sebenarnya diperlukan satu bagian khusus untuk menjelaskan deskripsi pekerjaan Peter yang sebenarnya. Mengapa mahasiswa perlu berkonsultasi dengan Peter tentang skripsi mereka dan bukan tentang mata kuliah yang diampu Peter.
  • Peter dan Annisa mendadak pergi bersama menghadiri sebuah seminar. Yang terlewat: detil kecil tentang saat mereka membuat rencana. Ketika Peter mengajukan ajakan, ini bisa jadi plot yang bagus untuk menggambarkan ketertarikan. Hanya diceritakan bahwa Peter selalu memikirkan Annisa. Ini tentu tidak sama dengan Peter melakukan sesuatu untuk menuruti ketertarikannya itu. Luput.

Ini semacam potongan informasi yang menghilang. Anehnya, semakin mendekati konflik, miskoneksi seperti ini tidak lagi muncul. Contoh yang bagus ada di halaman 100, permulaan bab dua belas:

Annisa menghabiskan sepanjang Sabtu menjalin komunikasi dengan Peter, diawali sebuah pesan yang dikirim Peter pada Jumat malam.

Ini sebuah detil singkat yang membuat pembaca mengikuti jalan cerita dengan lebih smooth. Tidak bumpy karena berusaha meraba-raba tentang plot yang mendadak sudah berkembang.

Cerita Annisa, seperti yang disebutkan oleh @zanfadli bisa disebut terlalu sinetron-y, konfliknya adalah isu-isu yang terlalu sering terjadi di sekitar kita, namun masih selalu dicibir sebagai tindakan tidak senonoh. Not my cup of tea, tapi saya tahu banyak orang yang saya kenal mungkin menganggap cerita ini patut dijadikan cerminan/renungan.

Facts. Ada beberapa fakta yang membuat saya tersenyum.

  • But isn’t Indonesia too hot for tea all the time? For every occasion possible? | Lalu John memprotes, “Di Indonesia juga apa-apa pasti nawarin teh!” | Saya berpikir, “Iya juga. Tapi entah kenapa kok rasanya beda. Mungkin saya hanya absurd.”
  • We can start with the soup (hal.126; begitu saya mengira-ngira yang tertulis dalam versi Inggrisnya). Nothing starts with the soup. Dine always started when nasi is ready. :P
  • Yang ini saya baru tahu bahwa rasanya seperti panggilan penghibur anak-anak rendahan (despite the fact that I already understand that Mister and First names aren’t exactly as polite as most Indonesian expected).
  • Tidak pernah terpikir bahwa sebutan bule bisa dianggap sangat rasis. I thought it was just common fact as when chinese being called chinese. Baru saya tahu sekarang dan saya harus mulai berpikir dua kali sebelum menggunakannya sembarangan.
  • Pria berpengalaman tidak akan tertarik pada gadis muda (hal.39). I always think it’s quite the opposite.
  • Sopir taksi yang tidak tahu arah dan mencoba mencurangi bule dengan mengklaim tidak punya kembalian. Sebagian—bukan hanya supir taksi, bahkan toko besar pun melakukannya—memang demikian, tapi saya juga kebetulan tahu sebagian yang lain melakukannya bukan karena niat berbuat curang. Oh well, what to do then, bahkan pengamen jalanan tidak selalu merasa sia-sia saat sebutir uang Rp500-nya menggelinding ke selokan. Jelas rasanya tidak sama dengan saat uang €500 atau £500 merosot dari genggaman, sebab nilainya sangat berbeda.
  • Songongnya rakyat kecil di Indonesia (hal.106 par.7). Selalu mengaku rakyat kecil kalau mau mengritik kalangan birokrat, tapi mengamuk seperti banteng terluka kalau ditegur karena mengendarai motor di atas trotoar. Segala kutukan untuk semua pengendara motor yang melakukannya.

.

Personal note:

Review ini adalah review edisi revisi. Meski saya hanya mencoba mengemukakan pemikiran saya setelah membaca novel ini, namun begitu membaca ulang dalam versi Bahasa Inggrisnya, saya merasa bahwa saya bisa jadi bersikap sedikit bias pada review pertama.

Biarlah saya bercerita sedikit tentang pertemuan saya dengan buku ini. Saya cukup antusias ketika penulisnya, John Michaelson, memberi tahu tentang novel keduanya yang siap beredar di pasaran. Sayang saya tidak bisa langsung bereaksi pada saat itu karena kesibukan saya menjelang babak baru kehidupan (cieeee) yang ada di depan mata. Ketika akhirnya bisa meluangkan sedikit waktu, saya segera meluncur ke toko buku dan mencari buku ini. Kekecewaan menemui saya ketika saya mendapati bahwa stok buku versi bahasa Inggrisnya tidak ada di toko buku tersebut, jadi dengan hati sedih saya melangkah ke kasir dan membayar buku versi bahasa Indonesianya. Versi Bahasa Inggrisnya saya dapatkan dari sang penulis setelah dengan tidak tahu malu memberi #kodekode dalam review awal.

.

Points of discussion:

  1. First impression

Sampulnya versi Indonesianya mengingatkan saya pada buku Neil Gaiman, The Ocean At The End Of The Lane. Sangat biru. Teduh. Versi Bahasa Inggrisnya cantik. Saya suka lukisan wajah Annisa dan latar belakangnya yang berwarna lembut.

  1. How did you experience the book?

(Indonesia) Dibaca dalam dua hari, bisa berhenti tapi lebih suka tidak berhenti saat membaca. (Inggris) dibaca dalam waktu beberapa minggu, karena alasan banyak faktor dan peristiwa.

  1. Characters

Annisa, Peter, Ria, Ghozali, Linda, dan tokoh pendukung lainnya. Tapi intinya, cerita berkisar dengan mengintip isi kepala lima orang tersebut.

Tokoh lain yang meninggalkan kesan:

  • Eva: teman dekat Annisa.
  • Agus: mahasiswa kurang ajar. Saya pernah jadi mahasiswa dengan dosen pembimbing orang barat, tapi karakter Agus benar-benar membuat saya geram. Bikin malu.
  1. Plot

Alur maju. Plot waktu tidak disebutkan dengan jelas.

  1. POV

Orang ketiga.

  1. Main Idea/Theme

Drama keluarga, pencarian jati diri.

  1. Ending

Tuntas, tapi tidak berarti melegakan. Semacam membaca film festival yang bagian akhirnya masih menyisakan bundel ketidakpuasan dalam dirimu.

  1. Questions (sebagian sudah terjawab via e-mail)
  • Mengenai supir taksi, apakah John pernah merasakan dicurangi juga?

Yes, I had”.

  • Mengenai buku, lebih suka diterjemahkan bagaimana? Sesuai dengan naskah aslinya? Atau idiom Inggris diterjemahkan menjadi idiom Indonesia?

“Tepat seperti yang sudah diterjemahkan”.

  • Apa pendapat John mengenai poligami? Apakah dia akan melakukannya jika ada kesempatan/kebutuhan? Atau lebih ke ‘pokoknya tidak’.

“Pokoknya tidak”

  • Kenapa Peter memanggil Annisa dengan ‘my dear’ sejak awal? Apakah dia melakukannya pada semua mahasiswa perempuan yang berkonsultasi dengannya? Atau hanya pada Annisa?
  • Sebenarnya Peter mengajar mata kuliah apa sih?
  1. Benefits

Sudut pandang kebaratan yang berbenturan dengan sudut pandang Indonesia memberi sebuah wawasan baru tentang persepsi.

.

Quote:

Lebih banyak paragraf filosofis daripada kalimat yang biasanya dijadikan quote. Namun saya ingin menuliskan kembali di sini filosofi “kapal yang berlabuh” menurut Peter (hal.41 par.2):

Kau bisa menjadi murid yang hebat, tapi itu hanya jika kau belajar menerima  beberapa kritikan. Jika tidak, kau hanyalah kapal yang berlabuh, tidak mengizinkan angin membawamu ke tempat baru.

.

The others :

Fauzan Fadli

Mungkin kamu mau memberi tambahan dalam daftar ini? Share link tulisan opini kamu di kotak komentar.

.


Filed under: Book Review Tagged: Annisa, John Michaelson

[ONESHOT] Dulcet

$
0
0

dulcet

by fikeey

The world is full of magic, you just need to believe in it

Sejujurnya, mata pelajaran yang tidak terlalu Harry sukai ketika bulan November dan udara dingin mulai datang adalah Ramuan. Well, mungkin dia sudah menjadi selebritis dalam keberhasilannya di kelas pertama bersama Profesor Slughorn, tapi tetap keadaan ruang bawah tanah yang lembab dan tiupan-tiupan angin dingin menjadi alasan nomor satu Harry selalu mengerang setiap tiba pelajaran ini.

Ron dan Hermione masih saling diam―Harry tidak menyalahkan mereka. Ron terlalu baik untuk menolak segala bentuk perhatian Lavender yang berlebihan, dan di sisi lain, Hermione terlalu keras kepala untuk mengabaikan saja pemandangan-pemandangan itu di hadapannya. Untunglah Hermione masih setuju membantunya belajar dan mengerjakan PR―dan di sini Harry merasa kasihan kepada Ron yang tiap selesai makan malam selalu memandang lewat sudut matanya, meminta bantuan kepada Harry dan Hermione yang duduk di sudut ruang rekreasi Gryffindor mengerjakan esai yang diminta Profesor Flitwick.

Sementara ruang bawah tanah kala itu penuh dengan suara kuali yang menggelegak dan aroma busuk seperti kotoran naga, perhatian Harry masih tertuju pada objek yang sama.

Hermione sudah menderita flu selama dua hari. Hidungnya memerah, dan dia perlu bertopang pada Harry setiap kali bangkit dari kursi panjang di Aula Besar. Harry sudah menyarankannya untuk bolos Ramuan (mengingat udara di bawah sini yang bisa menjadi sangat dingin) tapi sahabatnya itu menolak mentah-mentah.

“Aku masih bisa berdiri, Harry. Jadi tidak ada alasan untukku pergi ke kamar asrama,” balas Hermione galak, tapi detik berikutnya dia bersin lagi.

Cairan dalam kualinya baru saja berubah menjadi warna merah pekat, dan menurut buku si Pangeran, hal demikian adalah pertanda bagus, jadi Harry menggunakan waktu ini untuk kembali mengawasi Hermione.

Profesor Slughorn baru saja melewati Ernie Macmillan di ujung meja kerja panjang, bersungut-sungut ketika mengamati kualinya yang menyemburkan asap oranye tipis dan berbau seperti kaus kaki Paman Vernon (bahkan Harry bisa membauinya dari sini). Hermiona terlihat sangat berantakan. Cairan di dalam kualinya kini berwarna abu-abu gelap alih-alih mendekati merah.

Menyadari bahwa Profesor Slughorn masih menyibukkan diri dengan kericuhan kecil dari kuali Ernie, Harry berbisik, “Berapa taring ular yang kau masukkan?”

“Empat, atau lima. Oh, entahlah Harry, mataku rasanya berputar,” jawabnya sambil menggosok hidung.

“Sudah kau haluskan?”

“Haluskan? Oh tidak, aku hanya memasukkannya begitu saja.”

“Hermione …” Harry tahu sudah tidak ada harapan untuk mengulang balik pembuatan ramuannya, dan ditambah Slughorn akan segera mencapai Hermione.

“Oh, ya ampun Harry, aku benar-benar membuat kacau,” erang Hermione menahan tangis.

Harry berpikir keras. Memanggil Profesor Slughorn dan berpura-pura mengajaknya berbicara sementara Hermione melakukan sesuatu dengan kualinya mungkin bukan ide yang buruk, atau memastikan bahwa Profesor Slughorn tidak sedikit pun mengintip isi kuali Hermione. Ya, untuk membalas segala pertolongan Hermione, setidaknya dia bisa melakukan ini. Baiklah, jadi, karena Slughorn sebentar lagi akan sampai, dia perlu―

Sir, kuali Crabbe jatuh.”

―dan pikirannya dibuyarkan oleh bunyi nyaring kuali yang berkelontangan. Murid-murid di sekitar Crabbe dan kualinya mulai berlarian, sementara asap keunguan mulai memenuhi ruangan.

Tadi itu Malfoy yang berteriak, dan kini tengah menjauhkan diri dari Crabbe yang melompat-lompat sementara bisul kekuningan mulai menjalari kaki dan tangannya. Profesor Slughorn tergopoh-gopoh mendatangi Crabbe, menyongsongkan sebotol kecil Cairan Penyembuh, sementara Harry melihat Hermione mengembuskan napas lega sambil sesekali terbatuk lewat sudut matanya.

“Kau akan terlalu baik untuk memantrai sahabatmu, Potter, dan itu akan menghambatmu maupun Miss Granger untuk menyerap pelajaran ini. Kupikir Draco akan cukup membuat Miss Granger terlatih menggunakan mantra penghalaunya.”

“Tapi, Sir―”

“Potong lima angka dari Gryffindor karena kau keras kepala,” potong Snape hampir tidak membuka mulutnya. “Apa yang kalian tunggu? Pangeran Kegelapan tidak akan menunggu kalian untuk bersiap dulu sebelum menyerang!”

Harry menatap pasrah kepada Hermione lewat bahunya, sementara yang bersangkutan hanya membalas dengan senyuman miris dan anggukan bahunya.

Harry berbalik untuk menghadapi pasangan berlatihnya siang ini―Snape membuatnya harus melawan Goyle, yang menurut Hermione sudah piawai dalam menggunakan sihir hitam. Goyle menyerangnya dengan kutukan-kutukan standar yang pernah dia pelajari di kelas dua, beberapa kutukan menengah di kelas tiga, dan berhasil melempar balik Kutukan Imperius yang dikeluarkan Goyle saat dia mulai tersudut.

Sedikit-sedikit Harry mengintip lewat bahunya ke arah Hermione, lewat pasangan Ron dan Seamus yang saat itu sama-sama terlempar ke belakang entah kutukan apa yang mereka gunakan. Snape muncul entah dari mana, mencengkram kerah baju keduanya dan lagi-lagi memotong angka dari Gryffindor atas kericuhan yang terjadi. Ingin Harry melempar Kutukan Imperius ini padanya, tapi tentu saja kesenangannya tidak akan berlangsung lama hingga dia mendapat detensi.

Pansy Parkinson baru saja memantrai Parvati dengan Mantra-Pengikat-Tubuh-Sempurna ketika didengarnya Hermione memekik dari ujung ruangan. Harry segera melempar Mantra Bius kepada Goyle, lalu kembali mengawasi sahabatnya. Di pikirannya, Malfoy mungkin saja menggunakan kesempatan ini untuk memantrai Hermione habis-habisan, mengingat kelas ini adalah satu-satunya di mana Hermione tidak se-cemerlang kelas-kelasnya yang lain.

Hermione berhasil mendapatkan pegangan di kursi di belakangnya ketika Goyle mulai menyerang lagi, jadi Harry tidak punya banyak waktu untuk membalas Malfoy apabila dia berlaku melewati batas. Permainan saling serang ini baru selesai sepuluh menit sebelum kelas benar-benar berakhir, dan dengan kibasan tongkatnya, Snape membuat meja dan kursi kembali ke posisi semula. Dia menutup pelajaran ini dengan esai sebanyak tiga perkamen tentang Inferi dan dikumpul minggu berikutnya.

Hermione terlihat berantakan di akhir pelajaran. Dia lagi-lagi bertopang pada Harry sewaktu bangkit dari kursinya dan menyelempangkan tasnya.

“Kau benar-benar harus istirahat setelah makan siang, Hermione,” bujuk Harry, sementara mereka menyusuri koridor yang ramai menuju Aula Besar.

“Mungkin aku harus menemui Madam Pomfrey dan meminta obat. Oh, setelah ini ada Arithmancy! Aku tidak mungkin meninggalkannya!”

“Bagaimana tadi? Apakah Malfoy mencoba melukaimu?”

Hermione menggeleng. “Tidak terlalu. Dia bahkan menungguku berdiri waktu aku jatuh terdorong Dean yang dimantrai Crabbe,” jawabnya.

“Begitukah?” tanya Harry, sementara dia dan Hermione baru saja memasuki Aula Besar yang saat itu dipenuhi para murid berjubah, denting gelas dan piring di mana-mana, serta rambut keperakan Dumbledore di ujung terjauh yang kala itu sedang mengobrol riang dengan McGonagall.

“Ya,” kata Hermione, lalu detik berikutnya mencengkram lengan jubah Harry. “Oh, Harry, jangan di sana. Aku bisa tambah mual kalau melihat mereka bermesraan lagi.”

Ron―seperti biasa―duduk di samping Lavender di meja panjang, sementara Hermione memilih tempat yang jauh dari mereka. Seringnya di dekat Seamus dan Neville, kadang ada Dean dan Ginny ikut bergabung (dan apabila sudah ada Ginny di sana, Harry kadang lupa memotong kentangnya menjadi kecil-kecil dulu sebelum dimakan, jadi dia sering sekali tersedak).

Hermione terlalu mencintai Arithmancy, sehingga dia selalu datang sepuluh menit lebih awal. Ketika piringnya sudah bersih dan memastikan buku-bukunya sudah tersimpan rapi di tas, Hermione bangkit pertama kali. Hidungnya sudah benar-benar memerah sekarang, dan wajahnya mulai memucat. Ginny bahkan bangkit dari duduknya dan menopang Hermione ketika dia mencoba berdiri.

“Pergilah ke Madam Pomfrey,” desak Ginny.

“Aku baik-baik saja.”

“Bolos satu hari tidak akan berdosa,” celetuk Seamus Finnigan.

“Ingin ramuan herba penyembuhku?” tawar Neville.

“Setidaknya duduk dulu sebentar lagi, kau belum benar-benar terlambat,” tambah Dean.

Harry mengangguk, menyetujui saran-saran itu untuk sahabatnya.

“Tidak, aku tidak apa-apa,” balas Hermione dengan suara sengau. “Selesai Arithmancy aku akan langsung menemui Madam Pomfrey. Aku duluan.”

Dengan tertatih, Hermione berjalan menuju pintu Aula Besar―sedikit oleng saat seorang murid kelas tiga Hufflepuff menyenggolnya karena terburu. Merasa bertanggung jawab sebagai sahabatnya, Harry akhirnya bangkit hendak menyusul Hermione, setidaknya dia bisa bantu membawakan tasnya, lagipula setelah ini jadwalnya kosong. Namun seseorang menabraknya dari arah berlawanan sebelum Harry mencapai pintu.

Rambut pucat serta wajahnya yang runcing tidak mungkin terlewat oleh Harry.

“Kau ini sahabatnya atau bukan? Cobalah membuatnya bolos Arithmancy, Potter. Dia terlihat bisa tumbang sewaktu-waktu.”

*



Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Draco Malfoy, Harry Potter, Hermione Granger

[RESENSI] Cinderella Teeth – Melawan Rasa Takut ke Dokter Gigi

$
0
0

teeth

.

.

Resensi by Takyuyaki

.

.

 Judul                                   : Cinderella Teeth

Pengarang                          : Sakaki Tsukasa

Penerbit                              : Penerbit Haru

.

.

Karena kalau tidak tahu, jadi terasa lebih menyeramkan, kan?

.

.

Apa sih yang pertama kali terlintas dipikiran kalian ketika mendengar kata Dokter Gigi?

Kalau untuk aku, kata yang pertama terlintas adalah cabut gigi. Dan itu sama sekali bukan bercanda. Bayangan gigi dicabut dengan tang, dengan gusi yang harus disuntik obat mati rasa itu sungguh membuat ngilu.

Bahkan ketika akhirnya aku memutuskan untuk memakai kawat gigi pun, butuh waktu selama setahun untuk berani melakukan aksi pergi ke Dokter Gigi. Padahal Dokter Gigi yang menangani ganteng dan wangi, tapi tetap saja….

Sama seperti yang dialami oleh Saki Kano. Karena mengalami sebuah trauma masa kecil, Saki menjadi takut ke Dokter Gigi. Namun pada suatu liburan musim panas, Saki malah harus bekerja paruh waktu di Shinagawa Dental Clinic  atas rekomendasi ibunya.

Dan ternyata, pandangan Saki akan Dokter Gigi berubah seiring semakin dekatnya ia dengan dunia tersebut. Para pasien yang berkunjung ke klinik tersebut ternyata memiliki banyak kisah hidup yang unik.

Pertemuan Saki dengan Yotsuya Konge, cowok unik yang pendiam serta terkesan misterius yang terlihat cuek namun sebenarnya sangat perhatian tersebut ternyata juga sedikit banyak mengubah cara pandang Saki terhadap Dokter Gigi.

Hingga pada akhirnya liburan musim panas telah usai dan Saki harus kembali ke bangku kuliah. Bersamaan dengan hal tersebut, Yotsuya memberitahu Saki berita yang sangat penting. Berita yang akan mengubah kehidupan mereka berdua.

Pada awalnya aku tidak sengaja menemukan buku ini di salah satu rak depan salah satu toko buku di Surabaya. Ternyata memang terbitan baru meskipun novel ini sendiri sudah terbit sejak tahun 2006 di Jepang.

Jujur ini adalah pertama kalinya aku novel remaja dengan pengarang dari Jepang. Kalau Haruki Murakami itu kan beda kelas ya, bukan novel picisan gitu. Dan memang membaca novel ini akan terasa seperti melihat Dorama Jepang dalam lima episode.

Semua detail baik karakter maupun tempat hingga makanan pun benar – benar sangat Jepang. Sehingga ada beberapa kalimat yang memang harus dibaca ulang untuk bisa mengerti maksudnya. Tetapi terlepas dari hal tersebut, novel ini sangat menyenangkan untuk dibaca.

Bahasanya ringan khas remaja dan yang terpenting kita akan diajak ikut menebak kasus setiap pasien yang datang lengkap dengan penjelasan kedokteran gigi yang dijelaskan dengan sangat mudah. Sehingga ada beberapa ilmu kedokteran gigi yang bisa kita dapatkan disini.

Saki Kano digambarkan sebagai mahasiswi dengan karakter canggung yang memang hanya berniat untuk bekerja paruh waktu tanpa merasa perlu untuk belajar apapun. Namun pertemuan dengan salah seorang pasien membuatnya berubah menjadi lebih profesional.

Bagian yang paling aku suka adalah ketika semua penghuni Shinagawa Dental Clinic sedang makan siang dan membicarakan tenang kasus para pasien. Kita akan diajak ikut serta melihat bagaimana latar belakang setiap pasien juga akan berpengaruh besar terhadap metode pengobatan apa yang akan dipakai.

Dan jangan lupakan kecanggungan Yotsuya – kun bila bertemu dengan Saki. Karakter Yotsuya disini adalah karakter favoritku. Tipikal cowok canggung yang tampan dengan jemari yang sangat cantik. Bahkan para pasien yang juga sangat menyukai jemari Yotsuya yang terlihat memesona jika sedang mengukur  cetakan gigi.

Kalau kalian tau bias aku siapa pasti juga bakal bisa nebak siapa yang kubayangkan sebagai Yotsuya – kun disini. Tetiba baper. Abaikan.

Terakhir, buat kalian yang memang sedang mencari alternatif genre buku yang ingin dibaca, aku akan sangat merekomendasikan buku ini sebagai selingan yang ringan namun tetap banyak memberikan pesan moral yang positif.

.

.

***


Filed under: Book Review, Uncategorized Tagged: cinderella teeth, resensi, sakaki tsukasa

[FICLET] Aturan Oktet

$
0
0

crystal-955935_960_720

-aminocte-

Kami akan saling melengkapi.

Natrium tak peduli.

Mungkin tetangga-tetangga penggosip mengatainya gila. Mungkin sahabat-sahabat lamanya menyebutnya naif. Bisa saja guru-gurunya yang telah sepuh dimakan usia menyebutnya terlalu baik dan lugu.

Namun, ia memilih untuk menutup telinga. Pura-pura tak mendengar.

“Kenapa harus Klorin? Kenapa harus dia? Kuliah pun tidak tamat. Kerjanya tidak jelas, temannya preman semua. Tukang palak, tukang buat onar. Pernah dipenjara juga karena mengutil di supermarket,” ujar Tuan Cesium, suatu ketika.

Natrium tertunduk dalam.

“Tapi itu lima tahun yang lalu, Pak. Sekarang dia sudah punya pekerjaan,” Gadis itu berdeham. “Dia juga sudah bercerita kepada Bapak, ‘kan? Kemarin, saat dia mampir ke rumah….”

Tuan Cesium  tersenyum setengah. “Pekerjaan? Bocah ingusan sepertinya hanya bisa membual. Dari gelagatnya saja Bapak tahu dia cuma mengarang cerita palsu. Punya bisnis baju kaus dengan omset ratusan juta? Hah, omong kosong!”

Senyum kecut tersungging di bibir gadis itu. Ia tahu, tahu benar bahwa Klorin hanya membual. Usaha  itu baru sebatas rencana saja. Namun, Klorin bilang bahwa kali ini, rencana itu sudah dipikirkannya masak-masak. Hanya saja, pelaksanaannya terkendala satu hal.

Modal.

Klorin berkata pada gadis itu bahwa bisnisnya butuh modal yang lumayan besar. Meski sudah berusaha keras, Klorin masih kekurangan satu juta Etro. Namun, Natrium tahu bahwa bagi keluarganya, uang senilai satu juta bukanlah sesuatu yang besar. Kalau pun bapaknya tidak setuju, Natrium punya simpanan uang di bank. Ia bisa memberikannya kapan saja, bila perlu, tanpa sepengetahuan bapaknya.

“Lagipula, dari sekian lelaki, kenapa harus Klorin? Bukankah lebih baik kamu menikah dengan Magnesium, cucu Tuan Radium? Atau… Stannum, anak bungsu Tuan Plumbum? Mereka lebih kaya, lebih mapan, dan lebih gagah dibandingkan Klorin. Bocah itu, aroma tubuhnya saja membuat Bapak muntah!”

Tidak ada jawaban.

“Nat, kenapa diam saja? Apakah kamu setuju? Bukankah Magnesium itu teman lamamu juga?”

“Dia sudah punya bertunangan dengan Nona Oksigen, Pak. Dua bulan lagi mereka akan menikah.”

“Kalau begitu, kamu dengan Stannum saja! Biar Bapak yang mengenalkanmu dengan keluarganya. Tuan Plumbum itu sahabat karib Bapak waktu kuliah. Dia pasti setuju. Kamu cerdas, santun, dan cantik. Jadi dokter di rumah sakit ternama pula. Sangat sepadan dengan anaknya.”

Natrium menggeleng. “Tidak mungkin, Pak. Tidak mungkin itu terjadi.”

Tuan Cesium seketika marah. “Apanya yang tidak mungkin? Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin! Semuanya bisa jika mau berusaha. Bapak tidak mau kamu nanti sengsara bila hidup bersama bocah ingusan itu. Bapak tidak rela cucu-cucu Bapak nanti punya masa depan yang suram karena ayahnya.”

“Mengertilah, Pak.” Suara Natrium terdengar memelas. “Tolong mengertilah. Aku mencintai Klorin apa adanya. Meskipun kami harus memulai semuanya dari nol, tidak masalah. Kami akan saling melengkapi.”

“Hah, saling melengkapi,” cibir Tuan Cesium. “Kamu masih muda, Nat, masih naif. Hidupmu akan sulit bila bersama bocah tidak jelas itu. Percayalah pada Bapak. Kamu berhak memilih yang lebih baik. Seperti Stannum itu. Ia benar-benar sempurna untuk menjadi menantu Bapak nanti.”

Natrium menggeleng.

“Tidak mungkin hal itu terjadi, Pak. Rencana Bapak itu melanggar aturan Oktet. Siapapun yang berani melanggar, maka rumah tangganya tidak akan pernah tenteram,” ujar Natrium. Matanya memandang lekat pada wajah bapaknya yang memucat.

“Seperti rumah tangga Bapak dan Ibu. Seperti keluarga ini. Karena Bapak memaksa untuk Nona Indium dua puluh tahun yang lalu, aku harus tumbuh besar tanpa sosok ibu. Aku tidak mau kelak anak-anakku bernasib serupa.” Natrium tergugu. Sosok lelaki paruh baya di hadapannya tampak kabur oleh genangan air matanya.

“Kumohon, mengertilah, Pak.”

fin

Terinspirasi sistem periodik unsur dan Aturan Oktet. Aturan Oktet merupakan suatu aturan dalam ilmu kimia yang menyatakan kecenderungan atom-atom unsur utama untuk saling berikatan, sehingga masing-masing atom akan memiliki 8 elektron valensi. Meskipun demikian, aturan ini memiliki beberapa pengecualian yang tidak dinyatakan dalam cerita ini.


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Aturan Oktet

[FICLET] Wage

$
0
0

poster wage

WAGE

Niswahikmah

.

ORANG yang selalu tertawa-tawa itu tinggal di depan sekolahan. Wage menamainya sekolah islami, tapi orang itu selalu berkata itu kampus besar, seperti kampus UNAIR katanya. Di depan sekolah itu, memang ada bangunan kumuh. Tampak seperti bekas markas geng motor, atau malah tempat ngeronda. Wage tidak seberapa tahu.

Yang ia ketahui, tempat kumuh itu ada yang meninggali sekarang. Lelaki botak yang meski bertukar akal, ucapannya terkadang rasional.

“Ya Pak Harto … hahaha, darahnya sudah kering, batok kepalanya habis dirajam. Munir sudah membakar hangus dia dengan kayu arang,” ceracau lelaki itu di akhir senja.

Wage menyempatkan diri mendengarkannya sepulang kerja. Karena memang ia pengajar di instansi swasta yang disebut “UNAIR” oleh bapak itu. Keningnya berkerut mendengar sumpah serapah itu. Seketika, ia mengingat rezim Suharto yang memang begitu dibenci oleh banyak rakyat saat itu.

Ibu Wage seorang aktivis yang dibunuh karena diduga menghalangi pemerintah menegakkan kerjasama perekonomian. Ia masih sempat merasakan buaian ibunya di malam sebelumnya. Tapi, paginya, lelaki seram menunjukkan kartu identitas berwarna kebiruan, meringkus ibunya. Ia belum tahu saat itu, kalau mereka akan membawa ibunya jauh, jauh darinya.

“Ibu ke mana, Pak?”

Pertanyaan sejenis itu terus-menerus ia lontarkan pada bapaknya. Balasannya, malah tangis tak terdengar milik sang bapak. Wage tidak berani bertanya lagi di hari selanjutnya.

“Kamu tahu? Suharto itu dulu nganiaya, ngerampok, terus merkosa juga. Walah, bocah edan!” Sedetik membicarakan presiden zaman dahulu, sedetik lagi mengumpati pohon yang menjatuhkan daun di kepalanya—tidak sesuai konteks pula. Itulah bapak tua yang dilihat Wage.

Diam-diam, Wage berbasah air mata ketika meletakkan sebungkus nasi di sebelahnya. Ia yakin, bapak tua itu akan memakannya serakus tikus kelaparan nanti.

***

HARI itu hujan. Selayaknya, ceracau lelaki itu menciut atau hilang sama sekali. Tapi, tidak. Yang terjadi malah lelaki itu berteriak-teriak pada langit. Wage mengedip sendu ketika melihatnya.

“Makan tahu tempe aja kok bosan, Gusti!” sekarang dia ingat Tuhan, lalu selanjutnya, “Ora ono gunane urip mek ngabdi karo wong londho!” kini ia menghujat orang asing.

Seberapa susahkah hidup bapak itu? Sesulit apakah masanya dulu, hingga keriput telah memenuhi tangannya, dan tulang pipinya menonjol mengerikan? Bajunya hanyalah satu, kadang-kadang tak pakai baju. Ke manakah anak dan istrinya? Apa tak berusaha mencarinya?

Dalam gerimis rintik, atas jasa bapak tua itu, Wage mengingat. Bapaknya sendiri adalah buruh pabrik berlabel GAP. Gajinya di zaman dahulu hanya 10.000 per bulan. Bekerja selama 20 jam untuk memproduksi baju-baju manusia. Penghasilan yang tidak manusiawi dibandingkan dengan harga barang produksi yang melangit. Laba besar diraup oleh pabrik itu sendiri.

Bapaknya bilang, “Le, jangan mau kerja jadi bawahan orang asing. Jangan jadi kayak bapak.”

Dan, gerimis rintik menyamarkan gemuruh dada Wage ketika mendekati lelaki gila itu. Ia menyadari ada foto yang basah di dekat tempat bapak itu duduk menghujat langit. Ia melihatnya, merupakan foto masa mudanya bersama dua orang wanita. Mungkin, anak dan istrinya.

Di baliknya, tinta meluber membentuk tulisan: Cikrak, Kinasih, lan Maryati.

“Pak Cikrak …” bisik Wage. Bapak itu menoleh, wajahnya basah.

***

SEPERTI hari-hari sebelumnya, Wage berniat mendatangi Pak Cikrak di akhir jam mengajarnya. Ia sudah tidak masuk dua hari, dan kini tiba-tiba merindukan sosok tua itu. Sosok tua yang membangkitkan ingatan akan pelariannya. Menjadi anak rantau demi menerbitkan senyum di wajah sang bapak.

“Pak Cikrak?”

Dan, alangkah terkejutnya Wage ketika mendapati lelaki itu telah teronggok tak berdaya di dalam markas kumuh itu. Ia memeriksa nadinya. Wage ingin menangis lagi, tatkala tahu kalau nadi itu diam.

Berdetaklah!, ingin ia berteriak.

Semakin terluka batinnya ketika melihat bekas-bekas memar di sekujur tubuh Pak Cikrak. Orang yang lewat berbisik-bisik, “Itu ‘kan orang gila yang digebukin polisi semalem. Polisinya mabok, terus diteriakin ama tuh orang. Ngamuk, deh, dia.”

Dalam diam, Wage bersimpuh memandang langit yang biru. Hatinya memohon keadilan, ketentraman hanya untuk hidup di tanahnya sendiri. Bukan permusuhan dan penghakiman.

Lantas, ia berjanji dalam hati: ingin mengurus pemakaman Pak Cikrak, dan pulang menemui Pak Cikrak yang lain—bapaknya!

.

.

.

* * *


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Wage

[ONESHOT] The Battlefield, Soldier and Medals

$
0
0

battlefield

.

who says only might ones deserve an anthem…

.

.

.

360 hari, statusnya resmi sendiri. Rasanya seperti mimpi.

Dia bukan pakarnya menghitung, suka juga tidak terlalu. Tapi sejak dia pergi dari Seoul, otomatis otaknya bekerja tiap hari, padahal inginnya tidak begitu.

Tepat 360 hari, Luhan tidak pernah lagi mendengar kabarnya dari seberang dunia. Dia juga tidak berusaha untuk mencari-cari, karena begitulah kesepakatan mereka.

Dia inginnya begitu, Luhan hanya mengiyakannya.

Luhan melakukan banyak hal setahun belakangan ini, bisa dibilang kegiatannya semakin sibuk saja. Biarlah orang mengatakan itu caranya mengalihkan pikirannya dari dia, karena mau tidak mau dia harus mengakui kalau itu benar, meski hanya beberapa persen. Sisanya, Luhan sangat menikmati apa yang dilakukannya.

Dia sering pergi camping, minimal sebulan sekali, bersama siapapun yang ingin bergabung. Kadang dia pergi bersama Minseok, kadang Chanyeol atau Baekhyun, teman-teman klub sepak bolanya, bahkan tak jarang dia mengajak profesornya untuk bergabung bila tidak sibuk. Kadang mereka pergi karaoke, bersepeda di taman-taman sungai Han, bermain Play Station, nonton film, bermain basket, atau hanya sekedar duduk dan mengobrol di depan TV.

Hal lain yang tiba-tiba menjadi kegiatan rutinnya belakangan, adalah berkencan.  He dates, like a lot. Setidaknya dia tidak sendiri di akhir minggu, ketika teman-temannya terlalu sibuk melayani keinginannya melakukan atau bermain ini itu. Dia pemuda yang cukup populer di institut, Luhan tahu itu, menyadarinya, dan tidak menyia-nyiakannya. Gadis-gadis menyukainya, mengantri untuk hanya sekedar duduk dan minum kopi bersamanya. Dia bersinar, bintang-bintang berkilauan karenanya.

Momennya pas sekali,  karena di saat yang sama Luhan butuh teman, dan mereka bagai ikan-ikan yang bergumul riuh di pinggir lautan mencari makan di kala surutnya gelombang. Pemandangan yang tidak lagi asing, tapi menyenangkan. Dia hanya perlu menunjuk satu saja, kailnya dilepas, tangkapan didapatnya segera. Instan, tidak buang banyak tenaga.

Menghabiskan waktu dengan banyak orang merupakan aktifitas pembuang waktu terbaik, karena dengan begitu dia bisa lupa.

Lupa bahwa hingga 360 hari berlalu, ketika sendiri, dia masih seseorang yang gagal move on.

Lupa bahwa hingga 360 hari berlalu, di kala sepi, dia masih memimpikannya tiap malam.

Lupa bahwa hingga detik ini, dia masih berlaga dalam rana. Mengangkat senjata, bergelut melawan yang dulu. Sendirian.

Padahal segalanya berakhir dengan baik. Mereka memutuskan untuk benar-benar mengakhiri kebersamaan ini dalam damai, dengan segala pertimbangan. Karena pada akhirnya mereka menyadari, selamanya hanya ada di dunia fantasia.

Pada akhirnya, dia harus pergi, dan dia tetap di sini.

.

“Kenapa kau tidak bersama Chaerin saja, sih? Kenapa harus berganti-ganti teman kencan seperti itu?” tanya Chanyeol suatu hari ketika mengomentari fenomena yang tejadi padanya baru-baru itu.

Tampaknya ada seseorang yang merasa perlu membahas ini dan memutuskan untuk memberitahu Chanyeol, Baekhyun, Jongin, juga Taemin mengenai fenomena itu. Luhan melirik Minseok tidak senang ketika obrolan ini dimulai, saat itu dia dihakimi bersama-sama.

Yah, jangan bicara seolah-olah aku melakukan dosa besar. Dari siapa aku belajar berkencan dengan banyak gadis?” Luhan melirik Baekhyun saat mengatakannya, niatnya meledek. Tapi tampaknya yang merasa dibicarakan tidak mau disalahkan.

Baekhyun protes. “Hyung, aku tidak berkencan dengan gadis-gadis seperti orang depresi. Dan pastinya tidak selalu ganti tiap minggu. Kau tahu apa sekarang mereka menyebutmu?”

Oneshot. Para gadis memakai kata itu untuk menyebutnya, karena dia tidak pernah berkencan dengan seorang gadis lebih dari sekali. Luhan hanya berdecak pelan mendengarnya, ingin tertawa tapi urung. Dia tidak lagi yakin apa yang bisa ditertawakan.

Miris sekali, karena sebenarnya Luhan ingin lebih. Dia ingin berkencan lagi dengan beberapa di antara mereka, tapi selalu ada hal yang membuatnya kehilangan minat. Luhan benci harus mengakui ini, hanya karena dia tidak bisa berhenti membandingkan mereka dengannya.

Terlalu banyak bicara.

Terlalu manja.

Terlalu membosankan.

Terlalu banyak ingin tahu.

Dan berjuta alasan lainnya. Seolah tidak bisa ditoleransi lagi, karena dia mencari gadis yang lebih baik. Tapi tidak ada yang lebih baik hingga detik ini. Sayang sekali.

Luhan lalu menjawab keingintahuan mereka, “Kalian tidak boleh membicarakan Chaerin seperti ini. Dia bukan substitusi.” Katanya. Rasanya tidak adil bila mereka menyangkut pautkan nama Chaerin dalam obrolan ini, hanya karena mereka pernah dekat. Dan terlebih lagi, karena Chaerin cenderung tidak bicara lagi dengannya sekarang.

Gadis itu menganggap dirinya substitutsi, dan Luhan mengesahkannya ketika pernah memilih untuk menghubungi Chaerin daripada Minseok saat bosan. Lalu ketika dia mengakhirinya, Luhan bahkan tidak lagi pernah melirik nama gadis itu di layar ponselnya.

“Substitusi katamu? Bukankah itu yang setahun ini kaucari?”

Taemin yang mengatakannya. Dan kalimat itu seperti pukulan telak yang menghantam ulu hatinya. Seketika dia tumbang, tidak berkomentar begitu mendengar satu-persatu lima orang di sekelilingnya mengamini kalimat barusan.

Iya, dia jahat, itu jelas sekali. Luhan bahkan menyadari beberapa teman Chaerin memusuhinya  karena ini. Tapi sepertinya begitu lebih baik, dia tidak rela bila harus mengorbankan Chaerin demi egonya. Karena dia tahu gadis itu menyukainya sejak SMA, dan kejam sekali rasanya bila membiarkan Chaerin berpikir seolah memiliki kesempatan meluluhkan hatinya.

Chaerin adalah gadis yang menyenangkan, juga teman favoritnya, Luhan tidak akan melakukan itu padanya.

Sementara para gadis yang bersamanya belakangan ini berbeda.

“Relaks saja, bagaimana, Hyung? Lebih baik kau berkencan serius kalau benar-benar siap. Meniru Baekhyun bukan jalan keluar yang benar, ini tidak baik untuk kesehatanmu.” Chanyeol berkata lagi (seraya menyuruh diam saat Baekhyun kembali protes ketika namanya disangkutkan).

Kalau keadaannya normal, mereka mungkin akan terpingkal menertawai obrolan ini, tapi tampaknya saat ini semuanya sedikit tegang karena tak ada satupun yang terkekeh seperti biasa. Luhan bisa melihat adanya canda di akhir kalimat, tapi dia tidak tertawa. Dia bahkan sudah tidak lagi tertarik untuk melanjutkan pembicaraannya.

Sungguh, ini benar-benar bukan urusan mereka. Luhan tidak habis pikir kenapa mereka sampai repot mengadakan pertemuan ini, mendudukkannya, hanya untuk mengatainya dengan berbagai istilah.

Kau terlihat seperti orang depresi.

Kau sakit.

Kau menyedihkan.

Menyedihkan. Itu sebutan paling mematikan sepanjang sejarah. Seakan-akan dia virus menular yang seharusnya dimusnahkan, dan semua ini tidak ada artinya. Tapi mereka tidak tahu. Mereka tidak merasakan apa yang dia jalani dan perjuangkan saat ini.

Mereka tidak akan mengerti.

“Aku tidak ingin membicarakannya lagi. Bubar.” Perintahnya.

Tidak ada yang bergerak. Luhan harus mengancam mereka—dengan mengeluarkan ponsel—akan mengeset lokasinya saat ini. Dan mereka menyadari bagaimana dampaknya berita itu bagi teman-teman selebritisnya ketika para penggemar mereka membombardir sudut taman ini dalam hitungan menit. Salah seorang temannya selebriti papan atas, dan lainnya kini sedang naik daun. Hanya dengan sekali enter pertemuan ini akan berakhir, tapi mereka menghentikannya. Satu-persatu teman-temannya membubarkan diri, dan berlari ke tengah lapangan bermain basket dadakan.

Kecuali satu orang yang masih duduk di sampingnya tanpa suara. Jongin, yang hanya diam sepanjang obrolan mereka mengenai ‘kegiatan’nya malam ini. Bahkan bisa dibilang anak itu hampir tidak mengatakan apa-apa padanya sejak datang.

Mereka duduk di sana dalam posisi dan keadaan yang sama setidaknya hampir tiga menit sampai sebuah kalimat terlontar, “Tidak bisakah kau tidak melakukannya lagi?”

“Jongin, sudah kubilang aku tidak ingin membicarakannya.”

Jongin selalu bilang bahwa dia ingin sekali bicara dengannya, tapi tidak pernah ada waktu. Banyak sekali yang terjadi setahun belakangan ini, itu termasuk saat Jongin memutuskan untuk menandatangani kontrak kerja bersama agensi Taemin bulan Februari lalu, kemudian debut bersama Oh Sehun dalam sebuah grup musik bernama EXO sebulan kemudian.

Mereka hampir tidak pernah bertemu, hanya saling sapa melalui video call ketika Baekhyun atau Chanyeol meneleponnya. Bisa dibilang ini pertemuan pertamanya dengan Jongin sejak pesta musim dingin lalu di Eructo Feliz. Anak itu pasti punya banyak sekali hal yang ingin dikatakannya.

“Apa yang sebenarnya terjadi denganmu?” Jongin bertanya lagi, belum menyerah.

Aku sedang berperang, itu yang terjadi. Luhan menjawabnya, hanya di dalam hati.

“Dia tidak akan menyukai ini, kau tahu itu kan. Dia tidak akan suka kalau tahu kau bersikap seperti ini.  Ini salah, kau tahu kan. Ini salah.”

Kau yang salah, dia tidak akan peduli. Masih dari dalam hatinya.

“Kenapa kau tidak menyalahkanku saja? Kalau itu membuatmu lega, daripada terus seperti ini lebih baik lampiaskan saja kemarahanmu. Aku akan menerimanya.” Jongin menampisnya lagi.

Luhan tahu hingga saat ini Jongin masih menyesali drama yang terjadi di antara mereka dan dia. Mereka selalu tampak biasa saja di depan semua orang, seperti baik-baik saja, tapi Jongin selalu menunjukkannya dengan jelas saat mereka hanya berdua. Dan Luhan amat, sangat, tidak menyukainya. Ini seperti saat dulu, ketika mereka masih kecil, Jongin pernah tidak sengaja mendorongnya dari puncak benteng di area main anak-anak, membuat kakinya retak. Jongin menyalahkan diri dan terus menerus meminta maaf selama sebulan penuh.

Dia tidak suka bila Jongin terus mengatakannya sepanjang waktu.

“Lalu apa yang akan kaulakukan kalau aku menyalahkanmu?” Luhan bertanya. “Apa itu akan membuatnya kembali? Apa waktu bisa diulangi?”

Kini Jongin tidak menjawab.

“Aku tidak percaya kau masih saja membahasnya, Jongin. Yang sudah terjadi tidak akan bisa kauperbaiki, sudah berapa kali aku mengatakannya. Aku ingin melupakannya, bila kau tidak bisa, maka simpanlah sendiri. Itu hukumanmu, bukan urusanku.”

Begitu mengatakannya, Luhan beranjak dan pergi. Kesalnya sudah berada di puncak hingga dia rasanya ingin memukul Jongin karena ini. Dia tidak ingin terpancing, tidak ingin tersulut amarah hanya karena memori yang sudah lama. Dan Jongin selalu saja begitu. Anak brengsek itu seolah tidak ingin dia hidup tenang, melihat mukanya saja seolah ingin minta dihajar.

Luhan berhenti melangkah. Seketika dia sadar bahwa ini yang mungkin Jongin inginkan. Melihat amarahnya memuncak dan melampiaskannya dengan nyata. Meski belum seluruhnya keluar ….

Kepalanya tertunduk, matanya terpejam sesaat. Ketika dia berhenti dan berbalik, Jongin menatapnya dengan senyum sumringah.

“Ya, seperti itu,” Kata anak itu, kemudian, “Lanjutkan saja.”

Brengsek.

“Kau beruntung aku punya kontrol yang bagus.” Ujar Luhan, sebelum dia berlari menghampiri Jongin dan memukuli anak itu dengan kepalan tangannya tanpa ampun.

“Aw! Aw! Aduuuh!”

Jongin tertawa, mengaduh, tapi tidak meminta ampun. Dia menerima semua pukulannya dengan senang hati, seperti masokis psikopatik.

Lalu teman-temannya bergabung, beberapa ikut memukuli. Dia tertawa, mereka juga tertawa. Lalu dia menangis.

Apalagi yang dia butuhkan bila teman-temannya di sini?

Luhan ingin memberitahu mereka bahwa beginilah caranya tetap bersiteguh, to keep him sane. Dia hanya perlu waktu, dan membiarkan waktu itu menjawab kapan harus berhenti berjalan. Yang terpenting dia sudah berusaha untuk melangkah.

Karena saat ini dia seperti prajurit perang di ujung perjuangan. Dengan terus maju, dia akan baik-baik saja. Meski hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi pada dirinya, itu nanti saja. Perjalanannya masih panjang, dan seorang pahlawan adalah mereka yang hidup dengan mimpi-mimpi buruk di medan pertempuran. Membawa bekas-bekas lukanya sebagai bukti kemenangan.

Dan bekas luka itu membuatnya dewasa. Bekas luka itu menuntunnya keluar dari hujan panah dan peluru tembak, menjadi senjata perlindungan, pertahanan, juga kekuatan.

Lalu pada akhirnya, segala sesuatu akan indah pada waktunya.

.

.

.

* * *


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Byun Baekhyun, Kim Jongin, Kim Minseok, Lee Taemin, Lu Han, Park Chanyeol

[FICLET] Si Kurator Sinting dan Kiarakuma

$
0
0

GarasiOpa_FotoToko_06-490x347

Credit pict; here

Iya, sesuatu itu adalah Kiarakuma, dan rupanya, kurator sinting itu tahu benar apa yang sedang kurasa dan kuinginkan.

.

Kiarakuma.

Namanya bagus, kan? Aku tak ingat kapan menamainya begitu. Sekonyong-konyong nama itu menetes dari bibir ketika sosoknya didekap erat oleh sepasang mataku.

Saat pertama kali menemukannya, dia sedang berdiri di samping piano tua. Tubuhnya yang indah terbalut kain usang berwarna merah dengan corak bunga tulip yang menyakitkan mata. Wajahnya tampak polos, tapi seksi.

“Kau menyukainya?” Kala itu, seorang teman bertanya padaku sambil tersenyum penuh maksud. Sejurus aku terdiam dan gelagatku yang salah tingkah telah menjadi jawaban mutlak atas pertanyaan konyol itu. “Bawa pulang saja, biar kalian sama-sama senang,” katanya sebelum tertawa keras sekali.

“Sama-sama senang bagaimana?” tanyaku pura-pura tak mengerti, tapi temanku malah melengang pergi sambil menghisap cerutunya.

Temanku yang itu memang tak pernah banyak bicara—tak banyak bukan berarti tak pernah—entah karena malas atau memang tak berminat menghambur-hamburkan kosakata. Yang jelas, dalam diamnya dia menjelma menjadi pemerhati yang hebat. Entah harus senang atau marah saat tahu jika diriku menjadi satu dari sekian banyak objek yang diperhatikannya. Tapi kalau dipikir-pikir, untuk apa aku marah? Toh dia tidak menghakimiku.

Aku ingat, di suatu malam dia pernah datang ke rumahku sambil membawa tiga botol besar bir hitam. Begitu kubukakan pintu, dia cekikikan sambil bertanya, “Bagaimana? Asyik, kan, dia?” Kujawab saja apa adanya; ya, Kiarakuma adalah makhluk paling asyik yang pernah kutahu. Aku suka dia dari atas sampai bawah dan dari luar sampai dalam.

Kami pun duduk bersama di ruang televisi, minum bir sambil makan kacang. Dia bercerita tentang bisnisnya yang sedang oke, istrinya yang selingkuh, dan anak perempuannya yang ‘dibawa kabur’ oleh juragan minyak. Ah, tentu saja bercerita di sini adalah bercerita a la dia; ngawur, memakan kacang atau meneguk birnya setelah berhasil menyelesaikan satu kalimat. Tak perlu lah prolog atau apa, tahu-tahu konflik ceritanya ia muntahkan, lalu dengan dinginnya dia akan bilang, “Aku tak tahu, sebenarnya ini masalah atau lelucon?” Ya, katanya sejak dulu dia selalu kesulitan untuk membedakan mana masalah dan mana lelucon. Parah sekali hidupnya.

“Apa kau punya rencana untuk merajut kisah cinta sungguhan?”

Pertanyaan yang dilontarkan pria itu selalu saja membuatku seperti tengah dicium Medusa. Aku tak mengerti, dia itu punya sejenis indera keenam atau apa. Aku selalu merasa tertangkap basah setiap kali ditanyai ini dan itu olehnya. Mengerikan.

Aku kenal dia enam bulan lalu. Di Jogja, ketika aku hadir ke acara pameran seni. Dia adalah kuratornya—kurator sinting bisa dibilang. Saat pertama kali melihatnya, kata sinting langsung menggantung di depan wajah. Padahal kalau dilihat secara visual dia itu relatif normal, saat pertama kali berbincang pun kurasa dia cukup waras. Tapi, kesintingannya langsung menguar saat ia membisikkan sesuatu ke telinga kiriku. “Lihat, deh, yang di pojok itu. Seksi banget, kan?” Aku tahu dia sedang serius, karena beberapa detik setelah mengumandangkan pernyataan eksentrik itu, ekspresi wajahnya menjadi—ah, sudahlah—mungkin hanya kami yang pria saja yang paham.

Oh, kembali ke cerita.

Setelah terpekur beberapa saat, aku pun menjawab, “Tidak tahu, mungkin punya. Memangnya kenapa?”

Dia terdiam, lantas meneguk birnya dengan perlahan. Ekspresinya seperti koboi yang mampir ke bar untuk meratapi nasibnya yang baru saja kalah judi. “Tidak usahlah, rasanya tidak enak.” Dia menatapku. “Puasnya tidak sampai sini,” bisiknya sambil menunjuk dada. Hah, sok melankolis.

Eh, omong-omong, apa aku sudah bilang kalau gap umur kami lumayan jauh? Ya, tujuh belas tahun. Januari kemarin dia baru ulang tahun yang ke empat puluh dua, sedangkan September nanti usiaku baru menginjak dua puluh lima.

Senang rasanya saat tahu kalau dia tinggal di Bandung, plus punya toko barang antik di daerah Hegarmanah yang biasa dikunjungi oleh anak-anak muda yang sok mengerti estetika seperti aku. Tempat itu seperti surga. Kami bisa ‘senang’ tanpa harus bersenggama dengan siapa atau—yah, mungkin—apa. Hahaha.

Dan sore itu, aku melihatnya bertengkar dengan seorang wanita bule. Tak kusangka, wanita itu ternyata adalah istrinya. Sekilas wajahnya seperti Felicity Jones, tapi entah kenapa cara pria itu menatapnya seperti sedang menatap tumpukan sampah.

“Umurmu berapa?”

Tiba-tiba dia datang menghampiriku yang sedang mengelus permukaan sebuah koper yang terasa halus—begitu menggetarkan. “Menuju dua puluh lima.”

“Sudah tidur dengan perempuan berapa kali?”

Hah, dasar gila. Kenal saja belum lama tapi pertanyaannya sudah membuatku panas dingin. “Belum pernah,” jawabku langsung.

“Oh. Apa yang kausuka itu laki-laki?” Aku menggeleng. “Makhluk hidup memang merepotkan. Tidak apa-apa, aku mengerti, kok.”

“Ya, terima kasih.”

“Kau naksir koper itu?”

Mataku melebar, dan—sialnya—matanya yang kebetulan menatapku langsung menghantarkan komando pada otaknya agar meloloskan ekspresi yang sangat mudah terbaca olehku. “Jangan dia, dia itu… gampang berkhianat. Yang lain saja, lagipula aku tak menangkap sinyal bahwa kalian berjodoh.”

Aku terkejut. Kepalaku mendadak sakit; rasanya seperti baru ditimpuk Burj Khalifa. Refleks aku meninggalkannya, berjalan menuju ruang depan di mana di sana terdapat alat musik dan guci-guci tua.

“Cerutu ini enak, mau coba?”

Sialan.

Saat itu aku bahkan tak sadar kalau dia mengekor di belakang. Sebenarnya aku ingin cepat-cepat pergi, tapi ada sesuatu tengah menyita perhatianku secara besar-besaran, makanya aku menunda kepergianku sedikit lebih lama. Iya, sesuatu itu adalah Kiarakuma, dan rupanya, kurator sinting itu tahu benar apa yang sedang kurasa dan kuinginkan.

“Kau menyukainya?” tanya pria itu.

Uh, tepat sasaran.

-fin.

A/N:

  1. Kiarakuma adalah nama anak dari Iga Massardi, tak pinjem ya mz namanya. Heuheu, lucu.
  2. Um, ya, benar. Pria-pria di atas memang mengidap objectophilia. Kasian.

Filed under: one shot, original fiction Tagged: Si Kurator Sinting dan Kiarakuma

[FICLET] The Longest Second

$
0
0

tumblr_nfly3j1d121qhj03go1_1280

Semua itu untuk satu detik yang berubah menjadi satu jam.

by S. Sher || Photo © Euluxe || Inspired by The Silkworm by Roberth Galbraith & How I Met Your Mother: Season 3, Ep. Miracles.

Spring.

05:49 P.M.

 

Ada momen di mana setiap detail dari keadaan sekitarmu menjadi sangat jelas. Biasanya momen itu sangat menguras emosi, sangat mendebarkan hingga cukup ahli mengaktifkan indramu naik ke level tertinggi. Detak jantungmu terasa sangat lambat, setiap gerakan kecil yang kaubuat tampak kentara, sebuah suara kecil yang jauh tersembunyi berhasil ditangkap telingamu; semua itu untuk satu detik yang berubah menjadi satu jam.

Dan untukku hal itu terjadi saat ini.

Aku bisa mendengar suara angin yang berembus cepat, melihat seorang lelaki asing memandang dari balik jendela lantai lima apartemen, pun bau parfum yang melekat di kursi mobil ini secara tiba-tiba menguat. Bukan hanya itu, aku mampu memerkirakan ke mana tiga detik selanjutnya akan membawaku, dan selama tiga detik yang panjang ini, puluhan memori meledak dari kotak usang di belakang otak.

Detik pertama.

Bagaimana ayah juga ibu yang suka memarahiku di minggu sore ketika aku kecil karena kembali dengan wajah berlumuran lumpur, tapi setelahnya, mereka juga yang akan membersihkan wajahku dengan kasih sayang. Lantas ada kakak lelakiku yang selalu menjemputku paksa dari pesta ketika waktu telah menyentuh pukul sebelas malam. Dan ada anjing-anjingku, Noar dan Blanco yang akan langsung melompat tanpa ragu jika aku membuka pintu membawa mainan.

Mereka adalah orang-orang dan dua peliharaan yang aku sayangi, membentuk kehangatan rumah yang memorinya dipenuhi beragam hal; kisah menyedihkan, teriakan tidak penting dari ruang tamu, sampai tawa tulus yang selalu aku ingat.

Sejatinya, mereka tidak hanya menghangatkan rumah, mereka adalah rumah.

Detik kedua.

Semua temanku, cerita tentang kuliah, masa remaja, dan kegiatan di luar rumah lainnya. Tentang orang-orang yang pernah mengisi hariku dengan kisah-kisah menarik. Soal mereka yang pernah merusak hariku dengan mengajakku bertengkar di depan ruang kelas juga soal teman-temanku yang mau membelaku, menyebabkan seorang guru harus turun tangan, dan setelahnya kami diskors selama tiga hari. Mengenai kami yang diceburkan ke kolam renang pada pesta musim panas di masa kuliah, atau akan aku yang bermain bola-bola salju bersama mereka.

Seharusnya aku meminta maaf, berterima kasih, dan mengucapkan cinta pada mereka semua yang layak mendapatkannya, namun aku terlalu bodoh untuk memanfaatkan waktu yang pernah ada.

Detik ketiga.

Dia ada di detik terakhir, detik ketiga, aku tak mengerti kenapa. Akan tetapi, mungkin saat ini aku bisa mengerti bagaimana rasa ketika ia berada pada detik-detik terakhir hidupnya di dalam mobil yang bentuknya telah remuk. Dia adalah Haven.

Seseorang yang sudah pergi meninggalkanku ke dunia berbeda tanpa salam perpisahan, hanya janji bahwa kita bisa melihat sunrise dari puncak gunung suatu saat nanti; janji yang tidak akan pernah terpenuhi sampai aku mati lantaran ia yang tidak bisa mendaki lagi.

Seseorang yang aku rindukan.

Lantas, berlangsunglah detik di mana duniaku hancur—

Brak!

Jantungku yang memompa darah sangat lambat selama tiga detik hanya butuh satu benturan untuk bekerja di luar batas normal. Satu manuver di jalan sehabis hujan untuk menghindari mobil yang dengan sembrononya menerobos lampu merah hanya menghasilkan tumbukan lainnya dengan mobil dari arah kanan. Mobil itu menabrak sisi mobilku, menciptakan bunyi gesekan yang melukai gendang telinga, menjadikan kaca di sampingku pecah hingga tinggal kepingan dan kepalaku membentur benda padat.

Lagi, salah satu detik-detik paling panjang seumur hidupku. Letupan-letupan emosi kecil merayap ke dalam diriku, letupannya memercikan api yang merambat kian kemari tanpa arah, panik. Ada rasa takut terhadap kematian, satu bayangan akan pengemudi di mobil sebelah, sebuah usaha keras untuk tetap meraup oksigen di sekitar, dan keinginan besar untuk bisa bertemu orang-orang yang aku sayangi.

Satu detik berikutnya, semua lebur jadi satu dalam dunia yang tidak aku ketahui.


Filed under: one shot, original fiction Tagged: The Longest Second

[Ficlet] Come Home

$
0
0

Come Home

by dhamalashobita | photo ©  gbi.photoshelter | Inspired by Come Home – One Republic ft. Sara Barailles

Aku ingin pulang kepadamu.

.

.

Lagu itu tidak pernah sesyahdu lagu-lagu balada lainnya. Tidak ada suara orkestra ramai yang melatarbelakangi nada-nada berlirik tersebut. Suara tuts-tuts piano adalah satu-satunya yang terdengar di belakang suara Ryan Tedder di awal lagu. Itu pun hanya berupa chord yang dibunyikan bergantian. Bukan melodi-melodi balada romantik kontemporer seperti milik Yiruma.

Tapi, selalu ada yang bisa membawaku ke dalam dunia lain dari lagu itu. Dunia yang diam-diam sedang kuciptakan sendiri dalam imajinasiku.

*

Hamparan rumput luas, satu rumah bercat hijau mint tepat di depan danau. Ada undakan kayu sebelum tiba ke terasnya, kemudian kau dapat duduk di sana, sekadar menikmati riak-riak air danau yang berwarna kehijauan, atau mendengarkan kicauan burung yang berlalu-lalang bebas di depanmu.

Aku berjalan pelan dari kejauhan sebelum berhenti di bawah sebuah pohon mapel. Pundakku menggendong tas ransel besar. Isinya tidak banyak, hanya beberapa pakaian yang pernah kubawa keluar dari rumah. Ah, aku lupa mengatakannya. Di teras, ada sebuah kursi goyang dari kayu jati yang sudah dipelitur. Juga dirimu, seorang laki-laki paruh baya yang masih saja terasa tampan di mataku. Jemarimu memetik gitar tua, memainkan lagu pengantar tidur kesayangan gadis kecilmu. Sambil bernyanyi dengan suara sumbang yang seringkali membuatku tertawa.

Rasanya aku baru pergi kemarin sore, tetapi tak sadar ketika kembali, kau sudah tidak lagi sama. Tetap terlihat tampan memang, tetapi rasanya sulit untuk mendekat. Sebuah kaca tebal berdiri beberapa meter dari rumah, menghalangiku masuk sehingga aku diam-diam mulai menangis.

Aku ingin pulang kepadamu.

*

Tiap denting nada laksana pintu yang terbuka. Gesekan biola yang semula pelan, mengeras seiring jalannya lagu. Setiap nada yang terdengar sedikit dominan, membuatku seolah melalui sebuah check point. Lap pertama, kedua, juga ketiga. Begitu aku berhitung seiring dengan nada yang mengalun. Setiap kali si penyanyi mengakhiri chorus dengan kata-kata come home, tubuhku tertarik lebih jauh satu langkah. Dadaku penuh sesak. Seperti rindu yang lama kau tahan hingga tidak bisa lagi diungkapkan. Seperti cinta yang tidak bisa tersampaikan. Semakin kudengar detik demi detik melodinya, semakin ingin aku pulang. Tentu saja ke rumah di depan danau, dengan kau di dalamnya.

Tapi paruh kedua lagu memberikanku sugesti berbeda. Aku yang menunggumu pulang kini.

*

Aku tidak berani menduduki kursi goyang yang kau pelitur dengan tanganmu sendiri. Takut-takut jika kau kembali dan mendapati kursi goyangmu tak lagi kosong, kau akan berbalik dan pergi lagi. Jadi, aku memutuskan untuk duduk di kursi rotan kecil, yang juga kaubuatkan untukku. Aku sudah pulang sekarang, tapi ganti kau yang menghilang.

Kau sudah melewatkan nilai-nilai raporku sejak sekolah dasar, melewatkan piala lomba menyanyi pertamaku, melewatkan cerita tentang cinta pertamaku, dan melewatkan kidung-kidung yang harusnya kau nyanyikan sebelum aku tertidur.

Jadi sekarang aku ingin kau kembali.

Usiaku belum terlalu tua untuk dapat menceritakanmu cerita tentang cinta pertamaku, karena aku masih mengenangnya. Kau masih bisa menyanyikanku lagu sebelum tidur dengan gitar tuamu yang sudah tak lagi merdu. Kau bisa bergurau bersamaku lagi, mengayuh sepeda bersama ke kota ataupun memancing di danau sementara aku melukis potretmu yang tengah memancing dengan bahagia.

Dulu ataupun sekarang, rasa-rasanya aku butuh waktu lebih lama lagi untuk melakukan hal-hal bersamamu.

*

Klimaksnya berada di suara ricuh musik yang berbalut emosi penyanyi. Ketika itu, aku ingat apa yang menarikku pulang. Mimpi-mimpi dan kenanganku bersamamu. Kenangan memang jahat, bukan? Mereka mendominasi pikiran, dan melodi yang kudengar hanya sebuah simulasi. Tiap nadanya membuatku berimajinasi, dan berharap kau akan hadir dalam mimpi.

Sebelum lagu itu habis, aku menangis. Kenangan berhasil memonopoliku. Pun, sama halnya dengan rasa sesal.

Aku lupa, jika saja aku pulang lebih awal saat itu, mungkin akan ada waktu lebih lama untuk kita bersama, melakukan banyak hal-hal yang menyenangkan.

Nada terakhir selesai kudengar.

Datanglah dalam mimpiku malam ini, kita dengarkan lagu ini bersama-sama, dan bertaruh siapa yang memiliki rindu lebih dalam. Aku, atau dirimu.


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Come Home

[ONESHOT] Kumpulan Rasa Dalam Kotak

$
0
0

46_3_4-Photo

by theboleroo

.

“…jika memang terlalu kekeuh untuk tak berpaling, maka nikmati dan biarkan semuanya beradaptasi dengan alami.”

.

Mendatangi tempat itu adalah sesuatu yang haram untuknya. Tapi mau bagaimana lagi? Istilah kepepet memaksanya untuk menjilat ludah sendiri kendati ia tahu jika perbuatan itu tak layak untuk dipuji. Dengan langkah terbata pria itu merapikan tekadnya yang berserak menjadi bulat sempurna untuk kemudian diamankan di saku parka biru yang membungkus tubuh gempalnya. Ia menarik napas sepanjang kereta api, lantas mengembuskannya kencang sekali sampai pohon-pohon kelapa bergoyang.

Keputusan ini sesungguhnya telah membuat hati dan pikirannya bertengkar hebat; mereka saling menghina seperti musuh bebuyutan yang tak ditakdirkan akur sampai kiamat tiba. Ia terganggu, tentu saja. Tapi tak ada yang bisa dilakukannya selain menulikan diri sambil melantukan lagu favorit mendiang sang kakek. “Berkebun~ mari berkebun~ aku menanam uang, kamu menanam cabe. Siapa yang nantinya bakal lebih kaya? Aku atau kamu tak masalah. Ayo berkebun~ aku di atap rumah dan kamu di jamban tetangga.”

Sebulanan kemarin ia galau menimbang keputusan apa yang harus diambil. Ia mulai kewalahan menghadapi gengsinya yang mengamuk, tapi di sisi lain jalan termanis dalam mengatasi masalah ini adalah dengan datang ke tempat itu. Persetan dengan harga diri, kalau pun angkanya habis terkikis, masih ada predikat gratis yang siap untuk merampok perhatian siapa saja yang menginginkannya.

Dengan malas ia melirik arloji yang melingkar di leher; masih pukul dua siang tapi—uh—langit sudah segelap liang duburnya. Matahari memang sedang cuti bekerja setidaknya sampai seminggu ke depan, menurut berita dari surat kabar, sekarang tugasnya telah diambil alih oleh pelangi yang membentang lesu di langit sambil memamerkan tampangnya yang asam laksana cuka dapur. Intensi untuk menyapa jelas tak ada, ia terlalu sibuk memaksa sepasang tungkai kakinya untuk melangkah khidmat di setapak berbatu yang dipenuhi kotoran kuda dengan ritme yang pas, fokus yang ia tumpahkan adalah tiga puluh lima persen, agaknya cukup jika hanya untuk berjaga-jaga agar kakinya tak memagut kotoran berengsek itu. Pohon kelapa yang berjajar di pinggir jalan seolah mengolok-olok kepergiannya. Tubuh mereka bergoyang ke sana dan mari, pun daun-daunnya berdesau dengan irama mengejek yang teramat pekat. Ia melempar tatapan nyalang beberapa kali, tapi pohon-pohon kelapa itu seolah tak peduli dan tak menggubris sama sekali.

Diam-diam ia menyuruh pikirannya untuk sampai lebih dulu ke tempat itu. Mengintip tentu bukan gayanya. Tapi—sekali lagi—istilah kepepet lah yang membuatnya jadi begini. Di sana ia melihat apa yang digalaukannya sedang tertawa seperti tak ada hari esok. Aroma kesedihan jelas nihil, yang terhidu hanyalah pengharapan akan masa depan yang lebih menyenangkan. Itu sangat menyebalkan buatnya, dan meski sudah menduga jika efek kedatangannya akan melenceng jutaan mil dari ekspektasi, ia tetap tak gentar dan bersikeras untuk menuntaskan niatnya. “Sini, pulang saja.” Ia berucap monoton dan tak lama kemudian pikirannya kembali dengan kemurungan yang luar biasa. “Maaf, ya.” Sejurus tangan kirinya menyelinap masuk ke dalam kepala, membelai pikirannya yang tenggelam di danau kesengsaraan dengan gerakan super lambat. Memang, tidak semua hal yang rusak bisa diperbaiki. Kalau pun bisa, tentu mereka takkan sempurna lagi. Adalah sebuah kewajaran jika hal itu terjadi, tak perlu lah menyalahkan siapa-siapa, jika memang terlalu kekeuh untuk tak berpaling, maka nikmati dan biarkan semuanya beradaptasi dengan alami. Ia tersenyum, lalu mengamini gagasan tersebut. Ya, hitung-hitung menghibur diri lah.

Kecepatan pijakannya perlahan bertambah, mirip setengah berlari. Ia tak mau membuang banyak waktu lagi. Maunya, sih, ia mampu memangkas durasi perjalanan supaya bisa cepat pulang ke rumah, karena cuma di sana ia bisa menikmati sop kaki babi buatan ibunya, menggauli alunan musik milik Olivier Messiaen yang disinyalir sebagai anthem frustrasi milik sang ayah, berenang gaya katak di sumur galian milik tetangga, serta merusak koleksi lego adiknya yang disusun di atas genteng rumah. Aduh, surga.

Dari kejauhan sebuah cerobong asap akhirnya terlihat. Ada aroma pai apel berbaur dan berdansa dengan udara, menyebar lapar ke seluruh penjuru desa. Hanya ada lima buah rumah yang berdiri anggun di sana, setiap rumah berjarak setidaknya lima belas meter satu sama lain. Dulu ia sering ke sana, mencipta cinta di lantai dua salah satu rumah bersama sumber kegalauannya. Serta merta langkahnya melambat akibat rasa takut yang mendominasi dari ujung kaki sampai ujung kepala. Keraguan juga sama gilanya, mereka sibuk menghujam setiap inci tekad yang sedari tadi bersemayam cantik di dalam saku parkanya.

Apa memang benar harus dilanjutkan? Tubuhnya bergoyang tiba-tiba, ia tahu jika ini adalah akibat dari kakinya yang kini selembek jeli. Tapi bagaimana pun juga ia harus menyelesaikan apa yang sudah dimulainya. Ia tak mau mempecundangi dirinya sendiri, apa pun hasilnya kelak, ia harus siap. Pun jika memang hanya picingan mata dan bantingan pintu yang akan didapat, ia harus sigap.

Aroma pai apel itu kini semakin ganas menusuk indera penciumannya; lezat dan memabukan seperti wine mahal. Ia jadi ingat, dulu mereka pernah memasak pai bersama sambil bersahutan kalimat cinta yang seyogianya akan membuat siapa pun muntah saat mendengarnya. Ia tersenyum, sadar jika jiwanya kini sudah jauh lebih rileks—terlebih ketika ia memasuki pekarangan rumah si sumber kegalauan yang ia yakini masih sejelita Audrey Hepburn.

“Selamat siang,” katanya sambil mengetuk pintu sebanyak dua kali. Boneka rusa ungu yang dikenalnya masih menempel di wajah pintu, menjulurkan lidah seolah apa yang tengah dilakukannya adalah lelucon terburuk sepanjang sejarah. Sejujurnya ia merasa terhina; juluran lidah tentu bukan pertanda baik karena biasanya boneka rusa itu menampilkan senyum semanis tebu saat menyambutnya. “Selamat siang, ini aku.” Ia berkata sekali lagi.

Perlu dua jam baginya untuk menunggu seseorang membukakan pintu. Dan benar saja, ketika muncul sosok itu masih secantik Audrey Hepburn saat berlakon di film Roman Holiday. Tatapan murka adalah hal pertama yang didapatkannya, kendati ia tahu jika tersenyum hanya akan membuatnya semakin konyol, ia tetap melakukannya dengan sepenuh hati. Gaun kasual berwarna beige yang membalut tubuh si sumber kegalauan telah membuatnya lemas. Uh, cantik sekali. Sumpah mati ia rindu sepasang matanya dipuaskan seperti ini.

“Apa yang kamu lakukan di sini, Belatung?!” hardiknya.

Aduh, belatung. Kalau benar ia memandang dirinya sebagai belatung, maka rasanya sah-sah saja jika ia memandangnya balik sebagai sampah busuk. Tapi tidak, alih-alih diberi kecupan panas, mungkin ia akan dimutilasi menjadi semilyar bagian jika berani mengatainya begitu. “Aku kangen,” katanya malu-malu dengan suara yang mendadak seperti cicitan anak tikus.

“Kangen, katamu? Sumpah, mendengar ini aku jadi ingin menjadikanmu isian pai.”

Ia terdiam, lantas mengusap ingus yang mengucur dari hidungnya dengan cepat. Wanita itu benar-benar, ganasnya tak tertandingi. Singa saja sepertinya akan bersujud jika seandainya tak sengaja mengaum di depannya.

“Tapi aku benar-benar kangen. Datang ke mari jauh-jauh dengan berjalan kaki, sambil kedinginan, sambil kelaparan, sambil fokus agar tak menginjak kotoran kuda. Hargai, dong!”

Tawa layaknya sundal sekonyong-konyong memenuhi gendang telinga. Ia termangu, takjub. “Itu bukan urusanku, Belatung. Kuberi tahu, tak ada gunanya kamu ke mari. Aku sudah bahagia tanpamu. Sana, lebih baik sekarang kamu pulang lalu panggang dirimu di dalam oven.”

“Tubuhku terlalu besar untuk masuk ke sana.”

“Kalau begitu, pergi saja dulu ke tukang jagal.”

Blam! Sesuai imajinasi, wanita itu membanting pintu dengan sangat kencang. Sekali lagi, boneka rusa itu menjulurkan lidah, dan kali ini lebih panjang dari yang tadi. Ia menangis, air matanya mengalir anggun dari pelupuk. Tak pernah dirinya merasa menjadi serbuk seperti ini. Penyesalan yang keluar melalui pori-pori kulitnya seolah tak ada arti, walau bagaimana pun juga semua sudah terlambat. Wejangan klise ayahnya serta-merta membungkus rapat benaknya; penyesalan selalu datang di akhir, kalau di awal namanya niat.

Ia keluarkan kotak sewarna langit malam tanpa hiasan dari balik kaus kaki. Ia buka tutupnya, lantas ia masukan segala macam rasa yang susah payah ia pendam selepas hubungan mereka berakhir. Cinta sebesar fosil tiranosaurus, rindu yang tak sadar ia tumpuk sampai setinggi Menara Pisa, pun penyesalan sebanyak buih di lautan yang ia yakin takkan pernah habis dimakan waktu—ya—penyesalan yang lahir karena ia telah mengkhianati wanita itu dengan cara berselingkuh dengan meja kantornya yang baru.

“Ini buat kamu, Sampah Busuk,” bisiknya sambil meletakan kotak itu di depan pintu lalu berbalik pulang.

-fin.

A/N;

  • makasih buat The fin. yang udah nemenin aku nulis ini.
  • maaf kalo masih kaku dan aneh, kalau-kalau kalian merasa tulisanku belakangan hawanya agak beda, sumpah deh aku juga ngerasa gitu. tapi yaudahlah. people change, so do writings wkwk.
  • last edited: 26/12/15

Filed under: one shot, original fiction, Uncategorized Tagged: Kumpulan Rasa Dalam Kotak

[FICLET] Hujan yang Menolak Jatuh

$
0
0

rain-03 copy.jpg

“Teresa adalah hujan yang menentang gravitasi.”

 

Masih terpatri sempurna di ceruk pikiran Thomas, sederet dua deret kalimat defensif milik Teresa, berisikan sebuah pernyataan hitam yang telak membuat ia—dan bahkan semua orang—tersedak air ludah bercampur keterkejutannya sendiri.

“Aku ingin jadi sepertimu, Tom,” pungkas Teresa pada suatu hari, di saat sinar Matahari tumpah ruah di daratan, ketika konversasi manusia-manusia di sekeliling mereka memantul-mantul pada dinding kuning pucat, yang kokoh dan setia melingkupi mereka berdua semenjak penunjuk waktu yang melekat di dinding itu berdentang dua belas kali, satu setengah jam yang lalu.

Padahal Thomas berani bersumpah, bahwasanya ia, seorang pewaris tunggal perusahaan farmasi milik keluarganya, menyimpan kenangan tentang masa-masa indah yang terjalin apik antara dirinya dan Teresa kepalang rapi di setiap petak hatinya. Tentang pemoles bibir berwarna merah ranum yang hinggap di bibir tipis Teresa, tentang helai demi helai kain sutera lembut yang membalut tubuh ramping Teresa, tentang alas kaki dengan hak setinggi setengah jengkal yang membuat Teresa menjadi sepuluh kali lipat lebih anggun dari dia yang biasanya.

Pun tentang desir aneh yang menggelitik abdomen Thomas, selalu setiap kali Teresa menyandarkan kepala bersurai segelap langit malamnya ke bahu tegas pria itu.

Tentang hentakan menyenangkan tatkala lengan kurus gadis itu melingkari tubuh Thomas kepalang erat, seperti sebuah tindak penegasan akan kepemilikan yang tak dapat disanggah oleh siapapun, sampai kapan pun.

Tentang kisah-kisah manis dan romantis yang ditenun Teresa, untuk kemudian dihadiahkan kepada Thomas sebagai pertanda dimulainya hubungan mereka. Sebuah ikatan yang melampaui batas zona pertemanan.

Thomas mengingat semua.

Betapa Thomas merindukan itu.

Teresa-nya yang dulu.

“Tere—“

“Aku tidak ingin mempertimbangkan apa-apa lagi, Thomas. It’s my choice.”

Thomas ingin tahu apakah angin dapat tiba-tiba berpaling dari tujuannya menerjang dedaunan ataupun bangunan—atau apa saja—yang sejak awal jadi sasarannya. Atau apakah hujan bisa naik ke langit, mendesak keluar dari dalam pori-pori tanah, dan bukannya turun ke bumi.

Yah, semua itu, rasanya, terjadi sebagaimana mestinya, semestinya Thomas tidak perlu bertanya-tanya lagi. Sebab itu memang sewajarnya begitu. Harus seperti itu.

Namun Thomas membenci kenyataan bahwa Teresa mengatakan keinginannya seolah itu adalah gagasan yang memang seharusnya begitu.

Dua minggu yang lalu, rambut Teresa yang jatuh lembut sampai ke bahu, yang tak pernah absen menjadi favorit Thomas, tandas. Menanggalkan kepala yang dibingkai helaian rambut gelap sebatas tengkuk. Anting-anting raib dari telinga gadis itu, gelang dan cincin yang sebelumnya menari di tangan Teresa, menghilang bak terseret lumpur, tak lagi tampak. Pemoles bibir patah, kuteks berenang di genangan air di dalam bath-tub, puluhan dress sengaja dirobek-robek, lantas teronggok sedih di lantai, sepatu-sepatu mahal dibumihanguskan dan seperangkat kosmetik berakhir di panci rebusan.

Ingin bertanya, namun biner nyalang Teresa memaksa Thomas membungkam mulutnya di detik yang sama.

Kemudian Teresa melemparkan sebuah ancaman, tajam dan menusuk; kalau sampai Thomas berani menghalangi niatannya, maka Teresa tak akan ragu-ragu lagi menggantungkan hidupnya pada seutas tali, membiarkan nyawanya meniti benda panjang nan kuat itu, lalu mengilang di balik langit-langit kamar. Dan tidak akan pernah kembali lagi.

Lalu, Thomas hanya punya satu pilihan. Menyerahkan steroid pesanan Teresa, dan menghidupkan bara impian mengerikan milik gadis itu.

Thomas menyesali dirinya sebagai seorang penyokong, sementara jelas nuraninya bertolak. Ia masih terlalu menyayangi Teresa.

“Teresa—“

“Sudah aku bilang, I am okay, Tom, aku ingin jadi sepertimu.”

Teresa adalah hujan yang menentang gravitasi.

Dia ingin meniti awan menuju lapisan demi lapisan langit, bukannya terjatuh dan mencium bumi.

“Aku ingin jadi laki-laki. Sepertimu.”

 

 

__FIN__

Buat pembaca, salam kenal, saya fransiska, 95line. Mulai sekarang saya mohon bantuannya yaaaa, karena cerita ini masih juauhhh, juauh sekali dari sempurna :D

 


Filed under: fan fiction Tagged: The Maze Runner

[FICLET] Kedai Martabak Juara

$
0
0

martabak-manis-terang-bulan

credit image

-aminocte-

Tuan, Nyonya, singgahlah dulu. Kakak, Abang, Adik, mampirlah dulu. Mampirlah dulu ke kedai kami.

Kedai kami bernama Kedai Martabak Juara. Tak banyak ragam menunya, hanya martabak biasa. Martabak kampung pula. Legenda di masa jayanya. Cobalah tanya pada kakek-nenek di rumah, mereka pasti tahu betapa lezatnya martabak yang kami tawarkan. Harum aromanya memikat selera, gurih kulitnya berlumur margarin cair, lembut dan manis pula bagian dalamnya.

Martabak kami martabak sederhana. Tak banyak pilihan rasa. Tiga saja macamnya: cokelat, kacang, dan kelapa. Tanpa pengembang buatan, tanpa pengawet, juga tanpa pewarna. Bahan-bahannya dipilih dengan cermat.Tepungnya berkualitas terbaik, raginya tidak kadaluarsa, gulanya gula murni, telurnya segar dan terpilih, margarinnya pun berkualitas super. Meski harga-harga melambung setinggi langit, tak sedikitpun terbersit di hati kami untuk mengakali pembeli. Tak sedikitpun kami berniat untuk membuat martabak dari bahan-bahan yang tak baik mutunya. Sungguh, kami tak melakukannya semata takut berdosa, bukan karena takut dirazia.

Kedai kami memang sederhana. Usang dindingnya tak bercat. Kusam tampaknya tak berpelitur. Namun, luar-dalamnya senantiasa dijaga bersih dari debu dan sarang laba-laba. Pun kami bersaudara senantiasa diajar untuk bersih hati dan murah senyum. Meski beragam rupa wajah pembeli, mulai dari preman pasar hingga guru mengaji, tak hendak kami melakukan diskriminasi. Meski caci dan cebik terlontar pada kami, tak pula kami ingin untuk berpanas hati.

Lantas apa yang Tuan Nyonya ragukan?

Perkara jalan-jalan yang mengapit kedai kami kah? Kumuh dan becek selepas turun hujan, pun terkadang bau kotoran. Jika benar itu musababnya, sungguh menyesal kami, dari lubuk hati terdalam. Tak kuasa kami memperbaiki jalan-jalan itu sebab kami hanya pedagang kecil. Bila Tuan dan Nyonya hendak menuntut, layangkanlah surat kepada Tuan Walikota. Mudah-mudahan beliau sudi untuk menjawab tuntutan Tuan dan Nyonya.

Lalu, apa pula yang Abang, Kakak, pun Adik sangsikan?

Perkara pilihan rasa martabak kami kah? Tak ada Toblerone, tak ada Kit Kat,  tak ada pula Nutella. Jika benar itu alasannnya, sungguh menyesal kami, dari lubuk hati terdalam. Tak kuasa kami membeli bahan-bahan yang lezat itu saking mahalnya. Pun seandainya kami mampu membeli, adakah sepadan martabak kampung ini dengan Toblerone, Kit Kat, dan Nutella? Bila sepadan pun, adakah pantas bila kami menjualnya di tengah pasar ini, dengan hiruk pikuk manusia pun bau-bauan yang bercampur baur? Tentu tidak, bukan? Bila Abang, Kakak, dan Adik hendak mencari rasa martabak nan lain, kami persilakan dengan senang hati. Carilah di kedai lain di tengah kota, niscaya tak akan sulit menjumpainya.

Tuan, Nyonya, singgahlah dulu. Kakak, Abang, Adik, mampirlah dulu. Mampirlah dulu ke kedai kami.

fin

A/N:

Maaf kalau gambarnya kurang sesuai dengan judul.

Terinspirasi dari salah satu kedai martabak di kota tempat saya tinggal.


Filed under: one shot, original fiction, Uncategorized Tagged: Kedai Martabak Juara

[FICLET] Save The World

$
0
0

wonderful-time-clock-high-resolution-wallpaper

.

.

by Takyuyaki

.

.

“Apakah belum selesai?” Chanyeol berteriak dari ruang  tengah. Kembali ia hanya mengganti saluran TV dari saluran satu ke yang lainnya. Ia sudah nyaris bosan.

Teriakannya hanya dijawab kekehan ringan dari dalam kamar. Lelaki itu hanya mendesah pelan. Diliriknya arloji hitam favoritnya; pukul sebelas lebih dua puluh tujuh menit.

Apa yang ada di pikiran perempuan itu sih?

“Filmnya memang masih jam tiga nanti, tapi aku ingin kita bisa makan siang dulu,” rajuk Chanyeol.

“Iya sabar sebentar ya, lima menit lagi. Ini hanya tinggal merapikan eye liner. Sebelah kanan dan kirinya masih belum sama,” sahut suara dari dalam kamar.

Chanyeol hanya  bisa pasrah. Ia pun bangkit dari sofa yang  sedari tadi ia gunakan untuk menunggu. Bantal – bantal mungil yang tadinya tertata rapi kini menjadi berantakan. Bagaimana tidak, Chanyeol menggunakan para bantal itu dalam berbagai posisi: duduk manis, tengkurap, terlentang, berguling hingga posisi fetus.

Kembali mata coklatnya menekuri halaman demi halaman majalah perempuan yang teronggok rapi di bawah meja TV. Raut mukanya kembali menunjukkan raut bosan. Dilemparnya majalah itu ke atas sofa. Ia mengambil smartphonenya dan mulai menjelajah dunia maya.

Soundcloud, Instagram, Vapp, YouTube, hingga chat group Kakao dan Line semuanya ia baca. Padahal jika dalam keadaan normal, ia akan pura – pura menghilang seperti Jongin. Biar terlihat misterius dan dicari banyak orang.

Setelah sesi chat ringan dengan beberapa oknum rusuh di group chat, ia kembali bosan. Chanyeol sudah menjejakkan kaki di rumah ini sejak pukul sepuluh lewat tujuh menit. Kemudian sekarang jarum jam di dinding sudah beranjak ke angka satu lewat empat belas menit.

“Lima menit waktu mana sih? Planet Naboo?” gerutunya pelan. Ia menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

Ia beranjak kearah wastafel dan mencuci tangan disitu sembari bercermin. Membenarkan poninya sedikit dan mengagumi apa yang terpantul di sana. Kemudian suatu ide terbesit di sana. Serta merta senyumnya mengembang lebar.

“Aku keluar sebentar ya.”

Suara pintu kamar terbuka dan sosok mungil dengan rambut ikal kecoklatan melongok dari dalam, “Mau kemana?”

“Menyelamatkan dunia.”

.

.

If woman said:   “Wait a minute”

You can used that ‘a minute’ time with pray, fishing, get married and save the world.

.

FIN

.

Snapchat-1171926632670743442


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: EXO, Park Chanyeol

[FICLET] Rahasia Dian

$
0
0

 nyala biru borakcredit image

-aminocte-

Tiba-tiba saja nyala api di hadapannya berubah menjadi hijau. Seharusnya Dian tersenyum puas, tetapi wajahnya telanjur pias.

Praktikum Kimia Analisis Kualitatif hari ini tampak berbeda. Tidak ada yang menguap bosan, tidak ada pula yang harus dihukum karena tidak membawa peralatan lengkap. Semua praktikan tampak antusias dengan percobaan analisis bahan makanan yang akan mereka lakukan, seakan mereka adalah para analis sungguhan. Barangkali sejak salah satu stasiun televisi getol menyiarkan liputan mengenai makanan berbahaya beserta dalang di baliknya, para analis tidak lagi dipandang sebelah mata. Karena melalui analislah suatu zat berbahaya dalam makanan dapat dideteksi dan ditentukan kadarnya.

Masing-masing praktikan telah membawa sampel makanan yang lazim ditambahkan boraks. Ada yang membawa bakso, ada yang membawa kerupuk, ada pula yang membawa lontong. Kebanyakan praktikan berharap sampel yang dibawanya mengandung boraks, semata karena ingin melihat nyala api berwarna hijau. Sebagian lainnya terobsesi menjadi pahlawan dengan menyebarkan hasil yang mereka peroleh kepada orang-orang di sekitar mereka. Lontong Pak A bebas boraks, aman dimakan. Bakso Mas C mengandung boraks, jangan dibeli walaupun enak. Kerupuk Z ternyata mengandung boraks, pantas sangat renyah.

Namun, tidak demikian halnya dengan Dian. Sedari tadi, ia harap-harap cemas. Di satu sisi, ia ingin melihat api yang berubah warna, di sisi lain, ia sungguh tidak menginginkan sampel lontong yang dibawanya mengandung bahan berbahaya. Pasalnya, lontong ini adalah salah satu makanan yang paling dicari di kompleks perumahan tempat dirinya tinggal, dan hasil yang diperolehnya nanti akan menentukan kelangsungan bisnis si pedagang. Apa jadinya kelangsungan usaha pedagang lontong itu bila ternyata hasil yang diperoleh Dian positif? Gadis itu memang tidak tega menyebarkan informasi yang diperolehnya kelak, tetapi dia lebih merasa bersalah jika memilih bungkam, pura-pura tidak tahu.

Dian tak henti-hentinya merapal doa. Diambilnya mortar dan stamper untuk menghaluskan sampel yang telah disiapkan. Sampel itu kemudian dimasukkannya ke dalam cawan porselen, lalu ditambahkan dengan sejumlah asam sulfat pekat dan metanol.

Inilah saatnya.

Jantungnya berdegup kencang. Tujuh puluh, tujuh puluh satu, tujuh puluh lima kali. Semakin kencang degupnya kala korek api yang dipegangnya bergesekan dengan lapisan fosfor pada kotak kecil bertuliskan sederet abjad Swedia, Säkerhets Tändstickor. Korek api itu menyala dengan indahnya. Nyalanya berwarna kuning-oranye, tetapi seketika berubah menjadi hijau begitu menyentuh campuran di dalam cawan porselen.

Peluh dingin membasahi punggung gadis itu. Beberapa orang rekan di sebelahnya berseru memuji hasil yang ia peroleh. Namun, suara-suara itu kalah oleh suara lain yang tak terdengar, tetapi begitu lantang menggema dalam benaknya.

Derit kursi besi, disusul oleh bunyi keras membekukan suasana. Saat waktu mengalir kembali, Dian terduduk di lantai. Tatapannya hampa.

“Dian, kamu nggak apa-apa?”

“Kamu pucat sekali.”

“Dian, kamu kenapa?”

Dian ingin menjawab, tetapi lidahnya kelu. Bagaimana bisa ia menjelaskan semuanya?

Hasil yang diperolehnya sudah jelas, tak terbantahkan. Sampel lontong yang dibawanya positif mengandung boraks. Semuanya dilakukan dengan cermat. Baik jumlah sampel maupun jumlah reagen yang digunakan diukur dengan teliti.

Sama sekali tidak ada kesalahan cara kerja. Tidak mungkin pula hasilnya positif palsu.

Namun, jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Dian berharap bahwa dirinyalah yang melakukan kesalahan. Entah kesalahan dalam mengambil reagen atau kesalahan dalam cara pengujian, atau kesalahan apa saja.

Bukan ibunya yang setiap hari berdagang lontong untuk menopang kehidupan mereka.

 fin

A/N:

Sebenarnya uji nyala bukan satu-satunya cara dalam mengetahui kandungan boraks dalam bahan makanan, tetapi aku memilih cara tersebut untuk kepentingan cerita.


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Rahasia Dian

SALADBOWL EVENT & GIVEAWAY : DITUTUP

$
0
0

Haloooo para pembaca Saladbowl yang budiman,

Malam ini, kami nyatakan event saladbowl DITUTUP yaaa!!

Sebelumnya, terima kasih banyak yaaaa yang sudah ikutan event saladbowl di akhir tahun ini. Cukup banyak naskah yang masuk, kami sampai bingung milih finalisnya, soalnya naskahnya bagus-baguuuuuuus… jadi baper. >.<

Sampai pukul 21.00 WIB ini, total 61 naskah masuk di inbox untuk 2 event saladbowl. Di bawah ini daftar para pengirimnya ya, silakan dicek, kalau kamu merasa nama kamu nggak ada di daftar silakan infokan kami dengan menulis nama email, nama event dan judul naskah di kotak komentar. Siapa tahu kami nggak sengaja melewatkan naskah kamu dari seleksi.

SALADBOWL CONTRIBUTOR PROJECT 2015

  1. Afra Ulfatihah
  2. Devy Rizkyana
  3. Febe Nadia
  4. Choi Aeri
  5. Puspa Imanda
  6. Marinkha Rahardini
  7. Rosica Bandiahtri
  8. Faradisha Rara
  9. Tri Wahyuniirawan
  10. Kuroi Zora
  11. Nailatul Fadhilah
  12. Dian Ramadhani
  13. Arintya PF
  14. Sisilia 0930
  15. Salma Nabilla
  16. Rissa Mustika
  17. Niswa Assaudiyah
  18. Tafuna Zasso
  19. Shofura Hafiyya
  20. Ferrinamd Dewi
  21. Ami Irhami
  22. Novi Prastica
  23. Koreanstreet08
  24. Narinda Putri
  25. Siti Lia
  26. Luke Anjelina
  27. Nia Safitri
  28. Blues Blue
  29. Hilda Wulandari Putri
  30. Cherry Hee
  31. Aulia Nur Rahmawati
  32. Say mai
  33. Risma Cho
15720

6 paket buku sudah siap kirim buat pemenang ^o^

.

.

SALADBOWL “EXO SING FOR YOU” GIVEAWAY

  1. Kartika Aini
  2. Yuniar Christy
  3. Sunrise 92
  4. Devi Rizkyana
  5. Deev Kamila
  6. Puspa Imanda
  7. Choi Aeri
  8. Afra Ulfatihah
  9. Febe Nadia
  10. Kuroi Zora
  11. Theresia Ang
  12. Dyah Ajeng
  13. Cacha Alvannia
  14. Aulia Nur Rahmawati
  15. Han Han
  16. Salma Nabilla
  17. Alifah Sone
  18. Nurul Cholifah
  19. Blues Blue
  20. Riechan Kim
  21. Cherry Hee
  22. Nurul Cholifah
  23. Khaqqia PCY
  24. Ney da Onney
  25. Sandra Kristianti
  26. Indri Damayanti
  27. Miss Candy
  28. Desy Trisna Ekayanti

    15490

    album Sing For You-nya udah siap nih, kakaaa~

.

Sampai besok malam team Saladbowl akan membaca naskah-naskah kamu dan memilih 10 finalis untuk proyek kontributor, 5 finalis untuk Sing For You Giveaway.

Tanggal 1 Januari 15 naskah akan diterbitkan mulai pukul 10 pagi. Para pemenang akan diumumkan tanggal 14 Januari 2015 malam; pemenang exo giveaway, 2 pemenang kontributor pilihan team saladbowl juga 4 pemenang kontributor favorit dengan total like dan komentar terbanyak.

Mari berdoa naskah kamu yang diterbitkan sebagai finalis!

.

.

Happy holidays!

Team Saladbowl.


Filed under: editor issue Tagged: EXO album giveaway, Saladbowl Contributor Project

SALADBOWL CONTRIBUTOR PROJECT – #6

$
0
0

Confidence

 Oleh : Salma Nabilla

.

“You have no idea how difficult it is to compete against these barbie-doll types.”

– The Bad Teacher –

++

“Sepertinya ini hari yang cocok untuk membunuh ya, Hanks?”

Ugh. Hanks tidak lagi terkejut mendengar pertanyaan semacam ini lolos dari geraham Val, mengingat kombinasi kata itu sudah menjadi pencarian paling populer dalam perpustakaan pikiran miliknya. Itu belum berarti apa-apa sampai kalian tahu bubuhan kalimat selanjutnya.

“Bunuh aku dong.”

Nah, Hanks sering mendengar kalau katanya seorang teman baik akan melakukan yang temannya minta. Tapi masa sih dia harus melepaskan selongsong timah panas untuk menyerempet isi kepala Val? Lagipula tidak ada jaminan kalau gadis itu serius dengan perkataannya.

Dia cuma pencari kerja yang sedang depresi berat. Keduanya menyusun skripsi dan lulus dari universitas di tahun yang sama, tapi di saat Hanks sudah tinggal mengabsen sidik jarinya tiap pagi dan sore Val masih harus tahan dengan map merah di genggamannya.

Pada penolakan pertama, gadis itu masih memegang teguh prinsip kalau kemungkinannya sangat kecil untuk diterima bekerja di wawancara pertama. Dia harus mengenal arenanya dulu katanya.

Kemudian percobaan yang kedua, dia dapat nol lagi. Peluangnya tidak memungkinkan kata Valeria. Terlalu banyak pesaing yang buat dia gigit jari.

Tapi seakan sirkuit balap yang tak terduga, rupanya Val harus rela mengalami tabrakan beruntun karena kenyataannya ada sekitar lima belas kegagalan yang mengekor setelahnya.

Apalagi orangtuanya sudah mulai membanding-bandingkan sang putri dengan dirinya. Anak mana sih yang suka diperlakukan begitu? Jadi demi menjaga perasaan Valeria, Hanks mundur teratur mencoba jaga jarak dari indukkan gadis itu.

Kegagalan adalah sesuatu yang unik bagi Hanks, karena ia bisa memenangkan duel melawan manusia semacam Valeria. Gadis ini biasanya sangat positif lho, tapi begitu ia terjatuh pola pikirnya menjadi lebih parah dibandingkan siswa taman kanak-kanak. Ia bahkan sampai membayangkan skenario bahwa selamanya ia bakal jadi pengangguran.

Daripada mengobrak-abrik pendengaran dengan kalimat Valeria yang kelamaan bikin kesal, Hanks memilih untuk menyesap kopinya sekali lagi dan melemparkan pandangannya ke deras hujan di luar. Ah, seharusnya tadi ia pulang saja kalau tahu teman baiknya akan seperti ini lagi.

“Hanks, Harry Potter mau tidak ya meminjamkan tongkat sihirnya padaku?”

Pertanyaan macam apa lagi ini?, gerutu Hanks dalam hati. Dia hanya memandang Valeria tanpa bicara, menunggu susulan kalimat selanjutnya.

“Siapa tahu ada mantra yang bisa membuatku lebih cantik,” bubuhnya.

Baiklah, dia jadi aneh. Kali ini ada yang berbeda dari jenis keluhan Valeria biasanya. Sekesal dan seputus asa apa pun dirinya, gadis itu tidak akan sekali-kali menyinggung soal penampilan. Tapi otaknya jalan-jalan sendiri mungkin ya semalam?

“Tidak ada, tapi meluruskan pikiranmu mungkin bisa,” sahut cowok itu mulai mengerahkan atensi lagi.

“Bisakah gen cantik Cinderella menurun padaku, Hanks?”

“Mustahil, dia cuma lakon rekaan. Sekarang katakan saja ada apa,” dia mulai tidak sabar.

Valeria tampak menimbang antara mengatakannya atau tidak pada Hanks. Selama ini memang tak ada yang namanya rahasia dalam hubungan pertemanan mereka, tapi kali ini anehnya ia agak enggan. Hanks selalu mengenal Valeria sebagai seseorang dengan percaya diri tinggi, bisa-bisa penghargaan cowok itu jatuh sampai ke dasar kalau ia mengatakannya.

Tapi yah, coba saja. Kamu tidak akan tahu sebelum melakukannya.

“Bagi para pria mungkin ini bukan sesuatu yang penting, tapi kamu harus tahu perempuan memperhatikan soal ini,” Valeria memulai.

Hanks tampak tak sabar. “Mari kenalkan aku dengan ini yang kamu maksud, Val.”

“Pelamar kerja yang lain sangat cantik. Proposional, rambutnya tertata, pakaiannya sangat cocok, mana bisa aku menang melawan yang seperti itu?”

Sejenis ekspresi lega menebar di wajah Hanks. “Kukira ada apa.”

“Hah, senang sekali ya bisa bicara sesantai itu,” kata Valeria jengkel.

Hanks pikir ini saat yang tepat mencari semangat Valeria kembali. Jadi ia menumpukan seluruh berat badan ke sepasang tungkainya, meraih ransel, lalu mengulurkan lengannya. Valeria mendongak, melihat tubuh jangkung Hanks tak paham.

“Ayo, kita tonton si pirang kesukaanmu.”

++

Legally Blonde.

Hanks sebenarnya penasaran apa yang membuat Valeria begitu ketagihan menonton film keluaran 2001 ini. Apakah gadis itu punya keinginan yang tak terealisasi untuk punya rambut super pirang, diam-diam menggilai warna merah muda, atau menginginkan Chihuahua padahal dia sangat takut pada hewan yang satu itu.

Yang Hanks yakini hanyalah, si pirang serba merah muda itu menjadi semacam atraksi tersendiri untuk mengembalikan Valeria kembali menjadi Valeria. Lihat saja, kembangan kurva cekung mulai terpeta di bibirnya macam orang sinting.

“Kamu tahu kenapa aku sangat suka film ini?”

“Karena kamu orang lawas dan tidak mau mengikuti perkembangan zaman, kukira,” jawab Hanks asal.

Tawa ringan muncul setelahnya, seolah Valeria sudah memprediksi jawaban cowok itu.

“Untuk bertahan hidup,” katanya.

Hanks tampak ngeri. “Wah, kamu melankolis lagi. Selamat! Valeria dirasuki!”

“Aku serius, banyak makna tersembunyi dari seorang Elle. Kecantikan bukanlah segalanya kau tahu, karena semenawan apa pun seseorang dia pernah merasakan kegagalan juga. Lihat saja, Warner ‘kan tidak lantas menyukainya,” papar Valeria.

Hanks memperhatikan, cuma dia agak geli mendengar sahabatnya tiba-tiba bicara bijak. Mungkin ia harus mulai terbiasa, pendewasaan terkadang mengerikan.

Dalam opininya, Valeria sebenarnya bukannya tidak cantik lho. Jika kalian punya pemikiran primitif kalau perempuan yang masuk kategori cantik adalah mereka yang pandai berdandan, seorang sosialita, sering menghabiskan waktu di salon, singkirkan itu untuk menilai seorang Valeria. Hukum relatifitas sangat dijunjung tinggi di sini.

“Aku tidak pernah mengerti apa definisi berpenampilan menarik pada syarat pelamar kerja dan kenapa mereka mencantumkannya. Yang berkali-kali gagal ‘kan bisa saja berpikir seperti aku dan kehilangan kepercayaan diri,” kata Valeria kembali menyinggung bahasan di kedai kopi tadi.

Hanks tersenyum. “Kalau begitu kenapa tidak kita putar si pirang sekali lagi dan menculik kepercayaan dirimu?”

.

.

.

+ END +


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Confidence, Saladbowl Contributor Project

SALADBOWL CONTRIBUTOR PROJECT – #7

$
0
0

CRASH

-dhila_kudou-

.

Aku merasakan degupan jantungku semakin cepat seiring nada sambung teleponku berbunyi. Sisi lain hatiku menyuruh untuk segera mematikan sambungan, sementara yang lainnya malah berusaha menguatkanku. Lagi-lagi kelebat memori pahit itu kembali terulang dalam pikiran. Kugelengkan kepala, berusaha mengenyahkannya.

“Iya, Ki?”

Pandanganku terpaku. Teleponku diangkat olehnya.

“Kak, bisa belikan laptop baru nggak untuk aku?”

“Hah? Buat apa? Laptop lama kamu kemana?”

.

Ini minggu terakhir liburanku. Semua berjalan mulus sampai akhirnya sebuah pesan keramat menghampiri kotak masuk ponselku.

Revisimu masih belum sampai ke email saya.

Teh hangat dalam gelasku hampir tumpah ketika aku tiba-tiba berjengit membaca pesan tersebut. Kuletakkan perlahan gelasku ke atas meja dan segera kulihat kalender meja di sisi kiri yang, ya ampun, aku belum membalikkannya ke bulan Desember.

28 Desember terlingkar manis dengan tinta merah dan tertulis tulisan mengerikan : deadline bab 1. Sial, itu bukannya hari ini? Siapa yang membuat janji mustahil itu?

Beri aku waktu sebulan, Pak.

Oke, itu ‘aku’ yang dulu. Si ‘aku’ begitu optimis waktu liburan yang panjang bisa membuatmu leluasa mengerjakan skripsi. Tapi liburan malah mengkhianatiku. Bodoh sekali kamu, Ki! Mengapa kamu janjikan revisi saat liburan seperti ini? Mustahil.

Aku bukannya membuang waktu liburanku dengan sia-sia. Tiga minggu ini kuhabiskan dengan berkelana mencari ide gagasan untuk bab pendahuluan itu, tentu saja. Beberapa orang di atasku pernah berkata, kalau ingin mencari ilham untuk menyusun skripsi maka jalan-jalanlah ke pantai. Aku turuti. Sebagian yang lainnya menyarankan untuk berdiam diri di perpustakaan. Aku ikuti. Sisanya menyarankanku untuk berbelanja. Walau itu terdengar tak masuk akal, sudah aku jalani tips itu.

Tapi hasilnya nihil.

Akhirnya setelah tiga minggu aku buka laptop usangku. Selama liburan, aku tak pernah menyentuh benda keramat ini. Dengan malas kupencet tombol power-nya.

Tak ada reaksi.

Kupencet sekali lagi, lagi, dan penuh emosi. Laptopku tak kunjung hidup. Tunggu, mana charger-nya? Ah, sudah tersambung. Kupencet sekali lagi. Masih sama.

Kulirik stop kontak di sudut kamar. Kabel charger laptopku kenapa jadi warna putih?

“Gilang! Kenapa kamu cabut kabel laptop aku?!”

.

Sudah 15 menit berlalu semenjak laptopku hidup. Sudah 10 menit aku biarkan modemku terpasang rapi di sisi kiri laptopku. Sudah segelas teh habis, namun layar desktop tak kunjung muncul.

Don’t shut down or unplug your computer. Winds still updating.

23 of 115 updated.

Lebih baik aku makan siang dulu.

.

Menyaksikan laptopku beroperasi semakin lamban membuatku semakin muak dan dadaku semakin panas. Membuka aplikasi pengedit dokumen saja membutuhkan waktu 5 menit. Belum lagi jam pasir selalu hadir ketika aku menggerakkan jari di papan sentuh.

Sial.

Sudah kakak bilang, kalau bikin PR jangan mepet-mepet waktunya.

Kenapa kamu baru bilang ke ayah kalau prakarya dikumpul besok?

Mana titipan gurumu kemarin? Belum kamu jemput juga?

Kartu anda telah memasuki masa tenggang.

Berbagai ingatan dengan brutal mengisi pikiranku kembali saat melihat layar laptopku yang perlahan memudar karena hang. Aku merutuki diriku sendiri. Mengapa aku tak jera juga untuk mengerjakan tugas di waktu mepet? Mengapa aku tak mengambil hikmah dari bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian?

.

Paling lambat saya terima jam 5 hari ini.

Kuhempaskan ponselku ke tempat tidur. Waktu menuju jam 5 sore tinggal seputaran jarum panjang lagi. Namun modemku tak mampu berlari lebih cepat lagi. Apa yang bisa aku harapkan dari  koneksi ‘Modemnet Instant’ ini? Harusnya ibu membelikanku modem yang lebih canggih seperti di warnet sebelah. Tak berisik seperti ‘Modemnet Instant’ bapuk ini.

Kuremas pelan perutku. Mengapa maag-ku harus kambuh sekarang?

Ini salah satu gejala dari penyakit psikosomatik. Kalau kamu tak bisa mengendalikan stressmu, gejala ini akan kembali muncul dan akan semakin merusak lambungmu.

Sekali lagi aku lepaskan paksa kabel putih yang terhubung di modem, lalu menyambungkannya kembali. Modemku malah tak mau hidup lagi. Tak ada jalan lain, aku harus memindahkan dataku ke flashdisk dan segera berlari ke warnet sebelah. Setelah itu aku harus ke apotek untuk membeli obat. Mengapa stok obatku habis di saat yang tidak tepat seperti ini?

Kucari flashdisk-ku di dalam tas. Kucolokkan ke laptopku. Sekali lagi jam pasir muncul di hadapanku. Dua menit, tiga menit, flashdisk-ku tak kunjung terbaca.

Listrik rumah pun padam.

Aku merasakan perutku semakin perih. Konspirasi apalagi ini? Aku masih belum lupa kalau baterai laptopku hanya bisa bertahan lima menit tanpa arus listrik. Mengapa ayah tidak membeli genset saja sekalian kalau tahu listrik sering dipadamkan tanpa pemberitahuan?

Semua semakin terasa lambat saat layar laptopku meredup. Dengan segera aku pindahkan dataku ke flashdisk.

Penuh.

Lalu laptopku mati.

Napasku memburu. Lenganku yang sedari tadi menahan emosi mati-matian langsung bergerak menghempaskan laptopku ke sembarang arah. Kupejamkan mataku. Degupan jantungku semakin liar, lalu perlahan melambat. Semua emosiku terlempar bersama laptopku. Selama sepersekian detik dunia tak mengeluarkan suara apapun selain detak jantungku sendiri.

Kubuka mataku perlahan. Semuanya tampak sama kecuali laptopku yang kini tidak berada di tempat semula. Kulirik ke kanan dan ke kiri mencari ke mana aku lempar laptopku tadi. Tiba-tiba pandanganku tertuju pada pemandangan di luar jendelaku yang mendadak begitu jelas.

Bukan, aku baru saja memecahkan kacanya.

Kuberlari melihat di balik jendela kamarku. Kutundukkan kepalaku menyisiri taman di bawah.

Kusaksikan laptopku sudah terbelah dua.

Setelahnya, aku merasakan degupan jantungku kembali meliar. Kini, semuanya terasa begitu cepat, berbanding terbalik dengan waktu yang kubutuhkan untuk menunggu laptopku hidup tadi. Pikiranku menjadi semakin kusut dan dibayang-bayangi dengan data-data yang mungkin tak akan terselamatkan.

Sial.

Kuberlari ke luar kamar, mengabaikan Gilang yang mematung di depan pintu kamar, menuruni anak tangga, kemudian terpeleset jatuh.

Winds is shutting down.

.

“Ki! Bangun!”

Aku membuka mataku berat. Kuberdirikan kepalaku yang terkulai di atas meja belajar. Kurasakan lengan kananku kesemutan dan begitu susah digerakkan.

“Skripsimu sudah selesai?”

Mendadak aku teringat dengan laptop sialanku yang terbelah dua. Dengan apa aku akan mengerjakan skripsiku lagi kalau begini?

“Laptopku rusak, Bu.”

“Kamu mimpi? Itu yang di depan kamu apa?”

Aku menoleh ke depan. Laptopku menyapaku hangat dengan bentuk yang utuh. Masih dengan layar yang cerah dan suara yang jernih. Astaga, aku lupa kalau laptopku masih memutar film Sherlock.

“Bukannya belajar kamu malah menonton film? Skripsimu sudah selesai?”

Cepat-cepat aku menutup layar laptopku sebelum ibuku berkomentar lebih lanjut dengan film yang aku tonton.

“Dan kamu meminta kakakmu membelikanmu laptop baru?”

Aku berkelit, “Laptop yang ini sudah lambat sekali kerjanya, Bu.”

“Halah, alasan kamu saja. Untuk film malah lancar dibuka, masa’ untuk buka skripsi enggak?”

Itu yang menjadi pertanyaan terbesarku hingga sekarang. Apakah laptop juga punya penyakit psikosomatik seperti manusia?

.

.

.

THE END


Filed under: one shot, original fiction Tagged: CRASH, Saladbowl Contributor Project

SALADBOWL CONTRIBUTOR PROJECT – #8

$
0
0

Rain, His Girlfriend and I

By Zora

.

Epistemologi: Teori baru tentang Rian.

.

Pagi yang suram. Dari jam empat subuh hujan mengguyur Bandung. Padahal sekarang sudah bulan Mei. Yah, bukan isu luar biasa. Mau musim kemarau ataupun hujan, Indonesia tak memiliki kepastian soal cuaca. Yang lebih melelahkan lagi kalau sudah banjir, kedinginan, terus jalanan macet, baju setengah basah, akhirnya telat ngampus. Emang sih bukan aku doang yang dapet sial, tapi dapat nilai minus di mata dosen killer itu rasanya dunia menjauhkan aku dari yang namanya IPK 4.

“Oy, Lofi. Masih pagi muka udah ditekuk aja.”

Aku melirik ke samping, seorang mahkluk hidup bertubuh tinggi dengan kulit putih yang bikin ngiri datang. Layaknya sang surya di pagi buta, senyumnya terlalu cerah untuk cuaca sesuram ini. Oke, aku terlalu berlebihan. Kami berjalan beriringan, tertinggal teman kelas yang lain yang sudah sampai Lab. Komputer lebih dulu.

“Masalahnya tadi pagi, ada mobil kurang ajar lewat depan aku. Nyiprat air kubangan sampe jas hujan aku basah enggak karuan. Untungnya enggak kena baju, coba kalau kena baju, mungkin aku harus balik ke kossan, terus nggak ikut kuliah jam pertama.” Aku mungkin berbicara dalam satu tarikan napas.

“Hahahaha … sabar Neng. Hidup itu memang pedih.” Dia tertawa seolah nasib sial yang kualami pagi ini memang seharusnya terjadi.

Rian teman semasa SMP yang ternyata satu kampus dan satu program studi Teknik Informatika denganku. Dia yang dulu pendek, berkulit kuning langsat, dan berwajah super polos. Kini berevolusi jadi sosok idola Korea. Ganteng sih dari dulu, tapi tingginya itu buat aku jadi mahkluk super pendek kalau berdiri di samping dia.

Lelaki itu lalu bercerita soal pacarnya, Donna. Seperti biasa ceweknya itu manjanya enggak ketolong. Minta Rian antar-jemput pake mobillah, minta ditraktir ke restoran mahallah, minta diantar belanjalah, minta diantar ke studio foto bareng temen-temen ceweknyalah, dan masih banyak lagi. Kadang lihat Donna, mengingatkan aku dengan film Legally Blonde. Donna itu termasuk cewek pinter di bidang akademik (kata orang-orang, aku enggak tahu bener apa enggak. Karena aku enggak satu kelas sama Donna), tapi sikapnya yang sok artis itulah yang enggak aku suka. Meski membandingkan Donna dengan Elle adalah kesalahan – jelas Elle jauh lebih baik. Yang bikin aku heran adalah Rian nurut-nurut aja sama cewek itu. Sekalipun pacarnya, bukan berarti harus nurut kayak gitu, kan? Rian bukan suami Donna.

“Yah, enggak gitu juga sih, Fi. Gue emang bukan suami Donna, tapi gue kan pacarnya. Jadi supir itu kayak udah jadi hakekat. Perhatian gitu sama pacar sendiri.” Rian berkata dengan ragu. Aku tahu dia pasti sebal juga dengan kelakuan pacarnya.

“Hakekat? Well, itu sih terserah kamu. Mau memosisikan diri sebagai pacar yang seperti apa.” Aku mengangkat bahu pasrah, hal seperti ini sudah kukatan padanya berulang kali. Tapi seperti biasa pula, masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

“Yah, kadang bikin ngeselin juga. Tapi, gue tahan.”

“Jangan ditahan terus, entar kamu kena gangguan psikosomatik. Bisa mati muda loh.”

“Wah, udah ngedoain yang enggak-enggak, nih.”

“Hahaha … Sabar Kang, hidup itu pedih.” Aku terkikik geli, ingat semasa Rian PDKT-an sama Donna. Bilang Donna cantik, asyik diajak ngobrol, nyambung dan seterusnya.

“Ah, apa gue putus aja?” Gumannya untuk kesekian kalinya.

“Terserah, toh kalian berdua yang rasain kecocokannya. Kalau kamu rasa Donna adalah tambatan hati yang selama ini kamu cari. Kenapa enggak dilanjut?” Ada nada sindiran yang aku tambah, berharap dia paham. Setidaknya mengerti maksudku, dia harus mulai cari wanita. Bukan hanya cewek cantik yang memperlakukan Rian layaknya asisten pribadi.

“Iya juga sih. Lihat nanti aja deh. Eh iya, tugas penelitan lo mau apa?”

Tugas, oh tugas. Siapa yang menyangka pagi ini akan lebih buruk dari yang kuduga? Kenapa harus ada yang mengingatkan tugas? Di kala tak seharusnya aku mengingat-ingat hal seperti itu. Topiknya saja masih dalam perjalanan, belum tiba di otakku.

“Enggak tahu belum kepikiran. Aku rasa aku bukan orang yang ahli dalam bidang meneliti dan menyusun karya ilmiah,” ujarku ala melodramatis.

“Alay bingits lu. Nilai tes kemarin lu paling gede sekelas.” Tes kemarin yang dimaksud itu tes praktik. Membangun jaringan wireless dan mem-proxy web menggunakan Debian 5,0. Aku masih ingat judul tes praktiknya, karena untuk pertama kalinya di semester ini aku mendapat nilai 85. Murni tanpa ada bantuan kanan-kiri.

“Apa hubungannya? Nilai besar itu enggak berarti menunjukan orang itu pintar, Bro. Lagian, ini penelitian. Yang parahnya sih, harus berhubungan dengan IT. Aku enggak punya ide sama sekali.” Aku mengeluh ketika kami tiba di Lab. Komputer.

“Enggak harus berhubungan dengan IT, menurut gue. Kayak pencipta animasi Spongebob Squerpants, Stephen Hillenburg. Dia ahli biologi kelautan, bukan animator. Atau penemu mesin karoke, Daisuke Inoe. Dia sama sekali enggak bisa nyanyi atau tahu partitur lagu. Jadi, menurut gue, lebih baik cari topik penelitian yang lo suka. Lagian mahasiswa diploma kayak kita, minimal meneliti sampai ketemu teori baru. Apa itu istilahnya? Epistemologi?” Rian duduk di depanku. Kami mengambil tempat di sebelah kiri kelas, jauh dari pintu masuk, dan dekat dengan jendela.

“Iyah juga sih, kayak pencpta Mickey Mouse, siapa namanya? Aduh aku lupa. Katanya dia takut sama tikus, tapi dia bikin Mickey Mouse sebagai tokoh utama kartun di serial Disney, kan?”

“Nah itu tahu, dari hal dibenci aja ide bisa muncul.”

“Tapi aku belum tahu, apa yang kusuka dan apa yang enggak aku suka.”

Kepalaku melayang ke pelajaran minggu lalu. Dosenku mengatakan, setiap perguruan tinggi di Indonesia harus melaksanakan Tri Darma Perguran Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tugas penelitian kali ini semacam latihan. Apabila hasilnya bagus, penelitan itu bisa diajukan ke manejemen bagian kemahasiswaan. Dan apabila diterima, akan mendapatkan dana untuk penelitan lebih lanjut.

Kalau sudah ngomongin uang, pasti aja semangat. Hahaha…

“Kenapa ketawa sendiri? Ada yang lucu?” Rian membalik kursinya menghadap ke arahku.

“Enggak. Kayaknya seneng aja gitu, kalau dapet uang buat penelitian.”

“Mata duitan lu.”

“Emang kamu enggak?” Rian tersenyum geli, tak memberi jawaban atas sindiranku. Karena siapa sih yang di dunia ini tidak senang dapat rezeki?

Dan entah kenapa, pagi suram itu berakhir lebih cepat dari yang kuduga. Di balik kaca jendela, langit mencerah. Hujan sudah berhenti. Seberkas cahaya menumpuk melewati kaca jendela. Membias jadi suatu yang lebih indah daripada pelangi. Ada kehangatan yang lembut ketika cahaya itu kusentuh. Mungkin ini yang namanya bahagia, merasa senang dengan hal sederhana sehabis menderita karena hal-hal konyol beberapa jam yang lalu. Ya, iya, aku tahu, aku harusnya tahu ada pelangi sehabis hujan.

“Lu cantik juga, ya?” Rian berbicara halus, sangat halus malah.

“Hah?” Aku mengalihkan pandanganku padanya.

“Kamu cantik, kalau lagi senyum kayak gitu.” Aku terdiam sesaat, Rian yang duduk di depan mejaku malah tersenyum seperti anak SD. Kepalaku masih memproses, menimbang-nimbang apa perkataannya itu hanya candaan atau memang dia berkata jujur. Dan aku tak berharap kedua hal itu benar.

Aku mendengus, berharap menyembunyikan keterkejutanku. “Apaan sih? Ini masih pagi, enggak usah bercanda.” Meski sekarang sudah hampir jam sebelas.

“Siapa yang bercanda? Gue serius.”

“Ya, iya. Kamu serius bohongnya, lagian lebih cantik Donna daripada aku, kan?” Aku sungguh tak berharap mendengar jawabannya. Oh mulutku yang tolol, kenapa kau harus mengatakan kalimat seperti itu?

“Ehmmm, lu cemburu?”

Astagfirullah. Ini anak ….” Aku enggak punya kosakata yang cocok untuk mendeskripsikan, bagaimana Rian begitu menyebalkan di saat seperti ini. Apalagi matanya tak menolak untuk menatap mataku langsung – malah sebenarnya aku yang mengalihkan wajahku.

Lucunya, kami hanya saling menatap. Seolah menyelami satu sama lain. Seperti aku yang berusaha memahami isi kepala Rian. Susunan seperti apa yang membuat dia mengatakan hal itu. Cantik bukanlah identitasku. Dalam arti sebagai perempuan, aku bukanlah gadis yang pandai memoles wajah. Tidak seperti Donna si Legally Blonde. Dan sekarang, secara tiba-tiba, seseorang menyebutku cantik dengan cara yang benar-benar berbeda. Membuatku bingung, apa ia bersungguh-sungguh atau hanya berpura-pura?

“Cantikan lu, serius.”

“Ha. Ha. Makasih aja deh.”

“Sama-sama.”

Ia tersenyum sebelum bebalik ke arah papan tulis, ketika Pak Agus masuk kelas dan memulai kuliah. Hal baiknya, aku rasa aku sudah punya satu ide untuk penelitian.

.

.

.

.Tamat.


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Rain His Girlfriend and I, Saladbowl Contributor Project
Viewing all 585 articles
Browse latest View live