Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[Oneshot] Bima di Sabtu Malam

$
0
0

bima

“Karena definisi bahagia itu berbeda bagi setiap insan…”

Sasphire, 2015

Kamu merenung diri setiap Sabtu malam, di beranda rumahmu. Lampu teras sengaja kamu matikan. Biar cahaya bintang terlihat terang, katamu. Polusi cahaya membuat kamu begah, kangen dengan cahaya bintang yang saat kamu kecil selalu menemanimu menguap karena kantuk. Sekarang kamu tujuh belas tahun—oh, dua hari lagi delapan belas tahun ‘kan?—tapi masih keranjingan dengan cahaya bintang. Mengherankan bagiku, karena kamu laki-laki.

“Kangen ibu.” Kamu mengatakannya tepat setelah aku duduk di sampingmu. Sepertinya kamu mencegahku mengomel lagi karena keegoisanmu untuk membiarkan seisi rumah gelap gulita.

“Apa hubungannya bintang dengan ibu?” Ha! Aku masih berkomentar ‘kan?

“Tidak ada,” jawabmu pasrah, yakin kalau pertanyaanku memang tak mungkin memiliki jawaban yang masuk akal. “Hanya kangen.”

Aku mengangguk, lalu mengikuti gestur tubuhmu untuk menatap langit. Memang sih, melihat cahaya bintang membuatku sedikit tentram. Aku juga ingat, dulu waktu masih kecil, aku juga suka melihat langit. Hanya saja, langit sudah tak sehitam dulu. Bintang juga tak seterang dulu. Bangunan-bangunan pencakar langit banyak yang memancarkan cahaya lampu menyilaukan. Aku jadi tahu kenapa kamu begitu jengah. Begitu bosan.

Tapi bukan hanya itu sih. Belakangan ini, entah kenapa, kamu terlihat enggan hidup.

“Bima,” Panggilku padamu setelah sekian lama terperangkap hening. Aku ingat sesuatu.

“Apa?”

Aku menyerahkan semangkuk lodeh tewel padamu. Masih hangat. Dari ibuku. “Malam ini lodeh tewel.”

Kamu mengangguk, lalu tersenyum. Kamu terlihat menimang-nimang sesaat setelah mangkuk itu ada di tanganmu, baru berkata, “Terima kasih.”

Kamu yang awalnya kocak nan humoris jadi begitu melankolis sejak ibumu meninggal. Dua hari lagi tepat peringatan kematian ibumu. Tahun ke lima dan kamu makin kurang eksis. Hidup tapi tak hidup. Wajar. Dulu kamu pernah bilang padaku, kebahagiaan kamu adalah ibumu. Tak apa kalau kamu harus melarat, hidup di antara tumpukan sampah, bahkan makan bangkai tikus. Asal ada ibu, kamu kuat.

Kalian berdua sosok yang selalu aku kagumi. Tapi sekarang tidak terlalu.

Kalau saja kamu bisa lebih tegar saat ibumu meninggal, mungkin aku akan tetap kagum padamu. Sekarang aku hanya kagum pada ibumu.

“Mbak Wulan.”

“Hm?” Pandangan mataku kini beralih ke kucing liar yang berlari mengejar kunang-kunang, tepat di depan kita. Aku tersenyum kecil. Bahkan kucing tahu bagaimana berbahagia tanpa bergantung orang lain. Kamu begitu dangkal.

“Ibu meninggal dibunuh Ayah.”

Senyuman di wajahku memudar. Aku tahu kamu menatapku sendu, tapi aku tak mau balik menatapmu. Aku masih kaget atas kalimat yang kamu ucapkan.

“Yang aku ingat dulu, aku baru pulang sekolah dengan rapor di tangan kanan. Aku juara umum saat itu. Lalu aku masuk. Ayah menendang tubuh ibu di lantai, minta uang. Katanya untuk bayar uang judi. Ibu menangis sambil mendekap satu tas berisi uang, terus-menerus bilang, ‘uang ini untuk sekolah Bima’.”

Suaramu datar dan tenang ketika menceritakannya, benar-benar tegar. Aku yang jadi pendengar malah menangis.

“Saat itu aku lari ke luar rumah. Cari bantuan. Tapi saat aku kembali, Ayah sudah tak ada. Tas di dekapan ibu juga hilang.”

Perlahan aku menatapmu. Kamu tersenyum saat tahu aku benar-benar menyimak ceritamu.

“Ibu juga pergi…”

Matamu berkaca-kaca meskipun lengkungan di bibirmu masih ada.

“Tapi, aku baik-baik saja.” Kamu menepis tanganku yang hendak menggenggam tanganmu, bermaksud memberikan kekuatan. Kamu menggerakkan punggung tanganmu untuk menghapus air matamu. Memperlihatkan padaku bahwa kamu bisa menghapus air matamu sendiri.

“Toh, hidup harus terus berjalan ‘kan? Kita tidak bisa terperangkap hanya di satu tempat ‘kan? Kita harus maju ‘kan? Semakin kita menjalani hidup, kita harus semakin dewasa ‘kan, Mbak?”

Aku hanya sanggup mengangguk, enggan merusak kata-kata penegar yang sengaja kamu rangkai sendiri. Sekarang kamu membuka tutup mangkuk, lalu melahap lodeh tewel buatan ibuku sambil tersenyum. Kamu nampak kelaparan dengan cara makanmu yang begitu tergesa-gesa.

Tapi, kalau dari pengalamanku, mungkin kamu hanya menghangatkan tenggorokanmu yang sakit karena menahan tangis. Kamu susah payah tegar selama ini. Kamu sudah terlalu lama menahan air mata. Itu semua sakit.

“Enak, Mbak.” Kamu masih tersenyum sementara air matamu mengalir lebih deras lagi. Aku menepuk-nepuk punggungmu, tak tahu harus berbuat apa. kehidupanmu tak lebih baik dariku. Aku juga tak tahu harus bagaimana.

“Mbak tahu, dulu, sebelum ibu pergi, ibu pernah bilang begini…” Kamu mengangkat wajahmu lagi, menatapku. “Bima, anakku yang paling tampan, hiduplah bahagia. Jangan biarkan air mata turun, karena air mata itu simbol kesedihan.”

Aku tersenyum. Ah, bisakah kamu berhenti membuat dua ekspresi bertolak belakang di wajahmu? Aku harus bagaimana? Menghiburmu terlalu sulit. Toh kamu sudah pintar menghibur diri sendiri… ah, mungkin kamu butuh lebih?

Aku melihatmu terlalu sering menyendok kuah santan yang menurutku terlalu pedas, tapi kamu sama sekali tak berkomentar tentang itu. Setelah meneguk 2-3 sendok, kamu baru memakan nasi beserta tewel dan kacang panjangnya.

“Saat itu aku bertanya pada ibu, kalau aku sedih, bagaimana? Ibu berpikir sebentar, lalu menjawab ringan. Mbak tahu apa jawabannya?”

Aku menggeleng sambil tetap menepuk pundakmu. “Apa?”

“Ya menangis saja.” tangan kananmu kini mengelap ingus di hidungmu, lalu mengelap air matamu. “Karena setelah kita menangis, ada ketegaran yang muncul, semakin lama semakin membuat kita tegar, semakin lama membuat kita bahagia. Membuat kita tak akan menangisi hal yang sama di lain waktu.”

Aku mengangguk mengiyakan.

“Ibu juga meralat ucapannya sebelumnya. Air mata itu simbol kesedihan, di sisi lain simbol kekuatan. Dia juga memperbolehkanku menangis. Kunci utama untuk terus hidup itu kesedihan, kekuatan, lalu kebahagiaan.”

“Iya…” aku mengacak rambutmu. Aku benar-benar bingung harus bagaimana. Kamu kembali menangis, tapi kamu juga masih memakan lodeh yang tinggal setengah.

Beberapa saat hening. Kamu menerawang jauh ke langit dan menyantap tewel yang selalu menutupi nasi di sendokmu. Selera makanmu masih sama ternyata. Lauk yang melebihi nasi hingga nasinya tak terlihat.

“Saat itu Sabtu malam… di beranda rumah,” lanjutmu. Kamu menghela napas, seolah seluruh bebanmu selama ini terangkat begitu saja. Kamu menyodorkan mangkuk yang kini kosong kepadaku, lalu menutup wajahmu dengan kedua tanganmu. Bukan malu, aku rasa. Hanya ingin menenangkan diri dengan menangis sepuasnya.

Menangis ketika ada seseorang di sampingmu lebih menenangkan daripada menangis sendirian, kan?

“Aku bosan karena setiap Sabtu malam, dekat dengan hari ulang tahunku, aku selalu ingat ibu. Aku bosan karena aku selalu sendirian saat Sabtu malam…” ucapanmu terhenti sejenak, beralih dengan terdengarnya isak tangis.

“Padahal, kata ibu, hidup harus terus berjalan. Kita manusia biasa tidak boleh lancang merusak garis kehidupan dengan bunuh diri. Tapi aku bosan, Mbak…”

Aku ikut menghela napas. “Tapi, selama ini kamu bahagia ‘kan, jadi anak yang penurut?”

Tangisanmu sedikit mereda. Kamu mendengar ucapanku dengan baik.

“Kamu menangis sendirian setiap Sabtu malam dekat ulang tahunmu, mengingat ibumu, lalu tegar dan bahagia. Iya ‘kan? Kamu sudah jadi Bima yang terbaik bagi ibumu.”

Kamu mengangguk setelah memikirkan ucapanku cukup lama. Beberapa saat kemudian kamu kembali tersenyum. Kamu menyetujui ucapanku.

“Kamu bahagia, jadi dirimu sendiri. Menjalani hidup dengan pilihanmu sendiri. Jadi, menurutku, tak ada alasan bagi seorang Bima untuk bosan. Bima yang kukenal sejak kecil selalu tahu cara berbahagia… bagaimanapun caranya.”

Kamu sedikit terhibur.

“Aku pernah dengar dari orang-orang…” aku meneguk saliva—sisa-sisa isak tangis bersamamu tadi—lalu kembali berkata, “orang yang sudah meninggal tak pernah benar-benar pergi. Ada saat tertentu kamu bisa bertemu dengan mereka…”

Kamu menagih aku meneruskan kalimatku dengan binar matamu yang kini memancarkan harapan.

“Di kenangan antara kamu dan orang yang kamu sayangi.”

Kamu menghela napas. Kamu mulai bisa menerima kenyataan. Kemudian, kamu kembali menatap langit, melihat bintang-bintang. Lampu kota juga mulai meredup, membuat cahaya bintang semakin terlihat.

Sabtu malammu jadi berarti ‘kan?

.

.

.

– selesai –


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Bima di Sabtu Malam

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles