Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Forsaken – Chapter 15

$
0
0

forsaken

-

Soojung terbangun suatu pagi dengan perasaan yang jauh lebih segar. Dia tidak bermimpi, dia tidak terkejut seperti pagi-pagi sebelumnya. Hari itu, adalah sinar matahari pagi yang menelusuk masuk dari sela-sela jendela pintu balkonnya yang membuat matanya terbuka.

Dia turun dari pembaringan, meulangkah menghampiri pintu balkon dan menarik tirai jendelanya. Selama beberapa saat dia berdiri di sana, menatap rerumputan yang terhampar di belakang rumahnya dari balik pintu, tidak berpikir apa-apa.

Rasanya ada yang aneh, tapi entah apa. Rasanya seperti dia baru saja melompati sebuah lubang waktu, yang membawanya pada masa yang berbeda. Keadaan sekitarnya terasa berbeda sejak terakhir kali dia memperhatikannya. Rumput-rumput di halaman tidak sehijau dulu, hawa di sekitarnya pun tidak sehangat dulu. Udara yang dia hirup tidak datang dari segarnya udara pegunungan Bukhan, tapi dari pengatur temperatur ruangan yang telah dihangatkan sedemikian rupa.

Saat itu juga Soojung menyadari, bahwa musim panas telah berakhir. Dan dia telah melewatkan sebagian besar hari-hari terakhirnya.

Soojung mengerti benar perasaan semacam ini. Dia pernah mengalaminya dulu.

Berjalan ke sisi pembaringan, Soojung menatap jam digital di atas nakas, kemudian memeriksa tanggal hari ini.

Dua bulan telah berlalu. Satu bulan yang dilaluinya di bawah pengaruh anti-depresan dan penenang yang membuat hari-harinya lebih banyak dihabiskan dalam lelap tidur.

Hanya  dua bulan.

Soojung menghela napas lega. Karena terakhir kali hal ini terjadi, dia kehilangan satu tahun hari-hari normalnya ,karena obat-obatan itu menurunkan hampir seluruh kesadarannya untuk melacak ruang dan waktu.

Di atas lemari barangnya, Soojung memeriksa kotak obatnya, dan menemukan resep terakhir dokter dengan dosis yang diturunkan hingga setengah. Sepertinya itu juga yang membuatnya merasa seperti ini sekarang.

.

Hal pertama yang Soojung lakukan begitu keluar dari kamar tidurnya adalah mencari Park Chanyeol. Dia membuka pintu kamar lelaki itu, dan menemukan Chanyeol masih terbaring di atas tempat tidurnya. Luhan bersamanya, tapi melihat gerak tangan dan kakinya, Soojung tahu bayi itu sudah bangun.

Luhan menoleh saat melihat kepalanya muncul dari balik pintu. Soojung melambaikan tangannya ketika bayi mungil itu mengulurkan lengannya, berusaha untuk meraihnya.

Tanpa membangunkan Chanyeol, Soojung naik ke atas tempat tidur. Dia memindahkan tangan Chanyeol dari atas tubuh kecil Luhan, menciumi wajah mungil si bayi beberapa kali, dan menggendong adik kecilnya.

Soojung hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya ketika dia menggendong adik kecilnya itu. Luhan tumbuh dengan cepat. Dia tidak menduga bayi itu akan sebesar itu di lengannya, dan terasa lebih berat.

Hal terakhir yang diingatnya dari Luhan dulu adalah bagaimana bayi itu masih sangat kecil. Dia hanya bisa menangis, berdeguk, dan tidur di bahunya. Tapi kini berbeda.

Soojung mengangkat Luhan tinggi, ikut tertawa saat dia mendengar bayi kecil itu tergelak. Sepertinya dia suka diangkat seperti ini.

Good morning, Sunshine.” Sapanya lembut. Dikecupnya pipi Luhan lagi, lalu dipeluknya bayi itu di dadanya. Dia bergegas keluar dari kamar sebelum mengejutkan Chanyeol dengan kebisingan yang diciptakannya. Lelaki itu tampak sangat lelah, jadi Soojung tidak ingin membangunkannya sepagi ini.

Apa yang terjadi selama dua bulan ini sedikit banyak membuatnya penasaran. Samar-samar Soojung teringat akan potongan kejadian saat Chanyeol membawa Luhan ke kamarnya dan bermain di atas tempat tidur, di sampingnya, di saat dia hanya diam dan menatap mereka dalam keadaan setengah tersadar.

Dia juga ingat ketika melihat Baekhyun dan Yerin bermain di ruang santai di lantai dua. Area yang biasa mereka gunakan untuk bermain game dan bersantai itu kini telah disulap menjadi ruang bayi untuk Luhan.

Chanyeol memindahkan boks bayi ke sudut ruangan yang sebelumnya ditempati meja televisi, dengan karpet dan mainan-mainan yang dipindahkan dari kamarnya di lantai pertama. Semuanya ditata dan dikumpulkan sedemikian rupa. Sepertinya Chanyeol sengaja menaruhnya di sana supaya lebih dekat dengan kamar mereka.

Perabotan yang sebelumnya berada di sana kini berada di ruang keluarga di lantai pertama. Ruang televisi keluarganya itu kini jauh lebih terlihat seperti area bermain Park Chanyeol sekarang.

“Kau mau makan apa? Sereal? Roti panggang? Kimchi jjigae?” Soojung bertanya pada Luhan.

Beberapa menit ini dia mengobrol bersama Luhan, dan dia sangat menikmati waktunya saat ini. Luhan bukannya secara literal berkata sesuatu, bayi itu hanya berceloteh dengan bahasa bayinya; bergumam, bergelagak, dan mengerang. Tapi hanya seperti itu saja membuat Soojung merasa bahwa Luhan cukup mengerti apa yang dikatakannya, dan mereka berkomunikasi dengan bahasa mereka masing-masing.

Soojung menyalakan mesin pensteril botol sementara menyiapkan roti panggang untuk dirinya. Luhan bergerak-gerak antusias di pelukannya; menendang-nendang dan menggapai apapun yang menarik perhatiannya sambil mengoceh bersemangat.

“Wuah, apa kau selalu seantusias ini tiap hari?” Soojung bertanya lagi. “Atau karena pagi ini bersama noona?”

Luhan mengoceh lagi.

Bayi mungil itu benar-benar terlihat sangat lucu. Kini dia mulai tumbuh besar, Luhan berada pada masa di mana dia akan menaruh semua benda ke dalam mulutnya. Bila tidak ada yang bisa dia pegang, maka jari-jari mininya yang dia makan.

Soojung bermain dengannya sementara menunggu mesin pensteril selesai bekerja. Luhan sepertinya lapar, jadinya dia tidak berhenti menggenggam rambutnya dan memasukkannya ke dalam mulut. Soojung harus mengikat rambutnya karena itu.

“Tunggu, ya, sebentar. Noona akan buatkan sarapan untuk Lulu. Sabar, ya, sabar.” Ujarnya seraya menyiapkan susu untuk Luhan sementara menggendong bayi itu di lengannya.

Beberapa bulan sebelum Luhan lahir, Soojung pernah membaca sebuah artikel, bahwa di masa pertumbuhannya mengenal kata, akan lebih baik bila orang dewasa mengajak bayi berkomunikasi dengan menjelaskan segala kegiatan yang dilakukannya meski itu hanya untuk menyalakan mesin cuci saja. Ini dilakukan agar sang bayi dapat menangkap istilah-istilah baru dan menyimpannya di dalam otak mereka.

Maka Soojung melakukan apa yang artikel itu katakan. Dia memberitahu Luhan apa yang saat ini dilakukannya; mematikan mesin pensteril, mencari di mana Chanyeol menyimpan kotak susu, lalu membuatkan sarapan pagi untuk si makhluk kecil.

Segalanya masih terasa normal, hingga terdengar kegaduhan di lantai dua. Soojung mendengar Chanyeol memanggilnya. Dari nada suaranya, sepertinya Chanyeol terdengar panik. Soojung menduga ini pasti serangan panik pagi hari lagi yang menyerang Chanyeol saat ini.

“Han Soojung?!” didengarnya Chanyeol memanggilnya lagi. Suara langkah Chanyeol terdengar cepat, berlarian.

Soojung bergerak dari belakang konter dapur menghampiri asal suara, dan dia berhenti di bawah tangga. Tak jauh di hadapannya, Chanyeol berhenti berlari. Wajah paniknya seketika berubah. Lelaki itu melorot ke atas anak tangga.

“Kupikir kalian menghilang.” Chanyeol mengusap wajahnya. Suaranya lemas. “Ya Tuhan, kau membuatku takut, Han Soojung.”

Soojung sungguh tidak tahu inisiatifnya akan berdampak sebesar itu pada Chanyeol. Dia memang sudah terbiasa dengan kegaduhan yang lelaki itu timbulkan tiap pagi, tiap saat, di dalam rumahnya. Tapi tidak dikarenakan hal semacam ini. Dia tidak pernah melihat Chanyeol mencemaskannya seperti ini.

Dia melangkah menaiki anak tangga, kemudian duduk di bawahnya.

“Maaf, aku tidak tahu kau akan mencari. Luhan sudah bangun saat kutengok tadi, dan aku tidak ingin dia membangunkanmu, jadi aku membawanya pergi.”

Dan tanpa dia duga, Chanyeol menariknya ke dalam rengkungan lengan besar lelaki itu. Chanyeol memeluknya, bersandar di bahunya, dan Soojung membiarkannya.

“Tidak apa-apa membangunkanku, tidak masalah. Yang penting aku tahu kalian baik-baik saja, dan aku tidak akan sepanik ini mencarimu.”

“Maaf, Chanyeol, sungguh. Aku tidak bermaksud…”

Chanyeol menghela napasnya. Dia menarik diri, mengibaskan tangannya seolah memberitahu Soojung bahwa ini bukan masalah, dan dia tidak perlu meminta maaf.

Soojung benar-benar tidak tahu harus bagaimana saat ini. Biasanya dia tidak akan peduli pada tingkah Chanyeol yang heboh dengan dirinya sendiri, tapi saat ini berbeda. Soojung sadar benar bahwa dia baru saja melakukan sesuatu yang tidak baik pada Chanyeol, dan mungkin ini akan menjadi masalah yang besar bila dia tidak berhati-hati.

Karena bagaimanapun juga, saat ini dia adalah seorang gadis dengan keadaan mental yang terganggu. Seharusnya dia tidak ceroboh, memutuskan untuk membawa Luhan pergi sendiri begitu saja. Bagaimana kalau dia menyakiti adik kecilnya tanpa dia sadari?

Soojung memberikan Luhan pada Chanyeol. Seketika itu juga dia berpikir, bahwa akan jauh lebih baik bila bayi kecil itu menjauh darinya beberapa saat ini. Dan Chanyeol bisa menangkap apa yang kini dipikirkannya, karena lelaki itu langsung menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut seraya membisikkan dukungan-dukungan penuh semangat.

Bahwa segalanya akan baik-baik saja.

Dan Soojung ingin berpikir demikian, karena itulah dia bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Bahwa dia baik-baik saja.

“Kau bisa berdiri?” Soojung bertanya. Dia sudah hendak beranjak dan berniat membantu Chanyeol bangkit dengan mengulurkan tangannya. Tapi lelaki itu menggeleng.

“Ya. Tapi biarkan aku duduk sebentar, kakiku sedikit lemas.”

“Oke.” Soojung duduk lagi.

Mereka terdiam. Chanyeol bermain sesaat dengan Luhan, dan Soojung menonton dalam diam.

“Bagaimana perasaanmu hari ini?”

Soojung menoleh ketika Chanyeol menanyakannya beberapa saat kemudian. Dia menjawabnya dengan senyum yang merekah lemah, memberitahu laki-laki itu bahwa dia merasa jauh lebih baik.

Dia senang, karena Chanyeol terlihat senang saat mendengarnya. Soojung merasa seolah dia telah melakukan hal yang baik dengan membuat Chanyeol tersenyum lebar dan membelai kepalanya dengan lembut, penuh sayang.

“Kau mau bertemu dokter hari ini?”

Soojung menggigit bibirnya. Untuk sesaat dia merasa ragu. Sejak datang ke Korea, dia memiliki seorang psikiater pribadi yang selalu ditemuinya secara berkala untuk mengecek keadaan diri dan batinnya.

Sang dokter yang bertanggungjawab akan resep obat-obatan yang dia minum, dan sesungguhnya Soojung agak sedikit takut menemui lelaki tua yang selalu menjadi salah satu pendengar terbaiknya itu. Dia tidak ingin mendengar sang dokter mengingatkannya kembali pada ayahnya, atau kisah apapun yang telah berlalu.

Lelaki itu kadang melakukannya, dan menanyakan apa yang dirasakannya tiap kali mendengar nama-nama mereka yang telah pergi. Dan Soojung sangat membencinya. Tapi dokter Kim Younghwan, begitulah namanya, tidak pernah berhenti melakukannya karena dia merasa ini perlu dilakukan sebagai salah satu terapi pengobatannya.

Dia tidak siap bertemu dengan sang dokter, tapi bagaimanapun juga, Soojung tahu dia harus tetap menemuinya bila ingin semua ini selesai. Sudah waktunya dia keluar dari lubang depresi ini dan kembali pada dirinya yang dulu.

Soojung tidak ingin membiarkan Chanyeol melalui hari-hari ini seorang diri.

“Oke.” Soojung mengangguk. “Kau mau menemaniku?”

“Tentu saja. Aku tidak akan pergi, dan tetap bersamamu sampai kita meninggalkan ruang kantornya. Bagaimana?”

Call.” Soojung tertawa pelan seraya menjabat tangan Chanyeol yang terulur.

Mereka sepakat melakukannya bersama.

* * *

Dulu, beberapa saat sebelum Luhan membungkuk di lantai dengan genangan darah di atas karpet, dia memberitahu Soojung tentang adik perempuannya yang dia tidak tahu bagaimana nasibnya. Mereka mengobrol tentang bagaimana Luhan sangat ingin memiliki adik perempuan dan bermain kereta salju bersamanya, dan bagaimana Soojung berjanji, bahwa mereka akan bermain bersama setelah hujan salju berhenti turun.

Soojung pernah mendengar, bahwa seseorang cenderung tahu saat dia hendak pergi meninggalkan dunia. Sadar atau tidak, dia akan melakukan hal-hal yang tidak biasa, meninggalkan pesan-pesan yang merindukan, yang kemudian nantinya akan menjadi apa yang disebut sebagai firasat, bagi mereka yang ditinggalkan.

Beberapa hari sebelum ibunya meninggal dunia adalah saat-saat paling mengharukan, sekaligus memilukan bagi Soojung. Mereka baik-baik saja. Hanya memang tidak seperti biasanya, entah kenapa ibunya selalu ingin dipeluk dan dicium tiap saat.

Ibunya membangunkan Soojung dengan kecupan hangat di pagi hari, dan masuk ke dalam selimutnya untuk ikut tidur barang sepuluh menit. Sepanjang hari mereka menghabiskan waktu bersama dalam pelukan, hingga malamnya, Soojung menemukan ibunya tergeletak di lantai saat hendak menyalakan mengatur mesin pemanas di basement.

