Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[ONESHOT] Ephemeral

$
0
0

aa

Ephemeral.

.

 “Apakah vinil ini boleh aku bawa?”

Jill mengacungkan benda pipih yang masih terbungkus cover itu sejajar dengan bahunya. Wajahnya selurus apa aja yang terlurus di muka Bumi. Ia tidak tersenyum. Entah karena sedang malas atau memang sudah kehilangan kemampuan untuk melakukannya. Masa bodoh, Yifan jengah memikirkannya. Tidak masalah sih jika ia memang berniat untuk tidak tersenyum selamanya, karena yang paling penting sekarang adalah soal kesiapan dirinya untuk menjalani hidup dari awal lagi, benar-benar dari awal, jauh dari titik nol.

“Kalau perlu, bawa saja,” sahut Yifan pura-pura cuek.

Lelaki itu melirik ke arah sofa; di sana ada tas besar berwarna putih yang nyaris penuh. Isinya pakaian-pakaian Jill yang ia yakin belum tersingkirkan semua dari lemari. Ah, sudah pasti perempuan itu perlu satu atau dua tas lagi dengan ukuran yang sama. Yifan menggeleng pelan, serta-merta teringat sesuatu yakni tentang Jill yang nyaris meminta bantuan padanya untuk mengemas pakaian. Tapi, semacam keburu tersadar kalau itu hanya akan mencabik harganya dirinya, jadilah ia menjejalkan semua pakaian-pakaian itu ke dalam tas tanpa menatanya terlebih dahulu.

“Tapi kenapa? Kau ‘kan tahu kalau aku tidak suka King Crimson?”

“Maumu sebenarnya apa? Kalau tidak suka kenapa ingin membawanya?”

Jill membuang tatapannya dari mata Yifan. “Jaga-jaga, siapa tahu aku merindukanmu,” jawabnya enteng. “Yang jelas aku tidak mau menyimpan fotomu, itu terlalu biasa.” Toh pada akhirnya ia tetap membawa vinil King Crimson yang tak disukainya itu, menyimpannya di atas tas sebelum kembali berkeliling mencari barang-barang yang sekiranya tak pantas ia tinggalkan.

“Jangan dirusak atau pun dihilangkan.” Yifan memperingatkan.

“Jangan khawatir,” sahutnya sambil membawa tungkai kakinya ke arah pantry.

Nyaris empat bulan Jill tak menginjakkan kakinya di apartemen ini. Dan, yah, tak ada yang berubah, semua masih tampak sama. Barang-barang masih berada pada tempatnya, termasuk pakaian kotor yang selalu Yifan simpan sembarangan di atas ranjang. Sebenarnya Jill mengharapkan sesuatu yang ekstrem, menemukan pakaian dalam wanita yang bukan miliknya, misalnya? Tapi tidak, nyatanya setiap sudut apartemen ini steril dari benda-benda seperti itu. Tapi tak tahu juga sih, selama ini Jill ‘kan tak tahu kemampuan Yifan yang sesungguhnya dalam menyimpan sesuatu yang ‘berbahaya’.

“Kau benar-benar tak pernah membawa wanita ke mari?” Jill bertanya sembari membuka laci konter. Ia mendapati cangkir merah kesayangannya tersimpan rapi di sana, bersampingan dengan yang berwarna biru tua milik Yifan. Mendadak ia penasaran, apakah Yifan masih sering menggunakan cangkirnya yang ini?

“Kau bertanya seolah-olah aku sekesepian itu.” Suara Yifan terdengar dekat, dan saat Jill menoleh, lelaki itu berada tak jauh di belakangnya. Sosoknya tinggi menjulang seperti biasa, tak lupa dengan kedua lengan terlipat di dada.

“Sebesar itu aku memedulikanmu, Sayang,” katanya sinis sambil mendorong laci sampai tertutup. “Katanya, laki-laki lebih rentan kesepian.”

Yifan mengerling. “Itu berlaku kalau laki-lakinya bukan aku.”

“Arogan.”

“Kau tahu itu sejak dulu.”

Kadang-kadang Jill rindu berdebat seperti ini. Calon suaminya yang sekarang sayangnya lebih kalem, kalau pun berdebat, Jill selalu menang. Tapi anehnya ia tak pernah menikmati kemenangan itu. Tapi sudahlah, sampai detik ini ia yakin jika pria itu jauh lebih baik daripada seorang Wu Yifan.

“Kau takkan bertanya perihal pernikahanku yang akan berlangsung seminggu lagi? Bertanya “Kau akan pakai gaun yang seperti apa?” misalnya?” Jill menggoda sambil membuka laci yang lain, menemukan sisa peppermint tea miliknya di kotak transparan. Ia tidak tahu jumlah teh itu berkurang atau tidak, tapi yang jelas, kalau pun berkurang pasti bukan Yifan yang minum.

“Itu namanya bunuh diri.”

Jill ingin tertawa, tapi entah kenapa rasanya malas sekali. Jangankan tertawa, tersenyum saja ia malas. Ia tidak mau meninggalkan kesan yang terlalu bagus di kunjungan terakhirnya. Bagaimana pun juga, sekarang Yifan adalah orang asing, kalau pun memiliki hubungan, ‘teman’ mungkin sudah status yang paling oke, meskipun rasanya sedikit aneh.

“Tak apa, aku cukup excited untuk melihat bagaimana kau mati di depanku.”

Jika boleh jujur, Jill tak menyangka jika kehidupannya bersama Yifan akan berakhir secepat ini. Well, ia memang selalu percaya bahwa semua hal yang sifatnya indah akan berlangsung sementara. Hanya saja, yah, seingatnya ia selalu berdoa dengan benar setiap malam, meminta jika hal-hal indah yang ada di hidupnya berlangsung sedikit lebih lama termasuk soal pernikahannya dengan Yifan.

“Kau sudah pernah melihatnya.” Yifan bersuara di sampingnya, membuka laci yang sebelumnya ia buka. “Waktu di persidangan,” katanya sambil mengambil cangkir yang merah.

“Maaf, saat itu aku terlalu bahagia. Jadi mana mungkin aku memikirkan keadaanmu?” Jill memandangi lelaki itu. Memerhatikan setiap gerak-gerik yang biasanya ia temukan setiap hari, sejak bangun tidur hingga tidur lagi. Oke, tak bisa dipungkiri bahwa ia sangat merindukan Yifan. Tapi, yah, untungnya hanya sebatas itu sehingga semua tak terasa merepotkan.

“Berengsek.” Bahkan cara lelaki itu mengumpat pun masih menggemaskan seperti biasa, membuat Jill tersenyum tipis sekali. “Cangkir ini tak terpakai, jadi lebih baik dibawa saja. Kesayanganmu, ‘kan?”

“Ya, tapi aku tidak mau membawanya. Biarkan saja di sini.”

“Tapi aku tidak butuh.”

“Tapi tak ada yang tahu kalau suatu hari kau akan butuh.”

“Tapi aku sebal melihatnya, aku terlalu sering melihatmu ngopi pagi menggunakan cangkir ini.” Yifan tampak kesal, ia meletakan barang itu di atas konter dengan kasar.

“Kupikir kau tidak selembek itu?” ejek Jill.

“Apa katamu? Lembek?”

Jill memutuskan pergi sebelum Yifan melakukan perlawanan yang lebih panjang. Entah kenapa ia merasa puas saat mengetahui jika lelaki itu sebenarnya tidak… sekuat kelihatannya. Hal sepele seperti cangkir saja bisa membuatnya kelabakan, dan itu mengejutkan. Mumpung tak kelihatan, ia tersenyum sepuasnya saat berjalan menuju bekas ruang kerjanya. Mengabaikan mantan suaminya merutuk di belakang.

“Pengap sekali,” sahut Jill sembari menyibak tirai berwarna hitam yang biasanya ia sentuh setiap pagi. Cahaya matahari berebut masuk ke dalam, menerangi setiap penjuru ruangan itu. Ia menyapukan pandangan, lagi-lagi sekilas tak ada yang berubah dan barang-barang masih pada tempatnya.

“Aku tak pernah masuk ke daerah yang bukan kekuasaanku.”

Yifan duduk di atas meja kerja yang berdebu, bertukar tatap dengan Jill yang berdiri di depan jendela.

“Untuk sekadar membersihkannya?”

“Kupikir kau akan kembali, jadi aku biarkan saja ruang kerjamu tetap begini. Tapi ternyata kita berpisah dan entah kenapa keinginan untuk bersih-bersih di tempat ini tidak pernah muncul.”

“Tidak, kau memang pemalas. Bahkan kamar tidur ki—ah, sorry—kamar tidurmu sekarang lebih berantakan dari biasanya. Kalau terus-terusan begitu, mana ada wanita yang mau jadi istrimu?”

Yifan hanya merespon dengan senyum timpang lantas menggantung ucapan Jill begitu saja di udara. Baiklah, sebenarnya ia sama sekali tak berniat untuk menikah lagi. Bukan karena ia tak bisa melupakan Jill, tapi karena tak mau dihadapkan lagi pada masalah-masalah yang sama. Masalah yang begitu menguras energi dan pikiran, masalah yang tampak mudah namun ternyata sulit untuk diselesaikan. Ia tak ingin lagi terlibat dalam hubungan yang seserius itu, bahkan, terkadang ia menyesali keputusannya untuk menikahi Jill. Kalau saja mereka tak pernah menikah, mungkin mereka takkan berpisah. Kalau saja mereka tidak pernah menikah, mungkin mereka masih bisa berbagi perasaan sampai detik ini. Pernikahan telah membuatnya kehilangan banyak hal, pernikahan membuat mereka menjadi lebih egois dan alergi terhadap perbedaan. Sangat menyebalkan. Dan seperti biasa, Jill selalu mengejutkannya. Tak lama setelah mereka resmi bercerai, perempuan itu memutuskan untuk menikahi lelaki yang hadir jauh sebelum dirinya datang. Ya, ia menikahi teman masa kecilnya. Seorang lelaki yang mungkin lebih baik tapi ia yakin takkan lebih berkesan dari dirinya.

“Apa kau yakin akan bahagia dengannya, Jill?”

Pertanyaan itu telah mengendap di sudut kepalanya sejak sekian lama, dan ia merasa lega bisa mengutarakannya sekarang. Ia takkan melupakan sore di mana Jill memberitahukan rencana pernikahannya. Perempuan itu tampak sangat bahagia, terlihat dari sorot matanya. Alih-alih mengucapkan selamat, ia memilih untuk meminum kopinya hingga tandas, lantas bertanya kapan Jill akan mengambil barang-barangnya.

Delapan tahun kebersamaan mereka hancur oleh pernikahan yang umurnya hanya dua tahun. Kurang berengsek apa?

“Ya.”

Jill pernah bilang bahwa mereka berdua seperti Yin dan Yang. Berlawanan tapi saling mengisi. Katanya ia sangat menikmati segala perbedaan-perbedaan itu. Tapi sepertinya hanya omong kosong karena pada akhirnya Jill tetap pergi untuk lelaki yang ka-ta-nya memiliki banyak kesamaan dengannya.

“Kau tidak mau kembali padaku?”

“Tidak, terima kasih.”

“Kau pernah bilang kesamaan hanya akan membuat segalanya membosankan. Jadi mending kau kembali saja padaku. Bagaimana?”

Untuk kali pertama setelah sekian lama, akhirnya perempuan itu tersenyum sinis di depannya. “Sekali lagi terima kasih atas tawarannya, tapi sepertinya aku lebih memilih untuk dihadapkan pada sesuatu yang membosankan daripada menyulitkan.”

Yifan mengedikan bahu lantas beralih menuju rak yang dipenuhi buku-buku humaniora. Ah, entah mengapa rasanya mendadak berat membayangkan bahwa ia takkan lagi menemukan wanita itu duduk di balkon sore-sore sambil ditemani buku kesayangannya dan secangkir peppermint tea. Rasanya aneh mendapati kenyataan bahwa takkan ada lagi yang memprotesnya karena menjadi perokok, keseringan bangun siang, memutar musik dengan volume gila-gilaan, atau karena terlalu lama di kamar mandi. Sialan, bukankah selama beberapa bulan ke belakang ia sudah mulai hidup tanpa itu semua dengan baik-baik saja? Lalu kenapa siang ini ia merasa disorientasi?

“Jangan bangun siang, Yifan.”

Dan apakah perempuan itu benar-benar bisa membaca pikiranku? Lucu, pikirnya. “Aku akan tetap bangun siang.”

“Jangan merokok.”

“Aku akan tetap merokok.”

“Jangan berlama-lama di kamar mandi.”

“Aku akan tetap berlama-lama di kamar mandi.”

Percakapan ini selalu ada setiap hari; setiap malam ketika mereka hendak tidur. Yifan menoleh ke arah Jill, tampak perempuan itu tengah menatap ke luar jendela. Entah apa yang sedang dipikirkannya, ia berusaha untuk tak mau tahu. Biarkan saja. Toh semuanya sudah benar-benar berakhir. Apa lagi yang harus diharapkan? Tidak ada.

-fin

A/N: cuma kangen aja. kali-kali lah. hehe.


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Kris Wu

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles