It came out of nowhere, and then they’re gone
–
Aura tegang di ruangan itu masih menggantung dengan pekat di udara, dan nyatanya dengan jumlah pers ditambah jepretan cahaya flash kamera di sana-sini, yang jumlahnya makin bertambah di luar sana sangat, sangat tidak membantu. Tim khusus yang pagi itu dibentuk secara tiba-tiba―bahkan sebelum cahaya terlemah matahari menyinari jalanan kota New York di luar―kini tengah beradu argumen, dengan seorang lelaki tinggi berpenampilan setengah berantakan sebagai pihak yang paling banyak dimintai pendapat.
“Ini surat ancaman.”
“Bukan. Ini surat tantangan, menurutku.”
“Apa yang kaupikirkan, Yifan? Tiga orang anggota kelompokmu dinyatakan hilang sejak tengah malam dengan hanya selembar kertas ini sebagai petunjuk, dan sekarang kau hanya duduk di sana sembari memijat kepalamu? Kurang didik sekali kau.”
“Hei, jaga omonganmu.”
Wu Yifan―si lelaki tinggi yang kala itu harus memulai paginya dengan cara yang paling buruk, lebih buruk dari mimpi terjeleknya sekalipun, mengangkat wajahnya ketika kalimat terakhir diluncurkan, yang juga membuat ruangan itu sunyi seketika. Ekor matanya menangkap sosok baru yang kelihatannya memang baru hadir di konferensi tiba-tiba ini, dengan kemeja putih yang tak terkancing sempurna, dan rambut gelap yang mencuat ke mana-mana. Senyum kecilnya muncul―antara lega, dan mencibir. Hanya Tuhan yang tahu.
Yifan bangkit, setengah hati menyambut satu-satunya anggota kelompoknya yang tersisa―seperti yang dikatakan tadi, tiga di antaranya menghilang sejak semalam, dan seorang lagi tengah mengambil cuti. Lantas merasa menerima sambutan penuh hormat, Kim Jongin melangkah pelan menuju kursi di ujung meja. Yifan berjengit begitu aroma alkohol yang kuat dicampur wangi pengharum mobil menguar di antara keduanya.
“Kau minum-minum?”
Jongin mengedikkan bahu. “Maaf aku terlambat.”
“Sebaiknya kau kembali ke sini dengan hasil, Jongin.”
“Aku tidak berlarian sepanjang lorong seperti orang kerasukan hantu gorila gila tadi malam menuju mesin fotokopi untuk lelucon,” tuturnya, disangka melucu tapi toh air mukanya datar saja. “Percayalah.”
Helaan napas pendek. “Apakah kita membutuhkan mereka?”
“Siapa?”
Yifan memutar bola matanya. “Bajingan-bajingan ini.”
Sudut mata Jongin bergerak sedikit, menangkap setidaknya ada enam orang selain mereka berdua yang berdiri di ruangan yang sama, masing-masing memiliki ekspresi sarat pertanyaan yang ditujukan pada titik yang sama. Bibirnya membentuk senyum timpang, dan selama tiga detik pikirannya sibuk menimbang.
“Tak perlu.”
“Jadi kau sudah memecahkan maksud suratnya.” Yifan mengambil kesimpulan sepihak―atau setidaknya kesimpulan yang bisa ia gunakan sebagai penenang pikirannya yang kacau selama delapan jam terakhir ini.
Tiga detik yang hening lagi untuk Jongin.
“Belum, sih.”
“Berengs―”
“Tapi setidaknya kau bisa berpikir sedikit lebih tenang tanpa cecunguk-cecunguk ini, kan?”
Kali ini giliran Yifan yang sibuk menimbang. Sedikit-sedikit indera penglihatannya berganti fokus, setidaknya demi membantu perhitungan abstrak yang terjadi di dalam kepalanya saat ini. Cecunguk, Jongin, surat. Cecunguk, Jongin, surat, cecunguk, surat, Jongin―begitu terus sampai ia pikir otaknya sedang jumpalitan di atas trampolin di dalam sana.
Yifan berdeham pada detik kesepuluh, disusul gumaman pelan berisi keputusan.
Ruangan itu hening ketika derap kaki diiringi sumpah serapah yang tak seberapa terdengar mulai keluar ruangan, meninggalkan dua orang lelaki tinggi yang masih berdiri di ujung meja panjang. Jongin menirukan gerakan mengusir halus dengan tangannya, lantas mengambil kursi paling dekat, dan meraih secarik kertas yang menjadi bintang utama pagi itu. Dahinya berkerut, ekspresinya berbeda 180 derajat dibanding saat pertama tadi ia melangkahkan kakinya memasuki ruangan yang sama.
“Menurutmu ini tantangan?” Jongin bertanya pendek.
Yifan mengangguk, kini duduk di kursinya sendiri. “Tak salah lagi.”
Sepasang mata kecokelatan yang menyerupai biji almond milik Jongin melakukan gerakan repetitif dalam orbitnya, memusatkan seluruh perhatiannya pada secarik kertas kumal yang kini berbaring penuh wajah ejekan di depan hidungnya. Semakin lama ia membaca, semakin nyata ia membayangkan setiap huruf yang digores di sana menari-nari bahagia.
Kalimatnya ditulis dengan tulisan tangan yang apik, huruf bersambung, dan memiliki pola seperti puisi:
Tick, tock, look at the clock
ten o’clock, and the sky will be blocked.
An hour short, but another three minutes won’t hurt
watch out Dude, or your friends would be dirt.
471406
592004
350728
Broom, broom there’s a car
would you like a boom! or a little bit of scar?
“Tadinya aku berpikir kombinasi angka-angka itu adalah tanggal. Tapi rasanya mustahil jika kau menilik baris angka terakhir.” Yifan menggumam pelan, menyesap habis kopinya yang kini telah benar-benar dingin akibat didiamkan terlalu lama di ruangan berpendingin itu. “Aku tidak sedang mabuk dan terbangun di era tahun 2030, kan?”
Di sebelahnya, Jongin tersenyum kecil. Keempat jari di tangan kanannya minus ibu jari mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan gerakan mengulang, sesekali memindahkan berat tubuhnya ke sisi lain di kursi putar yang akan mengeluarkan suara mirip kentut saat kau duduk. Ketika ia sampai di kalimat terakhir, Jongin melompat lagi ke huruf pertama, terus begitu selama beberapa menit, sebelum akhirnya ia melakukan gerakan melonjak yang bahkan membuat Yifan hampir melompat.
“Ada apa?” Yifan bertanya, berusaha membuat nada suaranya berwibawa padahal tadi tumpuan di sikunya hampir tergelincir karena ia mati-matian menahan kantuk.
“Mungkinkah…” Jongin sengaja mengulur waktu.
Dengan ekspresi jengkel, Yifan menyela. “Kau tidak bermaksud untuk menyanyi, kan?”
“Pukul berapa sekarang?” Pertanyaan balik, yang artinya si lawan bicara mengabaikan kalimatnya yang baru saja terlontar.
“Sembilan dua puluh.” Si ketua tim menjawab pendek setelah mencuri lihat arloji mengilat di tangan kanannya, dan sempat membuat catatan mental kilat di kepalanya bahwa setidaknya ia harus bercukur, menggosok gigi, dan menambahkan satu, dua semprot parfum mengingat ia berada di ruangan ini semalaman.
“Bangsat kecil.”
“Kau menemukan sesuatu?” Yifan bertanya lagi―dia sudah sangat imun dengan kebiasaan mengumpat yang dimiliki Jongin, entah lelaki itu tengah gusar, ataupun bahagia karena menemukan pemecahan masalah. Namun, ditilik dari air mukanya yang tidak semuram beberapa saat lalu, kemungkinan ada jalan lurus yang mampu mengantar mereka keluar dari masalah ini.
“Ten o’clock,” gumam Jongin pelan. “Mungkinkah mereka berbicara tentang waktu?”
Kerutan di dahi Yifan kini lebih terlihat, namun sebuah kilatan di kedua matanya menyatakan bahwa penemuan Jongin ini memberikan pencerahan besar untuk ide yang melompat ke arahnya pukul tiga pagi tadi. “Jadi kalau aku berpendapat ini ada hubungannya dengan peledak atau granat…”
Seolah mengerti ke mana arah pembicaraan Yifan, sang anggota tim menganggukkan kepalanya pelan. “Dia menyandera mereka dengan peledak? Berengsek―dan lihat ini―” Jari penunjuk Jongin menyisiri dua potong kata. “―waktu sebelum bomnya meledak hanya satu jam. An hour short. Masuk akal, ‘kan?”
“Three minutes won’t hurt.” Yifan menyuarakan kalimat selanjutnya. “Ya. Kasarannya, ada waktu pinalti tiga menit sebelum bomnya benar-benar meledak. Gabungkan dengan baris kedua, maka artinya: Waktu hitung mundur dimulai pukul sepuluh pagi, satu jam waktu yang diberikan, dan tiga menit waktu pinalti sebelum bomnya benar-benar meledak―”
“―menutupi langit dan mengubah orang-orang di dekatnya menjadi debu.” Jongin menyelesaikan analisa sang ketua tim.
“Persetan dengan tiga baris angka itu, aku hanya menangkap misi ini juga ada kaitannya dengan mobil.”
Tanpa diketahui, Jongin melempar pandangan mencela ke arah si lelaki yang lebih tinggi. “Ya, jika kau langsung melompat ke bagian akhirnya―sial, apakah ini hanya jamku atau sekarang sudah lima belas menit menuju pukul sepuluh?”
Yifan melirik cepat ke arloji. “Jam milikmu sehat-sehat saja,” timpalnya. “Scar―luka. Bomnya tidak meledak, tapi gantinya mereka akan babak belur.”
“Jadi bomnya tidak akan meledak, lalu sebagai gantinya akan ada algojo yang akan menghabisi mereka―ditambah kita berdua, karena kita juga nantinya ada di sana?”
Ruangan diam. Yifan tutup mulut sebagai jawaban positif atas pertanyaan sang anggota tim yang juga termasuk teman dekatnya semenjak ia tiba di departemen ini―walaupun hampir seluruh gedung tidak terlalu percaya akan fakta itu. Mereka bukan tipe yang akan saling berteriak untuk mengucap salam di kafetaria, atau yang banyak bicara ketika tengah mengobrol, namun cukup dengan gestur paling minimal dari masing-masing pihak nyatanya cukup membuat tali pertemanan itu harmonis. Lima tahun berlalu dan semuanya baik-baik saja.
Sekali lagi, untuk kedua kalinya pagi itu, lonjakan tiba-tiba seolah Jongin baru saja disiram air antartika benar-benar membuat jengkel Yifan. Kali ini dengan suara gebrakan meja yang membuat telinga lelaki itu berdenging―namun belum sempat ia menceramahi Jongin soal suasana sunyi yang ia butuhkan untuk berpikir, si terdakwa nyatanya kini telah berdiri di ambang pintu.
“Kau ikut tidak?” tanya Jongin dengan napas memburu, dan kilat kemenangan di wajahnya. “Aku yang menyetir. Tunggu aku di lobi depan.”
Melipat surat tantangan asli itu sembarangan dan menyurukkannya masuk ke dalam kantung celananya, Yifan bangkit―masih linglung atas gerakan Jongin yang tiba-tiba. Oh Tuhan, ternyata kegiatan begadang semalaman di kantor benar-benar membawa efek tidak baik untuk kondisi pikiran serta tubuhnya. Dan sialnya lagi, ia belum melakukan satupun tugas yang ia catatkan dalam kepalanya tadi.
“Kurasa aku tahu apa maksud suratnya. Tunggu sebentar!”
Dan detik berikutnya, Jongin menghilang dari pintu―meninggalkan Yifan yang masih berjalan lambat menuju arah yang sama. Jarum jam di arlojinya baru saja bergeser ke angka sepuluh. Ia menyadarinya, dan hal itulah yang memacu adrenalinnya kala ini, ditambah fakta bahwa ia masih samar akan rencana Jongin berikutnya.
Semoga anak itu tidak melakukan hal yang sembrono.
–
“Kau mengerti dasar perbedaan ancaman dan tantangan?” Jongin bertanya, membuka pembicaraan setelah lima menit yang hening tanpa suara. Lelaki yang berkulit agak gelap itu terlihat sangat bersemangat ketika menjemput Yifan di lobi tadi, dan kini roda-roda gagah Land Rover itu tengah membelah jalanan kota New York menjelang siang.
Yifan melirik lewat sudut matanya. “Pass.” Ia berkata acuh―dengan nada yang menutupi ketidak-tahuannya sekaligus atensi minimnya pada dua kata yang disebut Jongin.
Ada jeda tawa pelan sebelum Jongin melanjutkan. “Guruku dulu pernah bilang di kelas bahasa, dua kata ini serupa tapi tak sama. Emosi yang kau katakan waktu mengucapkannya mirip, tapi maknanya berbeda,” jelasnya, tidak mendapatkan respon apapun dari Yifan, jadi ia menangkap sinyal itu untuk terus bicara.
“Pada dasarnya tantangan diberikan kepada seseorang dengan kemungkinan minimal untuk berhasil, sedangkan ancaman diberikan agar seseorang melakukan hal paling bodoh, paling mustahil untuk memenuhinya. Ancaman diberikan agar seseorang gagal, atau yah, agar si pemberi ancaman mendapatkan keuntungan besar.”
“Jadi kau berpikir…?”
Seolah menunggu-nunggu agar topik pembicaraan ini diangkat, Jongin melepaskan senyuman lebar. “Ini tantangan, dengan seluruh penjelasan itu. Waktunya satu jam, dan dia memberikan kita rentang waktu minimal ketika sampai di sana untuk mematikan bomnya.”
“Di sana… di mana tepatnya?” Yifan mengangkat sebelah alis matanya.
Berbelok di sudut, Jongin melanjutkan lagi. “Nah sekarang saatnya untuk memanfaatkan teknologi, Yifan,” ujarnya. “Buka penunjuk jalan, dan beritahu aku tempat mana di hari Minggu yang memiliki banyak pengunjung, yang jaraknya tak lebih dari satu jam. Atau minimal mendekati.” Dia menyelesaikan kalimatnya seperti seorang guru kalkulus yang dengan baik hati memberi petunjuk pada muridnya untuk menyelesaikan suatu persoalan, diiringi dengan senyum kemenangan, sementara kini keduanya menyusuri jalanan di samping East River yang terlihat muram.
Di kursi sebelah, Yifan mengeluarkan ponsel pintarnya, memasukkan kode berupa bentuk abstrak untuk membuka kunci. Ia menggeser tampilan layar, berhenti pada gambar penunjuk kecil dengan huruf pertama sebuah mesin pencari paling beken. Mengetikkan alamat kantornya lalu menghubungkannya dengan tempat-tempat besar dengan menggunakan prinsip trial, ia berhenti pada tebakannya yang kelima.
Hening sejenak, sebelum akhirnya lelaki tinggi itu menarik kesimpulan.
“Hari Minggu identik dengan mengajak anak-anakmu keluar untuk berwisata, ‘kan?”
Anggukan kepala Jongin memberi kesan bahwa ia tak sabar mendengar kalimat Yifan berikutnya.
“Kita menuju kebun binatang Bronx,” usul Yifan, dan Jongin menjawabnya dengan injakan gas yang kentara kemudian, menyalip sebuah sedan corolla hitam yang sejak tadi bertingkah seolah jalanan ini adalah milik dirinya sendiri. Kendaraan gagah mereka berhasil mencuri tempat di dua lajur sempit sebelum si sedan menukik tajam ke arah kiri lagi, terima kasih pada kemampuan menyetir Jongin hasil dari hobi balapan liar di masa mudanya.
Keramaian tempat yang mereka tuju terasa sangat jelas ketika Jongin membawa mobilnya menyusuri Crotona Parkway yang kala itu hampir dipenuhi para pejalan kaki.
Perjalanan yang menurut Yifan memakan waktu lumayan banyak karena urusan macet, pengguna jalan yang kurang disiplin, dan dua kecelakaan pada jarak yang tidak terlalu jauh. Lelaki tinggi itu bahkan merasakan perutnya melilit ketika menyadari hanya ada lima belas menit (ditambah tiga menit waktu pinalti) sebelum anggota timnya―dan bahkan para pengunjung kebun binatang ini―berubah menjadi debu. Dengan menunjukkan lencana pada petugas yang berjaga di gerbang, ia dan Jongin mengambil langkah lebar-lebar menyatu dengan kerumunan pengunjung.
“Jika kau jadi penjahat dan sedang menculik orang untuk meledakkannya serta menciptakan kegemparan, kau akan berjalan ke arah mana?”
Yifan mengawasi tiap sudut sebisanya, meletakkan kembali lencana berkilaunya ke dalam kantung celana. “Pusatnya, tentu saja. Kau tahu ke mana kau berjalan?”
“Harus,” jawab Jongin, menghela napas. “Waktu kita tidak banyak.”
Pencarian sia-sia selama delapan menit mengamati bagian anak-anak tempat kau bisa memberi makan secara bebas kepada kumpulan burung jinak, mengelus kura-kura, dan berfoto bersama ular piton raksasa berwarna kuning hampir membuat Yifan putus asa. Keduanya tadi sama-sama menyebut tempat itu sebagai tempat yang ideal untuk para penjahat menaruh peledak―menilik dari jumlah keluarga yang berkumpul di sana.
“Mungkin kita yang terlalu psikopat,” dengus Yifan sembari menghela napas jengkel.
Jongin mengangguk setuju, kini berjalan ke arah Zoo Center, tempat di kebun binatang itu yang dibuat menyerupai istana berbatu, yang dibangun sejak tahun 1908, dan merupakan tempat untuk koleksi reptil besar mereka. Yifan setuju tanpa pikir dua kali begitu Jongin menyebutkan tempat ini, setelah membaca deskripsi cepat pada papan lebar penunjuk jalan yang terpampang di samping air mancur indah menuju pintu masuk.
“Di sini lebih mungkin. Kita melupakan suatu tempat yang dibutuhkan bangsat itu untuk menyembunyikan Luhan, Yixing, ataupun Sehun.” Jongin mencerocos sementara mereka berdua berusaha mencari jalan di antara kerumunan ini.
Seolah mengikuti kata hati―dan demi Tuhan, hanya ada delapan menit tersisa dan itupun sudah termasuk waktu pinalti yang dengan sangat rendah hati diberikan oleh si pengirim tantangan, kedua detektif muda itu meniti langkah menuju lantai selanjutnya melewati undakan berbatu. Keadaan yang ramai terlihat jelas dari lantai dua ini, seorang anak yang memekik girang ketika komodo raksasa di dalam penangkaran itu melesat cepat menuju makan siangnya, dan sepasang orangtua muda yang saling memasang tampang khawatir mencari-cari si kecil yang mungkin hilang dalam kerumunan.
Memimpin jalan, Yifan melangkahkan kakinya lebar-lebar menuju sudut koridor. Di atas sini kosong, mereka hanya bertemu dengan seorang petugas bersih-bersih berwajah masam dengan kain pel dan menggeret keranjang sampah berwarna hitam. Seperti biasa, lencana ditunjukkan dan pertanyaan diajukan, namun lelaki yang hampir berumur lima puluh itu melempar ekspresi bingung dan menggelengkan kepalanya begitu Jongin menunjukkan foto tiga rekannya yang hilang.
Yifan meninggalkan keduanya, lantas menuju satu pintu di ujung koridor di antara sekian pintu. Begitu yakin si petugas bersih-bersih tidak lagi tertangkap pandangan, dan didorong kenyataan bahwa waktunya kini benar-benar hanya tertinggal dua menit, suara pintu kayu yang rusak total serta kelentingan besi engsel menjadi jawaban Jongin yang berlari-lari dengan wajah sarat akan pertanyaan menuju ke tempatnya kini berdiri.
“Kita bisa saja dituntut.”
Yifan menjawab kekhawatiran Jongin dengan senyum timpang, sekaligus menghilangkan ekspresi penuh wibawa yang selama ini mati-matian ia pasang.
“But we got him.”
–
Detektif muda asal Beijing itu duduk dengan ekspresi yang sarat akan kelelahan di kursi belakang, tangan kanannya masih menggenggam air mineral yang secara otomatis disambarnya begitu melihat kedai minuman. Jongin harus berlari kecil saat itu, membayar tagihan kepada si pemilik kedai karena rekannya ini benar-benar hanya mengambil tanpa membayar, bahkan menoleh pun tidak. Dasar polisi bejat, begitu ejek Jongin ketika ia menyamakan langkah, dan hanya dibalas cengiran kecil.
Kemeja kotak-kotak dengan dominasi warna merah marun dan kaus oblong di baliknya menunjukkan dengan jelas bahwa si pengirim tantangan beraksi ketika jam kantor telah selesai. Bercak-bercak kemerahan yang sudah mengering pada kaus oblong milik lelaki itu memberi pernyataan tambahan bahwa ia sempat melawan.
“Aku bermaksud untuk bermalam di apartemen Yixing.” Luhan―si korban yang ditemukan pertama kali akhirnya berbicara setelah menenggak habis air mineralnya. “Ada pertandingan Arsenal melawan Manchester United yang ditayangkan ulang di stasiun televisi.”
Di kursi depan, Yifan mendengus. “Kau benar-benar tidak berpikir untuk meningkatkan kewaspadaanmu saat keluar ke jalanan? Seingatku kau meninggalkan kantor pukul sepuluh lebih,” cecarnya, seperti satu setengah jam yang lalu duduk di sebelah Jongin dengan map di ponsel pintarnya. “Kau tak pernah dinasehati orangtuamu memangnya?”
Tawa tertahan dari Jongin. “Kau membuatnya seperti akan dipingit untuk dinikahkan minggu depan,” katanya, makin tertawa ketika Luhan mengulurkan tangan kanannya dan mendaratkan jitakan mulus.
“Omong-omong bagaimana kalian menemukanku?”
Yifan akhirnya melembek. “Ada surat tantangan yang datang ke ruanganku saat tengah malam, tepat ketika aku bermaksud untuk pulang. Tidak ada nama pengirim, petugas bersih-bersih yang mengantarkannya. Kutelepon kalian satu-persatu, hanya Jongin yang mengangkat. Jadi aku berasumsi kalian bertiga minus Jongdae yang juga mengangkat telepon, tapi karena ia sedang cuti jadi kukeluarkan dari daftar,” jelasnya panjang lebar. “Berita meluas dengan cepat. Well, karena saat itu memang ada Junmyeon di ruanganku. Kau tahu dia, ‘kan? Terlalu khawatir.”
“Kami memecahkan kalimat per kalimat yang ada di surat, tentang bom, juga waktu yang mereka berikan untuk menemukanmu sekaligus menjinakkan bomnya. Aku tak habis pikir bomnya mudah sekali dimatikan, tapi baguslah. Tadi hanya tersisa dua menit, dan kalau jenis bomnya seperti yang dulu pernah kuutak-atik dua hari, mungkin sekarang kau sudah menjadi pepes goreng,” kata Jongin, melanjutkan penjelasan Yifan.
Kembali menyenderkan punggungnya yang rasanya sebentar lagi hampir patah karena disekap semalaman, Luhan melempar pandangannya keluar jendela hanya melonjak lagi sepuluh detik kemudian. “Melihat sungguh percaya dirinya kau menyetir, kau tahu di mana mereka menyembunyikan Yixing atau Sehun?”
“Kau tidak tahu ke mana jelasnya kau dibawa?”
Luhan menggeleng, menjawab pertanyaan Yifan. “Entah. Kedua mataku ditutup, hampir tidak bisa lagi bergerak. Sempat melawan penyerang pertama ketika mereka menangkapku di sudut jalan gelap, tapi sepertinya aku melawan empat orang sekaligus setelahnya. Tubuhnya besar, aroma alkohol dan rokok. Seseorang memukul kepala belakangku, dari situ aku ambruk,” tuturnya, lalu seakan teringat akan peristiwa yang semalam terjadi padanya. “Masih pening pula. Oh, ya, sepertinya aku yang pertama kali dikeluarkan dari mobil, aku masih ingat Yixing yang bicara setengah linglung dari sisi kananku.”
“Mereka―penjahat-penjahat itu maksudnya―mencari tempat yang ramai pengunjung, tapi dengan jarak kurang dari satu jam dari titik awal. Jika tadi kita berangkat dari kantor, maka sekarang titik awalnya adalah kebun binatang Bronx, dan di mana itu, Yifan?”
“Museum Brooklyn. Ya, sepertinya itu. Jaraknya kurang dari satu jam.” Yifan menjawab, masih membenamkan hidungnya pada layar ponsel.
“Iya, iya berhenti di sana, sebentar.” Luhan membetulkan posisi duduknya, kini menggeser bokongnya di bagian tengah di kursi panjang yang muat untuk tiga orang itu. Kedua sikunya bertumpu pada masing-masing senderan kursi Jongin dan Yifan, sementara wajahnya menyeruak di antara keduanya. “Itu, angka-angka itu. Maksudnya apa?” Jari telunjuk lelaki itu menuding-nuding tiga baris angka yang tertera pada surat, yang kala itu terbuka lebar di dekat persneling.
Merasa bahwa bagian ini adalah milik Jongin, Yifan memilih diam.
“Lihat baris kedua,” pandu Jongin sambil menyetir, sekaligus menangkap sinyal dari Yifan yang menyilakan dirinya untuk berbicara. “592004. Kau mungkin akan berpikir awalnya ini berhubungan dengan penulisan tanggal: bulan, hari, lalu tahun, tapi nyatanya angka-angka ini menyatakan satuan menit, jarak, dan sisa waktu yang kita miliki sebelum bomnya meledak.
“Aku juga baru menyadarinya tadi, ketika kembali ke mobil setelah mendapatkan Luhan―khususnya untuk dua angka paling belakang, sih. Jadi, mari kita coba. Menurut map, berapa lama waktu yang dibutuhkan dari kebun binatang menuju museum Brooklyn?”
Yifan kembali pada layar. “Kurang lebih 59 menit dengan kondisi jalan macet.”
“Jaraknya?”
“Sembilan belas koma sekian mil.”
Jongin tersenyum lebar kali ini. “Dengan waktu pinalti tiga menit, ada waktu empat menit untuk menemukan sekaligus mematikan bomnya begitu kita sampai di sana,” tuturnya. “Tapi tetap saja, kita tidak boleh menggunakan waktu 59 menit ini seenak jidat. Ayo coba apakah kita bisa tiba di sana dalam waktu setengah jam.”
Dan injakan pedal gas yang tiba-tiba setelahnya hampir membuat Luhan tersedak napasnya sendiri, ditambah Yifan yang hampir menggigit lidahnya―well, setidaknya lebih baik daripada membuat keduanya memekik seperti seorang wanita dikejar bulldog, memang. Mau ditaruh mana wibawamu jika kau mengekspos sisi dirimu yang itu.
Namun yah memang dasar nasib tak bisa kau atur sendiri, yang kadang-kadang kelakuannya bisa lebih jahat dari seorang dosen pecinta ujian dadakan, sebuah truk malang melintang menyambut ketiganya di belokan pertama menuju Boston Road. Oh, ditambah keramaian para pengunjung River Park yang siang itu lumayan membludak benar-benar tidak membantu sama sekali.
Jongin bermaksud memundurkan mobil, menaruh harapan agar bisa melewati jalur lain, namun sebuah van hitam muncul dari antah-berantah tepat di belakangnya, seolah memasang ekspresi mengejek mau-ke mana-kau-bocah-lewati-mayatku-dulu. Menghela napas pelan, ia melempar pandangan gusar. Di sebelahnya, Yifan membuang muka, menghela napas berat.
“Not this time.”
Dan seolah Jongin dan Luhan sama-sama membaca apa yang tengah melintas di kepala sang ketua tim, masing-masing menganggukkan kepala tanda setuju, dan mengantungkan Beretta dengan isi penuh.
Yixing atau Sehun, siapapun yang kelak mereka akan temukan setelah ini, baik-baiklah dulu. Semoga bomnya cacat kalaupun tiga polisi ini kekurangan waktu.
―tbc
notes: maafkan itu teka-tekinya apa banget :'( will try harder next time. makasih udah bacaa <3
Filed under: fan fiction, series Tagged: Kim Jongin, Kris Wu, Lu Han