Mereka membawanya ke rumah sakit, dan para dokter segera melakukan operasi darurat karena terjadi perdarahan subdural yang sangat parah di dalam kepalanya.

Malam itu, peluk dan cium yang didaratkannya di kedua pipi ibunya adalah hal terakhir yang dia ingat dari kedekatan mereka, sekaligus hal terakhir yang mereka lakukan bersama. Karena malam itu, adalah hari terakhir dia melihat ibunya tersenyum dan bernapas.

Beberapa hari sebelum insiden kecelakaan Namdaemun merenggut nyawa ayah dan ibu Chanyeol, ayah tidak berhenti mengatakan betapa pria itu sangat menyayanginya dan bangga memilikinya sebagai seorang putri.

Ayahnya bukan seseorang yang frontal dalam mengekspresikan perasaannya. Dia pernah merasa sangat tersanjung ketika ayahnya memberitahu bahwa pria itu mencintainya tak lama setelah dia menikah. Ini adalah hal yang tidak biasa.

Soojung tidak ingin terlalu memikirkannya. Sejak kembali bicara dengan dokter Kim, dia mendapatkan sebuah pencerahan, bahwa firasat adalah sebentuk mekanisme pertahanan orang-orang yang ditinggalkan untuk mengurangi rasa bersalah, karena mereka tidak cukup sadar dengan sedikitnya waktu yang tersisa untuk bersama mereka yang akan pergi.

Kematian memiliki waktunya sendiri yang telah ditetapkan. Saat yang tidak akan pernah berubah, tidak akan berkurang, maupun bertambah barang sedetik pun. Dan tidak akan ada yang tahu kapan dia akan mati. Luhan, ibunya, maupun ayahnya. Mereka tidak pernah tahu.

“Han Soojung?”

Soojung mengerjap, tersadar dari lamunan yang menyita fokus pikirannya beberapa saat ini. Dia mengangkat kepalanya dari atas halaman buku filsafat yang tengah dibacanya di atas konter meja di dapur, lalu menoleh pada Chanyeol.

“Yoonhan hyung ingin bicara denganmu.” Lelaki itu menyodorkan ponselnya.

Tidak ada respon. Soojung hanya menatap benda persegi panjang di dalam genggaman tangan Chanyeol selama beberapa detik. Ketika Chanyeol mendekatkan tangannya lagi, Soojung menggeleng dan mengembalikan fokusnya pada kata-kata yang tercetak di buku tebal itu.

Dia tidak ingin bicara dengan Jeon Yoonhan.

Soojung bisa mendengar Chanyeol berdecak di dekatnya. Lelaki itu menempelkan ponselnya kembali ke telinga, dan berjalan pergi seraya membuat alasan pada Yoonhan kenapa dia tidak bisa menjawab telepon.

Chanyeol tidak perlu melakukan itu sebenarnya, karena di seberang sana Yoonhan pasti tahu bahwa tidak semudah itu baginya untuk bersedia berbicara dengannya lagi. Soojung memiliki masalah besar dalam memaafkan seseorang, dan mereka semua sudah cukup memahaminya.

Hampir seminggu berlalu sejak mereka kembali dari kantor dokter Kim. Sang dokter tidak memaksanya banyak berbicara—dan dia sangat berterima kasih karenanya. Pria itu hanya memberinya resep baru untuk beberapa obat penenang dosis rendah yang perlu dia minum sebelum tidur, dan dia bebas beraktifitas.

Soojung melakukan banyak hal setelah itu. Dokter Kim memang menyuruhnya untuk tidak terlalu memforsir seluruh energinya untuk kesibukan aktifitasnya yang beragam, tapi Soojung tidak terlalu mempedulikannya. Dia merasa harus menyibukkan diri agar merasa lebih baik.

Chanyeol mengajaknya bertemu dengan pengacara ayahnya untuk mendengarkan surat wasiat yang ditinggalkan untuk mereka berdua, mengurus berkas-berkas kepemilikan properti dan membalik nama seluruh sertifikat atas nama mereka, sesuai dengan pesan yang ayahnya tinggalkan.

Mobil ayahnya yang hampir hancur karena kecelakaan itu telah kembali seperti semula setelah diklaim oleh asuransi kendaraan, dan kini telah terparkir di dalam garasi rumah mereka.

Soojung sempat berpikir untuk menjual mobil itu pada awalnya, tapi sang pengacara menahannya, beralasan bahwa mereka berdua akan membutuhkannya bila harus bepergian bersama Luhan.

Alasan itu ada benarnya juga bila dipikir kembali, karena Audi milik Chanyeol tidak memiliki kursi belakang. Dan mereka jelas tidak diperbolehkan membawa bayi dengan mobil dua kursi penumpang. Dia harus menunda rencananya ini setidaknya hingga Luhan cukup dewasa untuk diperbolehkan duduk di kursi samping kemudi.

Soojung pun kembali ke kampus. Dia sudah tertinggal satu bulan lebih semester ke-2, dan harus mulai mengejar ketinggalannya selama absen. Tidak banyak orang yang menanyakan alasannya menghilang selama satu bulan itu, pengacaranya telah mengurus surat keterangan absen bahwa dia mengalami semacam penyakit tahunan, dan tengah dirawat di Amerika selama ini.

Beberapa di antara mereka hanya bertanya bagaimana keadaannya, apakah dia merasa baik-baik saja, dan mengungkapkan bela sungkawa akan kepergian orangtuanya. Tidak ada lagi yang membahas penyakitnya setelah itu. Dan Soojung merasa sangat lega karenanya. Bisa kembali berkuliah dan mengobrol dengan teman-temannya sedikit banyak membuatnya terhibur dan merasa jauh lebih baik.

Beberapa hari ini Soojung pun berpikir untuk segera mengambil surat ijin mengemudinya. Dia tidak mungkin bergantung pada Chanyeol untuk selalu mengantarnya ke kampus dan menjemputnya seusai kelas berakhir tiap hari. Soojung memang telah meyakinkan Chanyeol bahwa lelaki itu tidak perlu merepotkan diri seperti ini, tetapi Chanyeol bersikeras untuk menemaninya.

Beberapa hari ini, Soojung merasa membantah Chanyeol adalah salah satu hal yang sangat tidak mungkin dia lakukan, karena itulah dia tidak lagi berniat melakukannya.

Karena itulah sore ini sebelum pulang ke rumah, mereka sengaja mampir ke kantor urusan perlalu-lintasan untuk mengurus permintaan SIM dan mengatur jadwal tes mengemudinya untuk beberapa hari ke depan. Soojung merasa jauh lebih ingin keluar dari mobil ayahnya, karena Chanyeol selalu membawa Luhan tiap kali mereka pergi bersama.

“Sampai kapan kau akan terus menghindarinya seperti itu?”

Soojung hanya mengangkat kepalanya sekilas saat Chanyeol muncul dari balik punggungnya. Lelaki itu mengambil air dingin dari dalam lemari es, menuangkannya ke gelas—ini sungguh kebiasaan baru yang Soojung tidak ingat kapan dimulainya—dan meneguknya hingga habis.

“Dia tidak perlu repot-repot menelepon hampir tiap hari hanya untuk menanyakan kabarku.” Soojung menjawabnya datar, tidak perlu lagi bersikap pura-pura bodoh akan siapa yang tengah mereka bicarakan saat ini.

“Saat dia memutuskan untuk pergi dan meninggalkanku denganmu di sini,  dia seharusnya tahu bahwa aku akan baik-baik saja.” Ujarnya lagi.

Soojung menuliskan catatan kecil pada penjelasan mengenai pemikiran modern Rene Descartes pada topik yang tengah dia baca. Hanya alih-alih, karena sesungguhnya dia sendiri tidak tahu apa yang tengah dia baca, maupun apa yang dia tulis.

“Tetap saja. Dia mencemaskanmu.”

Save it. I don’t need that.” Kalimat ini diucapkannya setelah jeda yang cukup lama. Dan sebenarnya, Soojung sendiri pun tidak yakin dengan kesungguhan kalimatnya.

Melihat Soojung tidak memberikan respon yang layak, Chanyeol pun tidak berkata apa-apa lagi. Dia bertanya apakah Soojung ingin makan spaghetti untuk makan malam, dan mulai mondar-mandir mempersiapkan bahannya beberapa saat kemudian.

Soojung pun kembali pada bukunya, dan mengetikkan sesuatu pada laptop yang terbuka di samping kertas-kertas catatan yang berserakan di hadapannya. Dia harus membuat sebuah essay untuk tugas kelas filsafat hukumnya, dan setelah membuat beberapa corat-coretan di atas kertas, dia memindahkannya ke dalam layar dokumen di laptopnya.

“Soojung ah…”

Soojung menoleh. Bukan karena merasa terpanggil, tapi karena dia baru pernah mendengar Chanyeol memanggilnya seperti itu—setelah setahun memanggilnya dengan nama lengkap dan formal.

Dokter Kim sempat bicara tentang bagaimana mereka membangun kedekatan persaudaraan setelah kejadian ini. Karena kini mereka hanya berdua saja, dan mereka adalah sebuah tim. Dan bagaimana kekompakan tim itu bisa diperkuat dengan mulai saling memperlakukan satu sama lain seperti saudara kandung, yang sesungguhnya.

“Ya, Oppa?

Refleks.

Soojung sendiri pun hampir tidak sadar saat mengembalikan sapaan singkat Chanyeol dengan panggilan itu. Dan sepertinya refleksnya ini menimbulkan pengaruh yang cukup besar bagi Chanyeol, karena lelaki itu seketika tersenyum lebar dan tertawa pelan begitu mendengarnya.

“Rasanya aneh mendengarmu memanggilku seperti itu.” Chanyeol berujar.

Ya. Terakhir kali Soojung memanggil Park Chanyeol dengan oppa adalah saat laki-laki itu berulang tahun setahun yang lalu, dan dia sangat menunjukkan rasa tidak sukanya tiap kali kata itu keluar dari mulutnya.

Aneh sekali karena saat ini kata itu kembali terontar dengan rasa dan kesan yang sangat berbeda.

“Apa kau ingin aku memanggilmu tetap dengan ‘Park Chanyeol’ seperti biasanya?”

Chanyeol menggeleng, “Tidak, oppa saja. Aku suka.” Lelaki itu mengatakannya tanpa memindahkan kedua matanya dari bawang yang tengah dia iris.

Soojung ikut tersenyum. Lagi-lagi, refleks.

“Kau tadi mau bicara apa?”

“Ah.” Chanyeol menggantung jari telunjuknya di udara, menyelesaikan mengiris bawang sebelum menjawabnya. “Aku hanya ingin menanyakan bagaimana kuliahmu beberapa hari ini. Kita belum sempat membicarakannya sejak kau kembali ke kampus.”

“Semuanya baik-baik saja. Teman-temanku terlalu fokus dengan essay dan tugas apa yang para profesor kami berikan hingga mereka tidak punya waktu untuk menyadari bahwa aku telah mengilang sebulan lebih dari kampus.” Soojung tertawa begitu menceritakannya, Chanyeol memberikan respon yang sama.

Dia memberitahu Chanyeol apa saja yang terjadi di kampusnya beberapa hari ini; tentang dosennya yang aneh, dan tugas-tugas mereka yang tidak kalah anehnya, lalu tentang beberapa teman baru yang dia sukai—yang menurut Soojung akan menjadi teman-teman dekatnya selama menjadi mahasiswa di sekolah hukum universitas ini. Juga hal-hal lainnya.

Di tengah-tengah ceritanya, tiba-tiba saja Soojung teringat sesuatu. Dia baru menyadari hal ini sesungguhnya. Sesuatu yang terlewatkan saking banyaknya hal yang harus dia lakukan dan lalui, dan membuat Soojung merasa sangat aneh karena hal sebesar itu terlupakan begitu saja.

Soojung diam sesaat; mengingat-ingat, mengetuk-ngetukkan pensilnya di atas permukaan buku tebal yang terbuka, dan akhirnya meyakinkan diri bahwa ini memang terjadi. Bahwa Chanyeol selalu bersamanya selama ini, dan hampir tidak pernah meninggalkan rumah tanpa Luhan, atau bila tidak diperlukan.

Ada yang aneh dengan rutinitas baru ini.

Oppa, kenapa aku tidak pernah melihatmu pergi ke agensi lagi?” dia kemudian bertanya.

Chanyeol masih dalam status seorang trainee saat ini. Dalam hitungan minggu seharusnya dia akan debut dengan band yang telah berlatih bersamanya selama setahun belakangan. Tapi bukannya makin sibuk berlatih, Chanyeol tidak pernah keluar sama sekali.

Keheningan yang menyertai pertanyaannya membuat Soojung merasa ada yang tidak beres. Chanyeol tidak terlihat terkejut, atau merasa bersalah saat dia menanyakan jadwal latihannya. Bila lelaki itu terus mendekam di dalam rumah, ini berarti dia sudah membolos dari latihannya berulang kali.

Oppa, memangnya tidak apa-apa?” Soojung bertanya lagi.

“Aku sudah berhenti.”

Dia sudah… apa?

Soojung hampir tidak percaya dengan jawaban itu. Apa dia salah dengar? Chanyeol tadi bilang apa?

“Apa maksudmu sudah berhenti?”

Chanyeol berhenti bergerak sesaat, menyandarkan kedua tangannya di atas meja dan mengangkat bahunya. “Aku berhenti menjadi trainee, keluar dari FnC. Dan ya, ini berarti aku tidak akan debut dalam waktu dekat, atau selamanya.” Ujarnya menjelaskan.

Soojung tidak percaya. Dahinya berkerut dalam.

Tapi kenapa? Kenapa Chanyeol melakukannya? Dia pikir ini adalah mimpi lelaki itu: menjadi seorang musisi, debut menjadi idola para remaja dan semua wanita di pelosok Korea, dia dan bakatnya yang memukau. Kenapa Chanyeol melepaskannya begitu saja?

Dan yang membuatnya makin tidak percaya, Chanyeol terlihat tidak menyesal dengan keputusan itu. Ataukah itu hanya ekting saja? Ekspresinya terlihat sangat terlatih kalau diperhatikan lagi.

“Sejak kapan?” Soojung bertanya.

“Dua bulan yang lalu.”

Dua bulan yang lalu adalah saat… dia tidak mampu.

Soojung menunduk dalam. Seketika rasa bersalah menjalar ke seluruh dirinya saat menyadari, bahwa Chanyeol melakukan ini untuknya.

Dia tahu bahwa Chanyeol merasa bertanggungjawab sebagai laki-laki yang paling tua di keluarga mereka saat ini. Lelaki itu adalah kepala, yang juga seharusnya menjadi tulang punggung keluarga mereka, ditambah lagi dia pun memiliki Soojung yang harus dijaganya selain Luhan.

Laki-laki itu mengorbankan mimpinya untuk mereka berdua, padahal Chanyeol bukan siapa-siapa baginya. Lelaki itu bahkan tidak berbagi darah dengannya maupun Luhan. Mereka hanya terikat persaudaraan karena hubungan pernikahan. Kenapa Chanyeol sampai melepas kesempatan besar ini karenanya?

“Soojung ah, aku tidak melakukan ini karena kau, oke?”

Soojung mendengar lelaki itu bicara. Chanyeol telah duduk di sampingnya, mengusap punggungnya, seolah tahu benar apa yang dipikirkannya saat ini. Dan ya, Chanyeol memang benar.

“Aku berhenti karena tidak yakin bisa melakukannya.” Chanyeol berkata lagi, “Aku tidak yakin bisa menjadi seseorang yang tiba-tiba saja dikenal orang. Terlalu banyak yang harus kuubah dan kusembunyikan, dan aku tidak siap melakukannya.”

“Tapi ini mimpimu.”

“Aku bisa melakukannya dengan cara yang lain. Masih banyak cara untuk bisa menyalurkan kegiatan bermusikku, percayalah. Ini bukan karena kau, jadi jangan pernah berpikir seperti itu. Ini tentang aku sepenuhnya.”

“Bagaimana dengan suneung?” Soojung bertanya lagi. Dia terperanjat dengan pertanyaannya sendiri saat teringat dengan rencana Chanyeol untuk melakukan ujian masuk universitas tahun ini.

Demi Tuhan, ujiannya akan dilakukan minggu depan! Persiapan apa yang telah mereka lakukan?

“Aku tidak akan melakukannya.”

Ini makin tidak bisa dipercaya. Soojung menggeleng tidak habis pikir, Chanyeol sudah berjanji pada ayahnya untuk melakukannya tahun ini. Dan kini lelaki itu menolak?

“Aku tidak pernah berjanji, Soojung. Kau dan ayahmu yang terlalu bersemangat memaksaku melakukannya. Dan sudah kukatakan padamu, aku tidak ingin kuliah. Ada hal-hal yang ingin kulakukan selain itu.”

“Seperti apa?” Soojung menantang. Chanyeol benar-benar harus memberinya alasan yang tepat untuk bisa lepas dari tanggungjawab ini. Dan dia berpikir untuk akan tetap menyuruh Chanyeol mengikuti tes. Soojung akan menyeretnya ke ruang ujian kalau memang perlu.

“Mengaransemen musik, menciptakan lagu, dan menjualnya ke pasaran.”

“Dan kau pikir kau bisa melakukannya tanpa sekolah? Park Chanyeol, Yoonhan menghabiskan empat tahun di Berklee dan dua tahun untuk master dan Ph.D agar bisa menjadi siapa dia sekarang.”

“Karena Yoonhan memiliki fokus yang berbeda untuk karier dan musiknya.” Chanyeol menyanggahnya. Tidak ada yang menyadari bahwa mereka sedang saling mengalahkan tinggi suara satu dan yang lain dengan argumen mereka masing-masing.

“Banyak composer yang tidak perlu melalui bangku kuliah dan mampu menciptakan musik yang berbobot, menjadi hits dan disukai banyak orang. Kau pernah dengar G Dragon? Zico? Taylor Swift?” Chanyeol mengangkat kedua alisnya. “Tablo memiliki gelar master dari Stanford, dan kau tahu? Dia tidak menggunakan gelarnya untuk menjadi seorang pemusik besar. Menjadi seorang musisi adalah tentang naluri, Han Soojung. Kau pun seorang pianis.”

Soojung terpaku. Dia diam.

Kali ini dia tidak bisa membantah lagi, apa yang Chanyeol katakan semua benar. Dan saat itu juga Soojung menyadari, bahwa inilah yang mereka katakan sebagai mimpi. Bagaimana Chanyeol mempertahankan mimpinya dan bersikeras melakukan apa yang dia inginkan mengingatkannya pada dia bertahun-tahun yang lalu, sebelum ayahnya menghentikan seluruh keras kepalanya dengan ancaman yang tak terbantahkan.

Soojung pernah mengurungkan niatnya menjadi seorang komposer musik agar tetap bisa bermain piano tiap hari. Dan keteguhan ayah telah membuatnya melakukan sesuatu yang sangat signifikan dalam hidupnya: dia telah mengubur salah satu mimpi besarnya dalam-dalam, dan sedikit banyak ini membunuh karakter bermusik dalam dirinya.

Dan Soojung tidak ingin hal yang sama terjadi pada Chanyeol. Dia tidak ingin melakukan itu pada lelaki ini.

“Apa rencanamu?” Soojung bertanya beberapa saat kemudian.

Chanyeol mungkin mengira dia akan mengatakan sesuatu untuk membantah lagi. Dia melihat lelaki itu menarik napas dan menghelanya cepat sebelum bicara.

“Dua minggu yang lalu Yoonhan hyung memintaku untuk mengirimkan beberapa musik demo yang pernah kuaransemen untuk Bogotda pada CEO Stomp. Dan seminggu yang lalu seseorang dari manajemen mereka menghubungiku. Mereka ingin memakai musikku untuk seorang artisnya yang akan debut. Dan hingga Jaejin dan Minhyuk kemari dari wajib militer, aku akan bekerja sebagai produser lepas mereka.”

Kedua mata Soojung melebar, “Mereka akan menarik Bogotda?”

“Bisa jadi.” Chanyeol mengangkat bahunya lagi. “Lihat, kan? Akan selalu ada jalan bila kita berusaha. Aku akan menunjukkan padamu bahwa ini akan berhasil suatu saat nanti. Kita hanya perlu menunggu saat yang tepat.”

Soojung tidak akan meragukan hal ini. Dia tahu bahwa Stomp sudah tertarik dengan Bogotda saat agensi itu menjadi distributor single digital ‘Rainbow Shoes’ yang pernah keluar di pasar musik awal tahun lalu. Aliran dan konsentrasi musik mereka berada di jalur yang sama. Yoonhan pernah memberitahunya, bahwa hanya tinggal menunggu waktu hingga Stomp menawarkan mereka kontrak kerjasama suatu saat nanti.

“Ikut aku.”

Soojung turun dari bangku tingginya sesaat kemudian, dan menarik Chanyeol bersamanya. Bila Chanyeol memang ingin serius menggeluti bidang ini, maka dia tidak bisa melakukannya setengah-setengah. Chanyeol akan membutuhkan peralatan yang memadai untuk bisa mengkompos musik yang dia inginkan, dan Soojung memiliki apa yang dia perlukan.

Tanpa banyak bicara Chanyeol berjalan di belakangnya, menaiki anak tangga ke lantai dua, hanya berhenti sebentar untuk mengecek Luhan yang masih terlelap, lalu pergi ke dalam kamarnya. Soojung membongkar tumpukan kardus di dalam closet pakaiannya, dan menyuruh Chanyeol mengambil dua kardus yang masih terbungkus rapi; berisi satu set synthesizer portable dan sebuah mixer. Lalu satu kardus lain berisi Novation launchpad.

“Yoonhan membelikannya untukku dua tahun yang lalu, tapi dad hanya memperbolehkanku menggunakannya saat liburan. Kau akan memerlukannya, ambil lah, ini untukmu.”

Soojung tahu Chanyeol sudah tidak lagi mendengarkannya, karena laki-laki itu kini sibuk mengeluarkan benda-benda itu dari dalam kardus dan mengagumi spesifikasinya. Dari ekspresi yang lelaki itu perlihatkan, dia tahu benar apa yang Chanyeol benar-benar butuhkan. Dan ini jauh di luar ekspektasinya.

Dia hanya pernah mempergunakan alat-alat itu dua kali selama dua tahun ini sebenarnya, dan merasa senang karena akhirnya pemberian Yoonhan tidak berakhir sia-sia. Lelaki itu jelas jauh lebih jenius dalam dunia aransemen, Soojung lega karena alat-alat musik itu berguna juga.

“Aku sudah lama sekali ingin punya launchpad seperti ini.” Chanyeol menunjuk kardus yang saat ini tengah dia pegang. “Beberapa kali kulihat di youtube, dan sepertinya keren sekali kalau bisa memainkannya. Dan kalau aku tahu kau menyimpan ini di dalam gudangmu, aku pasti sudah akan merengek agar kau meminjamkannya dari dulu.”

“Sekarang ini milikmu, kau tidak perlu merengek lagi.”

“Aku tahu.” Chanyeol tersenyum lebar dan memeluk kardus launchpad-nya dengan antusias. Dia lalu menaruh kardus itu di atas pembaringan, dan menarik Soojung dalam dekapannya.

“Thank you! Thank you! Thank you! Thank you! Thank you! Thank you! Thank you! Thank you! Thank you! Thank you! Thank you! Thank you! Thank you! Thank you! Thank you!”

Chanyeol memeluknya dengan sangat erat. Dan untuk menunjukkan rasa terima kasihnya, Chanyeol menghujani pipi Soojung dengan kecupannya yang berulang-ulang.

“Ah! Park Chanyeol!”

Tentu saja serangan tidak terduga itu membuat Soojung terkejut setengah mati, sekaligus berang. Suara pekikannya membuat Luhan terbangun, dari luar kamarnya dia bisa mendengar bayi kecil itu merengek di dalam boks di ruang santai.

Soojung mendorong Chanyeol jauh-jauh dari dirinya, lalu mengusap pipinya. Dia menjitak kepala Chanyeol dengan keras.

“Jangan pernah menyentuhku seperti itu lagi! Hih!” ujarnya kesal, masih syok.

“Aw, hentikanlah. Aku masih terlalu senang dengan semua ini untuk menyambut Han Soojung yang kejam kembali.” Chanyeol memprotes, tidak menghiraukan Luhan dari luar kamar dan kembali sibuk dengan alat-alat musik barunya.

Soojung mendesis. Dia bergegas meninggalkan kamarnya setelah menjitak kepala Chanyeol sekali lagi. Kali ini dengan satu tendangan keras di tulang keringnya dan membuat lelaki itu berteriak kesakitan. Chanyeol hampir menangkapnya kalau saja dia tidak cepat-cepat melarikan diri.

“Han Soojung, awas kau!!”

* * *

=====================================

synthesizer set sama Novation launchpad bisa kamu lihat kolaborasinya dalam video ini.

Hih, akhirnya datang juga waktunya. Udah lama banget aku pengen pamerin launchpad Soojung ke Chanyeol, LOL.

Jadi, selamat datang kembali Han Soojung yang kejam :D


Filed under: fan fiction, series Tagged: Forsaken, Han Soojung, Park Chanyeol

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles