Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[ONESHOT] Mind Mischief

$
0
0

Mind Mischief

by theboleroo

“I hope she knows that I’ll love her long, I just dont know where the hell I belong.”

.

Namanya Serra. Usianya dua puluh empat tahun, berkacamata, rambutnya sewarna tanah, zodiaknya Gemini, warna lip-gloss favoritnya adalah peach, ia mengoleksi banyak stiletto mahal, lebih suka memakai skirt ketimbang bawahan jenis lain, teh kesukaannya adalah darjeeling, alergi seafood, makanan favoritnya adalah lasagna, golongan darahnya O, pernah berkencan sebanyak lima kali, anjing peliharaannya bernama Moakes—jenisnya golden retriever.

Satu lagi.

Ia adalah guru matematika, sekaligus gadis incaran Huang Zitao—muridnya.

.

Zitao duduk di bangku paling belakang, di baris yang sama dengan meja guru.

Sejak satu jam lalu ia hanya mengetuk-etukan ujung pensil mekaniknya di atas buku, tidak terlalu keras, namun cukup membuat Kim Jongin menoleh ke belakang sambil memicingkan mata sebanyak belasan kali lantaran merasa terganggu.

Zitao tak menghiraukan dan tetap menatap lurus ke depan.

Sumpah mati, tak ada hal yang lebih membahagiakan dari memandangi gadisnya yang cantik berbicara di depan. Suara Serra yang lembut seolah memenuhi setiap sudut ruang kelas yang—entah mengapa—selalu mendadak sunyi saat ia mengajar. Terkadang ada bunyi tak-tuk anggun dari high heels-nya saat ia berjalan. Tulisan tangannya begitu indah—membuat rumus-rumus keparat itu nampak seperti kalimat cinta, Zitao sangat menyukainya.

Well, ada yang ingin kalian tanyakan?” Ia bersandar ke meja sambil melipat tangan di dada, pandangannya menyapu ke seluruh penjuru ruangan, dan berhenti di mata seseorang. “Ya, silakan,” katanya ramah saat mendapati Zitao mengangkat tangan.

“Kenapa hari ini Anda begitu cantik, Miss?”

.

“Sudah?”

Zitao mendongak. “Jangan mengikat rambutnya seperti itu,” katanya sebelum kembali berkutat dengan soal-soal yang diberikan Serra.

Gadis itu menyentuh puncak kepala, “Ada yang salah dengan bun hairstyle?” tanyanya. “Aku suka mengikatnya begini, kau juga sudah tahu, kan?” Serra mengangkat bahu, lalu kembali menyantap sekotak es krim rasa teh hijaunya. “Mau?”

Zitao lagi-lagi mendongak dan mendapati tangan Serra terulur—bersiap menyuapinya es krim. “Tidak, terima kasih,” tolak lelaki itu sebelum menundukkan kepalanya lagi. Ayolah, ia tak ingin konsentrasinya pecah gara-gara merasakan Serra di mulutnya.

Ya, meski sebenarnya hal itu nampak menyenangkan, sih.

Ini hari Minggu.

Seharusnya, Zitao tidur sampai siang di rumah. Seharusnya, Serra pergi ke salon dan merawat rambutnya. Tapi, ujian matematika Rabu depan membuat Zitao harus bangun pagi, menelepon Serra, dan membujuknya agar bersedia menemaninya belajar pada jam sebelas siang.

Awalnya, Serra akan menolak. Tapi, setelah dipikir-pikir lagi, ternyata ia cukup rindu melihat wajah Zitao dari dekat, sehingga mau tak mau ia pun mengiyakan permintaannya.

Huang Zitao seumur dengan adik perempuannya, ia adalah murid yang manis. Serra menyukainya.

“Sudah sampai mana?” Gadis itu bertanya setelah membenahi kacamata yang bertengger di hidungnya yang kecil. Karena Zitao tak menjawab, maka ia mencondongkan tubuh, dan bertanya lagi. “Boleh kulihat pekerjaanmu?”

“Sudah sampai situ, nanti saja dilihatnya.”

Dari nada bicaranya, Zitao nampak sedang serius. Tapi bagaimana pun juga Serra tahu benar jika muridnya yang satu ini tidak pernah serius belajar matematika.”Sini, kulihat.” Ia merebut buku milik Zitao dengan paksa, dan anak lelaki hanya terdiam seolah tak peduli.

Serra menunjukkan kecurigaan melalui sepasang matanya, sementara Zitao hanya meloloskan napas pendek, lalu meneguk sedikit jus jeruk yang tadi disuguhkan oleh guru kesayangannya itu.

“Apa-apaan ini?” tanya Serra sambil mengembalikan buku Zitao. Ia kembali beralih pada es krimnya, memandang wajah anak lelaki itu dengan ekspresi pura-pura kecewa. “Pantas saja tak kunjung selesai, kau malah menulis hal aneh seperti itu, sih.”

Zitao tersenyum timpang, tak berkata-kata selama beberapa saat. “Maaf,” katanya pendek. Ia mengambil bukunya, membuka halaman di mana tadi ia menulis sesuatu yang menurut Serra aneh; I heart Serra everyday, oh, kalimat itu memenuhi dua halaman bukunya dan bagi Zitao ini tidaklah aneh, ini romantis—mungkin.

“Kau menyukainya tidak?” Serra menggeleng. “Kenapa?”

“Aku lebih suka kalau kau mengerjakan soal yang kuberikan, menulis hal seperti itu kan bisa kapan-kapan.”

“Norak, ya?”

“Apanya?”

“Kalimat itu.”

Serra menghela napas panjang, lagi-lagi mencondongkan tubuh, dan mencubit hidung Zitao. “Sudah cepat kerjakan dulu.”

Mungkin tak banyak orang tahu jika mereka saling mengenal sudah sejak lama. Persisnya delapan tahun lalu.

Perkenalan mereka pun cukup unik, katakanlah seperti itu.

Zitao adalah teman sekolah adik semata wayang Serra, namanya Blu, gadis yang entah mengapa selalu menjadi objek bully teman-teman mereka di sekolah. Karena kasihan melihat gadis itu diganggu terus, akhirnya ia memutuskan untuk melindunginya, terdengar menggelikan memang, namun itulah yang terjadi. Lalu—yah—mengingat Zitao jago wushu dan teman-teman sekolahnya tak ada yang tidak tahu, maka sejak saat itu Blu tidak pernah lagi diganggu.

Suatu hari, Blu mengajaknya untuk makan siang di rumah sepulang sekolah—katanya sebagai ucapan terima kasih—dan Zitao tak menolak.

Ia masih ingat, saat itu adalah hari Kamis karena ia mengenakkan baju olah raga. Badannya bau keringat dan Ayah Blu menawarinya untuk mandi namun ia menolak. Blu juga marah karena ia bau, sementara Ibu Blu hanya tertawa-tawa di dapur saat melihatnya dimarahi di ruang makan.

“Tidak usah mandi, ganti saja bajumu pakai ini.” Serra mendatanginya, menyodorkan kaus kuning bergambar Tweety-yang-demi-Tuhan-sangat-ia-benci sambil tersenyum ramah.

Kala itu, Zitao masih tak paham apa itu gadis cantik, yang ia tahu, saat itu ia sangat senang melihat wajah Serra dan enggan beralih menatapnya. Kala itu, Zitao juga masih tak mengerti apa itu jatuh cinta, yang ia tahu, semenjak saat itu ia berhenti memikirkan Bruce Lee yang keren karena kepalanya dipenuhi oleh Serra,

            sampai detik ini.

“Kemarin malam Blu meneleponku, katanya dia merindukanmu.”

“Aku sudah tahu, kemarin sore anak itu juga mengirim e-mail padaku dan mengetik ‘Aku rindu Zitao’ sebanyak lima puluh kali.”

Serra tertawa kecil, lantas Zitao langsung menatapnya sambil mengigiti ujung pensil. “Ada yang lucu?”

“Tidak,” katanya. “Hei, memangnya kenapa kalau aku tertawa?”

Zitao tak menjawab, kembali berpura-pura berkonsentrasi mengerjakan soal. “Apa aku boleh menyerah? Pikiranku rasanya mendadak rusak jika berhadapan dengan matematika.”

“Lalu untuk apa kau ke sini? Setelah bersusah payah membujukku untuk mengajarimu, kau malah ingin menyerah begitu saja.”

Zitao mengerling. “Sebenarnya, aku ke mari hanya ingin menemuimu dan mendapatkan seluruh perhatianmu. Asal kautahu, aku sebal jika kau membagi perhatianmu untuk manusia-manusia lain di sekolah, itu menjengkelkan—lebih menjengkelkan dari saat aku tahu kalau Blu memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Australia,” katanya sambil menyodorkan buku pada gadis itu.

“Ya, sudah kuduga,” sahut Serra sambil mengambil bukunya. Well, ternyata Zitao sudah selesai mengerjakannya, yang salah hanya tiga. Kedua asli Serra berjinjit seketika sebelum menatap anak lelaki itu. “Dasar menyebalkan,” katanya sambil tertawa.

Zitao mengedikkan bahu lantas meneguk sisa jus jeruknya sampai tandas. “Ujian Rabu depan pasti nilaiku bagus, meskipun tidak sempurna tapi minimal memenuhi standar. Benar?”

“Tidak juga.”

Serra beranjak, berjalan meninggalkan meja lesehannya yang berbentuk kotak, dan berbaring di tempat tidur setelah menaruh kacamatanya di atas meja.

Zitao masih terlihat menekuni bukunya, entah sedang menulis apa.

“Zitao.”

“Mmm.”

“Jangan menggoda saat aku mengajar.”

Zitao menoleh dan mendapati Serra sedang memandangi langit-langit kamarnya. “Aku tidak pernah menggodamu.”

“Lalu, tempo hari itu apa?”

“Oh, itu.”

“Iya, apa?”

Zitao terdiam, tak lama kemudian bergabung bersama Serra di atas tempat tidur—ia berbaring di samping gadis itu, ikut memandangi langit-langit kamar yang di penuhi hiasan stiker bintang. Zitao tahu jika Serra tak menyukai hal yang berbau kekanak-kanakkan seperti itu, maka ia pun bertanya, “Untuk apa menempel benda itu di sana? Sangat tidak kau sekali.”

“Minggu lalu Blu mengirimkan stiker-stiker itu padaku, katanya kalau aku tak menempelnya, aku akan tertimpa kesialan.”

“Dan kau percaya?”

Serra menggeleng, menoleh ke arah Zitao. “Tidak. Aku menempelnya karena ingin saja.”

“Oh.”

Sesaat keduanya membisu, seolah kehabisan topik pembicaraan. Zitao sempat memejamkan mata, mendadak mengantuk setelah mencium aroma buah rasberi dari rambut Serra. Yah, pada dasarnya ia memang mudah sekali mengantuk dan tertidur, gadis yang ada di sampingnya tahu benar akan hal itu.

“Kau mengantuk?” tanya Serra, ia duduk di samping Zitao, menatap wajah anak lelaki itu lekat-lekat.

“Lumayan.”

“Tidur saja.”

Zitao menggeleng. “Tidak, aku tidak mau tidur di sini.”

“Kenapa?” Zitao diam saja. “Oke, tidak usah dijawab,” katanya, menyerah.

Zitao kadang-kadang memang seperti itu, menjawab pertanyaan orang lain dengan aksi bisu yang entah mengapa begitu menggemaskan di mata Serra, apalagi jika ditambah tatapan datar dari sepasang mata pandanya yang terlihat selalu mengantuk.

Sikapnya memang aneh dan menyebalkan, tak sedikit orang yang melayangkan komplain namun Zitao tak pernah ambil pusing. Ia kerap bersikap seperti itu jika malas untuk berkata ‘Tidak’ atau menjawab pertanyaan yang menurutnya merepotkan untuk dijawab, pada siapa pun dan di mana pun.

“Blu akan melanjutkan kuliah di mana?” tanya Zitao tiba-tiba sambil mengubah posisi tidurnya menyamping, membelakangi Serra.

“Mungkin di sini. Kenapa?”

“Baguslah, aku juga berharap begitu. Lagipula untuk apa dia sekolah jauh-jauh.”

Serra mengacak-acak puncak kepala Zitao, rambut hitam anak lelaki itu terasa begitu lembut di telapaknya. Ia sangat suka. “Kau merindukannya, ya?”

“Mmm.”

“Apa itu ‘Mmm’?”

“Lumayan.” Ia hanya terkekeh mendengar jawaban Zitao.

Zitao kembali digoda oleh rasa kantuk, dengan sangat terpaksa ia kembali memejamkan kedua matanya dan membiarkan angin membelai wajahnya dengan sangat lembut. Ah, sekarang kesadarannya tinggal tersisa tiga per empat.

Serra sudah duduk manis di depan meja rias, ia sibuk mewarnai kukunya dengan kutek berwarna oranye sambil menyenandungkan lagu kesukaannya.

“Aku benci memanggilmu dengan sebutan ‘Miss’,” ucap Zitao tiba-tiba.

“Salah sendiri, kenapa kau malah bersekolah  di mana aku mengajar?” tanya Serra tanpa mengalihkan pandangannya pada anak lelaki itu.

“Supaya bertemu denganmu setiap hari, masa kau tidak mengerti?”

Terdengar gadis itu tertawa, Zitao suka. “Tentu saja aku mengerti, kalau pun seumur hidup kau tidak menjelaskannya, aku pasti tetap akan mengerti.”

Hening.

“Serra.”

“Mmm.”

“Aku mencintaimu. Aku tahu kau tidak mencintaiku, kau kan tidak mungkin cinta pada bocah ingusan.”

Lagi-lagi, hening.

 

Aku mencintaimu.

Seumur hidup, Serra tidak pernah mendengar Zitao mengucapkan kalimat itu. Ini adalah kali pertama. Ya, selama ini yang selalu ia ucapkan adalah kalimat ‘Aku menyukaimu’.

“Bukan tidak, Zitao. Tapi belum,” katanya sebelum menoleh dan mendapati Zitao terlelap—kelopak matanya terpejam rapat.

Serra tersenyum, refleks ia berjalan mendekat ke arah anak lelaki itu, dan mengecup lembut pipi kanannya, lama sekali.

.

“Bukan tidak, Zitao. Tapi belum.”

Zitao akan mengingat kalimat itu selamanya, juga kecupan lembut di pipi kanan yang membuatnya seolah mati suri selama beberapa jam. Serra memang brengsek, sulit rasanya untuk berhenti menyukai gadis itu meskipun hanya sedetik.

“Mau ke mana? Ini sudah malam.” Ibunya bertanya saat ia mengenakan jaket. “Ke rumah Blu, bukuku tertinggal di sana.”

Wanita paruh baya itu tak protes, ia sudah tahu kalau anak lelakinya memang sangat dekat dengan Blu dan juga keluarganya. “Hati-hati, Zitao.” Itu saja yang diucapkannya.

Sejak pulang dari rumah Serra, Zitao seolah kesulitan mengendalikan syaraf di sekitar bibirnya—yah—sejak tadi ia terus tersenyum seperti orang sinting. Ayahnya sempat bertanya mengapa ia terlihat sangat bahagia, namun ia hanya mengedikkan bahu tanpa berkata apa-apa.

Kini, sepeda motornya sudah berhenti di depan pagar rumah Serra. Ia enggan turun karena melihat ada sebuah mobil Audi terparkir di halaman, entah milik siapa—ia tidak mau tahu. Sesaat ia berdiam diri di sana, intuisinya berkata bahwa tak lama lagi akan ada orang yang keluar dari rumah itu.

Satu menit.

Tiga menit.

Tujuh menit.

Ya, intuisinya boleh juga.

Seorang pria berpakaian rapi keluar dari sana, menggandeng tangan Serra. Keduanya seolah tak menyadari kehadiran Zitao. Mereka tertawa bersama, entah menertawakan apa.

Brengsek, seumur hidupnya Serra tak penah tertawa seperti itu di hadapannya.

Gadis itu nampak sangat bahagia.

Zitao kesal.

Serra meninju bahu pria itu sambil tersenyum geli. Pria itu terdiam sejenak, sebelum mendorong tubuh Serra lembut ke pintu. Ya, keparat sekali. Meskipun kini yang terlihat hanya punggung si bajingan itu, namun Zitao tahu apa yang tengah mereka lakukan.

“Pacar barumu, huh?” geramnya sebelum memacu motor dengan kecepatan tinggi, meninggalkan rumah Serra.

 

 “But, she was only messing around. Please, no more playing with my heart,

                                    Go with Mr. Right just for once. No more mischief with my mind~”

 

-fin

A/N: Mmmm, pasti kalian bertanya-tanya apa sih hubungannya isi cerita sama judul? Oke, kurasa itu semua akan terjawab kalau kalian nonton video klip/baca lirik lagu Mind Mischief. Hehehe. Segitu aja sih.

Jadi ini songfic? Kayaknya, sih. Pft.

Eniwei, kalau ada yang pernah baca E’s Effect, sebenarnya ini adalah plot awalnya loh. HAHAHA. Jomplang banget kan. Hihi. Oke, terimakasih sudah baca.

Have a nice day.


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: EXO, EXO-M, Huang Zi Tao

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles