Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[ONESHOT] It’s Okay.

$
0
0

lulu-11

Saat dia tertawa, kau ikut tertawa karena gelaknya menular. Saat dia menangis, hatimu tercabik melihat air matanya. Saat dia pucat dan berkeringat, kau seperti terkoyak ikut merasakan rasa sakit yang menggerogotinya.

Kata mereka, itu adalah apa-apa yang kaurasakan, ketika kau jatuh cinta.

=*=

Kau baru saja pulang dari kesibukan seharimu yang melelahkan ketika mendengar ponselmu berbunyi. Sebuah pesan MMS baru saja masuk.

Pesan itu dikirim dari nomor yang tidak kaukenal, mengirimimu sebuah foto yang diambil secara candid dan menunjukkan sosok yang agak kabur. Meski dari jauh dan hanya terlihat sisi belakangnya saja, kau sudah cukup mengenal orang itu.

Luhan pergi ke rumah sakit hari ini.

Begitu saja yang tertulis di dalam pesan itu, menjelaskan foto yang terkirim bersamanya. Dan kau tidak mencoba untuk mengenali nomor si pengirim tak dikenal ini, tidak juga berusaha untuk mengecek kebenarannya. Kau menaruh ponselmu di nakas di samping tempat tidur, menaruh tas punggungmu di bawah meja dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi.

Orang-orang itu tahu siapa kau. Di mana kau tinggal, di mana kau berkuliah, bekerja, dan segalanya. Mereka tahu sejak kapan kalian saling mengenal, hingga apa hubunganmu dengannya.

Hanya saja, tidak seperti kisah-kisah yang pernah kaudengar tentang mereka yang berhubungan dengan orang-orang semacamnya, mereka menganggapmu tidak ada. Bagi mereka kau seperti amoeba. Mereka tahu kau ada, tapi tidak terlalu tertarik untuk mempelajarimu lebih jauh.

Ya, kadangkala mereka akan mengirimkan pesan-pesan absurd, yang beberapa di antaranya bernada ancaman—pesan yang lebih banyak kauabaikan, karena dia menyuruhmu begitu. Tapi tidak sedikit juga dari mereka yang mengirimkan pesan-pesan penuh dukungan. Bahwa mereka senang kau yang bersamanya, bukannya gadis lain.

Dia tidak ingin kau membuka situs berita, atau forum apapun yang memuat tentang dirinya. Dia tidak ingin kau membaca komentar-komentar orang yang ujung-ujungnya akan menyakitimu. Kau tidak pernah melakukannya, seperti yang dia inginkan. Tapi meski begitu, tetap saja ada kiriman tak terduga dari mereka—si pendukung. Hal-hal kecil seperti yang baru saja kauterima.

Harus kauakui, tidak mudah bersikap tidak acuh. Meski tidak ingin mengakuinya, kau merasa cemas dengan apa yang kaulihat. Dia mudah terserang flu. Dia punya alergi dengan banyak makanan. Dan bila sudah salah makan, dia bisa sampai tidak bisa bangun dari tempat tidurnya karena gangguan pencernaan.

Dia tidak suka membuatmu cemas, karena itulah kau tidak pernah menunjukkannya secara terang-terangan. Tapi meskipun begitu, kau tidak bisa memungkiri, bahwa berita tentang dia yang terlihat meninggalkan rumah sakit hari ini membuatmu sedikit terganggu.

Selama hampir satu jam kau menatap layar ponsel. Kau amati lamat-lamat foto yang dikirimkan untukmu. Apa lagi kali ini? Kau bertanya-tanya. Penasaran, kau akhirnya membuka aplikasi chat online dan mengirimkan sebuah pesan untuknya.

Hei, bagaimana hari ini?

Kau menaruh ponselmu kembali ke atas meja begitu mengirimkan pesan, tidak berniat menunggu. Dia jarang langsung membalas pesan yang kaukirim. Jam segini biasanya dia sedang sibuk-sibuknya bekerja, dan baru akan membalas pesan larut malam nanti begitu kembali ke asramanya, atau besok pagi sebelum pergi lagi.

Dan kau tidak keberatan, karena memang sudah begitulah aturannya. Jadi kau turun dari tempat tidurmu, berniat pergi ke dapur untuk membuat makan malam dan menonton TV sebentar.

Langkahmu terhenti di ambang pintu ketika ponselmu berdering. Nada dering yang berbunyi membuatmu terlonjak. Sudah lama sekali sejak terakhir kali kau dengar nada musik itu teralun nyaring. Musik yang sengaja kau pasang hanya saat dia yang menelepon.

“Hei.” Kau dengar suaranya menyapamu begitu menerima panggilan itu. Tanpa kausadari bibirmu tertarik, membentuk sebuah senyum yang penuh dengan rasa rindu.

“Hei.” Kau jawab dia dengan singkat. “Sedang tidak sibuk?”

“Kami sedang di mobil. Dalam perjalanan.”

Ya. Sebenarnya itu sudah cukup jelas. Karena kemudian kau mendengar seseorang di seberang sana mengajaknya mengobrol—dia hanya menjawab orang itu dengan satu dua kata saja. Salah seorang yang lain, kau yakin itu suara Jongdae, bertanya dengan siapa dia sedang bicara. Lalu kaudengar dia menyebut namamu, menjawab pertanyaan itu. Teman-temannya mulai menggoda, dengan siulan dan segala macam lainnya.

Dia tidak tertawa, jadi kau juga diam saja.

“Apa saja yang kaulakukan seharian ini?” Kau kemudian bertanya begitu suara teman-temannya mulai menghilang. Dia mungkin menyuruh mereka diam.

Dia tidak langsung menjawabmu. Kau tidak mendengar suaranya hampir selama tiga detik—ya, tepat tiga detik, kau menghitungnya—hingga kau dengar dia berdehem pelan dan bergumam rendah.

“Latihan bersama yang lain sejak pagi. Lalu beberapa dari kami harus rekam suara untuk iklan produk, sisanya ini dan itu di kantor. Lalu pulang, lalu sekarang pergi lagi.” Dia menjelaskan.

“Perutmu baik-baik saja?” Kau bertanya lagi.

“Ya, perutku baik-baik saja.” Dia berdehem lagi. “Bagaimana Beijing?”

Kau menoleh keluar jendela. Dia sedang mengalihkan topik pembicaraan kalian.

“Hujan sejak pagi.”

Jawaban itu menjelaskan semua. Beijing memang sedang dilanda cuaca ekstrim menjelang musim dingin tahun ini. Kau tidak mengelaborasikan jawabanmu karena kau tahu diam pasti mengerti apa yang selanjutnya terjadi.

Lalu kalian terdiam.

Kau tahu. Dia tahu.  Kau pun yakin dia tahu bahwa kau tahu apa yang terjadi hari ini dengannya. Kau tahu dia tahu, bahwa mereka mereka tidak akan meninggalkanmu sendiri. Meski kau telah menjauh dari ramainya aksi buruan para penggemar gila, selalu akan ada cara mereka untuk menemukanmu.

Kalian tahu apa yang terjadi. Tapi tak ada satupun di antara kalian berniat untuk membahasnya. Setidaknya kau tidak melakukannya secara blak-blakkan.

“Maaf, ya.” Kaudengar dia berkata tak lama kemudian.

Terus terang saja, kalimat singkat itu membuatmu terkejut.

“Untuk apa?”

“Untuk cemas yang saat ini kaurasakan.” Dia bergumam kecil, “Alerginya tidak parah kok, hanya gatal sedikit.”

Kau mendengus. Kau tersenyum mendengarnya mengaku. Dia tidak pernah begini sebelumnya.

“Habis makan apa?”

“Pistachio. Anak-anak makan sepertinya enak sekali, jadi aku ikut makan.” Dia berdehem lagi, untuk kesekian kalinya dalam satu menit itu. Kau menduga tenggorokannya juga ikut gatal karena efek alergi.

“Aku baik-baik saja sekarang.” ujarnya kemudian menyimpulkan. “Jangan cemas lagi, oke?”

“Oke.” Kau mengangguk seolah dia bisa melihatmu saat ini.

“Baiklah. Aku harus pergi sekarang, kami akan sampai.”

“Oke.”

“Aku akan menelepon lagi bila jadwalnya lengang.”

“Ya.”

Suaramu terdengar makin lirih dengan jawaban-jawaban singkat yang kauberikan padanya. Rasanya agak sedih karena harus mengakhiri obrolan singkat ini. Kau masih ingin mendengar suaranya. Suaranya saat dia bicara denganmu. Tapi dia harus pergi, dan kau harus melepaskannya lagi.

Kau mendengar dia menarik napas.

“Baiklah. Jaga dirimu. Jangan lupa selalu bawa payung bila bepergian.”

“Ya, tentu. Tidak akan lupa.”

“I love you.”

Kau mendengar teman-temannya kembali ramai. Mereka menggodanya lagi, bahkan beberapa sengaja mengikuti cara bicaranya dengan nada meledek.

Dia tidak bilang apa-apa merespon mereka. Dia tidak tertawa. Jadi kau hanya tersenyum kecil.

“Halo?”

“Ya.” Kau menjawabnya.

“Ya apa?”

“Ya. I love you.

“Oke. Sampai nanti lagi.”

Kau menjawabnya dengan gumam sekali lagi, lalu dia memutus panggilannya.

Begitulah. Kau menggenggam ponselmu dengan kedua tangan, dan duduk diam di tepi pembaringan. Selama beberapa saat kau berdiam diri di sana menatap kosong udara, lalu napasmu terhela.

Setidaknya dia bilang kalau dia baik-baik saja. Hanya alergi, dan gatal sedikit. Kau mengulang kembali apa yang dia katakan padamu tadi.

Kadang dia selalu menurunkan kadar keparahan sesuatu yang dirasakannya. Dia mengira bisa membohongimu, tapi kaurasa dia tahu, bahwa kau tahu dia hanya menghibur dirinya sendiri. Dia tidak ingin membuatmu cemas, dan kau tidak ingin menunjukkan rasa cemasmu.

Jari-jarimu bergerak di permukaan layar ponsel. Begitu membuka kunci di laman menu, kaubuka lagi aplikasi chat online tadi, dan menuliskan pesanmu di sana. Pesan yang tidak pernah bisa kau sampaikan secara langsung saat kalian saling bicara.

Kau tidak bisa memilih untuk merasa cemas atau tidak. 
Karena ini bukan sesuatu yang bisa hilang seketika kau bilang 'jangan rasakan'.
Karena saat kau sakit, aku juga sakit.
Baik-baiklah di sana.
Kalau tidak ingin buat aku cemas, jangan makan kacang terlalu banyak... :) 

.

.

.

* * *

===============================

Menulis oneshot ini setelah lihat foto di atas.

Sudah lama sih fotonya, cuma ngeliatnya aku nggak tega. I mean, if he feels sick, I feel the same way too >,< #tsah #beginilahkekuatancinta #distakamusabaro #luhanrapopo


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: EXO, Lu Han

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles