Bagi Issei Tanaka, cinta itu ada, dan dia mendambanya. Sangat. Tapi demi materi, dia melupakannya. Dia lebih suka, tidak, dia telah memilih untuk hidup dalam bualan dan menjanjikan mimpi-mimpi kepada para wanita. Di banyak kali, dia mengungkapkan bahwa suatu saat dia ingin berhenti, menepi, dan menjalin kasih dengan seorang yang dipuja dan dipuji dengan hati.
“Issei san! Sampai jumpa!” koleganya yang bernama Jiro melambaikan tangan lalu mengayuh sepeda, meninggalkan Issei, pulang.
Issei mengangguk lalu berpamitan kepada semua orang di hadapannya. Matahari sudah tinggi. Dari kejauhan, terdengar suara kereta yang sudah mulai berjalan. Jalan yang sebelumnya sepi, sudah mulai dilewati beberapa orang. Jas hitam, celana hitam, kemeja putih, sama seperti yang Issei gunakan. Hanya saja Issei yakin, miliknya jauh lebih mahal. Dua kali atau mungkin lima kali lipat mahalnya. Sesuai dengan pendapatannya yang juga melebihi dua kali atau mungkin lima kali lipat dari mereka yang sibuk memeras keringat dari pagi hingga malam.
Orang kepercayaannya, Taka, seperti biasa menawarkan diri untuk naik taksi bersama. Tapi belakangan ini Issei lebih suka naik kereta. Belakangan ini dia merasa iri kepada mereka yang berdiri di kereta, yang walaupun sama seperti dirinya, terkantuk-kantuk di pagi, tubuh mereka bau mewangi. Sementara bau alkohol melekat di tubuh dan pakaiannya. Belakangan ini dia merasa iri kepada mereka yang berbaris rapi di pagi, berjalan terburu-buru memburu waktu. Sementara dia selalu hidup bebas, waktu ditentukan olehnya.
“Selamat datang!” suara wanita itu terdengar.
Issei berjalan gontai melihat etalase yang sudah dipermanis dengan barisan kue dan donut. Dia menengadah memperhatikan daftar minuman. Hari ini hari Rabu. Biasanya akan ada sekumpulan manula duduk di pojok, memesan kue, dan berbincang santai di pagi. Issei sering berpikir apakah masa tuanya nanti dia akan seperti mereka, memiliki teman untuk bercerita, atau akan seperti dia kala ini, sendiri, tidak ada tempat berbagi.
“Selamat pagi, Issei san. Baru pulang bekerja?” tanya wanita itu.
Issei mencoba tersenyum. Tubuhnya begitu lelah. Teramat lelah. Semalam klub sedang baik keadaannya. Itu berarti dia meraup untung yang cukup banyak, yang adalah hampir sepuluh botol champagne ditenggak, siap merusak ginjal, hati, dan mungkin banyak anggota tubuh lainnya. Tidak ada masalah baginya untuk minum sebanyak itu, apalagi semalam pelanggannya bukan seperti seseorang yang tidak disukainya namun tetap terpaksa diladeni karena Sachiko – begitu namanya – bersedia menghamburkan beribu-ribu atau berpuluh ribu yen untuk mendapat perhatian Issei, orang nomor satu di Rakkyo, salah satu host club paling populer di Osaka.
“Issei san mau pesan apa?” ramah, wanita itu kembali bertanya.
“Kopi.” jawab Issei.
“Baik. Satu kopi, 450 yen. Mohon tunggu sebentar” wanita itu mengulang pesanan Issei.
Bagi Issei Tanaka, cinta itu ada, mungkin ada di hadapannya. Tapi dia tidak tahu harus berbuat apa.
= . =
-
-
-
-
Halo.. Opat di sini ^^
Walaupun series, format “Issei” adalah ficlet. Kenapa ficlet? Karena tidak akan sepanjang one shot di tiap serinya. Kenapa? Ya suka-suka saya aja sih. Hahaha.
Sebenarnya ini agak berisiko karena aku menampilkan seorang host di cerita ini. Apa itu host? Silakan cari di google sendiri ya. Hahahaha. Issei adalah tokoh asli karena itu aku mengkategorikannya sebagai fan fiction. Hanya saja nama keluarganya, Tanaka, kubuat sendiri. Tokoh Issei ini kukenal (cailah sok kenal) dari sebuah film dokumenter yang aku tidak akan sebutkan judulnya. Kalau kamu sudah cukup umur dan benar-benar mau tahu apa judul filmnya, dan kamu tidak berhasil menemukannya di internet, silakan tanya aku lewat akun pribadi ya. Hehehe.
Kutunggu saran dan kritiknya.
Filed under: fan fiction, series Tagged: Issei
