slovesw, 2015
.
“But we’re gonna start by
Drinking old cheap bottles of wine,
Shit talking up all night,
Saying things we haven’t for a while.”
.
Setting-nya, bertempat di sarang iblis.
Hujan pecah. Mengarungi udara dingin pekat tengah malam, menyelami relung paru para manusia dengan bau tanah mentah. Menjamu mereka si tukang begadang dengan kantuk khas malam ketika titik-titik itu mendera, jatuh dari ketinggian tropopause. Pun menggauli hiruk-pikuk kota dengan rerintikan.
Diam-diam aku menggelendoti langut; bersesakan lantaran tersumpal di sela-sela rusuk. Sudah terlupakan bertahun-tahun yang lalu. Seperti baju-baju di dasar almari yang paling jarang tersentuh, langut itu obrak-abrikan. Tak tertata dengan apik, kendati tidak berbau apak.
Ceritanya sudah kadaluarsa. Dua atau tiga tahun, sudah lupa. Akhirnya pun tidak begitu jelas, tidak begitu kentara. Khalayak awam pun tak banyak yang menahu, jadi sebenarnya tak ada impak yang begitu berarti. Kalau-kalau kejadian ini tidak terjadi, aku pun tidak bakal begitu memikirkannya. Senarai draf dan proposal-proposal itu lebih membuatku meringking ngeri di bawah lampu multiwarna itu ketimbang presensinya.
Tanpa tadang aling-aling, tamu tak diundang itu datang begitu saja.
Berpapasan di tongkrongan kawula muda, lantaran sama-sama memesan satu dari rendeng sampanye yang ditopang almari lapis kaca. Sloki-sloki berdentingan. Asap cerutunya yang pekat, tak ayal membaui penciumanku.
Tangannya yang sawo matang merambah meja bartender, mengelus peliturnya. Remanya dipangkas apik, a la Ryan Reynolds. Kemeja merah darahnya klimis minta ampun; bakteri patut lindang landai di sana.
Tak perlu hitungan di atas lima, visi mengenali figur dirinya. Lelaki yang doyan mampir di kost manakala aku masih menimang status mahasiswi. Pernah nangkring di hati juga, sebagaimana suaranya yang mengubini pekarangan kost di pagi hari. Sayang disayang, yang ditunggu di atas skuter Vario-nya bukan aku—Dea, namun Kartika.
Janggalnya, ia pun mengenaliku. Langsung indera pandang itu membeliak-menyipit ketika melihat aku, seolah matanya baru dijatuhi spotlight.
Aku juga sama beliak-sipit, kendati alasannya ialah isi sloki yang tandas separuh.
“Dea, iya ‘kan?” ia memberedel sapaan halo-hai sejenisnya.
Nyaris terpelanting dari stool, pun tergagap karena citranya dalam retina ada dua. Aku mengusap rambut asal, seolah itu bisa menutupi polahku yang on-the-way mabuk. “Ah, iya. Mas Rio kan, ini?”
“Iyalah, De. Apa mukaku tambah ganteng habis nggak ketemu bertahun-tahun?” selorohnya tanpa ampun. Cerutunya beremigrasi ke sela jari, dan dasi berantakan itu sedikit mendistraksi. Tangan kekarnya lantas menyisipi jemariku, lalu terlepas dengan serta-merta. “Tumben ke Bandung. Denger-denger kamu di luar kota, ya?”
Kepengin pilon, namun jatuhnya malah goblok sungguhan. “Ah, iya, Mas.”
Ia menarik satu stool. Slokinya di tangan kiri. “Haha, iya yang mana dulu, nih?” Tubuhnya terempas begitu saja di atas busa stool. “Mainnya ke sini, lagi. Di luar hujan, lho. Sendirian?”
Hatiku bertemperasan entah ke mana. Tercecer bersama ringkingan musik ritmik jua decap-kecup pencumbu yang lantang mondar-mandir.
“Udah biasa kok, Mas.”
“Mabuk juga, ya? Duh,” tanyanya retoris, memperhatikan polahku yang gual-gail. Setengah membangkitkan hasratku meraih ujung heels. Namun, cengir usil di sudut bibirnya itu, sudah mendampratku terlebih dahulu. “Iya deh iya, yang anak ibukota sekarang.”
Stay The Night di-mashup dengan To Ü mampir di muka rungu—kombinasi yang apik untuk menjebol gendang telinga. Tiba-tiba aku ingin iringan lagu akustik atau folk—kesannya kurang apik saja. Duh, telenovela.
“Kerja di mana, De? Masih di Jakarta?”
Membenarkan letak rok, seolah itu adalah jurus paling ampuh untuk membunuh kikuk. “Enggak, kok. Masih cari-cari, sih. Sekarang di Tangerang, Mas. Ke Bandung cuma mau kunjung ke saudara, eh kebablasan ke sini. Hehe.” Sampanye itu nganggur di atas meja. Menghela napas, “Mas Rio?”
“Aku tetep di Bandung, kok. Wijaya Karya.”
“Waduh, arsitek banyak duit, dong.”
Tawanya berkeriap, mengendal di ujung bibir. “Ah, nggak juga lah, De. Masih gini-gini aja.”
Tangannya terjulur untuk membenarkan petak kacamatanya; membuat wajahnya sedikit melankolis dan sedikit humoristis, alih-alih tipikal wajah serius, kendati penat menghiasi tiap jengkal wajahnya. Kami membicarakan pelbagai hal; mulai dari kerjaannya sebagai konsultan di perusahaan BUMN di Bandung, bergulir ke pekerjaanku di interior design yang sedang menata batu pertama di Tangerang, pun hal-hal lain sambil menyesapi minuman masing-masing.
Kala tahu pembicaraan mulai lindap, aku mengambil inisiatif tergoblok yang pernah terlintas, “Kartika sama kamu gimana, Mas? Aku udah jarang dengar kabarnya. Kita lost contact.”
Rio sesumbar senyum. Bukan jenis yang menyenangkan. Tatkala itu juga, aku mendapati alasan konkret; mengapa undangan pernikahan Rio dan Kartika, tak kunjung terangsur di kisi-kisi pintu.
*
Rio. Bukan pasal label anggota BEM-nya yang membuatku memilih untuk menaruh hati pada lelaki ini. Bukan pula karena hobinya yang acap mentraktirku dan Kartika dikucingan. Lebih karena ringkingan tawanya di angkringan ketika tengah malam menjelang, ditemani kopi arang Jogja pun suaranya yang asal-asalan bersenandung tembang-tembang lawas; mulai dari lagu dari album The Idiot milik Iggy Pop sampai Ibu-nya Iwan Fals.
Aku jua tahu betul, alasan mengapa ia gandrung sekali mengajakku pergi ke luar, traktiran-traktiran seharga lima belas ribu rupiah itu bukan karena aku; tapi Kartika. Anak Fakultas Ilmu Politik yang dulu satu kasur denganku, dan sekarang ternyata sudah berbeda dunia denganku.
“Kartika kena kanker,” tutur Rio, bak gemuruh di siang bolong. Cerutu menthol-nya kini terisap dalam ritme yang lebih aktif ketimbang tadi, dan aku tak perlu bertanya banyak apa alasannya. Matanya membayang sejemang, dan musik disko bisa diistilahkan bak rinai tidur belaka. “Dia baru ngasih tahu aku sebulan sebelum, well, kematiannya. Duh, miripsick-lit, ya?”
“Kapan?”
“Setahun yang lalu, kira-kira.”
Entah apa yang lebih menyumbang gemap terbesar; berita tentang Kartika yang ternyata sudah angkat kaki dari dunia, atau kenyataan bahwa Rio ternyata tidak pernah menikah dengan Kartika.
“Kita udah putus lama sebelum itu, De.”
Aku termangu selama beberapa jenak. Kuriositas itu menggantung begitu saja di petak-petak akal di mana bayangan Kartika dan aku pernah mengendap di sana. Sekarang ia melindap perlahan, seperti es karbon. Terurai dengan sendirinya.
“Kenapa nggak ada yang kasih tau aku?”
“Udah kuduga kalau kamu bakal ngomong gitu,” ia menenggak sampanye sekali, “ada beberapa alasan. Mendadak, lah; Kartika yang udah nggak bisa bicara seminggu sebelum kematiannya; dan… yah, alasan-alasan yang lain. Banyak teman kamu yang sama nggak tahunya kaya kamu kok, De.”
“Tapi aku ‘kan deket sama dia, Mas.” Tak kusangka aku berkata dengan tak terima, lalu aku terdiam; mengambil konklusi. Kematian Kartika yang dibungkam lebih mengagetkanku ketimbang yang lain.
Rio mencebikkan bibir, dan aku tahu ia enggan menjawab untuk satu silabelpun. Apa alasannya, aku tak tahu-menahu. Menthol di sudut bibirnya sudah tinggal seperempat. Kepalaku berdenyut, dan aku mulai mempertimbangkan Marlboro di suatu celah kecil di dalam tasku.
Kakiku menggerantak lantai terakota dengan repetitif. Tungkai Rio diangkat di salah satu pijakan stool. Diam-diam aku memperhatikan jungur sepatunya; mengkilap seolah baru digosok dengan batu amril. Aku tahu, di balik senyapnya ia kali ini, ia sedang merenung. Berkontemplasi diiringi figur Kartika yang menari-nari di pelupuknya.
Bagaimanapun juga, itu membuatku sedikit pilu.
“Aku turut berduka cita, Mas.”
Rio menggeragas helai rambutnya. Tak disangka-sangka, ia merespon, “Bukan sama aku ngomongnya, De.”
Aku mengeksplor mata black coal-nya. Redup, namun hangat. “Kan aku bukan pacarnya lagi,” ia menyambung. Wajahnya sendu, pun dramatis.
Aku ingin bahagia, lantaran Rio dan Kartika tak pernah memijak ke pelaminan. Aku ingin senang, karena sejatinya mereka berdua tak pernah bersama. Ironis, saat Kartika bahkan sudah di liang lahat—aku malah lebih mirip antagonis yang tanpa diekspektasikan muncul di eksodos dramanya.
“Kamu nggak pernah pengin tahu, kenapa aku dan Kartika putus?”
Aku mengusap-usap lutut. Tiba-tiba efek sampanye itu menguap dari neuron. Rio, dan pertanyaannya yang sama sekali tidak masuk akal tiba-tiba mendera kesadaranku. Pertanyaan Rio, tak pelak menyinggungku seakan ia sama sekali tak menghargai Kartika. Mentang-mentang Kartika sudah mati.
Kuputuskan untuk bertanya, “Kenapa, emang? Apa karena dia penyakitan?”
“Aku ‘kan udah bilang, kita udah putus lama setelah itu, De. Bahkan lima bulan setelah kalian—Kartika sama kamu—wisuda, terus kamu pergi ke Jakarta, kami udah putus. Meskipun kita masih berhubungan baik-baik setelah itu.”
Rokok menthol-nya diinjak begitu saja di lantai. Rio membasahi bibir, tangannya lantas silih-tindih di meja bartender. Tidak mungkin ia sedang gugup, ‘kan?
“Awalnya kupikir juga ini aneh,” katanya ganjil, “hubungan kami nggak berjalan lama setelah kamu pergi ke Jakarta. Aku sama Kartika awalnya nyaman-nyaman aja, jalanin hubungan. Tapi semakin ke sini, ada yang beda. Kita berdua jadi hambar—intinya aku jadi ngerasa aneh sama dia. Aku pun sempat bingung kenapa dulu aku bisa-bisanya suka sama Kartika. Semakin ke sini, akhirnya aku baru sadar.”
Rio tak kunjung menyambung, dan alisku sudah buru-buru naik satu tingkat sebelum aku menagih, “Sadar gimana?”
Ia mendengus, lantas tertawa. Napas mint-nya kentara, bercampur dengan aroma pekat sampanye. “Lucunya, aku baru sadar kalau sebenernya—sebenernya aku lebih sering ngasih waktu aku ke kamu, De. Bukan sama Kartika. Pantes aku ngerasa ada yang salah, tau-tau, itu kamu.”
Ia mengulum senyum; sementara aku baru sadar bahwa kami berada dalam jalan yang salah. Seakan aku dan Rio berada dalam satu mobil yang sama, lalu kami berbelok di pertigaan yang salah.
Ini salah. Dalam cara yang ganjil, mirip deus ex machina.
Aku mencengkeram pelipir meja bartender yang asimetris, selagi Rio berujar, “Kartika udah tau, De. Kucari kamu dari lama.”
Merenungi black coal yang terbingkai itu selama beberapa jenak; hanya itu yang mampu kulakukan. Kami sama-sama membisu. Sedikit tak adil kalau dipikir-pikir, saat kami sudah lama tak berserobok; lantas kali ini, tiba-tiba kami terjebak dalam satu pertemuan yang kesannya abadi, juga terasa seperti pertemuan yang pertama kali.
Tak bisa dipungkiri, aklamasi Rio itu mengundang rinai air sarat jeri di ekor mata.
.
“We’re smiling but we’re close to tears,
Even after all these years,
We just now got the feeling that we’re meeting for the first time.”
.
-selesai-
Filed under: one shot, original fiction Tagged: Deus ex Machina
