Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[FICLET] Satu Lagi Memori

$
0
0

SR-Sekolah-Rakyat-

Sekonyong-konyong Musinah berlari. Langit tampak lebih cerah dari sebelumnya. Kecipakan menjadi iringan di setiap langkahnya. Pun dengan matahari yang mulai menampakkan batang hidungnya di sana.

Kcipak.

Kcipak.

Kcipak.

Tepat suara ketiga, air mencuat membasahi baju lusuhnya. Ia tertawa kencang bersama cowok seumurannya yang berada di sampingnya. Saking lebarnya, gigi gerahamnya terlihat. Juga dengan gigi seri bagian bawahnya yang terlihat ompong.

“Ingat lho, perjanjiannya! Yang terakhir sampai harus membakarkan singkongnya!” Cowok berlesung pipi di sampingnya berteriak seiring dengusan Musinah.

“Bahrul jahat!” Musinah memeletkan lidahnya. Alih-alih membalas, Bahrul malah terperosok ke dalam kubangan air. Gelegar tawa kembali terdengar.

“Awas saja kau! Jika aku tidak mau membantumu lagi, baru tahu rasa!” Bahrul berteriak mengejek. Seringainya tak lantas meluluh lantahkan Musinah yang masih berlari. Dua meter lagi sampai di sebuah bangunan yang biasa disebut sekolah.

Satu pukulan telak lagi bagi Bahrul. Ia dipermalukan oleh Musinah–si cewek jadi-jadian. Musinah bergoyang di depan Bahrul. Sedikit ngos-ngosan akibat udara yang menumpuk di paru-parunya. Bahrul mendengus dan berjalan melewati Musinah.

“Ingat ya, aku tunggu singkong bakarnya! Oh, aku telat!” Musinah berlari menyusul Bahrul yang telah siap di ujung jendela yang tak tersibak tirai. Ia mengendap dan memukul pundak Bahrul. Sementara cowok berambut lepek itu berjengit hendak berteriak. Suaranya kembali teredam oleh dengusan ketika sudut matanya melihat cengiran Musinah.

Bahrul menjongkokkan diri. Perlahan, Musinah menaiki bahu Bahrul. Mereka sama mempertahankan keseimbangan. Ya, salah satu kegiatan Musinah di pagi hari, mengintip sebuah sekolah. Sebuah ruang kelas tepatnya. Ia sempat merayu-rayu pamannya untuk menyekolahkannya. Apa daya, jaman penjajahan belum lama berakhir, sedangkan pengkotak-kotakan rakyat masih melalang buana. Terang saja, masyarakat kalangan bawah seperti Musinah, apalagi seorang perempuan harus rela tidak bersekolah dan bekerja. Sebagian besar bertani atau sekedar mencari kayu bakar di hutan untuk dijual.

Hanya Bahrul lah satu-satunya teman yang mau membantunya. Teman-teman sedesa Musinah bukannya tidak mau membantu, hanya saja berjalan sejauh dua kilometer hanya untuk membantu Musinah mengintip suatu ruangan lumayan cukup membuang waktu. Kebanyakan dari mereka sibuk membantu keluarganya bekerja.

Tak terasa waktu ‘bersekolah’ bagi Musinah telah selesai. Bahrul dengan tampang meringisnya memijat bahu yang barusaja menjadi pijakan Musinah.

“Kau berat juga. Makan apa sih? Jangan-jangan beratmu mengalahkan sapi Pak Suro lagi!” Bahrul tertawa puas. Tapi maaf saja, Musinah telah lama kebal dengan ejekan membosankan yang selalu dilontarkan Bahrul. Sepertinya cowok itu telah kehabisan akal. Musinah jadi teringat ketika Bahrul tanpa sengaja menemukan sepasang sepatu butut bertali ketika sedang berenang di sungai. Ia berlari terbirit-birit mendatangi gubuknya untuk membantunya mengesol sepatu itu dan mengajarinya cara mengaitkan talinya. Tentu saja Musinah belum tahu cara mengkaitkan dua tali putih kusam itu. Jadi, ia mengaitkan secara asal yang tanpa disangka cukup membuat Bahrul berteriak heboh.

“Gila.” Musinah menarik telinga lebar Bahrul.

Suara desisan-desisan ejekan kembali terdengar. Ah, kuping Musinah panas dibuatnya. Cewek pendek itu masih ingat ketika anak-anak kalangan atas itu melempari mereka tanah disertai ejekan-ejekan. Selanjutnya, Bahrul memukul telak mereka semua. Kecuali cowok cakep dengan rambut kepirang-pirangan. Masih teringat di memori Musinah, kala cowok itulah yang mengajarinya berhitung. Bahkan terkadang cowok itu tak sungkan berbagi pelajaran untuknya.

“Udah selesai kan? Ayo pulang!” Bahrul menarik lengan Musinah. Musinah yang kesal menjawil tangan Bahrul. Bersamaan dengan cowok yang sepertinya blasteran itu menghampiri Musinah dengan selembar kertas di tangannya.

“Ini soal yang diberikan guru hari ini.” Musinah sempat terpukau. Hingga suara teriakan Bahrul kembali membahana.

“YANG KALAH SAMPAI DI SUNGAI DIA YANG MEMIJATI MBAH ING!” Oh, tidak. Jangan mbah Ing!

“Terima kasih. Lain kali kita ngobrol.” Musinah lantas menyambar kertas itu dan berlari kencang menyusul Bahrul di depannya.

Jangan bayangkan apa yang dilakukan Bahrul saat ini. Tentu saja ia menyeringai menang ke arah cowok blasteran itu.

-Fin.


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Satu Lagi Memori

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles